"Antropologi Agama" adalah ilmu
pengetahuan yang berusaha mempelajari tentang manusia yang menyangkut
"agama" dengan pendekatan budaya, atau disebut juga "Antropologi Religi".
Meskipun ada yang berpendapat ada perbadaan pengertian antara "Antropologi Agama" dengan "Antropologi Religi", namun keduanya mengandung arti adanya
hubungan antara manusia dengan kekuasaan yang ghaib. Keduanya juga
menyangkut adanya buah pikiran sikap dan perilaku manusia dalam
hubungannya dengan kekuasaan yang tidak nyata.
Buah pikiran dan perilaku manusia
tentang ke"agama"an dan kepercayaannya itu pada kenyataannya dapat
dilihat dalam wujud tingkah laku dalam acara dan upacara-upacara
tertentu menurut tata cara yang ditentukan dalam "agama" dan kepercayaan
masing-masing. Dengan demikian "Agama" tidaklah mendekati "agama" itu
sebagaimana dalam teologi (Ilmu Ketuhanan), yaitu ilmu yang menyelidiki
Wahyu Tuhan.
LATAR BELAKANG SEJARAH
Perhatian manusia terhadap sikap
dan perilaku ke"agama"an dimulai sejak orang barat berkelana dan
mencekaramakan pengaruh kolonialisme dan imperialisme di dunia timur.
Diantara yang tertarik berpendapat karena apa yang mereka ketahui
merupakan hal-hal baru dan aneh-aneh jika dibandingkan dengan sikap
perilaku dan upacara-upacara ke"agama"an (Kristen) yang mereka anut.
Tanggapan aneh tersebut
menimbulkan pertanyaan, apakah sikap perilaku ke"agama"an masyarakat
sederhana itu adalah bentuk-bentuk ke"agama"an dan kepercayaan yang
merupakan cikal bakal dari bentuk-bentuk ke"agama"an yang ada kemudian dan
sudah jauh lebih maju, seperti halnya "Agama" Hindu, Kristen dan "Agama"
Islam. Tanggapan ke arah asal mula dari unsur-unsur universal tentang
"agama", seperti mengapa manusia percaya kapada adanya kekuasaan yang
ghaib, mengapa pula manusia bersikap dan berperilaku dengan berbagai
cara dan upacara yang bermacam-macam dalam berhubungan dengan kekuasaan
ghaib.
Para sarjana yang mengolah labih lanjut tentang ke"agama"an
primitif berpendapat bahwa "agama" atau "religi" dan kepercayaan kuno itu
adalah sisa-sisa dari bentuk "agama" purba yang dianut oleh seluruh umat
manusia ketika budayanya masih sederhana. Jadi, bukan hanya di dunia
timur tetapi di dunia barat juga ada ketika masyarakatnya masih
sederhana.
Diantara para sarjana ada yang berushan menyusun teori tentang
asal mula "agama". Diantara mereka adalah para ahli filsafat, sejarah,
sarjana-sarjana filologi yang ahli meneliti naskah-naskah kuno dengan
bahasa kuno, dan sebagainya.
CARA MEMPELAJARI
Yang menjadi titik studi "Antropologi Agama" adalah bukan kebenaran ideologis melainkan kenyataan
yang nampak yang berlaku, yang empiris, atau juga bagaimana hubungan
pikiran sikap dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan yang ghaib.
Beberapa cara dalam studi "Antropologi Agama", yaitu dengan mempelajari dari sudut sejarah,
ajarannya yang bersifat normatif, atau dengan cara deskriptif atau dan
dengan cara yang bersifat empiris.
1. Metode
Historis
Dengan metode yang bersifat sejarah yang dimaksud ialah
menelusuri pikiran dan perilaku manusia tentang "agama"nya yang berlatar
belakang sejarah, yaitu sejarah perkembangan budaya "agama" sejak
masyarakat manusia masih sederhana budayanya sampai budaya "agama"nya yang
sudah maju. Misalnya bagaimana timbul dan terjadinya "agama" tersebut dan
lain-lain.
