"Diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa ia berkata, “Nabi
Muhammad SAW." senantiasa me"ruqyah" dirinya dengan
doa-doa perlindungan ketika sakit, yaitu pada sakit yang menyebabkan
wafatnya beliau. Saat beliau kritis, akulah yang me"ruqyah" beliau dengan
doa tersebut, lalu aku mengusapkan tangannya ke anggota tubuhnya
sendiri, karena tangan itu penuh berkah.” (HR. Al-Bukhari)".
Pada zaman sekarang ini, ada sebagian thullabul ilmi (penuntut ilmu
syar’i) menjadi terkenal bisa mengobati orang dengan menggunakan "ruqyah".
Kemampuan me"ruqyah" membuatnya menjadi terkenal sehingga dapat dijumpai
sarana-sarana tersebut di tengah-tengah masyarakat.
Dengan banyaknya imbalan yang diperoleh dari me"ruqyah" ini, mereka rela melepaskan kesibukan-kesibukan dan mengambil jalan pintas dengan cara mengkhususkan diri sebagai tukang "ruqyah". Mereka pun banyak memperluas waktu untuk itu dan selalu siap apabila ada orang yang datang untuk berobat, sehingga membuat mereka sibuk mengatur jam-jam berobat layaknya dokter-dokter dan rumah sakit spesialis, serta menjadikan me"ruqyah" ini sebagai pekerjaan tetap (profesi).
Mereka mengkhususkan diri untuk me"ruqyah" dan menjadikannya sebagai pekerjaan tetap (mata pencaharian) sehingga menjadikan dirinya terkenal. Cara seperti ini dapat mendatangkan kemudharatan, baik bagi pe"ruqyah" itu sendiri maupun bagi mereka yang di"ruqyah". Di antara kemudharatan itu antara lain:
Dengan banyaknya pengunjung yang datang berobat kepada pe"ruqyah", bisa menimbulkan kesalahpahaman di kalangan orang awam. Mereka menyangka, hanya dengan melihat banyaknya pengunjung yang datang kepadanya, pe"ruqyah" tadi mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Sehingga dengan demikian, pentingnya pe"ruqyah" melebihi pentingnya bacaan-bacaan yang dibaca oleh pe"ruqyah" tadi, yaitu kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala . Bahkan orang-orang awam tersebut tidak lagi melihat pentingnya apa yang dibaca oleh pe"ruqyah", namun hanya melihat kepada pe"ruqyah" itu saja.
Dalam hal me"ruqyah", yang memberi manfaat sebenarnya adalah apa yang dibaca dari Al Qur`an, sedangkan pe"ruqyah" itu sendiri hanya membacakan saja. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
"Dan Kami turunkan dari Al Qur`an suatu penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman…" [Al Isra` : 82].
Dalam surat lain Allah berfirman :
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
"…Katakanlah: “Al Qur`an itu adalah penawar dan petunjuk bagi orang-orang yang beriman …." [Fushilat:44].
Kita tidak memungkiri ada atsar dari keshalihan pe"ruqyah", kuat keimanannya, tsiqah-nya terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta tawakalnya kepadaNya, namun sebenarnya, dia itu hanyalah membacakan saja. Karena yang mempunyai pengaruh kesembuhan, sebenarnya ialah kalamullah, yaitu Al Qur`an Al Karim yang dibaca oleh si pe"ruqyah" tersebut.
Jadi setiap apa yang melemahkan kepercayaan seseorang terhadap kalamullah, maka seharusnya dicegah dan tidak dibiarkan.
Ibnul Qayyim berkata: “Maka Al Qur`an-lah yang menjadi obat sempurna bagi semua penyakit hati, penyakit badan, maupun penyakit dunia dan akhirat. Tidak seorang pun yang bisa menyembuhkannya kecuali Dia. Apabila seseorang sudah memperbaiki caranya berobat dengan menggunakan Al Qur`an, kemudian sudah dia tempatkan pada anggota badan yang sakit dengan penuh keyakinan dan keimanannya, menerima dengan lapang dada, dan dengan keyakinan yang mantap serta semua syarat-syaratnya sudah terpenuhi, maka penyakit itu tidak akan pernah menghalanginya untuk mendapat kesembuhan. Sebab bagaimana mungkin penyakit dapat menghalangi ataupun melawan kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rabbnya segala apa yang ada di langit dan di bumi; apabila Al Qur'an itu diturunkan di atas gunung, maka gunung itu akan hancur; atau kalau diturunkan di atas bumi, maka bumi itu sendiri akan terpotong dan terbelah" [1].
Dengan banyaknya imbalan yang diperoleh dari me"ruqyah" ini, mereka rela melepaskan kesibukan-kesibukan dan mengambil jalan pintas dengan cara mengkhususkan diri sebagai tukang "ruqyah". Mereka pun banyak memperluas waktu untuk itu dan selalu siap apabila ada orang yang datang untuk berobat, sehingga membuat mereka sibuk mengatur jam-jam berobat layaknya dokter-dokter dan rumah sakit spesialis, serta menjadikan me"ruqyah" ini sebagai pekerjaan tetap (profesi).
Mereka mengkhususkan diri untuk me"ruqyah" dan menjadikannya sebagai pekerjaan tetap (mata pencaharian) sehingga menjadikan dirinya terkenal. Cara seperti ini dapat mendatangkan kemudharatan, baik bagi pe"ruqyah" itu sendiri maupun bagi mereka yang di"ruqyah". Di antara kemudharatan itu antara lain:
Dengan banyaknya pengunjung yang datang berobat kepada pe"ruqyah", bisa menimbulkan kesalahpahaman di kalangan orang awam. Mereka menyangka, hanya dengan melihat banyaknya pengunjung yang datang kepadanya, pe"ruqyah" tadi mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Sehingga dengan demikian, pentingnya pe"ruqyah" melebihi pentingnya bacaan-bacaan yang dibaca oleh pe"ruqyah" tadi, yaitu kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala . Bahkan orang-orang awam tersebut tidak lagi melihat pentingnya apa yang dibaca oleh pe"ruqyah", namun hanya melihat kepada pe"ruqyah" itu saja.
Dalam hal me"ruqyah", yang memberi manfaat sebenarnya adalah apa yang dibaca dari Al Qur`an, sedangkan pe"ruqyah" itu sendiri hanya membacakan saja. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
"Dan Kami turunkan dari Al Qur`an suatu penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman…" [Al Isra` : 82].
