"Bagaimana "hukum"nya dalam "Islam" mengucapkan selamat "Natal". Apakah haram 
"hukum"nya? Bagaimana bila alasannya ingin menjaga hubungan baik dgn 
teman-teman ataupun relasi?"
Sudah sering kita mendengar ucapan semacam ini menjelang perayaan "Natal" 
yang dilaksanakan oleh orang Nashrani. Mengenai dibolehkannya 
mengucapkan selamat "Natal" ataukah tidak kepada orang Nashrani, sebagian 
kaum muslimin masih kabur mengenai hal ini. Sebagian di antara mereka 
dikaburkan oleh pemikiran sebagian orang yang dikatakan pintar (baca: 
cendekiawan), sehingga mereka menganggap bahwa mengucapkan selamat "Natal"
 kepada orang Nashrani tidaklah mengapa (alias ‘boleh-boleh saja’). 
Bahkan sebagian orang pintar tadi mengatakan bahwa hal ini diperintahkan
 atau dianjurkan. 
Diantara tema yang mengandung perdebatan setiap tahunnya adalah 
ucapan selamat Hari "Natal" seperti penjelasan di atas. Para ulama kontemporer berbeda pendapat 
di dalam penentuan "hukum" fiqihnya antara yang mendukung ucapan selamat 
dengan yang menentangnya. Kedua kelompok ini bersandar kepada sejumlah 
dalil.
Meskipun pengucapan selamat hari "Natal" ini sebagiannya masuk di dalam 
wilayah aqidah namun ia memiliki "hukum" fiqih yang bersandar kepada 
pemahaman yang mendalam, penelaahan yang rinci terhadap berbagai 
nash-nash syar’i.
Ada dua pendapat di dalam permasalahan ini:
1. Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan para pengikutnya 
seperti Syeikh Ibn Baaz, Syeikh Ibnu Utsaimin—semoga Allah merahmati 
mereka—serta yang lainnya seperti Syeikh Ibrahim bin Muhammad al Huqoil 
berpendapat bahwa mengucapkan selamat Hari "Natal" "hukum"nya adalah haram 
karena perayaan ini adalah bagian dari syiar-syiar agama mereka. Allah 
tidak meridhai adanya kekufuran terhadap hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya 
didalam pengucapan selamat kepada mereka adalah tasyabbuh (menyerupai) 
dengan mereka dan ini diharamkan.
Diantara bentuk-bentuk tasyabbuh:
1. Ikut serta didalam hari raya tersebut.
2. Mentransfer perayaan-perayaan mereka ke neger-negeri "Islam".
Mereka juga berpendapat wajib menjauhi berbagai perayaan orang-orang 
kafir, menjauhi dari sikap menyerupai perbuatan-perbuatan mereka, 
menjauhi berbagai sarana yang digunakan untuk menghadiri perayaan 
tersebut, tidak menolong seorang muslim di dalam menyerupai perayaan hari
 raya mereka, tidak mengucapkan selamat atas hari raya mereka serta 
menjauhi penggunaan berbagai nama dan istilah khusus di dalam ibadah 
mereka.
2. Jumhur ulama kontemporer membolehkan mengucapkan selamat Hari "Natal".
Di antaranya Syeikh Yusuf al Qaradhawi yang berpendapat bahwa perubahan kondisi global lah yang menjadikanku berbeda dengan Syeikhul "Islam" Ibnu Taimiyah didalam mengharamkan pengucapan selamat hari-hari Agama orang-orang Nasrani atau yang lainnya. Aku (Yusuf al Qaradhawi) membolehkan pengucapan itu apabila mereka (orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khsusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti : kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk di dalam berbuat kebajikan yang tidak dilarang Allah SWT. namun dicintai-Nya sebagaimana Allah SWT. mencintai berbuat adil. Firman Allah SWT.:Artinya :
Di antaranya Syeikh Yusuf al Qaradhawi yang berpendapat bahwa perubahan kondisi global lah yang menjadikanku berbeda dengan Syeikhul "Islam" Ibnu Taimiyah didalam mengharamkan pengucapan selamat hari-hari Agama orang-orang Nasrani atau yang lainnya. Aku (Yusuf al Qaradhawi) membolehkan pengucapan itu apabila mereka (orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khsusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti : kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk di dalam berbuat kebajikan yang tidak dilarang Allah SWT. namun dicintai-Nya sebagaimana Allah SWT. mencintai berbuat adil. Firman Allah SWT.:Artinya :
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Terlebih lagi jika mereka mengucapkan selamat Hari Raya kepada kaum muslimin. Firman Allah SWT.:
وَإِذَا حُيِّيْتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا ﴿٨٦﴾
Artinya : “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu 
penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari
 padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). 
Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An Nisaa : 86)
Lembaga Riset dan Fatwa Eropa juga membolehkan 
pengucapan selamat ini jika mereka bukan termasuk orang-orang yang 
memerangi kaum muslimin khususnya dalam keadaan dimana kaum muslimin 
minoritas seperti di Barat. Setelah memaparkan berbagai dalil, Lembaga 
ini memberikan kesimpulan sebagai berikut :  
Tidak dilarang bagi 
seorang muslim atau Markaz "Islam" memberikan selamat atas perayaan ini, 
baik dengan lisan maupun pengiriman kartu ucapan yang tidak menampilkan 
simbol mereka atau berbagai ungkapan keagamaan yang bertentangan dengan 
prinsip-prinsip "Islam" seperti salib. Sesungguhnya "Islam" menafikan fikrah salib, firman-Nya :
وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ
 عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ 
وَلَكِن شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُواْ فِيهِ لَفِي شَكٍّ 
مِّنْهُ مَا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلاَّ اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا 
قَتَلُوهُ يَقِينًا ﴿١٥٧﴾
Artinya : “Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) 
menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan 
dengan Isa bagi mereka.” (QS. An Nisaa : 157)
Kalimat-kalimat yang digunakan dalam pemberian selamat ini pun harus 
yang tidak mengandung pengukuhan atas agama mereka atau ridha dengannya.
 Adapun kalimat yang digunakan adalah kalimat pertemanan yang sudah 
dikenal di masyarakat.
Tidak dilarang untuk menerima berbagai hadiah dari mereka karena 
sesungguhnya Nabi SAW. telah menerima berbagai hadiah dari non muslim 
seperti al Muqouqis Pemimpin al Qibthi di Mesir dan juga yang lainnya 
dengan persyaratan bahwa hadiah itu bukanlah yang diharamkan oleh kaum 
muslimin seperti khomer, daging babi dan lainnya.
Diantara para ulama yang membolehkan adalah DR. Abdus Sattar 
Fathullah Sa’id, ustadz bidang tafsir dan ilmu-ilmu Al Qur’an di 
Universitas Al Azhar, DR. Muhammad Sayyid Dasuki, ustadz Syari’ah di 
Univrsitas Qatar, Ustadz Musthafa az Zarqo serta Syeikh Muhammad Rasyd 
Ridho. (www.islamonline.net)
Adapun MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1981 sebelum 
mengeluarkan fatwanya, terlebih dahulu mengemukakan dasar-dasar ajaran "Islam" dengan disertai berbagai dalil baik dari Al Qur’an maupun Hadits 
Nabi saw sebagai berikut :
A) Bahwa ummat "Islam" diperbolehkan untuk bekerja sama dan bergaul 
dengan ummat agama-agama lain dalam masalah-masalah yang berhubungan 
dengan masalah keduniaan.
B) Bahwa ummat "Islam" tidak boleh mencampur-adukkan agamanya dengan aqidah dan peribadatan agama lain.
C) Bahwa ummat "Islam" harus mengakui ke-Nabian dan ke-Rasulan Isa 
Almasih bin Maryam sebagaimana pengakuan mereka kepada para Nabi dan 
Rasul yang lain.
D) Bahwa barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih dari satu, 
Tuhan itu mempunyai anak dan Isa Almasih itu anaknya, maka orang itu 
kafir dan musyrik.
E) Bahwa Allah pada hari kiamat nanti akan menanyakan Isa, apakah dia
 pada waktu di dunia menyuruh kaumnya agar mereka mengakui Isa dan 
Ibunya (Maryam) sebagai Tuhan. Isa menjawab: Tidak.
F) "Islam" mengajarkan bahwa Allah SWT. itu hanya satu.