2. Metode Normatif
Dengan metode normatif dalam
studi "Antropologi Agama" dimaksudkan mempelajari norma-norma
(kaidah-kaidah, patokan-patokan atau sastra-asatra suci "agama") maupun
yang merupakan perilaku adat kebiasaan yang tradisional yang tetap
berlaku, baik dalam hubungan manusia dengan alam ghaib maupun dalam
hubungan antara sesama manusia yang bersumber dan berdasarkan
ajaran-ajaran "agama" masing-maisng. Artinya berpangkal tolak pada
norma-norma "agama" yang eksplisit berlaku, yang ideologis berlaku. Dengan
metode ini akan ditemukan pikiran dan perilaku manusia dalam
hubungannya dengan yang ghaib atau juga sesama manusia.
3. Metode Deskriptif
Dengan metode ini dalam "Antropologi Agama" dimaksudkan ialah bersaha mencatat, melukiskan,
menguraikan, melaporkan tentang buah pikiran sikap tindak dan perilaku
manusia yang menyangkut "agama" dalam kenyataan yang implisit. Adapun
tentang kaidah-kaidah ajaran yang eksplisit tercantum dalam kitab-kitab
suci dan kitab-kitab ajaran agama yang dikesampingkan.
4. Metode Empiris
Metode ini mempelajari pikiran
sikap dan perilaku "agama" manusia yang diketemukan dari pengalaman dan
kenyataan di lapangan. Artinya yang berlaku sesungguhnya dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari, dengan menitikberatkan perhatian terhadap
kasus-kasus kejadian tertentu (metode kasus). Peneliti dituntut terlibat
langsung, misalnya peneliti berperan langsung dapat menyaksikan
terjadinya acara perkawianan yang berbeda "agama" atau
perkawianan-perkawianan yang berlaku di antara para penganut "agama" suku
dan sebagainya.
"AGAMA" DAN BUDAYA
"Agama" adalah keyakinan sedangkan
budaya adalah hasil akal pikiran dan perilaku manusia. Suatu keyakinan
adalah hal yang mutlak berdasarkan kepercayaan manusia. Sedangkan ilmu
pengetahuan merupakan hasil karya manusia berdasarkan kenyataan. Namun
tidak dapat dibantah baik "agama" atau budaya berpangkal tolak dari adanya
manusia, tidak ada "agama" tanpa manusia dan karena manusia budaya maka
ada "agama". Mengapa sukar memisahkan "agama" dan budaya , oleh karena "agama"
tidak akan dianut umatnya tanpa budaya.
ISTILAH "AGAMA"
"Agama" artinya
dengan istilah asing relige atau god sdienst(belanda) atau religion
(inggris). Istilah "agama" berasal dari bahasa sansekerta yang
perngertiannya menunjukkan adanya kepercayaan manusia berdasarkan
wahyudari tuhan.dalam arti liguistik kata agama berasal dari suku kata
"A-GAM_A" kata A berakti tidak , kata gam berarti pergi aau bejalan,
sedangkan kata A merupakan kata sipat yang menguatkan yang kekal. Jadi
istilah "AGAMA" mengandung arti pedoman hidup yang
kekal (Hasan Shadily, Ensiki, 1980:105
Menurut kitab sunarigama istilah "agama" berasal dari kata "A-GA_MA", kata A berakti Awang-awang’(kosong atau
hampa),kata GA artinya Genah (bali :tampat)kata MA arinya
matahari(terang bersinar).
B. ISTILAH "RILIGI"
Kata religi berasal dari bahasa asing ‘religie’ atau
godsdienst’ (belanda) atau religion’ (Inggris).menurut sidi gazalba
‘rligare’ dalam bahasa latin. Relegere’ maksudnya ialah berhati-hati
dan perngertian dasar (grondbegrip), yaitu dengan berpegang pada aturan-aturan dasar, yang menurut anggapan orang romawi bagwa regilare’
berarti mangikat, yaitu yang mengikat manusia dengan sesuatu kekuatan
tenaga ghaib (sidi Gazalba 1962:18).