Dalam surat lain Allah berfirman :
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
"…Katakanlah: “Al Qur`an itu adalah penawar dan petunjuk bagi orang-orang yang beriman …." [Fushilat:44].
Kita tidak memungkiri ada atsar dari keshalihan pe"ruqyah", kuat keimanannya, tsiqah-nya terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta tawakalnya kepadaNya, namun sebenarnya, dia itu hanyalah membacakan saja. Karena yang mempunyai pengaruh kesembuhan, sebenarnya ialah kalamullah, yaitu Al Qur`an Al Karim yang dibaca oleh si pe"ruqyah" tersebut.
Jadi setiap apa yang melemahkan kepercayaan seseorang terhadap kalamullah, maka seharusnya dicegah dan tidak dibiarkan.
Ibnul Qayyim berkata: “Maka Al Qur`an-lah yang menjadi obat sempurna bagi semua penyakit hati, penyakit badan, maupun penyakit dunia dan akhirat. Tidak seorang pun yang bisa menyembuhkannya kecuali Dia. Apabila seseorang sudah memperbaiki caranya berobat dengan menggunakan Al Qur`an, kemudian sudah dia tempatkan pada anggota badan yang sakit dengan penuh keyakinan dan keimanannya, menerima dengan lapang dada, dan dengan keyakinan yang mantap serta semua syarat-syaratnya sudah terpenuhi, maka penyakit itu tidak akan pernah menghalanginya untuk mendapat kesembuhan. Sebab bagaimana mungkin penyakit dapat menghalangi ataupun melawan kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rabbnya segala apa yang ada di langit dan di bumi; apabila Al Qur'an itu diturunkan di atas gunung, maka gunung itu akan hancur; atau kalau diturunkan di atas bumi, maka bumi itu sendiri akan terpotong dan terbelah" [1].
Apabila kita melihat sirah (perjalanan hidup) Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, sirah sahabat-sahabatnya serta sejarah para ulama
kaum Muslimin yang tidak diragukan lagi keimanan dan kelebihan mereka,
maka kita tidak akan menemukan seorang pun di antara mereka yang
meninggalkan pekerjaan-pekerjaan mereka dan mengkhususkan diri dengan
membuka praktek pengobatan melalui "ruqyah". Kita juga tidak akan
mendapatkan salah seorang pun di antara mereka yang menjadikan "ruqyah"
sebagai mata pencaharian, sehingga membuat mereka menjadi terkenal di
kalangan masyarakat, apabila disebut namanya, maka disebut juga
pekerjaannya ini beserta namanya.
Tidak diragukan lagi, bahwa setiap zaman penyakit-penyakit itu bertambah banyak. Namun kita tidak melihat salah seorang pun dari pemimpin kaum Muslimin yang menisbatkan dirinya sebagai tukang "ruqyah" seperti penisbatan kepada mufti (pemberi fatwa) dan qadhi (hakim). Pada zaman dahulu, orang yang menderita suatu penyakit, dia sendirilah yang me"ruqyah" dengan menggunakan Kitab Allah (Al Qur`an) dan do’a-do’a yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan bila ada seseorang yang sakit, kemudian ia di"ruqyah" oleh orang yang faham tentang agama, maka hal itu boleh saja. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Jabir bin Abdillah, ia berkata: Ada seorang di antara kami yang digigit kalajengking pada waktu itu kami sedang duduk bersama Rasulullah, lalu ada seorang berkata,”Ya, Rasulullah. Bolehkah saya me"ruqyah"nya?” Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ
"Barangsiapa di antara kalian yang mampu memberikan manfaat kepada saudaranya, hendaklah ia lakukan". [2]
Seandainya mengkhususkan diri untuk me"ruqyah" dan menjadikannya sebagai pekerjaan tetap (profesi) serta menyebarkannya di kalangan masyarakat adalah suatu kebaikan, tentu para sahabat akan melakukannya lebih dahulu daripada kita. Hal ini, sama juga ketika suatu amalan yang termasuk bagian dari syari’at Islam, namun dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, kemudian dianggap baik oleh masyarakat, maka demikian itu termasuk bid’ah. Hal ini sesuai dengan penjelasan As Salt bin Bahram, dia berkata: “Sungguh pada suatu hari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berjalan melewati seorang perempuan yang sedang memegang tasbih yang ia gunakan untuk bertasbih, maka Ibnu Mas’ud pun memotong tasbih tersebut lalu membuangnya”. Kemudian beliau juga melewati seorang laki-laki yang sedang bertasbih (memuji-muji kepada Allah) dengan menggunakan batu-batu kecil, beliau pun menendang batu-batu itu dengan kakinya, lantas berkata,’Kelalaian telah membawa kebid’ahan yang merupakan suatu kezhaliman, atau kalian telah melampaui keilmuan para sahabat Radhiyallahu 'anhum ?’." [3]
Sebenarnya yang membuat para tukang "ruqyah" pada zaman kita ini lebih terkenal ialah, karena mereka menyediakan tempat-tempat khusus untuk menemui mereka kapan mereka suka, sebagaimana yang dilakukan para dokter, pedagang atau pemilik perusahaan lainnya.
Seandainya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membuka tempat khusus untuk me"ruqyah" -tentu akan banyak yang datang, dan kemudian beliau sibuk hanya untuk menemui mereka kapan mereka mau- tentu beliau tidak akan dapat mengajarkan ilmu syar’i, dan juga tidak dapat menjelaskan tentang kebenaran agama Islam kepada umat. Terlebih lagi pada zaman yang diliputi kejahilan seperti saat ini serta merebaknya kebodohan dan khurafat, ketergantungan kepada selain Allah, kepada wali-wali setan, para syaikh dan kepada tokoh tertentu.
Para ulama Ahlus Sunnah tidak mengkhususkan diri mereka semata-mata untuk melayani pengobatan dengan "ruqyah" ini, karena mereka betul-betul faham terhadap agama Islam -semoga Allah merahmatinya-. Para ulama Ahlus Sunnah banyak menyibukkan diri dengan menuntut ilmu untuk memahami agama Islam, mendakwahkannya dan berjihad di jalan Allah.
