"Hati nurani" manusia memerintahkan atau melarang seseorang untuk melakukan sesuatu kini dan di sini."
"Hati nurani" tidak berbicara tentang yang umum, melainkan tentang situasi yang sangat konkrit. Tidak mengikuti "hati nurani" berarti menghancurkan integritas pribadi kita dan mengkhianati martabat terdalam kita. Dalam "hati nurani" berlangsung penggandaan; Manusia bukan saja melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat moral (baik atau buruk), namun ada pula yang turut mengetahui tentang perbuatan-perbuatan moral manusia. Dalam diri manusia, seolah-olah ada instansi yang menilai dari segi moral perbuatan-perbuatan yang dilakukan. "Hati nurani" merupakan semacam saksi tentang perbuatan-perbuatan moral manusia.
Ada dua macam bentuk "hati nurani", yaitu "hati nurani" retrospektif dan "hati nurani" prospektif. "Hati nurani" retrospektif memberikan penilaian terhadap perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau. "Hati nurani" ini seolah menoleh ke belakang dan menilai perbuatan-perbuatan yang telah lewat. "Hati nurani" retrospektif menyatakan bahwa perbuatan yang telah dilakukan itu baik atau tidak baik; menuduh atau mencela bila perbuatannya tidak baik; dan sebaliknya memuji atau memberi rasa puas apabila perbuatannya dianggap baik. Jadi "hati nurani" retrospektif merupakan semacam instansi kehakiman dalam batin masing-masing manusia tentang perbuatan yang telah berlangsung.
Sedangkan "hati nurani" prospektif melihat ke masa depan dan menilai perbuatan-perbuatan masing-masing manusia yang akan datang. "hati nurani" prospektif mengajak manusia untuk melakukan sesuatu atau seperti barangkali yang lebih banyak terjadi - mengatakan 'jangan' dan melarang untuk melakukan sesuatu. Aspek negatif lebih mencolok. Dalam "hati nurani" prospektif sebenarnya terkandung semacam ramalan. "Hati nurani" prospektif menyatakan, "hati nurani" pasti akan menghukum kita, andaikata kita melakukan perbuatan itu. "Hati nurani" prospektif menunjuk kepada "hati nurani" retrospektif yang akan datang, apabila perbuatan menjadi kenyataan.
"Hati nurani" bersifat personal, artinya selalu berkaitan erat dengan pribadi bersangkutan. Norma-norma dan cita-cita yang diterima seseorang dalam hidup sehari-hari dan seolah-olah melekat pada peibadi seseorang, akan tampak pula dalam ucapan-ucapan "hati nurani" seseorang. Seperti yang biasa kita katakan bahwa tidak ada dua manusia yang sama, begitu pula tidak ada dua "hati nurani" yang persis sama. "Hati nurani" diwarnai oleh kepribadian kita. "Hati nurani" juga akan berkembang bersama dengan perkembangan seluruh kepribadian kita; "Hati nurani" seorang paruh baya yang sudah banyak pengalaman hidup tentunya akan memiliki "hati nurani" yang berbeda dengan seseorang yang masih remaja.
Disamping aspek personal,"hati nurani" juga menunjukkan suatu aspek adipersonal. Selain bersifat pribadi, "hati nurani" juga seolah-olah melebihi pribadi kita, seolah-olah merupakan instansi di atas kita. Aspek ini tampak dalam istilah "hati nurani" itu sendiri. "Hati nurani" berarti "hati" yang diterangi (nur=cahaya). Dalam pengalaman mengenai "hati nurani" seolah-olah ada cahaya dari luar yang menerangi budi dan hati kita. Bagi orang beragama, "hati nurani" memang memiliki suatu dimensi religius. Kalau ia mengambil keputusan atas dasar "hati nurani", artinya kalau ia sungguh-sungguh yakin bahwa ia harus berbuat demikian dan tidak bisa lain tanpa menghancurkan integritas pribadinya, maka ia akan mengambil keputusannya di hadapan Tuhan. Ia insaf dengan itu akan mentaati kehendak Tuhan. Dan sebaliknya, apabila bertindak bertentangan dengan "hati nurani" tidak saja berarti mengkhianati dirinya sendiri, tapi serentak juga melanggar kehendak Tuhan.
Mengikuti "hati nurani" merupakan suatu hak dasar bagi setiap manusia. Tidak ada orang lain yang berwenang untuk campur tangan dalam putusan "hati nurani" seseorang. Tidak boleh terjadi, bahwa seseorang dipaksa untuk bertindak bertentangan dengan "hati nurani"nya. Maka dari itu tidaklah mengherankan, apabila dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, disebut juga Hak Atas Kebebasan "Hati Nurani". Konsekwensinya negara harus menghormati putusan "hati nurani" para warganya, bahkan kalau kewajiban itu menimbulkan konflik dengan kepentingan lain. Dengan lain perkataan, bahwa negara harus menghormati hak dari conscientious objector, orang yang berkeberatan memenuhi kewajiban sebagai warga negara karena alasan "hati nurani". Contoh terkenal adalah konflik yang sering dialami di negara-negara yang mempraktekkan wajib militer. Di negara itu tidak jarang ada orang muda yang menolak untuk memenuhi wajib militer dengan alasan "hati nurani". Tapi sekarang ini mayoritas negara modern mengakui hak orang muda untuk menolak masuk tentara karena alsan "hati nurani". Hanya mereka diwajibkan mengikuti suatu masa pengabdian alternatif, misalnya suatu tugas sosial yang tentu waktunya lebih lama dan imbalan finansialnya kurang apabila dibandingkan dengan dinas militer.
Manusia tidak pernah boleh bertindak bertentangan dengan "hati nurani". "Hati nurani" selalu harus diikuti, juga kalau -- secara obyektif -- ia sesat. Namun---- Manusia wajib pula mengembangkan "hati nurani" dan seluruh kepribadian etisnya sampai menjadi matang dan seimbang. Pada orang yang sungguh-sungguh dewasa dalam bidang etis, putusan subyektif dari "hati nurani" akan sesuai dengan kualitas obyektif dari perbuatannya. Pada orang seperti ini, yang baik secara subyektif akan sama dengan yang baik secara obyektif. Karena itu perlu dipelajari bagaimana keadaan ideal iatu dapat dicapai.
"Hati nurani" harus dididik, seperti halnya akal budi manusia membutuhkan pendidikan. Namun pendidikan akal budi jauh lebih mudah untuk dijalankan. Pendidikan "hati nurani", harus dijalankan demikian rupa sehingga si anak menyadari tanggung-jawabnya sendiri. Pendidikan "hati nurani" seolah-olah berjalan dengan sendirinya, bilamana si anak diliputi oleh suasana yang sehat serta luhur dan ia melihat bahwa orang di sekelilingnya memenuhi kewajiban mereka dengan seksama dan mempraktekkan keutamaan-keutamaan yang mereka ajarkan. Jadi apabila secara teoritis pendidikan "hati nurani" lebih sulit dari pada pendidikan akal budi, pada taraf praktis kesulitan itu kurang terasa, asal saja keluarga diliputi iklim moral yang serasi dan menunjang. Pendidikan "hati nurani" tidak membutuhkan sistem pendidikan formal, malah lebih baik berlangsung dalam rangka pendidikan informal, yaitu keluarga. Sedangkan pendidikan akal budi sulit untuk dijalankan di luar rangka pendidikan formal.
(Sumber: ETIKA, Seri Filsafat Atma Jaya: 15; Oleh K. Bertens).