"Ada beberapa hal yang menjadi alasan sese"orang" untuk meng"angkat" anak. Alasan
untuk menolong anak yang kurang beruntung, keinginan kuat untuk
memiliki keturunan, kecintaan terhadap anak-anak, atau untuk mengatasi
rasa kesepian".
Alasan yang tepat adalah yang menguntungkan bagi anak yang
akan di"angkat", bukan sekadar menguntungkan "orang tua" "angkat" saja . Perlu diingat bahwa meng"angkat" anak sebagai “pancingan” harus
dihindari karena anak bukanlah barang jaminan. Anggapan bahwa dengan
meng"angkat" anak maka si ibu akan lebih mudah memperoleh keturunan bisa
mendatangkan dampak negatif, artinya peng"angkat"an anak dianggap berhasil apabila si ibu
berhasil mendapatkan anak kandung. Menurut penasihat Parents, Farida K.
Yusuf, M.SpEd. Motif “pancingan” tersebut juga membawa dampak buruk bagi
kejiwaan ibu dan anak "angkat". Menerima, mengasuh, dan mendidik anak
merupakan proses yang sulit. Untuk memudahkan proses tersebut, "orang tua" "angkat" harus mengawali dengan niat yang "baik" dan hati yang ikhlas.
Sebelum memutuskan untuk meng"angkat" anak, "orang tua" "angkat" perlu persiapan mental.
"Orang tua" "angkat" perlu mempersiapkan diri bahwa anak yang di"angkat" (diadopsi) mungkin
tidak seperti yang mereka harap dan bayangkan, "baik" dari sifat, fisik,
perilaku, kecerdasan, maupun kesehatan. “Terimalah anak apa adanya, dan
ingatkan diri sendiri tentang niat "baik" yang melatarbelakangi proses peng"angkat"an anak, yaitu ingin menolong dan menyayangi anak yang kurang beruntung,”
kata Farida. Persiapan mental tidak berhenti pada persiapan sebelum meng"angkat" anak.
Setelah bertahun-tahun menjalani hari bersama anak, bisa saja suatu hari
Anda dinyatakan hamil. "Orang tua", terutama ibu, biasanya harus
melakukan penyesuaian ulang terhadap hubungannya dengan anak,” kata
Farida. Jika Anda tidak merefleksikan kembali niat awal meng"angkat" anak
dan mengingat hari-hari ceria bersamanya, bukan tidak mungkin hubungan
harmonis yang sudah terjalin bisa kandas karena kehadiran anak kandung.
Dengan persiapan mental yang kuat, kasih sayang Anda akan terbagi sama
rata antara anak kandung dan anak "angkat" karena keduanya adalah buah
hati Anda.
"Orang tua" "angkat" harus mempunyai wawasan yang luas
dan paradigma berpikir yang maju. "Orang tua" "angkat" harus
menjamin masa
depan anak "angkat" menjadi lebih "baik" lagi dibandingkan dengan masa depan
anak tersebut jika tidak di"angkat". Hak-hak dasar anak "angkat" seperti pendidikan, kesehatan, waktu bermain
dan lain sebagainya juga harus terjamin.
"Orang tua" "angkat" yang "baik" juga harus memahami prinsip-prinsip bagaimana menjadi "orang tua" yang "baik". Prinsip-prinsip itu antara lain:
1. Yang utama, apa yang "orang tua" lakukan.
Hal ini merupakan salah satu prinsip terpenting. Anak-anak memperhatikan "orang tua". Jangan memberikan reaksi yang impulsif.
2. Terlibat dalam kehidupan anak.
Tentu membutuhkan waktu dan "orang tua" perlu menyusun kembali prioritasnya.
Seringkali, ini berarti mengorbankan apa yang ingin dilakukan "orang tua", dengan
melakukan apa yang diinginkan atau diperlukan anak. Selalu siap untuk
anak "orang tua" "baik" secara mental maupun fisik.
3. Sesuaikan dengan karakter anak.
Setiap anak memiliki karakter berbeda. Misalnya, anak kelas 2 SMP yang
mudah merasa terganggu dan cepat marah, nilainya di kelas sangat jelek.
Bisa jadi anak sedang merasa depresi. Memaksanya untuk melakukan
keinginan "orang tua" bukan merupakan jawaban. Jika perlu, permasalahan ini
harus didiagnosa oleh seorang profesional.