Para setan, apabila melihat ketergantungan seseorang kepada pe"ruqyah" yang sudah menolongnya, maka tanpa sepengetahuannya, setan itu akan berpura-pura takut kepada pe"ruqyah", kemudian akan mengatakan bahwa dirinya akan keluar dari tubuh orang yang dimasukinya tadi dan yang semisalnya, dengan tujuan untuk menambah kepercayaan orang tadi kepada pe"ruqyah" lebih kuat daripada kepercayaannya terhadap apa yang dibaca oleh pe"ruqyah" itu. Di samping itu, setan-setan itu juga bermaksud agar orang awam berkeyakinan, bahwa "ruqyah" mempunyai keanehan tersendiri.
Dalam riwayat Abu Dawud dengan lafazhnya sebagai berikut: dari Zainab -istri Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhuma – berkata: Sesungguhnya Abdullah melihat benang di leherku, lalu ia berkata,”Apa ini?” Aku menjawab,”Benang untuk me"ruqyah"ku”. Zainab berkata: Lalu Abdullah mengambilnya, kemudian memotongnya, lalu ia berkata : Kamu semua, wahai keluarga Abdullah, sungguh tidak butuh kepada syirik. Aku telah mendengar Rasulullah bersabda.
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَلَةَ شِرْكٌ
"Sesungguhnya "ruqyah" [4], tamimah[5], dan tiwalah[6] adalah syirik".
Maka aku berkata: “Waktu itu mataku berair, dan aku berobat kepada fulan Yahudi. Jika ia me"ruqyah"ku, maka aku merasa enak”.
Maka Abdullah berkata: Itu hanyalah perbuatan setan. Setan itu merangsangnya dengan tangannya. Karenanya, jika ia me"ruqyah", ia menahannya dari rasa salah. Akan tetapi cukuplah kamu mengucapkan sebagaimana Rasulullah ucapkan.
أَذْهِبِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ, وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِى, لاَشِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَيُغَادِرُ سَقَمًا.
"Hilangkanlah penyakit wahai Rabb manusia, dan sembuhkanlah! Engkau adalah Dzat Penyembuh, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan Engkau, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit". [7]
Tipu daya setan terhadap manusia itu sangat besar, sampai-sampai tidak bisa diketahui, kecuali oleh orang-orang yang faqih dalam masalah agama. Sedangkan apa yang dilakukan orang-orang awam ketika mendengar cerita-cerita aneh tentang si pe"ruqyah", mereka hanya berlomba-lomba menemui tukang "ruqyah" itu dan memberikan kepada mereka upah yang tidak sedikit jumlahnya. Lebih-lebih lagi apabila mereka mendengar bahwa setan-setan berbicara dengan menggunakan lidah orang-orang yang dimasukinya tadi di depan pe"ruqyah", kemudian pe"ruqyah" tadi membuat perjanjian dengan setan itu untuk tidak masuk lagi ke dalam tubuh orang yang dimasukinya tersebut.
Semakin banyak tersebar cerita-cerita aneh seperti ini, semakin banyak pula orang-orang yang mendatangi pe"ruqyah" ini dengan maksud untuk memastikan bahwa dalam dirinya memang tidak ada jin. Seandainya keadaan seperti ini memang benar merupakan karamah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka seharusnya bagi pe"ruqyah" itu untuk takut dari akibat yang disebabkan oleh perbuatannya itu. Apalagi seandainya ia tidak bisa menjamin bahwa hal itu bisa mengakibatkan istidraj, atau hal itu hanya merupakan tipu daya setan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ketika kejadian-kejadian yang luar biasa itu sering terjadi pada diri seseorang, maka hal itu tidaklah mengurangi derajat orang tersebut. Banyak di antara orang-orang shalih yang bertaubat dari hal seperti ini. mereka bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana taubatnya orang-orang yang berbuat dosa-dosa, seperti dosa zina dan mencuri. Mereka mengadukan hal itu kepada yang lainnya lantas berdo’a memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menghilangkannya. Mereka juga memerintahkan kepada orang-orang yang ingin bertaubat agar jangan mengharapkan kejadian-kejadian aneh tersebut, lantas menjadikannya sebagai ambisi yang harus didapatkannya. Jangan pula berbangga dengan hal itu kemudian menyangka, bahwa hal itu sebagai bagian dari karamah.
Bagaimana
seandainya, jika hal itu benar-benar perbuatan setan dengan maksud untuk
menyesatkan mereka? Karena saya tahu, orang-orang yang diajak berbicara
oleh tumbuh-tumbuhan, ia memberitahukan bahwa di dalam dirinya ada
manfaatnya. Saya tahu, sebenarnya yang mengajak mereka berbicara itu
adalah para setan yang ada dalam tumbuh-tumbuhan tersebut. Saya juga
mengerti orang-orang yang diberi tahu oleh batu, pohon; lantas batu dan
pohon-pohon itu berkata kepada mereka “Mudah-mudahan dapat
menyenangkanmu wahai wali Allah”. Ketika dibacakan ayat kursi kepadanya,
maka hilanglah semua itu. Saya juga mengerti orang-orang yang pergi
menangkap burung; lantas burung-burung itu berkata kepadanya “Bawalah
diriku agar aku dimakan oleh orang-orang yang sangat membutuhkan”. Hal
itu bisa terjadi, karena setan masuk ke dalam tubuh burung itu;
sebagaimana ia masuk ke dalam tubuh manusia, lalu berkata seperti yang
diucapkan tadi”.[8]
Bisa jadi, orang-orang yang me"ruqyah" itu merasa bahwa dirinya adalah salah seorang wali Allah yang berbakti kepadaNya, atau merasa tinggi hati dan yang lainnya. Ini disebabkan karena begitu banyak penyakit yang sudah disembuhkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui "ruqyah"nya; demikian juga melihat bagaimana setan takut kepadanya dan langsung keluar dari orang yang kesurupan, dan yang lainnya. Para salafush shalih dahulu -semoga Allah merahmati mereka- merasa takut dan khawatir terhadap hal-hal seperti ini, dan mereka pun menutup jalan masuk perasaan-perasaan seperti itu.
