"Tradisi Kupatan" berawal dari "Tradisi" Wali Songo.
"Ketupat" atau "tradisi" Jawa-nya "Kupatan" bukan hanya sebuah "Tradisi" Lebaran
dengan menghidangkan "ketupat", sejenis makanan atau beras yang dimasak
dan dibungkus daun janur berbentuk prisma maupun segi empat. Sebab, "Kupatan" memiliki makna dan filososi mendalam.
Dari sisi sejarah,"Tradisi Kupatan" berangkat dari upaya-upaya Wali Songo memasukkan ajaran Islam. Karena zaman dulu orang Jawa selalu menggunakan simbol-simbol tertentu, akhirnya para Walisongo memanfaatkan cara tersebut. "Tradisi Kupatan" akhirnya menggunakan simbol janur atau daun kelapa muda berwarna kuning”.
Dari sisi bahasa, "Kupat" berarti mengaku lepat atau mengakui kesalahan. Bertepatan dengan momen Lebaran, "Kupat" mengusung semangat saling memaafkan, semangat taubat pada Allah, dan sesama manusia. Dengan harapan, tidak akan lagi menodai dengan kesalahan di masa depan. ''Kupat" dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kafi. Yakni, kuffat yang berarti sudah cukup harapan".
Dengan berpuasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan, lalu Lebaran 1 syawal, dan dilanjutkan dengan puasa sunnah enam hari Syawal, maka orang-orang yang kuffat merasa cukup ibadahnya. Apalagi, berdasarkan hadis riwayat Imam Muslich bahwa ibadah tersebut sama dengan berpuasa satu tahun lamanya. ''Karena itulah, kuffat berarti orang-orang yang merasa cukup".
Terlebih, ditambah lagi dengan "Tradisi" silaturahim selama sepekan penuh pada kerabat dan masyarakat sekitar. Sehingga, "Tradisi Kupatan" benar-benar dirasa lengkap.
Sedang dari sisi penyimbolan, dipilihnya janur karena janur biasa digunakan masyarakat Jawa dalam suasana suka cita. Umumnya, dipasang saat ada pesta pernikahan atau momen menggembirakan lain. Janur dalam bahasa Arab berasal dari kata Jaa Nur atau telah datang cahaya. Sebuah harapan cahaya menuju rahmat Allah, sehingga terwujud negeri yang makmur dan penuh berkah.
Sedang isinya, dipilih beras baik-baik yang dimasak jadi satu sehingga membentuk gumpalan beras yang sangat kempel. Ini pun memiliki makna tersendiri, yakni makna kebersamaan dan kemakmuran. ''Harapan para Wali Songo dulu, "Tradisi Kupatan" ini bukan sebuah formalitas, tapi menjadi semangat kebersamaan umat".
Selain itu, biasanya "Kupatan" dimaknai dengan potongan miring sebagai simbol perempuan. Potongan "Kupat" miring tersebut lazim disandingkan dengan lepet berbahan beras ketan dengan bentuk lonjong sebagai simbol laki-laki. ''Artinya, pasangan suami istri juga harus selalu hidup rukun dan bersanding".
Dalam perjalanan, para kiai dan ulama menjadikan "Tradisi Kupatan" untuk menyampaikan pesan persatuan dan silaturahim. Ajakan tersebut, tak perlu sulit-sulit dengan himbauan lisan, tapi cukup dengan simbol-simbol. Sehingga, ajaran agama menjadi tidak asing bagi umat. ''Dengan menggunakan simbol yang melekat di kehidupan sehari-hari, ajaran agama bukan lagi hal menakutkan. Karena alat perantaranya telah melekat di hati".
Bagaimana dengan sandingan sayur "Kupat", apa mengandung makna tertentu juga? Disinggung soal itu, Marzuki menandaskan sayur pendamping "Kupat" hanyalah selera lidah masyarakat. Tidak ada makna khusus karena biasanya sayur pendamping "Kupat" disesuaikan dengan masakan khas daerah masing-masing.