4. Menetapkan dan menerapkan aturan.
Bila "orang tua" tidak mengatur perilaku anak dari kecil, "orang tua" akan mengalami
kesulitan pada saat dia lebih besar, terlebih ketika "orang tua" tidak ada di
dekatnya. Aturan yang dipelajari anak dari "orang tua" sejak kecil, akan
membentuk aturan-aturan yang diterapkannya di kemudian hari.
5. Membantu mengembangkan kemandirian.
Memberikan dukungan terhadap kemandiriannya dapat membantunya
mengembangkan arah tujuan yang akan diambil kelak. Banyak "orang tua" salah
mengartikan kemandirian anaknya, dan menyamakannya sebagai pembangkang
dan pemberontak. Anak-anak menuntut kemandirian, karena kemandirian
merupakan bagian dari sifat dasar manusia untuk merasa terkendali, dan
bukan merasa dikendalikan oleh "orang" lain.
6. Bersikap konsisten.
Bila aturan yang diberikan "orang tua" kepada anak berubah-ubah dari hari ke
hari, atau bila "orang tua" memaksa anak melakukan sesuatu hanya untuk waktu
yang sebentar-sebentar, wajar jika anak menjadi bingung. Selalulah
berusaha bersikap konsisten agar anak tumbuh menjadi "orang" yang
konsisten dan tidak bingung dengan tujuan hidupnya.
7. Hindari disiplin kasar.
Janganlah pernah punya keinginan untuk mengalahkan anak. Anak yang
sering ditampar lebih mudah berkelahi dengan anak-anak lain, dan
kemungkinannya lebih besar bagi mereka untuk menjadi penggertak atau
menjadi agresif dalam mengatasi perselisihan dengan "orang" lain. Banyak
kok, cara untuk mendisiplinkan anak, selain main kasar yang malah bisa
menimbulkan sifat agresi.
8. Jelaskan aturan dan keputusan "orang tua".
Umumnya, "orang tua" memberikan penjelasan yang berlebihan pada anak yang
masih kecil, dan memberikan penjelasan yang kurang pada anak yang sudah
remaja. Padahal, sesuatu yang tampaknya jelas bagi "orang tua" belum tentu
jelas bagi anak yang berusia 12 tahun. Anak tidak memiliki
prioritas, penilaian atau pengalaman seperti yang dimiliki "orang tua".
9. Perlakukan anak dengan hormat.
Cara ter"baik" agar anak menghormati "orang tua" adalah dengan memerlakukannya
dengan hormat. "Orang tua" harus memberi ke"baik"an pada anak seperti
ke"baik"an yang diberikan "orang tua" kepada "orang" lain. Berbicaralah dengan cara
yang sopan kepadanya. Hormati pendapatnya. Dengarkan dengan
sungguh-sungguh bila dia berbicara. Anak-anak akan memperlakukan "orang"
lain sebagaimana "orang tua"nya memperlakukannya. Hubungan "orang tua" dengan anak
merupakan pondasi bagi hubungannya dengan "orang" lain.
Ada hal lain lagi yang barangkali kadang dapat menyebabkan suatu permasalahan keluarga, yaitu adanya warisan dari "orang tua" "angkat"nya. Anak "angkat", dalam pewarisan keluarga "angkat", ia tidak
mendapat harta warisan, dan tidak ada bagian tertentu dalam harta
warisan yang ditinggalkan ayah "angkat"nya. Namun apabila "orang tua"
"angkat" ingin menjadi "orang tua" "angkat" yang berbuat "baik" kepada anak "angkat"nya karena telah diasuhnya
sejak kecil, disekolahkan dan memanjakan seperti anak kandungnya
sendiri, Islam membolehkan untuk memberikan sebagian hartanya kepada
anak "angkat"nya dengan cara berwasiat secara tertulis atau diucapkan oleh
ayah "angkat"nya sebelum meninggal dunia, dengan ketentuan tidak melebihi
sepertiga dari harta warisan. Demikian pula hibah, karena wasiat dan
hibah dalam hukum Islam tidak ditentukan secara khusus orang-orang yang
menerimanya.
Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 106 : “Hai "orang"-"orang"
yang beriman, apabila salah se"orang" kamu menghadapi kematian, sedang dia
akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua "orang"
yang adil di antara kamu...”
Dan ketentuan untuk tidak melebihkan
dari sepertiga. Juga diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim, dari Sa’ad
bin Abi Waqqash bahwa Wasiat hanya dibolehkan sepertiga dari harta
peninggalan.