Orang yang me"ruqyah", sebagaimana yang sudah disebutkan di muka, tidaklah seperti seorang dokter yang banyak dikunjungi para pasien untuk berobat kepadanya; karena seorang dokter itu mengobati dengan pengobatan yang sudah diketahui, dan dia tidak mengetahui bahwa obat itu bermanfaat kecuali apabila pasien itu sendiri yang mengatakan kepadanya tentang penyakitnya. Bahkan seorang pasien meyakini, bahwa kesembuhannya itu tergantung dengan obat-obatan yang diberikan oleh dokter, bukan dengan dokter yang mengobatinya. Ini berbeda dengan seorang pe"ruqyah"; maka dia menyangka bahwa kesembuhan itu tergantung pada dirinya bukan kepada apa yang dibacanya, dengan alasan Al Qur`an ada pada diri setiap Muslim, mereka bisa membacanya kapan saja mereka inginkan, namun walaupun demikian, mereka berserah diri agar yang membacanya itu harus si pe"ruqyah". Hal ini bisa memasukkan perasaan ujub dan sombong pada diri pe"ruqyah"; dia menyangka dirinya dengan prasangka yang bermacam-macam. Tidak diragukan lagi, menjauhi hal seperti ini adalah lebih baik. Allahu a’lam bish shawab.
Salah satu kritik yang perlu diarahkan kepada para tukang "ruqyah" yang menggunakan tata cara yang tidak dicontohkan syar’i. Yaitu, kadang-kadang mereka berbicara tanpa didasari oleh ilmu. Misal, apabila mereka me"ruqyah" seseorang, namun jin yang ada dalam tubuh orang tersebut tidak mau berbicara, mereka dengan mudahnya berkata “tidak ada jin dalam tubuhmu, namun engkau hanya terkena ‘ain”, atau perkataan “tidak ada jin dalam tubuhmu dan tidak juga penyakit ‘ain”. Mereka juga berkata “kami tidaklah me"ruqyah" orang kesurupan, kecuali jin itu pasti akan berbicara dan berdialog dengan kami karena takutnya kepada kami, atau kepada bacaan-bacaan yang kami baca”.
Hal seperti ini bukan berarti menunjukkan si pe"ruqyah" tersebut berilmu. Karena sesungguhnya orang yang kesurupan, apabila dibacakan doa dan dzikir-dzikir yang biasa digunakan untuk me"ruqyah", kemudian jin yang ada di dalam tubuhnya itu merasa takut, maka disebabkan karena ketakutannya itu ia pun berbicara. Atau mungkin saja jin itu tidak berbicara dan tidak takut. Jadi, dari mana para tukang "ruqyah" itu mengatakan dengan yakin, bahwa tidak ada jin atau penyakit ‘ain pada diri seorang kesurupan yang sedang di"ruqyah"nya? Kesurupan seperti ini bisa terjadi, karena orang yang sakit tadi meninggalkan doa-doa yang diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan sebaliknya ia yakin dengan perkataan-perkataan para tukang "ruqyah". Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung-jawabannya". [Al Isra`: 36].
Hal yang perlu juga dikritik dari para pe"ruqyah" tersebut, yaitu cara mereka mengumpulkan orang-orang yang datang berobat kepadanya, kemudian dia membacakan kepada mereka sekaligus dengan satu bacaan, dengan tujuan untuk mempersingkat waktu, karena begitu banyak orang yang datang berobat kepadanya. Kemudian para pengunjung tadi mengambil ludah pe"ruqyah" dengan menggunakan bejana-bejana mereka. Ataupun mengadakan majelis khusus dengan mengundang banyak orang untuk di"ruqyah", kemudian di"ruqyah" satu persatu, dengan maksud sebagai tontonan kepada masyarakat sebagai media pengobatan massal.
Melihat begitu banyaknya keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan cara seperti itu oleh para pe"ruqyah", seperti harta banyak, maka beberapa dukun maupun orang pintar dan pembohong besar berlomba-lomba menampakkan diri sebagai tukang "ruqyah". Mereka pun membuka tempat-tempat khusus untuk tujuan ini, mencampurkan kebenaran dengan kebatilan sehingga membuka pintu-pintu kehancuran bagi umat manusia. Dengan demikian, sulit untuk mengingkari para dukun dan orang pintar, karena semuanya bercampur dengan orang yang tidak mencampurkan bacaan mereka dengan tipuan atau ramalan yang mengakibatkan sulitnya membedakan antara mereka. Dan suatu kemungkaran itu menjerumuskan kepada kehancuran, maka wajib bagi kita untuk mencegahnya, sekalipun orang yang melakukan hal itu bermaksud baik.
Abdullah bin Mas’ud dan para sahabatnya serta para ulama tersohor melarang untuk menggantungkan Al Qur`an walaupun itu adalah kalamullah, sebagai cara untuk mencegah kemungkaran, agar hal itu tidak menjurus pada penggantungan tama’im [9]. Dan sebagaimana hal ini difatwakan oleh Lajnah Ad Da’imah Lil Buhutsil ‘Ilmiah Wal Ifta’ Saudi Arabia.[10]
Orang-orang yang mengkhususkan diri untuk me"ruqyah" dan menjadikannya sebagai pekerjaan tetap (profesi), mereka mengira jika hal itu boleh saja dilakukan dan hukum melakukannya adalah sunnah; dan sunnah termasuk salah satu hukum syar’i yang merupakan suatu ibadah. Maka perbuatan ini bisa menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan bid’ah, karena menjadikan ruqyah sebagai profesi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak juga oleh para khulafa’ur rasyidin.
Adapun yang terjadi pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika beberapa sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati sebuah sumber air yang di dekatnya ada sekelompok orang. Salah seorang dari sekelompok orang tersebut digigit binatang berbisa. Kemudian salah seorang dari mereka berkata: “Apakah di antara kalian ada yang dapat me"ruqyah" karena di dekat sumber air itu ada orang yang tersengat binatang?” Kemudian pergilah salah seorang di antara para sahabat membacakan surat Al Fatihah dengan perjanjian, apabila ia sembuh, maka ia dibayar dengan seekor kambing. Setelah dibacakan, orang itu pun sembuh, lalu ia memberikan seekor kambing sesuai dengan perjanjian mereka sebelumnya. Ketika sahabat tadi kembali ke rombongannya dengan membawa seekor kambing, rombongannya tidak mau menerima kambing itu dan berkata: “Engkau telah mengambil upah dari kitab Allah”. Ketika mereka sampai di kota Madinah, mereka pun melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Mereka berkata,”Wahai, Rasulullah. Bolehkah kita mengambil upah dari Kitab Allah?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu menjawab:
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ.
