"Sosiologi Agama" intinya membicarakan tentang berbagai peranan "Agama" dalam kehidupan masyarakat,baik menurut pendekatan makro maupun mikro."
Dibahas tentang kedudukan "Agama" dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Hubungan "Agama" dengan berbagai unsur sosial dan budaya, seperti organisasi sosial, ekonomi, politik, pengetahuan dan perang suci.
PENGERTIAN "SOSIOLOGI AGAMA".
Berikut ini beberapa pengertian "Sosiologi Agama" menurut para ahli:
- Drs. D. Hendropuspito, O.C dalam bukunya "Sosiologi Agama" menerangkan bahwa "Sosiologi Agama" adalah suatu cabang "Sosiologi" umum yang mempelajari masyarakat "Agama" secara "Sosiologis" guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
- Dr. W. Goddijn: "Sosiologi Agama" adalah bagian dari "Sosiologi" umum (versi barat) yang mempelajarii suatu ilmu budaya empiris, profan dan positif yang menuju kepada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok ke"agama"an dan gejala-gejala kekelompokan ke"agama"an.
- "Sosiologi Agama" mempelajari peran "Agama" di dalam masyarakat; praktik, latar sejarah, perkembangan dan tema universal suatu "Agama" di dalam masyarakat (wiki).
- "Sosiologi Agama" adalah ilmu yang membahas tentang hubungan antara berbagai kesatuan masyarakat, perbedaan atau masyarakat secara utuh dengan berbagai system "Agama", tingkat dan jenis spesialisasi berbagai peranan "Agama" dalam berbagai masyarakat dan system ke"agama"an yang berbeda.
- "Sosiologi Agama" adalah studi tentang fenomena social, dan memandang "Agama" sebagai fenomena social. "Sosiologi Agama" selalu berusaha untuk menemukan pinsip-prinsip umum mengenai hubungan "Agama" dengan masyarakat.
- "Sosiologi Agama" adalah suatu cabang "Sosiologi" umum yang mempelajari masyarakat "Agama" secara "Sosiologis" guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat "Agama" itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
PLURALISME MENURUT KAJIAN "SOSIOLOGI AGAMA".
Berikut ini beberapa
pengertian pluralisme:
Pertama, menurut "Sosiologi" fungsional, pluralisme adalah diferensiasi (perbedaan)
masyarakat yang dapat diamati pada level individu sebagai diferensiasi
peran, pada level organisasional sebagai kompetisi organisasi-organisasi
formal, dan pada level masyarakat sebagai pembatasan-pembatasan
terhadap fungsi institusi.
Kedua,
dalam wacana ilmu sosial, pluralisme dalam arti pengakuan terhadap
keragaman dalam masyarakat dan berbagai prasyarat bagi pilihan dan
kebebasan individu, dihadapkan pada dua ekstrem yang berlawanan. (1)
pluralisme berhadapan dengan berbagai monisme, seperti teokrasi, negara
absolut, monopoli, masyarakat total,
kesadaran terasing, dan kebudayaan monolitik, (2) pluralisme
mengimplikasikan struktur yang dapat diidentifikasi. Di mana pluralisme
dapat secara simultan dihadapkan pada sesuatu tanpa bentuk seperti
anarki, anomie dalam arti kognitif maupun normatif, relativisme
epistimologis, dan posmodernisme yang tidak koheren.
Dengan kalimat
lain, pluralisme menekankan pengertian deskriptif dan evaluatif, di satu
sisi, konsep pluralisme berarti kesadaran akan banyaknya subentitas,
sebaliknya di sisi lain mengungkapkan pengakuan positif terhadap
pluralisme. Dari beberapa definisi tentang pluralisme di atas, adapun
yang dimaksud dengan pluralisme "Agama" adalah adanya pengakuan bahwa
seluruh manusia di bumi ini tidak hanya menganut satu "Agama" tetapi
menganut banyak "Agama".
Pluralisme manjadi
situasi nyata sebagai masalah yang harus dihadapi oleh manusia. Sebagai
reaksi terhadap pluralisme yang menekan, ada beberapa macam reaksi yang
timbul, yaitu: (1) Fundamentalis, yaitu reaksi menolak pluralisme dan
memperkukuh posisi sendiri; (2) Proselitisme, yaitu usaha mentobatkan
pengikut "Agama" lain agar masuk "Agama" sendiri dengan cara-cara yang tidak
wajar; (3) Sinkretisme, yaitu reaksi kompromis dengan cara mencampur
adukkan kedua keyakinan "Agama" yang bertemu.