Dari sisi sejarah,"Tradisi Kupatan" berangkat dari upaya-upaya Wali Songo memasukkan ajaran Islam. Karena zaman dulu orang Jawa selalu menggunakan simbol-simbol tertentu, akhirnya para Walisongo memanfaatkan cara tersebut. "Tradisi Kupatan" akhirnya menggunakan simbol janur atau daun kelapa muda berwarna kuning”.
Dari sisi bahasa, "Kupat" berarti mengaku lepat atau mengakui kesalahan. Bertepatan dengan momen Lebaran, "Kupat" mengusung semangat saling memaafkan, semangat taubat pada Allah, dan sesama manusia. Dengan harapan, tidak akan lagi menodai dengan kesalahan di masa depan. ''Kupat" dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kafi. Yakni, kuffat yang berarti sudah cukup harapan".
Dengan berpuasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan, lalu Lebaran 1 syawal, dan dilanjutkan dengan puasa sunnah enam hari Syawal, maka orang-orang yang kuffat merasa cukup ibadahnya. Apalagi, berdasarkan hadis riwayat Imam Muslich bahwa ibadah tersebut sama dengan berpuasa satu tahun lamanya. ''Karena itulah, kuffat berarti orang-orang yang merasa cukup".
Terlebih, ditambah lagi dengan "Tradisi" silaturahim selama sepekan penuh pada kerabat dan masyarakat sekitar. Sehingga, "Tradisi Kupatan" benar-benar dirasa lengkap.
Sedang dari sisi penyimbolan, dipilihnya janur karena janur biasa digunakan masyarakat Jawa dalam suasana suka cita. Umumnya, dipasang saat ada pesta pernikahan atau momen menggembirakan lain. Janur dalam bahasa Arab berasal dari kata Jaa Nur atau telah datang cahaya. Sebuah harapan cahaya menuju rahmat Allah, sehingga terwujud negeri yang makmur dan penuh berkah.
Sedang isinya, dipilih beras baik-baik yang dimasak jadi satu sehingga membentuk gumpalan beras yang sangat kempel. Ini pun memiliki makna tersendiri, yakni makna kebersamaan dan kemakmuran. ''Harapan para Wali Songo dulu, "Tradisi Kupatan" ini bukan sebuah formalitas, tapi menjadi semangat kebersamaan umat".
Selain itu, biasanya "Kupatan" dimaknai dengan potongan miring sebagai simbol perempuan. Potongan "Kupat" miring tersebut lazim disandingkan dengan lepet berbahan beras ketan dengan bentuk lonjong sebagai simbol laki-laki. ''Artinya, pasangan suami istri juga harus selalu hidup rukun dan bersanding".
Dalam perjalanan, para kiai dan ulama menjadikan "Tradisi Kupatan" untuk menyampaikan pesan persatuan dan silaturahim. Ajakan tersebut, tak perlu sulit-sulit dengan himbauan lisan, tapi cukup dengan simbol-simbol. Sehingga, ajaran agama menjadi tidak asing bagi umat. ''Dengan menggunakan simbol yang melekat di kehidupan sehari-hari, ajaran agama bukan lagi hal menakutkan. Karena alat perantaranya telah melekat di hati".
Bagaimana dengan sandingan sayur "Kupat", apa mengandung makna tertentu juga? Disinggung soal itu, Marzuki menandaskan sayur pendamping "Kupat" hanyalah selera lidah masyarakat. Tidak ada makna khusus karena biasanya sayur pendamping "Kupat" disesuaikan dengan masakan khas daerah masing-masing.