"Sebaik-baik upah yang kalian ambil adalah upah dari Kitab Allah".[11]
Beberapa sahabat ada yang terkenal dengan doanya yang mustajab, seperti Sa’ad bin Abi Waqqas. Dia termasuk salah seorang dari sepuluh orang yang diberi kabar gembira untuk masuk surga, dan termasuk orang yang didoakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar doanya terkabul. Sa’ad berkata: Rasulullah mendoakanku :
اَللَّهُمَّ اسْتَجِبْ لَهُ إِذَا دَعَاكَ
"Ya Allah, kabulkanlah doanya apabila ia berdoa kepadaMu".[12]
Selain itu juga beberapa tabi’in (pengikut Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) seperti Uwais Al Qarni Radhiyallahu 'anhu. Namun, walau demikian keadaannya, tidaklah membuat kaum Muslimin sangat membutuhkan kemustajaban doa mereka untuk memperbaiki dunia dan agama kaum Muslimin, meski sebenarnya tidak ada larangan syar’i untuk datang dan meminta doa kepada mereka, sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khaththab z kepada Uwais bin Al Qarni, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukannnya untuk melakukan hal itu. Walau demikian, tidak diragukan lagi, seandainya Umar bin Khaththab melihat penduduk Madinah berkumpul di tempat Uwais untuk meminta doa, demikian juga penduduk Makkah dan Irak, tentu ia akan mencegahnya, meskipun beliau juga pernah meminta doa kepada Uwais. Hal ini dia lakukan karena takut akan terjadi fitnah pada diri orang-orang tersebut dan terhadap Uwais sendiri. Dan karena kefakihan Uwais Al Qarni Radhiyallahu 'anhu , ia berusaha menyembunyikan keberkahan doanya dan tidak menjerumuskan diri sendiri dan orang lain terhadap fitnah.
Bisa jadi, orang-orang yang me"ruqyah" itu merasa bahwa dirinya adalah salah seorang wali Allah yang berbakti kepadaNya, atau merasa tinggi hati dan yang lainnya. Ini disebabkan karena begitu banyak penyakit yang sudah disembuhkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui "ruqyah"nya; demikian juga melihat bagaimana setan takut kepadanya dan langsung keluar dari orang yang kesurupan, dan yang lainnya. Para salafush shalih dahulu -semoga Allah merahmati mereka- merasa takut dan khawatir terhadap hal-hal seperti ini, dan mereka pun menutup jalan masuk perasaan-perasaan seperti itu.
Orang yang me"ruqyah", sebagaimana yang sudah disebutkan di muka, tidaklah seperti seorang dokter yang banyak dikunjungi para pasien untuk berobat kepadanya; karena seorang dokter itu mengobati dengan pengobatan yang sudah diketahui, dan dia tidak mengetahui bahwa obat itu bermanfaat kecuali apabila pasien itu sendiri yang mengatakan kepadanya tentang penyakitnya. Bahkan seorang pasien meyakini, bahwa kesembuhannya itu tergantung dengan obat-obatan yang diberikan oleh dokter, bukan dengan dokter yang mengobatinya. Ini berbeda dengan seorang pe"ruqyah"; maka dia menyangka bahwa kesembuhan itu tergantung pada dirinya bukan kepada apa yang dibacanya, dengan alasan Al Qur`an ada pada diri setiap Muslim, mereka bisa membacanya kapan saja mereka inginkan, namun walaupun demikian, mereka berserah diri agar yang membacanya itu harus si pe"ruqyah". Hal ini bisa memasukkan perasaan ujub dan sombong pada diri pe"ruqyah"; dia menyangka dirinya dengan prasangka yang bermacam-macam. Tidak diragukan lagi, menjauhi hal seperti ini adalah lebih baik. Allahu a’lam bish shawab.
Salah satu kritik yang perlu diarahkan kepada para tukang "ruqyah" yang menggunakan tata cara yang tidak dicontohkan syar’i. Yaitu, kadang-kadang mereka berbicara tanpa didasari oleh ilmu. Misal, apabila mereka me"ruqyah" seseorang, namun jin yang ada dalam tubuh orang tersebut tidak mau berbicara, mereka dengan mudahnya berkata “tidak ada jin dalam tubuhmu, namun engkau hanya terkena ‘ain”, atau perkataan “tidak ada jin dalam tubuhmu dan tidak juga penyakit ‘ain”. Mereka juga berkata “kami tidaklah me"ruqyah" orang kesurupan, kecuali jin itu pasti akan berbicara dan berdialog dengan kami karena takutnya kepada kami, atau kepada bacaan-bacaan yang kami baca”.
Hal seperti ini bukan berarti menunjukkan si pe"ruqyah" tersebut berilmu. Karena sesungguhnya orang yang kesurupan, apabila dibacakan doa dan dzikir-dzikir yang biasa digunakan untuk me"ruqyah", kemudian jin yang ada di dalam tubuhnya itu merasa takut, maka disebabkan karena ketakutannya itu ia pun berbicara. Atau mungkin saja jin itu tidak berbicara dan tidak takut. Jadi, dari mana para tukang "ruqyah" itu mengatakan dengan yakin, bahwa tidak ada jin atau penyakit ‘ain pada diri seorang kesurupan yang sedang di"ruqyah"nya? Kesurupan seperti ini bisa terjadi, karena orang yang sakit tadi meninggalkan doa-doa yang diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan sebaliknya ia yakin dengan perkataan-perkataan para tukang "ruqyah". Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung-jawabannya". [Al Isra`: 36].
Hal yang perlu juga dikritik dari para pe"ruqyah" tersebut, yaitu cara mereka mengumpulkan orang-orang yang datang berobat kepadanya, kemudian dia membacakan kepada mereka sekaligus dengan satu bacaan, dengan tujuan untuk mempersingkat waktu, karena begitu banyak orang yang datang berobat kepadanya. Kemudian para pengunjung tadi mengambil ludah pe"ruqyah" dengan menggunakan bejana-bejana mereka. Ataupun mengadakan majelis khusus dengan mengundang banyak orang untuk di"ruqyah", kemudian di"ruqyah" satu persatu, dengan maksud sebagai tontonan kepada masyarakat sebagai media pengobatan massal.