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa istilah "religi" mengandung arti kecenderungan batin (rohani ) manusia untuk berhubungan
dengan kekuatan dalam alam semesta, dalam mencari nilai dan makna dari
sesuatu yang berbada sama sekali dari apa yang
didikenal dan dialami manusia. Kekuatan itu
diangagap suci dan dikagumi karena luar biasa. manusia percaya bahwa
yang kudus itu ada dan di luar kemampuan dan kekuasaanya. Oleh karenanya
manusia berusaha menghormatinya, meminta perlidungan kepadanya dan
menjaga keseimbangan dengan berbagai cara upacara.
Dalam pengertian yang lain istilah "religi" merupakan
dan perilaku kebiaasaan yang tradisional berdasarkan tuntutan
kitab-kitab suci yang merupakan himpunan peraturan ke"agama"an yang
digunakan sebagai pedoman hidup manusia guna meningkatkan mutu
kerohaniannya mencapai kesempurnaan . dengan demikian baik istilah
"agama" ataupun "religi" yang dimaksud ialah menunjukkan adanya hubungan antara
manusia dengan kekuasaan ghaib di luar kekuasaan manusia, berdasarkan
keyakinan dan kepercayaan menurut paham atau ajaran "agama" dan
kepercayaan masing-masing, baik bagi masyarakat yang masih sederhana
budayanya maupun masyarakat yang sudah maju budanyanya.
Nama "agama". Istilah "agama" atau religi’ menunjukan
pengertian bahwa manusia menganut kepercayaan kepada yang ghaib. Pada
masyarakat sederhana yang tidak mengenal istilah "agama", kepercayaan
kepada yang ghaib merupakan sebagian dari adatnya yang tradisional. Jadi
apa yang dinamakan ‘"agama" suku’ adalah bagian dari ‘ adat suku’ yang
menyangkut ke"agama"an.
Bagi umat Islam pengertian istilah "agama" sebagai cara atau
jalan berhubungan dengan Tuhannya digunakan istilah ‘syari’at tharikat,
shiratal Mustaqim(jalan yang lurus). Jadi apabila digunakan penafsiran
menurut Islam, maka yang diartikan "agama" adalah apa yang disyariatkan
Allah dengan perantaraan para nabiNya, yang berupa perintah-perintah dan
larrangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan hidup manusia
di dunia dan di akhirat.
Ciri-ciri "agama" adalah terdiri dari:
1. Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
2. Mengadakan hubungan dengan Tuhan dan melakukan upacara (ritus) pemujaan dan
permohonan.
3. Adanya ajaran tentang keTuhanan
4. Adanya sikap hidup yang
ditumbuhkan oleh ketiga unsur tersebut, kepercayaan, adanya hubungan
dengan Tuhan dan ajaranNya.
Dengan
demikian kepercayaan yang tidak menunjukkan ciri-ciri tersebut
merupakan budaya "agama" atau "agama" kebudayaan.
"AGAMA" SAMAWI DAN WAD’I
Dilihat dari sumber terjadinya
"agama", maka "agama" itu dapat dibedakan dalam dua
kategori, yang dinamakan ‘"agama" samawi’ aau ‘" langit, dan ‘"agama"
wad’I atau ‘" bumi’
1. "Agama" samawi adalah "agama" yang
diungkapkan dengan wahyu’( revealed religion ) yang bersumber dari wahyu
tuhan. Misalnya menurut "agama" Kristen kitab terakhir perjanjian baru
adalah wahyu, yang di dalamnya teologi dikatakan bahwa wahyu adalah
pengalaman yang terakhir pada adanya cara yang baru sekali dalam
memandang dunia dan kehidupan manusia. Pengalaman yang diterima
berdasarkan wahyu itu karena tidak dapat terjadi melalui usaha akal
pikiran penelaahan manusiaa, tetapi merupakan pengetahuan terhadap
kebenaran yang diilhami. Namun wahyu tidak sama dengan ilham, oleh
karena wahyu hanya dapat diterima para rasul dan nabi, sedangkan ilham
hanya didapat oleh manusia selain rasul dan nabi.