G) "Islam" mengajarkan ummatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang
 syubhat dan dari larangan Allah SWT. serta untuk mendahulukan menolak 
kerusakan daripada menarik kemaslahatan.
Juga berdasarkan Kaidah Ushul Fikih
”Menolak kerusakan-kerusakan itu didahulukan dari pada menarik 
kemaslahatan-kemaslahan (jika tidak demikian sangat mungkin mafasidnya 
yang diperoleh, sedangkan mushalihnya tidak dihasilkan)”.
Untuk kemudian MUI mengeluarkan fatwanya berisi :
- Perayaan "Natal" di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa as, akan tetapi "Natal" itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas.
- Mengikuti upacara "Natal" bersama bagi ummat Islam "hukum"nya haram.
- Agar ummat "Islam" tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT. dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan "Natal".
Mengucapkan Selamat Hari "Natal" Haram kecuali Darurat
Diantara dalil yang digunakan para ulama yang membolehkan mengucapkan Selamat Hari "Natal" adalah firman Allah SWT.:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ 
لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ 
أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ 
الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾
Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan 
Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama 
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah 
menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah : 8)
Ayat ini merupakan rukhshah (keringanan) dari Allah SWT. untuk membina
 hubungan dengan orang-orang yang tidak memusuhi kaum mukminin dan tidak
 memerangi mereka. Ibnu Zaid mengatakan bahwa hal itu adalah pada 
awal-awal "Islam" yaitu untuk menghindar dan meninggalkan perintah 
berperang kemudian di-mansukh (dihapus).
Qatadhah mengatakan bahwa ayat ini dihapus dengan firman Allah SWT.:
….فَاقْتُلُواْ الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ  ﴿٥﴾
Artinya : “Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka.” (QS. At Taubah : 5)
Ada pula yang menyebutkan bahwa "hukum" ini dikarenakan satu sebab yaitu
 perdamaian. Ketika perdamaian hilang dengan futuh Mekah maka hukum 
didalam ayat ini di-mansukh (dihapus) dan yang tinggal hanya tulisannya 
untuk dibaca. Ada juga yang mengatakan bahwa ayat ini khusus untuk para 
sekutu Nabi SAW. dan orang-orang yang terikat perjanjian dengan Nabi SAW. 
dan tidak memutuskannya, demikian dikatakan al Hasan.
Al Kalibi mengatakan bahwa mereka adalah Khuza’ah, Banil Harits bin 
Abdi Manaf, demikian pula dikatakan oleh Abu Sholeh. Ada yang mengatakan
 bahwa mereka adalah Khuza’ah.
Mujahid mengatakan bahwa ayat ini dikhususkan terhadap orang-orang 
beriman yang tidak berhijrah. Ada pula yang mengatakan bahwa yang 
dimaksud didalam ayat ini adalah kaum wanita dan anak-anak dikarenakan 
mereka tidak ikut memerangi, maka Allah SWT. mengizinkan untuk berbuat 
baik kepada mereka, demikianlah disebutkan oleh sebagian ahli tafsir… 
(al Jami’ li Ahkamil Qur’an juz IX hal 311)
Dari pemaparan yang dsebutkan Imam Qurthubi diatas maka ayat ini 
tidak bisa diperlakukan secara umum tetapi dikhususkan untuk orang-orang
 yang terikat perjanjian dengan Rasulullah SAW. selama mereka tidak 
memutuskannya (ahli dzimmah).
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban kafir dzimmi adalah sama persis 
dengan kaum muslimin di suatu negara "Islam". Mereka semua berada dibawah 
kontrol penuh dari pemerintahan "Islam" sehingga setiap kali mereka 
melakukan tindakan kriminal, kejahatan atau melanggar perjanjian maka 
langsung mendapatkan sangsi dari pemerintah.