Munculnya fenomena
pluralisme "Agama" yang dapat ditelusuri dari tiga mazhab teori besar
dalam "Sosiologi Agama" diantaranya teori fungsionalisme (Emile Durkheim),
kognitivisme (Max Webber) dan teori kritis (Karl Marx). Pandangan tiga
mazhab teori itu tentang "Agama" misalnya fungsionalisme melihat bahwa "Agama" sebagai institusi yang dibangun demi integrasi sosial.
Kognitifisme memandang "Agama" sebagai pandangan dunia yang memberi makna
bagi individu dan kelompok. Sementara teori kritis menginterpretasikan "Agama" sebagai ideologi yang melegetimasi struktur kekuasaan masyarakat.
Fenomena
pluralisme seperti yang dikemukakan oleh Talcot Parson (1967) adalah
sebagai pembedaan sistematik pada semua level, baik itu level pembedaan
peran maupun level pembedaan sosial dan budaya. Bagi kaum kognitivis,
seperti yang diwakili oleh Peter L. Berger mengemukakan fenomena
pluralisme sebagai gejala sosio-struktural yang pararel dengan
sekularisasi kesadaran (Berger, 1967:127). Menurut Berger, sekularisasi
membawa pada demonopolisasi tradisi-tradisi "Agama" dan pada peningkatan
peran rakyat jelata. Sementara di kalangan teoritisi kritis seperti yang
diwakili oleh Houtart, Habermas atau Bourdieu menganalisis pluralisme "Agama" bukan suatu tema yang menarik perhatian, karena dalam tradisi
Marxis, "Agama" bukanlah penyebab penting bagi perubahan struktural dan
emansipasi manusia.
Saat ini
pluralisme yang dipahami dan dipraktekkan oleh sebagian manusia adalah
“pluralisme semu” (pseudo pluralism). Dimana pluralisme hanya sebatas
dan belum sepenuhnya menjadi entitas yang harus disadari dan diakui
sebagai kenyataan sosial dalam masyarakat. Pluralisme semu adalah bentuk
pengakuan terhadap keragaman masyarakat (toleransi) yang terdiri dari
budaya, suku, dan "Agama" yang berbeda-beda, namun tidak bersedia
menyikapi dan menerima suatu keberagaman sebagai kenyataan sejarah
(historical necessity) dan kenyatan sosio-kultural (socio-cultural
necessity).
Dengan kalimat
lain, pluralisme semu merupakan bentuk pengakuan atas perbedaan yang
ada, namun penerimaan akan adanya suatu perbedaan belum sepenuhnya
nampak dari sebagian sikap sebagian manusia. Sikap mendua atau standar
ganda (double standard) dapat berimplikasi pada keretakan hubungan
antarumat beragama, yang lambat laun berpotensi melahirkan konflik "Agama". Semestinya, pluralisme harus dipahami sebagai bentuk kesedian
menerima kelompok lain secara sama sebagai suatu kesatuan. Adanya
komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup, sebab yang terpenting
adalah bahwa komunitas-komunitas itu harus diperlakukan sama oleh
negara. Di sinilah konsep pluralisme memberikan kontribusi nyata
terhadap agenda demokrasi dan anti-diskriminasi. Perhatian yang besar
terhadap persamaan (equality) dan anti-diskriminasi kaum minoritas telah
menghubungkan pluralisme dengan demokrasi. Dua kondisi inilah yang
diperjuangkan oleh Cak Nur dan Gus Dur.
Jadi, Pluralisme
bukan hanya mempresentasikan adanya kemajemukan (suku atau etnik,
bahasa, budaya dan agama) dalam masyarakat yang berbeda-beda. Akan
tetapi, pluralisme harus memberikan penegasan bahwa dengan segala
keperbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik.
Sumber:
1. mbegedut.blogspot.com/.../pengertian-sosiologi-agama-menurut-para.html - Cache
2. images.tajularifin.multiply.multiplycontent.com/.../Sosiologi%20Agama.pdf? ... - Cache
3. edukasi.kompasiana.com/2010/.../pluralisme-kajian-sosiologi-agama-1/ - Cache
4. laely-widjajati.blogspot.com/.../masjid-tiban-turen-malang-nan-megah.html - Cache
5. laely-widjajati.blogspot.com/.../indahnya-banjarmasin-kalimantan-selatan.
0 komentar:
Posting Komentar