Melihat begitu banyaknya keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan cara seperti itu oleh para pe"ruqyah", seperti harta banyak, maka beberapa dukun maupun orang pintar dan pembohong besar berlomba-lomba menampakkan diri sebagai tukang "ruqyah". Mereka pun membuka tempat-tempat khusus untuk tujuan ini, mencampurkan kebenaran dengan kebatilan sehingga membuka pintu-pintu kehancuran bagi umat manusia. Dengan demikian, sulit untuk mengingkari para dukun dan orang pintar, karena semuanya bercampur dengan orang yang tidak mencampurkan bacaan mereka dengan tipuan atau ramalan yang mengakibatkan sulitnya membedakan antara mereka. Dan suatu kemungkaran itu menjerumuskan kepada kehancuran, maka wajib bagi kita untuk mencegahnya, sekalipun orang yang melakukan hal itu bermaksud baik.
Abdullah bin Mas’ud dan para sahabatnya serta para ulama tersohor melarang untuk menggantungkan Al Qur`an walaupun itu adalah kalamullah, sebagai cara untuk mencegah kemungkaran, agar hal itu tidak menjurus pada penggantungan tama’im [9]. Dan sebagaimana hal ini difatwakan oleh Lajnah Ad Da’imah Lil Buhutsil ‘Ilmiah Wal Ifta’ Saudi Arabia.[10]
Orang-orang yang mengkhususkan diri untuk me"ruqyah" dan menjadikannya sebagai pekerjaan tetap (profesi), mereka mengira jika hal itu boleh saja dilakukan dan hukum melakukannya adalah sunnah; dan sunnah termasuk salah satu hukum syar’i yang merupakan suatu ibadah. Maka perbuatan ini bisa menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan bid’ah, karena menjadikan ruqyah sebagai profesi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak juga oleh para khulafa’ur rasyidin.
Adapun yang terjadi pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika beberapa sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati sebuah sumber air yang di dekatnya ada sekelompok orang. Salah seorang dari sekelompok orang tersebut digigit binatang berbisa. Kemudian salah seorang dari mereka berkata: “Apakah di antara kalian ada yang dapat me"ruqyah" karena di dekat sumber air itu ada orang yang tersengat binatang?” Kemudian pergilah salah seorang di antara para sahabat membacakan surat Al Fatihah dengan perjanjian, apabila ia sembuh, maka ia dibayar dengan seekor kambing. Setelah dibacakan, orang itu pun sembuh, lalu ia memberikan seekor kambing sesuai dengan perjanjian mereka sebelumnya. Ketika sahabat tadi kembali ke rombongannya dengan membawa seekor kambing, rombongannya tidak mau menerima kambing itu dan berkata: “Engkau telah mengambil upah dari kitab Allah”. Ketika mereka sampai di kota Madinah, mereka pun melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Mereka berkata,”Wahai, Rasulullah. Bolehkah kita mengambil upah dari Kitab Allah?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu menjawab:
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ.
"Sebaik-baik upah yang kalian ambil adalah upah dari Kitab Allah".[11]
Beberapa sahabat ada yang terkenal dengan doanya yang mustajab, seperti Sa’ad bin Abi Waqqas. Dia termasuk salah seorang dari sepuluh orang yang diberi kabar gembira untuk masuk surga, dan termasuk orang yang didoakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar doanya terkabul. Sa’ad berkata: Rasulullah mendoakanku :
اَللَّهُمَّ اسْتَجِبْ لَهُ إِذَا دَعَاكَ
"Ya Allah, kabulkanlah doanya apabila ia berdoa kepadaMu".[12]
Selain itu juga beberapa tabi’in (pengikut Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) seperti Uwais Al Qarni Radhiyallahu 'anhu. Namun, walau demikian keadaannya, tidaklah membuat kaum Muslimin sangat membutuhkan kemustajaban doa mereka untuk memperbaiki dunia dan agama kaum Muslimin, meski sebenarnya tidak ada larangan syar’i untuk datang dan meminta doa kepada mereka, sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khaththab z kepada Uwais bin Al Qarni, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukannnya untuk melakukan hal itu. Walau demikian, tidak diragukan lagi, seandainya Umar bin Khaththab melihat penduduk Madinah berkumpul di tempat Uwais untuk meminta doa, demikian juga penduduk Makkah dan Irak, tentu ia akan mencegahnya, meskipun beliau juga pernah meminta doa kepada Uwais. Hal ini dia lakukan karena takut akan terjadi fitnah pada diri orang-orang tersebut dan terhadap Uwais sendiri. Dan karena kefakihan Uwais Al Qarni Radhiyallahu 'anhu , ia berusaha menyembunyikan keberkahan doanya dan tidak menjerumuskan diri sendiri dan orang lain terhadap fitnah.
Diriwayatkan dari Usair bin Jabir. Dahulu, ketika Umar bin Khaththab
Radhiyallahu 'anhu didatangi oleh sekelompok rombongan yang datang dari
negeri Yaman, beliau bertanya kepada mereka: “Apakah di antara kalian
ada yang bernama Uwais bin Amir?” Sampai ia ditunjukkan kepada Uwais,
kemudian beliau berkata: “Apakah engkau Uwais bin Amir?” Dia
menjawab,”Ya, saya Uwais bin Amir.” Beliau berkata lagi,”Uwais yang
berasal dari Bani Qarni, dari suku Murad?” Uwais menjawab,”Ya, betul.”
Umar lalu melanjutkan,”Dulu engkau pernah terkena penyakit kusta, namun
setelah itu engkau pun sembuh, kecuali masih tertinggal sedikit lagi?”
Uwais menjawab,”Ya, benar.” Kemudian Umar melanjutkan,”Engkau mempunyai
seorang ibu?” Uwais menjawab, ”Betul.” Setelah itu Umar berkata lagi, ”Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Akan
datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama sekelompok rombongan dari
negeri Yaman, dia berasal dari Bani Qarni dari suku Murad. Dahulu ia
pernah terkena penyakit kusta, namun ia pun sembuh dari penyakit
tersebut kecuali masih tertinggal sedikit lagi. Dia sangat berbakti
kepada ibunya. Apabila dia bersumpah dengan Nama Allah, karena baktinya
kepada ibunya, Allah akan mengabulkan segala permintaannya. Apabila
engkau mau agar dia memohonkan pengampunan untukmu kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala , maka lakukanlah’.” Umar lalu berkata: “Mohonkanlah
pengampunan untukku kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala ”. Setelah itu
Uwais pun mendoakan agar Allah Subhanahu wa Ta'ala mengampuninya.