2. "Agama" wad’I ialah "agama" duniawi
[natural religion] yang tidak bersumber pada wahyu illahi melainkan
hasil ciptaan akal pikiran dan perilaku manusia, oleh karenanya
disebut juga "agama" budaya’. "Agama" wad’I lahir berdasarkan filsafat atau
dari para penganjur "agama" bersangkutan. Termasuk dalam golongan "agama"
ini antara lain seperti "agama"-"agama" Hindu, "agama" Budha, tao [sumber
mutlak seluruh isi alam] yang disamakan dengan ‘ahuta mazda’ [persi],
kong-hu-cu [k’ung fu-tze) dan berbagai aliran paham ke"agama"an lainya.
Ciri-ciri "agama" wad’I ialah
sebagai berikut :
a. Konsep ketuhanannya tidak
monetheis, bahkan tidak jelas.
b. Tidak disampaikan oleh rasul
allah sebagai utusan tuhan.
c. Kitab sucinya bukan berdasarkan
wahyu tuhan.
d. Dapat berubah tejadinya perubahan
masyarakat pengaruhnya.
e. Kebenaran ajaran dasarnya tidak
tahan kritik terhadap akal manusia.
f. System terasa dan berpikirnya
sama dengan system merasa dan berpikir kehidupan masyarakat penganutnya.
Menurut "agama" Hindu, weda adalah wahyu bukan buatan maha resi
atau manusia, berdasarkan Manawa dharmacastra ll. 10. Jadi "agama" Hindu
bukan "agama" budaya hasil cipta manusia (cudamani, 1987: 1-2)
"AGAMA" BUDAYA DAN BUDAYA "AGAMA""
A. "Agama" Budaya
Timbulnya "agama" budaya dalam alam pikiran manusia adalah
dikarenakan adanya getaran jiwa yang disebut’emosi ke"agama"an’atau
‘religious emotion’ menurut Koentjaraningrat emosi ke"agama"an ini
biasanya pernah dialami setiap manusia. Walaupun getaran emosi itu
mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja, untuk kemudian
menghilangkan lagi. Adanya emosi ke"agama"an itulah yang mendorong orang
melakukan tindakan-tindakan yang bersifat religi (Koentjaraningrat,
1979:394). Pendapat ini sejalan dengan pendapat E.Durkheim dalam
uraiannya tentang asal mula "agama" (1912), yang di Indonesia banyak dianut
oleh para penganut aliran kepercayaan.n
Jadi menurut pendapat tersebut yang menjadi sebab latar belakang orang berperilaku
ke"agama"an, percaya kepada yang ghaib adalah dikarenakan ada dorongan
emosi ke"agama"an dalam batin manusia sendiri. Karena adanya emosi
ke"agama"an maka timbullah pemikiran, pendapat, perilaku kepercayaan
terhadap sesuatu benda yang dianggap mempunyai kekuatan luar biasa,
dianggap keramat atau dikeramatkan dan dianggap suci, serta disayangi
atau ditakuti. Jadi dalam system merupakan unsur-unsur yang
dipertahankan dan dilaksanakan para penganutnya sebagai berikut:
1. Memelihara emosi ke"agama"an.
2. Yakin dan percaya pada
ghaib-ghaib,
3. Melakukan acara dan
upacara-upacara tertentu.
4. Mempunyai sejumlah pengikut yang
mentaati.
Keempat unsur tersebut saling bertautan satu sama lain, yang
kesemuanya berdasarkan keyakinan dan kepercayaan terhadap hal-hal yang
ghaib, yang ditakuti atau disayangi, yang disebut tuhan, dewa-dewa,
roh-roh atau makhluk halus di sekitar jagad raya ini, baik yang bersifat
jahat maupun yang bersifat baik.
Hasil karya yang timbul dari
akal pikiran dan perilaku manusia dalam bentuk-bentuk nyata, dangan
maksud agar emosi ke"agama"an tetap bergelora, agar keyakinan dan
kepercayaan terhadap yang ghaib tetap kuat bertahan, agar acara dan
upacara ke"agama"an berjalan sebagaimana mestinya, agar keyakinan akan
kebenaran menurut ajaran "agama" dan keperecayaan masing-masing berkembang
meluas di kalangan umat manusia, maka terjadilalah berbagai bentuk
budaya "agama".
