"Remaja" yang masih "sekolah" di SLTP/ SLTA selalu mendapat banyak 
hambatan atau "masalah" yang biasanya muncul dalam bentuk perilaku".
Di "sekolah" merupakan sebagian besar waktu keberadaan "remaja". Kesulitan 
dalam hampir semua "masalah" hidup seringkali dimanifestasikan sebagai 
"masalah"-"masalah" "sekolah". "Masalah"-"masalah" "sekolah" selama tahun-tahun "remaja" kemungkinan hasil dari pemberontakan dan suatu keinginan untuk 
bebas. Sangat jarang, disebabkan gangguan kesehatan jiwa, seperti 
kegelisahan atau depresi. Penggunaan zat-zat, kekerasan dan konflik 
keluarga juga menjadi penyebab umum "masalah"-"masalah" "sekolah". Kadangkala,
 penempatan akademis yang tidak sesuai-terutama sekali pada "remaja" yang 
mengalami ketidakmampuan belajar atau keterlambatan mental ringan yang 
tidak segera diketahui di dalam hidup-menyebabkan "masalah"-"masalah" 
"sekolah". Umumnya, remaja dengan "masalah"-"masalah" 
"sekolah" yang signifikan 
harus menjalani tes pengetahuan dan evaluasi kesehatan mental. 
"Masalah"-"masalah" yang khusus diobati bila diperlukan, dan dukungan umum 
dan dorongan dilakukan. "Masalah"-"masalah" yang 
mulai terjadi di lingkungan anak-anak, seperti kurang perhatian/gangguan
 hiperaktif (ADHD) dan gangguan belajar, bisa berlanjut untuk 
menyebabkan "masalah"-"masalah" 
"sekolah" pada "remaja". Berikut ada lima daftar "masalah" yang selalu dihadapi para "remaja" di 
"sekolah".
1. Perilaku      Ber"masalah" (problem behavior). "Masalah" perilaku 
yang dialami "remaja" di      "sekolah" dapat dikatakan masih dalam kategori
 wajar jika tidak merugikan      dirinya sendiri dan orang lain. Dampak 
perilaku ber"masalah" yang dilakukan      "remaja" akan menghambat dirinya 
dalam proses sosialisasinya dengan "remaja"      lain, dengan guru, dan 
dengan masyarakat. Perilaku malu dalam      mengikuti berbagai 
aktvitas yang digelar "sekolah" misalnya, termasuk dalam      kategori 
perilaku ber"masalah" yang menyebabkan seorang "remaja" mengalami      
kekurangan pengalaman. Jadi problem behaviour akan merugikan secara 
tidak      langsung pada seorang "remaja" di "sekolah" akibat perilakunya 
sendiri.
2. Perilaku      menyimpang (behaviour disorder). Perilaku 
menyimpang pada "remaja"      merupakan perilaku yang kacau yang 
menyebabkan seorang "remaja" kelihatan      gugup (nervous) dan 
perilakunya tidak terkontrol (uncontrol). Memang      diakui bahwa tidak
 semua "remaja" mengalami behaviour disorder. Seorang      "remaja" 
mengalami hal ini jika ia tidak tenang, unhappiness dan menyebabkan     
 hilangnya konsentrasi diri. Perilaku menyimpang pada "remaja" akan      
mengakibatkan munculnya tindakan tidak terkontrol yang mengarah pada    
  tindakan kejahatan. Penyebab behaviour disorder lebih banyak karena   
   persoalan psikologis yang selalu menghantui dirinya.
3. Penyesuaian      diri yang salah (behaviour maladjustment). 
Perilaku yang tidak sesuai      yang dilakukan "remaja" biasanya didorong 
oleh keinginan mencari jalan      pintas dalam menyelesaikan sesuatu 
tanpa mendefinisikan secara cermat      akibatnya. Perilaku menyontek, 
bolos, dan melangar peraturan "sekolah"      merupakan contoh penyesuaian 
diri yang salah pada "remaja" di "sekolah" menegah      (SLTP/SLTA).
