"Pembahasan "Riba" memang jarang dibahas di forum-forum kaum muslimin,
apalagi di khutbah jum’ah, karena panjangnya pembahasan masalah "Riba".
Rubrik yang kami posting di bawah ini ada yang warna hijau, dimana warna hijau tersebut bisa anda klik agar terhubung ke sumber yang kami tunjuk
untuk memudahkan anda, mengingat pembahasannya sangat panjang.
"Riba"berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. "Riba" secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik "Riba" juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah
teknis, "Riba" berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan "Riba", namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa "Riba" adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
"Riba"dalam pandangan agama "Riba" bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan "Riba". Kajian terhadap masalah "Riba" dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam.
Masalah "Riba" telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai "Riba".
"Riba" dalam agama Islam[sunting | sunting sumber]
Dalam Islam, memungut "Riba" atau mendapatkan keuntungan berupa "Riba" pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 275 : …padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan "Riba"…. Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam "Riba".
Bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan "Riba"? Hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk "Riba" adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. Berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya.
Dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila
akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah
diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga
tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang
terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. berbeda dengan
bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. Maka yang dibagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi
sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Contoh
nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan
yang didapat oleh pihak bank.
Jenis-Jenis "Riba"[sunting | sunting sumber]
Secara garis besar "Riba" dikelompokkan menjadi dua.Yaitu "Riba" hutang-piutang dan "Riba" jual-beli. "Riba" hutang-piutang terbagi lagi menjadi "Riba" qardh dan "Riba" jahiliyyah. Sedangkan "Riba" jual-beli terbagi atas "Riba" fadhl dan "Riba" nasi’ah.
"Riba" Qardh, Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh). "Riba" Jahiliyyah, Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
"Riba"Fadhl Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
"Riba"Nasi’ah Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. "Riba" dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
"Riba"dalam agama Yahudi[sunting | sunting sumber]
Agama Yahudi melarang praktik pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci agama Yahudi, baik dalam Perjanjian Lama maupun undang-undang Talmud.Kitab Keluaran 22:25 menyatakan: “Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.” Kitab Ulangan 23:19 menyatakan: “Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.” Kitab Ulangan 23:20 menyatakan: “Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya.”Kitab Imamat 35:7 menyatakan: “Janganlah engkau mengambil bunga uang atau "Riba" darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.”
Konsep Bunga di Kalangan Kristen[sunting | sunting sumber]
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas.
Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktik pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan : “Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak.
Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.
Jenis-Jenis "Riba"[sunting | sunting sumber]
Secara garis besar "Riba" dikelompokkan menjadi dua.Yaitu "Riba" hutang-piutang dan "Riba" jual-beli. "Riba" hutang-piutang terbagi lagi menjadi "Riba" qardh dan "Riba" jahiliyyah. Sedangkan "Riba" jual-beli terbagi atas "Riba" fadhl dan "Riba" nasi’ah.
"Riba" Qardh, Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh). "Riba" Jahiliyyah, Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
"Riba"Fadhl Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
"Riba"Nasi’ah Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. "Riba" dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
"Riba"dalam agama Yahudi[sunting | sunting sumber]
Agama Yahudi melarang praktik pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci agama Yahudi, baik dalam Perjanjian Lama maupun undang-undang Talmud.Kitab Keluaran 22:25 menyatakan: “Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.” Kitab Ulangan 23:19 menyatakan: “Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.” Kitab Ulangan 23:20 menyatakan: “Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya.”Kitab Imamat 35:7 menyatakan: “Janganlah engkau mengambil bunga uang atau "Riba" darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.”
Konsep Bunga di Kalangan Kristen[sunting | sunting sumber]
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas.
Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktik pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan : “Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak.
Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.
” Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktikkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII – XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI – tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga. Kitab Ulangan 23:20 menyatakan: “Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya.“
Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I – XII)[sunting | sunting sumber]
Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen. St. Basil(329 – 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan.
Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang miskin. St. Gregory dari Nyssa (335 – 395) mengutuk praktik bunga karena menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah palsu.
Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam. St. John Chrysostom (344 – 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian Baru. St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir). St. Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena dua-duanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin. St. Anselm dari Centerbury (1033 – 1109) menganggap bunga sama dengan perampokan.
Larangan praktik bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon): Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mem-praktikkan pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan.
Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktikkan pengambilan bunga.
First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktikkan bunga.
Larangan pemberlakuan bunga untuk umum baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad).
Pandangan Para Pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagai berikut[sunting | sunting sumber]
Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang dipinjamkan.
Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalamPerjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang dipinjamkan adalah suatu dosa. Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya.