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh ra 
bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda, ”Janganlah kamu memulai salam kepada 
orang-orang Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu salah seorang 
diantara mereka di jalan maka sempitkanlah jalannya.” (HR. Muslim)
Yang dimaksud dengan sempitkan jalan mereka adalah jangan biarkan 
seorang dzimmi berada di tengah jalan akan tetapi jadikan dia agar berada
 di tempat yang paling sempit apabila kaum muslimin ikut berjalan 
bersamanya. Namun apabila jalan itu tidak ramai maka tidak ada halangan 
baginya. Mereka mengatakan : “Akan tetapi penyempitan disini jangan
 sampai menyebabkan orang itu terdorong ke jurang, terbentur dinding 
atau yang sejenisnya.” (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XIV hal 211)
Hadits “menyempitkan jalan” itu menunjukkan bahwa seorang muslim 
harus bisa menjaga izzahnya di hadapan orang-orang non muslim tanpa 
pernah mau merendahkannya apalagi direndahkan. Namun demikian dalam 
menampilkan izzah tersebut janganlah sampai menzhalimi mereka sehingga 
mereka jatuh ke jurang atau terbentur dinding karena jika ini terjadi 
maka ia akan mendapatkan sanksi.
Disebutkan di dalam sejarah bahwa Umar bin Khattab pernah mengadili 
Gubernur Mesir Amr bin Ash karena perlakuan anaknya yang memukul seorang
 Nasrani Qibti dalam suatu permainan. Hakim Syuraih pernah memenangkan 
seorang Yahudi terhadap Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib dalam kasus 
baju besinya.
Sedangkan pada zaman ini, orang-orang non muslim tidaklah berada 
di bawah suatu pemerintahan islam yang terus mengawasinya dan bisa 
memberikan sanksi tegas ketika mereka melakukan pelanggaran kemanusiaan,
 pelecehan maupun tindakan kriminal terhadap seseorang muslim ataupun 
umat islam.
Keadaan justru sebaliknya, orang-orang non muslim tampak 
mendominanasi di berbagai aspek kehidupan manusia baik pilitik, ekonomi,
 budaya maupun militer. Tidak jarang dikarenakan dominasi ini, mereka 
melakukan berbagai penghinaan atau pelecehan terhadap simbol-simbol 
islam sementara si pelakunya tidak pernah mendapatkan sanksi yang tegas 
dari pemerintahan setempat, terutama di daerah-daerah atau negara-negara
 yang minoritas kaum muslimin.
Bukan berarti dalam kondisi dimana orang-orang non muslim begitu 
dominan kemudian kaum muslimin harus kehilangan izzahnya dan larut 
bersama mereka, mengikuti atau mengakui ajaran-ajaran agama mereka. 
Seorang muslim harus tetap bisa mempertahankan ciri khas keislamannya 
di hadapan berbagai ciri khas yang bukan "Islam" di dalam kondisi 
bagaimanapun.
Tentunya diantara mereka—orang-orang non muslim—ada yang berbuat baik
 kepada kaum muslimin dan tidak menyakitinya maka terhadap mereka setiap
 muslim diharuskan membalasnya dengan perbuatan baik pula.
Al Qur’an maupun Sunah banyak menganjurkan kaum muslimin untuk 
senantiasa berbuat baik kepada semua orang baik terhadap sesama muslim 
maupun non muslim, diantaranya : surat al Mumtahanah ayat 8 diatas. 
Sabda Rasulullah SAW., ”Sayangilah orang yang ada di bumi maka yang ada di
 langit akan menyayangimu.” (HR. Thabrani) 
Juga sabda RasulullahSAW., ”Barangsiapa yang menyakiti seorang dzimmi maka aku akan menjadi 
lawannya di hari kiamat.” (HR. Muslim)
Perbuatan baik kepada mereka bukan berarti harus masuk ke dalam 
prinsip-prinsip agama mereka (aqidah) karena batasan di dalam hal ini 
sudah sangat jelas dan tegas digariskan oleh Allah SWT.:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾
Artinya : “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kafirun : 6)
Hari "Natal" adalah bagian dari prinsip-prinsip agama Nasrani, mereka 
meyakini bahwa di hari inilah Yesus Kristus dilahirkan. Di dalam bahasa 
Inggris disebut dengan Christmas, Christ berarti Kristus sedangkan Mass 
berarti masa atau kumpulan jadi bahwa pada hari itu banyak orang 
berkumpul mengingat / merayakan hari kelahiran Kristus. Dan Kristus 
menurut keyakinan mereka adalah Allah yang menjelma.