4. Perilaku      tidak dapat membedakan benar-salah (conduct disorder).
 Kecenderungan      pada sebagian "remaja" adalah tidak mampu membedakan 
antara perilaku benar      dan salah. Wujud dari conduct disorder adalah
 munculnya cara pikir dan      perilaku yang kacau dan sering menyimpang
 dari aturan yang berlaku di      "sekolah". Penyebabnya, karena sejak 
kecil orangtua tidak bisa membedakan      perilaku yang benar dan salah 
pada anak. Wajarnya, orang tua harus mampu      memberikan hukuman 
(punisment) pada anak saat ia memunculkan perilaku yang      salah dan 
memberikan pujian atau hadiah (reward) saat anak memunculkan      
perilaku yang baik atau benar. Seorang "remaja" di "sekolah" dikategorikan  
    dalam conduct disorder apabila ia memunculkan perikau anti sosial 
baik      secara verbal maupun secara non verbal seperti melawan aturan,
 tidak sopan      terhadap guru, dan mempermainkan temannya . Selain 
itu, conduct disordser      juga dikategorikan pada "remaja" yang 
berperilaku oppositional deviant      disorder yaitu perilaku oposisi 
yang ditunjukkan "remaja" yang menjurus ke      unsur permusuhan yang akan
 merugikan orang lain.
5. Attention      Deficit Hyperactivity disorder, yaitu anak yang 
mengalami defisiensi      dalam perhatian dan tidak dapat menerima 
impul-impuls sehingga      gerakan-gerakannya tidak dapat terkontrol dan
 menjadi hyperactif. "Remaja"      di "sekolah" yang hyperactif biasanya 
mengalami kesulitan dalam memusatkan      perhatian sehingga tidak dapat
 menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan      kepadanya atau tidak 
dapat berhasil dalam menyelesaikan tugasnya. Jika      diajak berbicara,
 "remaja" yang hyperactif tersebut tidak memperhatikan      lawan 
bicaranya. Selain itu, anak hyperactif sangat mudah terpengaruh oleh    
  stimulus yang datang dari luar serta mengalami kesulitan dalam bermain
      bersama dengan temannya. 
Peranan Lembaga Pendidikan Untuk tidak segera mengadili dan menuduh 
"remaja" sebagai sumber segala "masalah" dalam kehidupan di masyarakat, 
barangkali baik kalau setiap lembaga pendidikan (keluarga, "sekolah", dan 
masyarakat) mencoba merefleksikan peranan masing-masing.
PERTAMA, Lembaga keluarga adalah lembaga pendidikan 
yang utama dan pertama. Kehidupan keluarga yang kering, terpecah-pecah 
(broken home), dan tidak harmonis akan menyebabkan anak tidak kerasan 
tinggal di rumah. Anak tidak merasa aman dan tidak mengalami perkembangan
 emosional yang seimbang. Akibatnya, anak mencari bentuk ketentraman di 
luar keluarga, misalnya gabung dalam group gang, kelompok preman dan 
lain-lain. Banyak keluarga yang tidak mau tahu dengan perkembangan 
anak-anaknya dan menyerahkan seluruh proses pendidikan anak kepada 
"sekolah". Kiranya keliru jika ada pendapat yang mengatakan bahwa 
tercukupnya kebutuhan-kebutuhan materiil menjadi jaminan berlangsungnya 
perkembangan kepribadian yang optimal bagi para "remaja".
KEDUA, Bagaimana pembinaan moral dalam lembaga 
keluarga, "sekolah", dan masyarakat. Kontras tajam antara ajaran dan 
teladan nyata dari orang tua, guru di "sekolah", dan tokoh-tokoh panutan 
di masyarakat akan memberikan pengaruh yang besar kepada sikap, 
perilaku, dan moralitas para "remaja". Kurang adanya pembinaan moral yang 
nyata dan pudarnya keteladanan para orangtua ataupun pendidik di "sekolah"
 menjadi faktor kunci dalam proses perkembangan kepribadian "remaja". 
Secara psikologis, kehidupan "remaja" adalah kehidupan mencari idola. 