Demikianlah jelas keterangan yang diberikan dalam penjelasan mengenai
batasan hak dari seorang anak "angkat". Namun ada hal lain pula selain
itu, konsekuensi hukum dari pembatalan anak "angkat" adalah tidak
boleh memanggil nama anak "angkat" kepada nama "orang tua" "angkat" karena
dengan status anak "angkat" tidak memutuskan ketetapan nasab yang
sebenarnya yaitu ayah biologisnya sendiri. Oleh sebab itu Allah Swt
berfirman dalam surat al-Ahzab ayat 4: “Semua itu adalah perkataan
mulut kamu sendiri dan Allah Swt mengatakan yang sebenarnya, dan
menunjukkan kamu ke jalan yang sebenarnya”. Ayat ini dipertegas
lagi oleh sabda Nabi Muhammad saw dalam hadis riwayat Bukhari dan
Muslim dari Sa’ad bin Abi Waqqash, “Siapa-siapa yang memanggil
sese"orang" kepada yang bukan nama ayahnya, sedangkan dia tau dia bukan
ayahnya maka diharamkan kepadanya masuk surga”.
Dalam Islam, meng"angkat" anak diperbolehkan. Riwayatnya, dulu Nabi Muhammad pernah meng"angkat" (mengadopsi) Zaid. Pada waktu itu Rasulullah menamakannya Zaid Bin Muhammad. Namun kemudian turun ayat yang menyatakan bahwa anak tersebut (Zaid) adalah anak ayahnya. Setelah turun ayat tersebut, maka Zaid pun menggunakan nasab ayah kandungnya, Zain Bin Haritsah”.
Ada syarat yang harus dipenuhi oleh
peng"angkat" anak, dimana "orang" yang meng"angkat" anak itu haruslah memberitahu
tentang jati diri anak tersebut. Sebagian ulama berpendapat bahwa sang
anak "angkat" harus diberitahu siapa "orang tua"nya yang sebenarnya ketika dia sudah
mencapai usia baligh. Walaupun anak "angkat" itu sudah dianggap sebagai anak oleh
"orang tua" "angkat"nya, tetap saja ia tidak berhak atas hak waris sang "orang
tua" "angkat"nya. Ia hanya berhak atas harta yang diwasiatkan padanya, karena ketulusan dan keikhlasan kasih sayang "orang tua" "angkat"nya tentunya. Dan
tentang perwalian (untuk anak "angkat" wanita), tetap harus dicari
wali dari nasab ayah kandungnya. Apabila tidak diketemukan, maka wali hakim
yang berhak jadi walinya.”
Peng"angkat"an anak dalam Islam, merupakam ikatan ukhuwah Islamiah. Islam mewujudkan ikatan ukhuwah dengan menganjurkan
setiap umatnya untuk membantu "orang"-"orang" yang tidak mampu mengasuh
anggota keluarganya dengan cara meng"angkat" anaknya, atau menikahi
janda-janda yang ditinggal suami, namun tetap memperhatikan
aturan-aturan yang ditentukan oleh syariat Islam. Antara lain: tidak
mengganggu hubungan keluarga lama, karena dengan meng"angkat" anak berarti
telah terbentuk keluarga baru berikut hak dan kewajibannya berlaku pada
keluarga baru. Tidak menimbulkan permusuhan dan persengketaan terutama
dalam hal warisan perwalian dan sebagainya. Tidak terjadi kesalah-pahaman,
dan pencampur-adukkan halal-haram dalam keluarga, misalnya anak "angkat"
tidak boleh melihat atau menampakkan auratnya kepada keluarga
"angkat"nya. Tetap menegakkan kebenaran, melarang peng"angkat"an anak
(adopsi) jika merubah prinsip-prinsip hukum Islam seperti merubah
keturunan, perwalian, warisan kemahraman dan lain-lain.
Pesan bagi para "orang tua" "angkat", jadilah "orang tua" "angkat" yang "baik" dan penuh kasih sayang terhadap anak "angkat" Anda. Namun jangan keluar dari syariat Islam yang telah ditetapkan.
Sumber:
1. muzakki.com/.../296-mengadopsi-anak-dalam-islam-bolehkah.html
2. http://www.kompas.com/read/xml/2008/06/07/1715413/9.prinsip.jadi.ortu.yang.baik
3. bangka.tribunnews.com/.../orangtua-angkat-harus-menjamin-masa-d...
4. www.parentsindonesia.com › Solution