Setelah itu Umar bertanya, ”Hendak kemanakah engkau?” Dia menjawab, ”Ke negeri Kufah.” Umar berkata lagi, ”Maukah engkau kutuliskan sepucuk surat kepada gubernur di sana?” Dia menjawab, ”Aku lebih senang bersama orang-orang miskin ini.” Perawi berkata: “Setelah satu tahun dari pertemuan mereka itu, salah seorang dari kepala suku Bani Qarni datang ke kota Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Ketika kepala suku itu bertemu dengan Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, Umar bertanya kepadanya tentang keadaan Uwais. Kepala suku itu lalu menjawab, ”Aku tinggalkan dia dalam keadaan sangat menyedihkan, miskin sekali.” Mendengar jawaban itu, Umar lalu memberitahukan apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya tentang Uwais. Umar berkata, ”Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ’Akan datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama sekelompok rombongan dari negeri Yaman, dia berasal dari Bani Qarni bermarga Murad. Dahulu ia pernah terkena penyakit kusta, namun ia pun sembuh dari penyakit itu, kecuali masih tertinggal sedikit lagi. Apabila engkau mau agar dia memohonkan pengampunan bagimu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala , maka lakukanlah’."
Setelah selesai mengerjakan ibadah haji, kepala suku itu pun pulang dan langsung menemui Uwais, lantas berkata kepadanya: “Mohonkanlah ampunan bagiku kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.” Uwais menjawab, ”Engkau baru saja kembali dari suatu perjalanan shalih (kebajikan). Engkaulah yang lebih pantas untuk memintakan aku pengampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apakah engkau bertemu dengan Umar?” Kepala suku itu menjawab: “Ya, aku bertemu dengannya.” Setelah itu Uwais pun mendoakannya, sehingga orang-orang pun mengetahui tentang dirinya, lantas pergi meninggalkannya. Usair berkata: “Uwais mengenakan pakaian burdah. Dan setiap orang yang melihat pakaian tersebut, mereka pasti bertanya, dari mana Uwais mendapatkan pakaian itu?" [13]
Setelah itu Umar bertanya, ”Hendak kemanakah engkau?” Dia menjawab, ”Ke negeri Kufah.” Umar berkata lagi, ”Maukah engkau kutuliskan sepucuk surat kepada gubernur di sana?” Dia menjawab, ”Aku lebih senang bersama orang-orang miskin ini.” Perawi berkata: “Setelah satu tahun dari pertemuan mereka itu, salah seorang dari kepala suku Bani Qarni datang ke kota Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Ketika kepala suku itu bertemu dengan Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, Umar bertanya kepadanya tentang keadaan Uwais. Kepala suku itu lalu menjawab, ”Aku tinggalkan dia dalam keadaan sangat menyedihkan, miskin sekali.” Mendengar jawaban itu, Umar lalu memberitahukan apa yang disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya tentang Uwais. Umar berkata, ”Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ’Akan datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama sekelompok rombongan dari negeri Yaman, dia berasal dari Bani Qarni bermarga Murad. Dahulu ia pernah terkena penyakit kusta, namun ia pun sembuh dari penyakit itu, kecuali masih tertinggal sedikit lagi. Apabila engkau mau agar dia memohonkan pengampunan bagimu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala , maka lakukanlah’."
Setelah selesai mengerjakan ibadah haji, kepala suku itu pun pulang dan langsung menemui Uwais, lantas berkata kepadanya: “Mohonkanlah ampunan bagiku kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.” Uwais menjawab, ”Engkau baru saja kembali dari suatu perjalanan shalih (kebajikan). Engkaulah yang lebih pantas untuk memintakan aku pengampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apakah engkau bertemu dengan Umar?” Kepala suku itu menjawab: “Ya, aku bertemu dengannya.” Setelah itu Uwais pun mendoakannya, sehingga orang-orang pun mengetahui tentang dirinya, lantas pergi meninggalkannya. Usair berkata: “Uwais mengenakan pakaian burdah. Dan setiap orang yang melihat pakaian tersebut, mereka pasti bertanya, dari mana Uwais mendapatkan pakaian itu?" [13]
Pada hakikatnya "ruqyah" itu sama seperti doa, bahkan dikategorikan
sebagai doa dan yang semisalnya. Seandainya penduduk sebuah negeri
bergantian mendatangi seseorang yang tampaknya bisa memberikan kebaikan
bagi anak-anak mereka dengan cara men-tahnik-nya dengan kurma atau
lainnya, maka banyak juga orang yang datang membawa anak mereka untuk di
tahnik. Yang nampak sangat jelas pada zaman Nabi, banyak bayi yang
lahir, tetapi tidak dibawa kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
minta untuk di tahnik. Oleh karena itu, seharusnya orang yang me"ruqyah"
khawatir terhadap dirinya atau terhadap mereka dari fitnah.
Ironisnya pada zaman sekarang ini, ada beberapa thullabul ilmi (penuntut ilmu syar’i) yang didatangi oleh beribu-ribu orang dengan tujuan meminta ruqyah kepadanya, kemudian mereka meninggalkan para ulama; apakah mereka tidak merasa takut terhadap fitnah ujub, riya’, sombong dan lain sebagainya?
Jika sudah jelas dalam masalah ini terdapat kerusakan terhadap masyarakat, terutama orang-orang awam, yaitu timbulnya ketergantungan dan kepasrahan mereka terhadap pe"ruqyah" lebih besar daripada ketergantungan dan kepasrahan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan firmanNya; mereka menyangka, kesembuhan itu berhubungan dengan pe"ruqyah" hanya karena melihat banyaknya pengunjung yang datang menemuinya, sementara hal ini merupakan sesuatu yang tidak pernah mereka lihat pada sebagian besar ulama-ulama shalih, maka tidak diragukan lagi, mencegah kehancuran lebih baik daripada mengharapkan kebaikan, khususnya apabila kehancuran yang diakibatkan lebih besar daripada kebaikan yang diharapkan. Di samping itu, me"ruqyah" seperti itu juga bisa mendatangkan kerusakan pada diri peruqyah sendiri; misalnya, menjadikan dirinya tenar dan membuat dirinya merasa tinggi hati, lantas memulai "ruqyah" dengan cara-cara yang tidak pernah dikenal di kalangan ulama-ulama salafush shalih, seperti dengan cara memukul, atau gaya tertentu, atau membacakan terhadap beratus-ratus orang secara bersamaan dengan satu bacaan, lantas meniup pada bejana-bejana mereka setelah bacaan tadi. Semua ini adalah perbuatan bid’ah.