Kesempurnaan dan kesucian diri yang
juga dilambangkan dengan isi "Kupat" yang berisi beras (segenggam beras)
dan karena butir-butir beras tadi saling menyatu dalam selongsong janur
dan rela direbus sampai matang, masak, maka jadilah sebuah makanan yang
mengenyangkan dan enak dimakan. Ini adalah sebuah simbol dari persamaan
juga kebersamaan persatuan dan kesatuan, dimana yang demikian itu
merupakan seuntai pesan moral terhadap umat agar sama-sama rela untuk
menjalin persatuan dan kesatuan sesama umat, untuk diri pribadi,
lingkungan, masyarakat, bangsa dan negara.
Namun sedemikian itu, meski sudah menjadi sebuah "Tradisi" turun temurun dan terus dilakukan, juga tak jarang muncul sebuah polemik di kalangan umat Muslim, dimana ada juga yang menganggap sebuah "Tradisi" tersebut sebagai Bid’ah dan sesat, dikarenakan termasuk mengada-ada dalam masalah ibadah. Setelah bulan suci Ramadhan, dan memasuki Syawal (1 Syawal/Idul Fitri) maka pada saat itu seluruh kaum Muslim diharamkan untuk berpuasa, terkecuali ketika mulai pada hari ke 2 bulan Syawal, baru ada anjuran (sunnah muakkad) untuk melakukan puasa selama enam hari, berturut-turut sejak tanggal 2 Syawal ataupun terpisah, selama masih dalam bulan Syawal, sebagaimana sabda Nabi SAW :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصَوْمِ الدَّهْرِ. رواه مسلم (الجامع الصغير ص 307)
Artinya :
“Barang siapa berpuasa Ramadlan kemudian mengikutinya dengan puasa enam
hari di bulan Syawwal, maka yang demikian itu seperti puasa setahun”.
(HR. Imam Muslim)
Kemudian setelah puasa Syawal, tidak ada anjuran atau tuntutan melakukan
dan menyelenggarakan "Tradisi" tertentu (disini yang dimaksudkan adalah "Kupatan"), maka barang siapa melakukan "Tradisi" tertentu atau "Tradisi"
riyoyo kupat pada tanggal 8 Syawal, maka hal itu dianggap Bid’ah (suatu
hal yang baru). Kenapa demikian, dikarenakan dianggap suatu hal yang
dulunya (zaman Rasul dan para sahabat) tidak pernah melakukan dan tidak
pernah diajarkan. Inilah yang kemudian menjadi bermunculan multipersepsi
di kalangan umat Islam, antara yang Bid’ah dan tidak, antara yang
melakukan dan tidak mau melakukan. Namun tidaklah ini menjadi sebuah
kerumitan dan menjanggal kita, coba kita pecahkan dan kita pikirkan dari
paradigma bahasa yakni interpretasi dari makna Bid’ah itu sendiri, juga
bagaimana status amaliyah dari "Tradisi" riyoyo "Kupatan" itu sendiri.
Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh
sebelumnya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah ayat
117 yang artinya :
“Allah Pencipta langit dan bumi, ...”. Yang dimaksud disini adalah mencipta (membuat) tanpa ada contoh sebelumnya.
Juga firman-Nya dalam Q.S Al-Ahqaf ayat 9 yang artinya : “Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara Rasul-rasul’ ”. Maksudnya adalah aku bukan Rasul pertama yang diutus ke dunia ini. Sedangkan ada yang mendefinisikan Bid’ah secara mutlak, yakni segala hal yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Sesuatu yang ada kaitannya dengan ibadah dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi adalah Bid’ah dan haram untuk dilakukan. Oleh karena itulah "Tradisi Kupatan" ini dikategorikan sebagai ibadah madlah (ritual murni) yang terikat dengan tata cara yang didasarkan pada tauqif (Jawa; piwulang) dari Nabi, dan hal itu dianggap mengada-ada dan itu adalah bid’ah, sedangkan setiap bid’ah adalah dlalalah. Sabda Nabi SAW:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. رواه البيهقي عن عائشة (الجامع الصغير ص 296)“Allah Pencipta langit dan bumi, ...”. Yang dimaksud disini adalah mencipta (membuat) tanpa ada contoh sebelumnya.