Mereka mendambakan sosok orang yang dapat dijadikan panutan. Segi 
pembinaan moral menjadi terlupakan pada saat orang tua ataupun pendidik 
hanya memperhatikan segi intelektual. Pendidikan di "sekolah" terkadang 
terjerumus pada formalitas pemenuhan kurikulum pendidikan, mengejar 
bahan ajaran, sehingga melupakan segi pembinaan kepribadian penanaman 
nilai-nilai pendidikan moral dan pembentukan sikap.
KETIGA, Bagaimana kehidupan sosial ekonomi keluarga 
dan masyarakat apakah mendukung optimalisasi perkembangan "remaja" atau 
tidak. Saat ini, banyak anak-anak di kota-kota besar seperti Jakarta 
sudah merasakan kemewahan yang berlebihan. Segala keinginannya dapat 
dipenuhi oleh orangtuanya. Kondisi semacam ini sering melupakan 
unsur-unsur yang berkaitan dengan kedewasaan anak. Pemenuhan kebutuhan 
materiil selalu tidak disesuaikan dengan kondisi dan usia perkembangan 
anak. Akibatnya, anak cenderung menjadi sok malas, sombong, dan suka 
meremehkan orang lain.
Keempat, Bagaimana lembaga pendidikan di sekolah 
dalam memberikan bobot yang proposional antara perkembangan kognisi, 
afeksi, dan psikomotor anak. Akhir-akhir ini banyak dirasakan beban 
tuntutan sekolah yang terlampau berat kepada para peserta didik. Siswa 
tidak hanya belajar di sekolah, tetapi juga dipaksa oleh orangtua untuk 
mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dan mengikuti les tambahan
 di luar sekolah. Faktor kelelahan, kemampuan fisik dan kemampuan 
inteligensi yang terbatas pada seorang anak sering tidak diperhitungkan 
oleh orangtua. Akibatnya, anak-anak menjadi kecapaian dan over acting, 
dan mengalami pelampiasan kegembiraan yang berlebihan pada saat mereka 
selesai menghadapi suasana yang menegangkan dan menekan dalam kehidupan 
di sekolah.
KELIMA, Bagaimana pengaruh tayangan media massa baik
 media cetak maupun elektronik yang acapkali menonjolkan unsur kekerasan
 dan diwarnai oleh berbagai kebrutalan. Pengaruh-pengaruh tersebut maka 
munculah kelompok-kelompok "remaja", gang-gang yang berpakaian serem dan 
bertingkah laku menakutkan yang hampir pasti membuat masyarakat prihatin
 dan ngeri terhadap tindakan-tindakan mereka. Para "remaja" tidak 
dipersatukan oleh suatu identitas yang ideal. Mereka hanya himpunan 
anak-anak remaja atau pemuda-pemudi, yang malahan memperjuangkan sesuatu
 yang tidak berharga (hura-hura), kelompok yang hanya mengisi kekosongan
 emosional tanpa tujuan jelas.
SOLUSI.
Siswa-siswi SLTP/SLTA adalah siswa-siswi yang berada dalam golongan 
usia "remaja", usia mencari identitas dan eksistensi diri dalam kehidupan 
di masyarakat. Dalam proses pencarian identitas itu, peran aktif dari 
ketiga lembaga pendidikan akan banyak membantu melancarkan pencapaian 
kepribadian yang dewasa bagi para "remaja". Ada beberapa hal kunci yang 
bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan.
PERTAMA, memberikan kesempatan untuk mengadakan 
dialog untuk menyiapkan jalan bagi tindakan bersama. Sikap mau berdialog
 antara orangtua, pendidik di "sekolah", dan masyarakat dengan "remaja" pada
 umumnya adalah kesempatan yang diinginkan para "remaja". Dalam hati 
sanubari para "remaja" tersimpan kebutuhan akan nasihat, pengalaman, dan 
kekuatan atau dorongan dari orang tua. Tetapi sering kerinduan itu 
menjadi macet bila melihat realitas mereka dalam keluarga, di "sekolah" 
ataupun dalam lingkungan masyarakat yang tidak memungkinkan karena 
antara lain begitu otoriter dan begitu bersikap monologis. Menyadari 
kekurangan ini, lembaga-lembaga pendidikan perlu membuka kesempatan 
untuk mengadakan dialog dengan para "remaja", kaum muda dan anak-anak, 
entah dalam lingkungan keluarga, "sekolah" maupun masyarakat.