B. Budaya "Agama"
Baik "agama" wahyu (samawi),
seperti Hindu, Kristen dan Islam, maupun "agama" budaya (wad’I), seperti Budha pada mulanya, dan berbagai ajaran ke"agama"an seperti tao,
kong-hu-chu,dan berbagai aliran paham keagamaan dan kepercayaan pada
yang ghaib, yang dianut masyarakat sederhana atau atau masyarakat yang sudah maju, memiliki budaya "agama", yaitu hasil.
Hasil pemikiran dan perilaku budaya yang menyangkut ke"agama"an. Budaya
masing-masing, ada yang muncul dalam benak manusia berdasarkan kehendak
yang diwahyukan tuhan kepada para nabi, dan ada yang muncul dalam benak
manusia berdasarkan emosi keagamaan peribadi manusia sendiri.
TEORI ASAL MULA "AGAMA".
Ketika para sarjana mencoba
merumuskan teori-teori tentang asal mula
terjadinya "agama", ilmu pengetahuan yang disebut "Antropologi" belum ada,
yang baru ada adalah etnografi, lukisan tentang suku-suku bangsa
sederhana yang kemudian menjadi etnologi, yaitu ilmu tentang
bangsa-bangsa (sederhana) para ahli yang berpendapat tentang asal mula
"agama" adalah ahli sejarah c. de Brosses (1967) ahli filsafat August Comte(1850) ahli filologi F.Max Muller 1880) dan lainya dan kemudia n
muncul teori-teori dari para ahli "Antropologi" seperti E.B. Tylor (1889)
R.R.Marett (1909), J.G.franzer (1890) E.Durkheim (1912) dan W.Schmidt
(1921) (Koentjaraningrat (1966) ; 207-208) dari teori –teori mereka ini
orang berpendapat bahwa perkembangan "agama" itu mulai dan animism,
dinemisme, politeisme dan baru kemudian menoteisme.
A. TEORI TAYLOR
Sarjana yang diangap pertama kali mengemukakan pendapat bahwa asal mula dari "agama" adalah
dinamisme’ paham tentang jiwa atau roh dia adalah
sejana "Antopologi" Inggris E.B. Taylor dalam bukunya ‘primitive Culture’
mengapa manusia sederhana menyadari tentang adanya jiwa atau roh, dikarenakan yang Nampak dan dialami sebagai berikut:
§ Peristiwa hidup dan
mati
Bahwa adanya hidup
karena adanya gerak, dan gerak itu terjadi karena adanya jiwa. Dan apa
bila jiwa itu lepas dari tubuh maka berakti mati dan tubuh tidak
bergerak.
§ Peristiwa mimpi
Bahwa ketika
manusia itu tidur atau pingsan ia mengalami mimpi dimana tubuh itu diam
dan masih ada gerak (nafas), tetapi ia tidak sadar karena sebagian dari
jiwanya terlepas dan gentayangan ke tempat lain.
Menurut Taylor kepercayaan manusia sederhana terhadap jiwa latin; anima.)
di dalam sekitarnya itulah yang disebut animism
yang merupakan asal mula "agama", yang kemudian dikembangakan menjadi
Dynamisme. Polytheisme, dan akhirnya menotheisme. Dengan demikian
animism itu adalah paham kepercayaan manusia tetang adanya jiwa.
B. TEORI MARETT
Dikemukakan
oleh R.R Marett seorang "Antropologi" Inggris di dalam bukunya The
Threshold of Religion’ (1909), berarti setelah 36 tahun teori animism
berkembang. Berpendapat bahwa bagi masyarakat yang
budayanya masih sangat sederhana belum mungkin dapat berpikir dan
menyadari tentang adanya ‘jiwa’ jadi katanya pokok pangkat dari perilaku
ke"agama"an bukanlah kepercayaan terhadap roh-roh halus, melaikan timbul
karena perasaan rendah diri manusia terhadap berbagai gejala dan
peristiwa yang dialami manusia dalam hidupnya. Sehingga kekuatan itu
bersifat ‘supernatural. Menurut Marett kepercayaan terhadap adanya yang
supernatural itu sudah ada sejak sebelum manusia menyadari
adanya roh-roh halus (animesme). Oleh karenanya teori Marett ini sering
dikatakan pula prae-animesme.