Juga firman-Nya dalam Q.S Al-Ahqaf ayat 9 yang artinya : “Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara Rasul-rasul’ ”. Maksudnya adalah aku bukan Rasul pertama yang diutus ke dunia ini. Sedangkan ada yang mendefinisikan Bid’ah secara mutlak, yakni segala hal yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Sesuatu yang ada kaitannya dengan ibadah dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi adalah Bid’ah dan haram untuk dilakukan. Oleh karena itulah "Tradisi Kupatan" ini dikategorikan sebagai ibadah madlah (ritual murni) yang terikat dengan tata cara yang didasarkan pada tauqif (Jawa; piwulang) dari Nabi, dan hal itu dianggap mengada-ada dan itu adalah bid’ah, sedangkan setiap bid’ah adalah dlalalah. Sabda Nabi SAW:
Artinya :
“Barang siapa mengada-ada di dalam urusan agama kita ini, sesuatu yang
tidak bersumber darinya, maka hal itu ditolak” (HR. Imam Baihaqi)
Dan sabda Nabi SAW. : وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ ذَلِكَ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه أبو داود والترمذي. أَيْ بَاعِدُوْا وَاْحذَرُوْا اْلأَخْذَ بِاْلأُمُوْرِ الْمُحْدَثَةِ فِي الدِّيْنِ. (المجالس السنية شرح الأربعين النووية ص 87)
Artinya :
“Jauhilah hal-hal baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya hal
tersebut adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat (HR. Abu Dawud dan
Tirmidzi) yakni kamu sekalian harus menjauhi dan mewaspadai
perkara-perkara baru dalam agama.
Namun selain daripada itu, ada lagi yang kemudian pendapat
mengklasifikasikan bid’ah itu menjadi dua bagian, yakni bid’ah hasanah
(baik) dan bid’ah sayyi’ah (buruk), dan berpendapat bahwasanya "Tradisi
kupatan" itu adalah dikategorikan sebagai ibadah ghairu mahdlah (tidak
murni) yang yang perintahnya ada, namun dalam hal pelaksanaannya
disesuaikan dengan situasi dan kondisi, maka adanya "Tradisi" itu dianggap
amrun mustahsan (sesuatu yang dianggap baik). Penjelasan ini bukan
berarti mengingkari dari pada dua hadits yang telah disebutkan di atas
tadi, akan tetapi mencoba memahami hadits tersebut dengan paradigma yang
lebih luas, dalam artian tidaklah semua bid’ah itu dlalalah (sesat),
namun ada juga bid’ah yang hasanah (bagus) yaitu suatu hal baru yang
tidak merusak akidah dan tidak menyimpang dari syari’at, sebagaimana
dijelaskan dalam kitabnya Syaikh As-Sayyid Muhammad Alwi “Al-Ihtifal
bidzikro maulidin Nabi” :
قَالَ اْلإِمَامُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: مَا أَحْدَثَ
وَخَالَفَ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا أَوْ أَثَرًا فَهُوَ
الْبِدْعَةُ الضَّالَّةُ، وَمَا أَحْدَثَ مِنَ الْخَيْرِ وَلَمْ يُخَالِفْ
شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ الْمَحْمُوْدُ.
Artinya :
“Imam Syafi’i berpendapat bahwa amalan apa saja yang baru diadakan dan amalan itu jelas menyimpang dari kitabullah, sunnah Rasul, ijma’us shahabah atau atsaratut tabi’in, itulah yang dikategorikan bid’ah dlalalah/sesat atau tercela. Sedangkan amalan baik yang baru diadakan dan tidak menyimpang dari salah satu dari empat pedoman di atas, maka hal tersebut termasuk hal yang terpuji”.