Sesungguhnya orang-orang yang mengkhususkan diri untuk me"ruqyah", sama seperti orang yang mengkhususkan dirinya untuk berdoa bagi orang lain; sehingga dengan demikian, "ruqyah" dan doa adalah sama. Jadi apakah pantas bagi seorang penuntut ilmu mengatakan “kemari, datanglah kepadaku, aku akan mendoakanmu”.
Ini sangat bertentangan dengan petunjuk para salafush shalih. Selain itu juga, dahulu Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu dan para sahabat lainnya serta para tabi’in benci apabila ada seseorang datang meminta doa kepada mereka. Mereka berkata “apakah kami ini seorang nabi?”
Dampak negatif menyebarnya hal ini, yaitu bisa menimbulkan keraguan pada diri orang awam dan orang-orang yang tidak berilmu; mereka menyangka, cara ini adalah cara yang benar dalam melakukan "ruqyah", sehingga mereka pun pergi meminta "ruqyah" kepada orang lain dan melupakan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam me"ruqyah", yaitu me"ruqyah" diri sendiri dan menyerahkan diri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk memohon kesembuhan kepadaNya.
Kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwasanya mengkhususkan diri menjadi pe"ruqyah" dan menjadikannya sebagai profesi (mata pencaharian), menurut penjelasan para ulama ahlus sunnah, tidak dibenarkan. Hal seperti ini akan menjerumuskan kepada bahaya, fitnah dan lain sebagainya, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Wallahu a’lam bish shawab.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis, thullabul ‘ilmi dan kaum muslimin. Mudah-mudahan kita tetap ditunjuki ke jalan yang benar, mengikuti Al Qur`an dan Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih.
Washallahu’ala Nabiyyina Muhammadin Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ironisnya pada zaman sekarang ini, ada beberapa thullabul ilmi (penuntut ilmu syar’i) yang didatangi oleh beribu-ribu orang dengan tujuan meminta ruqyah kepadanya, kemudian mereka meninggalkan para ulama; apakah mereka tidak merasa takut terhadap fitnah ujub, riya’, sombong dan lain sebagainya?
Jika sudah jelas dalam masalah ini terdapat kerusakan terhadap masyarakat, terutama orang-orang awam, yaitu timbulnya ketergantungan dan kepasrahan mereka terhadap pe"ruqyah" lebih besar daripada ketergantungan dan kepasrahan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan firmanNya; mereka menyangka, kesembuhan itu berhubungan dengan pe"ruqyah" hanya karena melihat banyaknya pengunjung yang datang menemuinya, sementara hal ini merupakan sesuatu yang tidak pernah mereka lihat pada sebagian besar ulama-ulama shalih, maka tidak diragukan lagi, mencegah kehancuran lebih baik daripada mengharapkan kebaikan, khususnya apabila kehancuran yang diakibatkan lebih besar daripada kebaikan yang diharapkan. Di samping itu, me"ruqyah" seperti itu juga bisa mendatangkan kerusakan pada diri peruqyah sendiri; misalnya, menjadikan dirinya tenar dan membuat dirinya merasa tinggi hati, lantas memulai "ruqyah" dengan cara-cara yang tidak pernah dikenal di kalangan ulama-ulama salafush shalih, seperti dengan cara memukul, atau gaya tertentu, atau membacakan terhadap beratus-ratus orang secara bersamaan dengan satu bacaan, lantas meniup pada bejana-bejana mereka setelah bacaan tadi. Semua ini adalah perbuatan bid’ah.
Sesungguhnya orang-orang yang mengkhususkan diri untuk me"ruqyah", sama seperti orang yang mengkhususkan dirinya untuk berdoa bagi orang lain; sehingga dengan demikian, "ruqyah" dan doa adalah sama. Jadi apakah pantas bagi seorang penuntut ilmu mengatakan “kemari, datanglah kepadaku, aku akan mendoakanmu”.
Ini sangat bertentangan dengan petunjuk para salafush shalih. Selain itu juga, dahulu Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu dan para sahabat lainnya serta para tabi’in benci apabila ada seseorang datang meminta doa kepada mereka. Mereka berkata “apakah kami ini seorang nabi?”
Dampak negatif menyebarnya hal ini, yaitu bisa menimbulkan keraguan pada diri orang awam dan orang-orang yang tidak berilmu; mereka menyangka, cara ini adalah cara yang benar dalam melakukan "ruqyah", sehingga mereka pun pergi meminta "ruqyah" kepada orang lain dan melupakan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam me"ruqyah", yaitu me"ruqyah" diri sendiri dan menyerahkan diri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk memohon kesembuhan kepadaNya.
Kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwasanya mengkhususkan diri menjadi pe"ruqyah" dan menjadikannya sebagai profesi (mata pencaharian), menurut penjelasan para ulama ahlus sunnah, tidak dibenarkan. Hal seperti ini akan menjerumuskan kepada bahaya, fitnah dan lain sebagainya, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Wallahu a’lam bish shawab.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis, thullabul ‘ilmi dan kaum muslimin. Mudah-mudahan kita tetap ditunjuki ke jalan yang benar, mengikuti Al Qur`an dan Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih.
Washallahu’ala Nabiyyina Muhammadin Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sumber:
1. www.laelywidjajati.blogspot/menjalankan-sunnah-rasulullah saw-....
2. almanhaj.or.id/.../hukum-mengkhususkan-diri-untuk-meruqyah-dan-me...
3. laely.widjajati.photos.facebook/Add-a-description-1...
4. laely.widjajati.photos.facebook/Add-a-description-2...
5. laely.widjajati.photos.facebook/Add-a-description-3...
6. laely.widjajati.photos.facebook/Mawar-Merah-Muda...
7. laely.widjajati.photos.facebook/Add-a-description-4...