Berbuat kebaikan kepada mereka dalam hal ini adalah bukan dengan ikut
 memberikan selamat Hari "Natal" dikarenakan alasan diatas akan tetapi 
dengan tidak mengganggu mereka didalam merayakannya (aspek sosial).
Pemberian ucapan selamat "Natal" baik dengan lisan, telepon, sms, email
 ataupun pengiriman kartu berarti sudah memberikan pengakuan terhadap 
agama mereka dan rela dengan prinsip-prinsip agama mereka. Hal ini 
dilarang oleh Allah SWT. dalam firman-Nya,
إِن تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ 
عَنكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِن تَشْكُرُوا يَرْضَهُ 
لَكُمْ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُم 
مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ إِنَّهُ عَلِيمٌ 
بِذَاتِ الصُّدُورِ ﴿٧﴾
Artinya : “Jika kamu kafir Maka Sesungguhnya Allah tidak 
memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan
 jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az Zumar : 7)
Jadi pemberian ucapan Selamat Hari "Natal" kepada orang-orang Nasrani 
baik ia adalah kerabat, teman dekat, tetangga, teman kantor, teman 
sekolah dan lainnya adalah haram "hukum"nya, sebagaimana pendapat kelompok
 pertama (Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibn Baaz dan lainnya) dan juga 
fatwa MUI.
Namun demikian setiap muslim yang berada diantara lingkungan 
mayoritas orang-orang Nasrani, seperti muslim yang tempat tinggalnya 
diantara rumah-rumah orang Nasrani, pegawai yang bekerja dengan orang 
Nasrani, seorang siswa di sekolah Nasrani, seorang pebisnis muslim yang 
sangat tergantung dengan pebisinis Nasrani atau kaum muslimin yang 
berada di daerah-daerah atau negeri-negeri non muslim maka boleh 
memberikan ucapan selamat Hari "Natal" kepada orang-orang Nasrani yang ada
 di sekitarnya tersebut disebabkan keterpaksaan. Ucapan selamat yang 
keluar darinya pun harus tidak dibarengi dengan keridhaan di dalam 
hatinya serta diharuskan baginya untuk beristighfar dan bertaubat.
Diantara kondisi terpaksa misalnya; jika seorang pegawai muslim tidak
 mengucapkan Selamat Hari "Natal" kepada boss atau atasannya maka ia akan 
dipecat, karirnya dihambat, dikurangi hak-haknya. Atau seorang siswa 
muslim apabila tidak memberikan ucapan Selamat "Natal" kepada Gurunya maka
 kemungkinan ia akan ditekan nilainya, diperlakukan tidak adil, 
dikurangi hak-haknya. Atau seorang muslim yang tinggal di suatu daerah 
atau negara non muslim apabila tidak memberikan Selamat Hari "Natal" 
kepada para tetangga Nasrani di sekitarnya akan mendapatkan tekanan 
sosial dan lain sebagainya.
مَن كَفَرَ بِاللّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ
 إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَكِن مَّن 
شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّهِ وَلَهُمْ 
عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴿١٠٦﴾
Artinya : “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia 
beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir
 Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan 
tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan 
Allah menimpanya dan baginya azab yang besar." (QS. An Nahl : 106)
Adapun apabila keadaan atau kondisi sekitarnya tidaklah memaksa atau 
mendesaknya dan tidak ada pengaruh sama sekali terhadap karir, jabatan, 
hak-hak atau perlakuan orang-orang Nasrani sekelilingnya terhadap diri 
dan keluarganya maka tidak diperbolehkan baginya mengucapkan Selamat 
Hari "Natal" kepada mereka.
Sumber:
1. www.eramuslim.com › Ustadz Menjawab 
2. muslim.or.id/manhaj/selamat-natal.html
3. filsafat.kompasiana.com/./kajian-hukum-islam-mengucapkan-selamat-n.
4. laely.widjajati.photos.facebook/Jangan lupa 17 Des 2013 PNS pakaian... 
5. laely.widjajati.photos.facebook/Mekarsari
6. laely.widjajati.photos.facebook/Add-a-description
7. laely.widjajati.photos.facebook/Kelompok-NARSIS.....





0 komentar:
Posting Komentar