Juga dalam kitab yang sama beliau menyimpulkan pendapat Imam Syafi’i tersebut sebagai berikut : “Imam Syafi’i berpendapat bahwa amalan apa saja yang baru diadakan dan amalan itu jelas menyimpang dari kitabullah, sunnah Rasul, ijma’us shahabah atau atsaratut tabi’in, itulah yang dikategorikan bid’ah dlalalah/sesat atau tercela. Sedangkan amalan baik yang baru diadakan dan tidak menyimpang dari salah satu dari empat pedoman di atas, maka hal tersebut termasuk hal yang terpuji”.
فَكُلُّ خَيْرٍ تَشْتَمِلُهُ اْلأَدِلَّةُ الشَّرْعِيَّةُ وَلَمْ يُقْصَدْ بِإِحْدَاثِهِ مُخَالَفَةُ الشَّرِيْعَةِ وَلَمْ يَشْتَمِلْ عَلَى مُنْكَرٍ فَهُوَ مِنَ الدِّيْنِ.
Artinya :
“Jadi setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan
mengadakannya tidak ada maksud menyimpang dari aturan syari’at serta
tidak mengandung kemunkaran, maka hal itu termasuk “ad-din” (urusan
agama)”.
Oleh karena itu, wahai sahabat/i yang dimuliakan Allah semuanya, Aamiin,
menempatkan hukum riyoyo "Kupat" itu tidaklah dengan seenaknya saja, harus
dilihat dari substansi masalahnya, yaitu ajaran silaturrahim, saling
memaafkan juga ajaran tentang pemberian sodaqoh atau sedekah, yang mana
hal tersebut perintahnya ada dalam dalil syar’i, namun daripada itu
teknis dalam hal pelaksanaannya bisa dilakukan dengan beragam cara.
Dalil syar’i tentang silaturrahim antara lain : Hadits Riwayat Tirmidzi : أَسْرَعُ الْخَيْرِ ثَوَابًا الْبِرُّ وِصِلَةُ الرَّحِمِ. رواه الترمذي عن عائشة
Artinya :
“Amal kebajikan yang paling cepat mendapatkan pahala adalah ketaatan dan silaturrahim”.
Dalil syar’i tentang memberikan maaf antara lain QS. An-Nur 22 :
وَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْا أَلاَ تُحِبُّوْنَ أَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ. النور : 22.
Artinya :
“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada, apakah kamu tidak
ingin Allah akan mengampunimu? Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha
penyayang”. (QS. An-Nur : 22)
Dalil syar’i tentang memberikan sedekah antara lain : تَصَدَّقُوْا وَلَوْ بِتَمْرَةٍ. رواه ابن المبارك
Artinya :
“Bersedakahlah kamu, meskipun hanya berupa sebutir kurma” (HR. Ibnu Mubarak).
Itulah, sedikit dari beberapa pemaparan tentang "Tradisi Kupatan", dimana "Tradisi Kupatan" itu tidak bisa dengan begitu saja disebut sebagai bid’ah
atau tambahan dalam beribadah, melainkan "Tradisi Kupatan" adalah budaya
lokal dimana budaya tersebut memiliki keterkaitan dengan syari’at Islam
dan karena itulah "Kupatan" tidak bisa dihukumi sebagai penyimpangan,
apalagi dihukumi sebagai tindakan dlalalah (sesat).
Sumber:
1. fendi-tw.blogspot.com/2008/10/tradisi-kupatan.html
2. pekansyawalan.blogspot.com/p/blog-page_4.html
3. zaynunaddin.blogspot.com › Religi
4. digito10 blogspot.com/Sekedar-Cemilan-Hidup:Kupatan-Tradisi....
5. mushollarapi.blogspot.com/Musholla-RAPI-Online:Agustus-2012....
6. zainunaddin.blogspot.com/Memahami-Hakikat-Kupatan....
7. mtsmaarifkarangan.blogspot.com/Tradisi-Kupatan....
0 komentar:
Posting Komentar