C. TOERI FRAZER
Mengemukakan juga pendapat
tentang asal mula "agama" adalah J.G.Frazer dalam bukunya The Golden Bough
a Study in Magic and religion (1890) ia berpendapat bahwa manusia itu
dalam memecahkan masalah berbagai macam dalam kehidupannya dengan
menggunakan akal dan system pengetahuan. Akal manusia itu terbatas semakin rendah budaya manusia semakin kecil dan
terbatas kemampuan akal pikiran dan pengetahuannya.
Megic itu adalah tanggapan hidup
berbagai masyarakat bangsa, sejak jaman purba maupun sekarang masih ada.
Orang memperkirakan bahwa para ahli magic itu dengan mantera, jimat dan
upacara yang dilakukan dapat menguasai atau mempengaruhi alam
sekitarnya.
Menurut Frazer pada mulanya manusia itu hanya mengunakan magic
untuk mengatasi masalah yang berada di luar batas kemampuan akalnya,
kemudian dikarenakan ternyata usahanya dengan magic tidak berhasil maka
mulailah ia percaya bahwa alam semesta ini didiami oleh para makhluk
halus yang lebih berkuasa dari padanya. Seterusnya dengan
makhluk-makhluk halus itu, sehingga dengan demikian timbullah
"agama"("religi")
D. TEORI SCHIMIDT
Serjana Austria W.Schmidt juga mengemukakan teori tentang asal
mula "agama", antara lain dalam bukunya ‘Die Uroffenbarung als Antang der
Offenbarungen Gonttles (1921) yang berbeda dengan Taylor. Schmindt
mengemukakan bahwa ‘monotheisme’ kepercayaan terhadap adanya satu tuhan.
Sesungguhnya kepercayaan terhadap adanya satu tuhan. Sesungguhnya bukan
penemuan baru tetapi juga sudah tua. Pendapatnya ini sebenarnya berasal
dari pendapat ahli sastra Inggris A.lang, yang meramunya dari berbagai
kesusasteraan rakyat dari berbagai bangsa di dunia dalam bentuk-bentuk
dongeng yang melukiskan adanya tokoh dewa tunggal.
E. TEORI DUHKHEIM
Seorang sarjana filsafat dan Sosiologi bangsa Prancis, yang
juga mengemukakan teorinya tentang asal mula "agama" dalam bukunya ‘les
forms elementaires de la vie religieuse (1912).
Seperti halnya dengan Marett yang mengemukakan kritiknya
terhadap teori Tylor, demikian pula Durkheim yang berpendapat bahwa pada
masyarakat yang masih sederhana tingkat budayanya belum mungkin dapat
menyadari dan memahami tentang jiwa yang berada dalam tubuh manusia
yang hidup dan jiwa yang sudah lepas dari tubuh menjadi roh-roh halus
dari orang yang sudah mati.
Menurut Durkheim pengertian tentang emosi ke"agama"an dan
sentimen-kemasyarakatan sebagaimana dikemukakan di atas adalah
pengertian dasar yang merupakan inti dari setiap "agama" sedangkan
kegiatan berhimpunnya masyarakat.
Bangsa Indonesia adalah bangsa
yang hidup di kepulauan Nusantara di garis khatulistiwa. Lingkungannya
dipenuhi dengan hutan rimba, pegunungan, sungai, danau, rawa-rawa
dengan lautan yang luas. Dan binatang-binatang yang ada bermacam-macam
dari yang ganas sampai yang jinak. Musim di nusantara hanya dua yaitu
kemarau dan hujan tidak selamanya membahagiakan kehidupan manusia tetapi
ada kalanya menimbulkan musibah seperti gunung meletus, banjir,
kelaparan dan penyakit. Indonesia yang dipenuhi
oleh flora dan faunanya menjadikan daya tariknya bukan hanya bagi
manusia tetapi makhluk halus yang baik atau jahat. Karena itu bangsa
Indonesia sudah semenjak zaman purba, sebelum adanya "agama"-"agama" besar
(Hindu-Budha, Kristen dan Islam) telah mengenal kepercayaan kepada
kekuatan –kekuatan ghaib dan nenek moyang bangsa Indonesia di zaman
purba sudah mengenal alam roh. Hal tersebut diperlihatkan dari suku
bangsa di Indonesia yang masih menggunakan kepercayaan lama.