Harga barang yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang terselubung.
Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII – XVI)[sunting | sunting sumber]
Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian dan perdagangan.
Pada masa tersebut, uang dan kredit menjadi unsur yang penting dalam masyarakat. Pinzaman untuk memberi modal kerja kepada para pedagang mulai digulirkan pada awal Abad XII.
Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk. Proses tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas.
Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja membahas permasalahan bunga dari segi moral semata yang merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mereka juga mengaitkannya dengan aspek-aspek lain.
Di antaranya, menyangkut jenis dan bentuk undang-undang, hak seseorang terhadap harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-bentuk keuntungan, niat dan perbuatan manusia, serta per-bedaan antara dosa individu dan kelompok. Mereka dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan pendefinisian bunga.
Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi interest dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan. Para tokoh sarjana Kristen yang memberikan kontribusi pendapat yang sangat besar sehubungan dengan bunga ini adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274). Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut sehubungan dengan bunga adalah sebagai berikut : Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinzaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan.
Mengambil bunga dari pinzaman diperbolehkan, namun haram atau tidaknya tergantung dari niat si pemberi hutang.
Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI – Tahun 1836)[sunting | sunting sumber]
Pendapat para reformis telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para reformis itu antara lain adalah John Calvin (1509-1564), Charles du Moulin (1500 – 1566), Claude Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560), dan Zwingli (1484-1531). Beberapa pendapat Calvin sehubungan dengan bunga antara lain: Dosa apabila bunga memberatkan. Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles).
Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi.
Jangan mengambil bunga dari orang miskin.
Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang sederhana diperbolehkan asalkan bunga tersebut digunakan untuk kepentingan produktif.
Saumise, seorang pengikut Calvin, membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal dari orang miskin.
Menurutnya, menjual uang dengan uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang.
Menurutnya pula, agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan bunga.
PANDANGAN GEREJA KATOLIK[SUNTING | SUNTING SUMBER]
Menurut Gereja katolik pandangan mengenai "Riba" tidaklah berubah dengan pendapat para pendiri gereja seperti St.Gregorius dan St. John Chrysostom. tetapi prinsip dari riba(bunga) itulah yang berubah, karena bila zaman dahulu uang tidak bisa memberikan hasil kalau tidak dijalankan seperti yang disebutkan oleh kitab matius 27:27 menyatakan: “Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya.”
Namun, pada zaman sekarang, uang dapat memberikan hasil, karena uang dapat dibungakan atau di investasikan.
Dengan demikian, meminjamkan uang dengan “bunga yang pantas” bukanlah tindakan yang tidak adil. Namun, kalau memberikan pinjaman dengan bunga yang terlalu tinggi, maka telah dianggap berdosa karena melawan keadilan. Namun,prinsip ini pun harus di laksanakan dengan bijaksana.
Misal,seseorang mempunyai uang 1 milyar dan seseorang meminjam dari orang tersebut 1 juta rupiah, maka janganlah menarik bunga, apalagi kalau orang yang meminjam benar-benar miskin.
Bahkan kalau perlu,pemilik uang itu harus memberikannya dengan rela. Namun bila berada dalam situasi bisnis, maka adalah pantas, kalau menarik bunga dari pinjaman yang diberikan sebab sudah adanya persetujuan dari kedua pihak mengenai akan adanya bunga dari pinjaman tersebut.
Seperti yang dilalukan oleh pihak perbankan dan nasabahnya.
Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang[sunting | sunting sumber]
Ada dua perbedaan mendasar antara investasi dengan mem-bungakan uang.
Perbedaan tersebut dapat ditelaah dari definisi hingga makna masing-masing.
Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan dengan unsur ketidakpastian.
Dengan demikian, perolehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap. Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.
Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produktif. Islam
mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang
membungakan uang. Sesuai dengan definisi di atas, menyimpan uang di bank
Islam termasuk kategori kegiatan investasi karena perolehan
kembaliannya (return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap.
Besar kecilnya perolehan kembali itu ter-gantung kepada hasil usaha yang
benar-benar terjadi dan dilakukan bank sebagai mudharib atau pengelola
dana.
Dengan demikian, bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus berupaya meningkatkan kembalian atau return of investment sehingga lebih menarik dan lebih memberi kepercayaan bagi pemilik dana.
Perbedaan Hutang Uang dan Hutang Barang[sunting | sunting sumber]
Ada dua jenis hutang yang berbeda satu sama lainnya, yakni hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang dan hutang yang terjadi karena pengadaan barang.
Hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali dengan alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya materai, biaya notaris, dan studi kelayakan.