KEDUA, menjalin pergaulan yang tulus. Dewasa ini 
jumlah orang tua yang bertindak otoriter terhadap anak-anak mereka sudah
 jauh berkurang. Namun muncul kecenderungan yang sebaliknya, yaitu sikap
 memanjakan anak secara berlebihan. Banyak orang tua yang tidak berani 
mengatakan tidak terhadap anak-anak mereka supaya tidak dicap sebagai 
orangtua yang tidak mempercayai anak-anaknya, untuk tidak dianggap 
sebagai orangtua kolot, konservatif dan ketinggalan jaman.
KETIGA, memberikan pendampingan, perhatian dan cinta
 sejati. Ada begitu banyak orangtua yang mengira bahwa mereka telah 
mencintai anak-anaknya. Sayang sekali bahwa egoisme mereka sendiri 
menghalang-halangi kemampuan mereka untuk mencintai anak secara sempurna.
 “Saya telah memberikan segala-galanya”, itulah keluhan seorang ibu yang
 merasa kecewa karena anak-anaknya yang ugal-ugalan di "sekolah" dan di 
masyarakat. Anak saya anak yang tidak tahu berterima kasih, katanya. 
Yang perlu dipahami bahwa setiap individu memerlukan rasa aman dan 
merasakan dirinya dicintai. Sejak lahir satu kebutuhan pokok yang yang 
pertama-tama dirasakan manusia adalah kebutuhan akan “kasih sayang” yang
 dalam masa perkembangan selanjutnya di usia remaja, kasih sayang, rasa 
aman, dan perasaan dicintai sangat dibutuhkan oleh para "remaja". Dengan 
usaha-usaha dan perlakuan-perlakuan yang memberikan perhatian, cinta 
yang tulus, dan sikap mau berdialog, maka para "remaja" akan mendapatkan 
rasa aman, serta memiliki keberanian untuk terbuka dalam mengungkapkan 
pendapatnya. Lewat kondisi dan suasana hidup dalam keluarga, lingkungan 
"sekolah", ataupun lingkungan masyarakat seperti di atas itulah para 
"remaja" akan merasa terdampingi dan mengalami perkembangan kepribadian 
yang optimal dan tidak terkungkung dalam perasaan dan tekanan-tekanan 
batin yang mencekam. Dengan begitu gaya hidup yang mereka tampilkan 
benar-benar merupakan proses untuk menemukan identitas diri mereka 
sendiri yang sebenarnya.
Nasib bangsa ke depan berada di pundak generasi "remaja" saat ini. Masa 
depan bangsa ini adalah siapa "remaja" dan pemuda saat ini. Tugas para 
orangtua dan guru adalah mendidiknya dengan penuh kasih sayang dan 
cinta. Orangtua dan guru, masing-masing harus berusaha seikhlas mungkin 
dalam mendidik. Juga diharapkan semakin banyak mendoakan anak-anak 
mereka, meski mereka tidak lahir dari kita. Hanya kepada Allah, Dzat 
penggenggam ruh semua manusia, Dzat yang Maha Menggerakkan ruhani 
manusia. Dzat yang banyak tahu jiwa manusia. Dan…..hanya kepada Allah 
kita banyak berharap, semoga memberi pengetahuan yang bermanfaat, memberi
 pengetahuan yang membuat para pelajar semakin dekat kepada Yang Maha 
Pinter.      
Sumber:
1. komunitassosial-hsr.wetpaint.com/.../Permasalahan+siswa+di+sekolah
2. blog.umy.ac.id/suyantoalhikmah/.../permasalahan-remaja-di-sekolah/
3. yudykartolo.wordpress.com/.../masalah-dan-solusi-remaja-disekolah/
4. memeichan.blogspot.com/2010/05/masalah-remaja-di-sekolah.html
5. adityariski.blogspot.com


0 komentar:
Posting Komentar