RELEVANSI KAJIAN "ANTROPOLOGI" DENGAN "AGAMA".
"Antropologi", sebagai
sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk
memahami "agama". "Antropologi" mempelajari tentang manusia dan segala
perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia.
Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen "Antropologi" akan
pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya "Antropologi" merupakan ilmu
yang penting untuk mempelajari "agama" dan interaksi sosialnya dengan
berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan "Antropologis" sangat penting untuk memahami "agama" Islam, karena konsep
manusia sebagai ‘khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan
simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam. Posisi penting
manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan
utama dalam memahami "agama" Islam adalah bagaimana memahami manusia.
Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan
"agama" yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada
dasarnya adalah pergumulan ke"agama"annya.
Para
"Antropolog"
menjelaskan keberadaan
"agama" dalam kehidupan manusia dengan membedakan
apa yang mereka sebut sebagai
common sense dan
"religious" atau
mystical event. Dalam satu sisi
common sense mencerminkan
kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan
rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu
"religious"
sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan
kemampuan nalar maupun teknologi. Penjelasan lain misalnya yang
diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi
"agama" sebagai penguat
solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting
"agama" dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya
mencerminkan betapa
"agama" begitu penting bagi eksistensi manusia.
Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan
"agama" juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat.
Dua sisi kajian ini―usaha untuk memahami
"agama" dan menegasi eksistensi
"agama"―sesungguhnya menggambarkan betapa kajian tentang
"agama" adalah
sebagai persoalan universal manusia.
Dengan demikian
memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan
lengkap tanpa memahami manusia, karena realitas ke"agama"an sesungguhnya
adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata.
Terlebih dari itu, makna hakiki dari keber"agama"an adalah terletak pada
interpretasi dan pengamalan "agama". Oleh karena itu, "Antropologi" sangat
diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas
kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan-Islam that is
practised-yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keber"agama"an manusia.
Di Indonesia usaha
para
"Antropolog" untuk memahami hubungan
"agama" dan sosial telah banyak
dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang
ditulis pada awal 1960an menjadi
karya yang populer sekaligus penting
bagi diskusi tentang
"agama" di Indonesia khususnya di Jawa. Pandangan
Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi―abangan, santri dan
priyayi―di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak
orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara
"agama" dan
budaya, ataupun hubungan antara
"agama" dan politik. Dalam diskursus
interaksi antara
"agama"―khususnya Islam―dan budaya di Jawa, pandangan
Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam
tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat
dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz
ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz.
Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan
masyarakat Jawa
berdasar
religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang
para ahli dalam melihat hubungan
"agama" dan politik. Penjelasan Geertz
tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial
politik didasarkan pada orientasi ideologi ke
"agama"an. Walaupun Geertz
mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika
dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan
oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa
abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri
yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam
birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum
abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan,
priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai
yang memberikan perhatian besar terhadap masalah ke
"agama"an.
Sumber:
1. dearyrahman.blogspot.com/2010/03/antropologi-agama.html
2. laely.widjajati.photos.facebook.com/NGIYUP-dibawah-Pohon-Cemara....../
3. ahmadsamantho.wordpress.com/2008/03/22/antropologi-agama/
4. laely.widjajati.photos.facebook.com/Kok-di blakang q-bnyak-"ULAR" nya-ya-???????????/
5. laely.widjajati.photos.facebook.com/Pembangunan-MASJID-di Kampus 2-UMSIDA...../
6. laely.widjajati.photos.facebook.com/Pembangunan-GAZEBO-RAKSASA......./