Tambahan lainnya yang sifatnya tidak pasti dan tidak jelas, seperti inflasi dan deflasi, tidak diperbolehkan. Hutang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual.
Harga jual itu sendiri terdiri dari harga pokok barang plus keuntungan yang disepakati. Sekali harga jual telah disepakati, maka selamanya tidak boleh berubah naik, karena akan masuk dalam kategori "Riba" fadl.
Dalam transaksi perbankan syariah yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk hutang pengadaan barang, bukan hutang uang.
Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil[sunting | sunting sumber]
Sekali lagi, Islam mendorong praktik bagi hasil serta mengharamkan "Riba". Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut: Bunga : Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
Bagi Hasil : Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
Bunga : Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
Bagi Hasil : Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh Bunga : Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi
Bagi hasil : tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
Bunga : Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”
Bagi hasil : Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
Bunga : Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalangan
Bagi hasil : Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasilBunga
MARI KITA SIMPULKAN
jika di di bilang HARAM maka dimana letak keharamannya jika dikatakan "Riba" dimana letak "Riba"NYA?
Contoh kita meminjamkan uang kepada orang lain kemudia orang yang kita pinjamkan itu membayar lebih kepada kita maka itu adalah "Riba". Contoh lagi kita menyimpan uang di bank kemudia kita dapat bunga dari simpanan itu itu juga dinamakan "Riba", kenapa "Riba" karena ketika bank itu meminjamkan uang kepada orang lain yang butuh modal maka bank akan menetapkan bunga kepada peminjamnya dan akhirnya peminjam harus membayar uang lebih ke bank tersebut dan uang itu pun di putar lagi oleh bank untuk menambah bungan uang yang kita simpan di bank.
TERUS GIMANA DENGAN "MMM" = "MMM" akadnya adalah saling membantu bukan meminjam atau menyimpan, contoh bulan ini kita membantu anggota 1 juta dan 1 bulan kemudian kita minta bantuan lebih 1,3 juta kita meminta bantu bukan sama orang yang kemaren kita bantu dan yang membantu kita bukan orang yang bulan lalu yang kita bantu tetapi itu bantuan anggota lain yang ingin juga mendapatkan 30% seperti kita pertamakali membantu, tujuan kita membantu kan ingin mendapatkan bantuan 30% dan semua anggota "MMM" itu sama, sama-sama ingin membantu sama-sama ingin mendapatkan bantuan lebih. SAYA TEKANKAN MENGAPA ORANG LAIN MAU MEMBANTU KARENA INGIN MENDAPATKAN BANTUAN 30%,, JIKA SUDAH DAPAT 30% MASAK GAK MAU BANTU LAGI NANTIKAN DAPAT 30% LAGI.. SEMOGA TULISAN INI BISA DI FAHAMI.
Contoh kita meminjamkan uang kepada orang lain kemudia orang yang kita pinjamkan itu membayar lebih kepada kita maka itu adalah "Riba". Contoh lagi kita menyimpan uang di bank kemudia kita dapat bunga dari simpanan itu itu juga dinamakan "Riba", kenapa "Riba" karena ketika bank itu meminjamkan uang kepada orang lain yang butuh modal maka bank akan menetapkan bunga kepada peminjamnya dan akhirnya peminjam harus membayar uang lebih ke bank tersebut dan uang itu pun di putar lagi oleh bank untuk menambah bungan uang yang kita simpan di bank.
TERUS GIMANA DENGAN "MMM" = "MMM" akadnya adalah saling membantu bukan meminjam atau menyimpan, contoh bulan ini kita membantu anggota 1 juta dan 1 bulan kemudian kita minta bantuan lebih 1,3 juta kita meminta bantu bukan sama orang yang kemaren kita bantu dan yang membantu kita bukan orang yang bulan lalu yang kita bantu tetapi itu bantuan anggota lain yang ingin juga mendapatkan 30% seperti kita pertamakali membantu, tujuan kita membantu kan ingin mendapatkan bantuan 30% dan semua anggota "MMM" itu sama, sama-sama ingin membantu sama-sama ingin mendapatkan bantuan lebih. SAYA TEKANKAN MENGAPA ORANG LAIN MAU MEMBANTU KARENA INGIN MENDAPATKAN BANTUAN 30%,, JIKA SUDAH DAPAT 30% MASAK GAK MAU BANTU LAGI NANTIKAN DAPAT 30% LAGI.. SEMOGA TULISAN INI BISA DI FAHAMI.
Sumber:
1. kioszainuri.blogspot.com/.../pembahasan-riba-meman...
0 komentar:
Posting Komentar