"Tata niaga" yang baik harus membawa keadilan bagi para peserta atau seluruh lembaga yang terkait dalam sistem "tata niaga" itu."
Satu jenis produksi dibandingkan dengan jenis produksi yang lain, "tata niaga"nya dapat sangat berlainan, sehingga masing-masing jenis produksi menuntut pengaturan sendiri-sendiri. Hal ini untuk mencegah timbulnya masalah-masalah yang tidak diinginkan.
Menurut Bustanul Arifin, secara umum "tata niaga" yang baik diharapkan setidaknya dapat:
1. Menjaga kestabilan, yaitu baik kestabilan harga maupun kestabilan arus barang.
Dengan adanya kestabilan yang dinamis, dalam arti terdapat dinamisme tanpa adanya goncangan-goncangan dan lonjakan-lonjakan, baik harga maupun pada arus barang, maka produsen maupun konsumen diuntungkan.
2. Berfungsi secsra efisien dengan biaya pemasaran yang serendah mungkin.
Bila "tata niaga" dapat berfungsi secara efisien yaitu dengan biaya marketting yang serendah-rendahnya, maka produsen maupun konsumen diuntungkan --- Namun harus tidak mengakibatkan turunnya kualitas barang maupun kualitas pelayanan.
3. Memberi pelayanan dan jasa dengan baik.
"Tata niaga" dapat dikatakan baik apabila dapat memberikan pelayanan dan jasa dengan baik terhadap konsumen.
4. Membawa keadilan bagi segenap peserta "tata niaga" tadi.
"Tata niaga" yang baik harus membawa keadilan bagi para peserta atau seluruh lembaga yang terjait dalam sistem "tata niaga" itu. Yang artinya bahwa "tata niaga" harus menghasilkan pemerataan kesempatan kerja dengan tetap memperhatikan azas efisien. "Tata niaga" tersebut juga harus membuat semua pihak mendapat imbalan sesuai dengan jasa yang diberikan.
"Tata niaga" harus tanggap terhadap perkembangan dan pembaharuan, dalam arti bahasa "tata niaga" selalu aktif mengikuti perkembangan dan pembaharuan.
Sehingga apabila "tata niaga" tersebut berfungsi dengan baik, maka seharusnya tidak akan timbul masalah-masalah "tata niaga" itu sendiri.
"TATA NIAGA" PEDESAAN.
Bentuk "tata niaga" pedesaan yang paling tradisional dapat dijumpai di lingkungan ekonomi petani sederhana. Seperti yang telah digambarkan oleh Alill Dewey, bahwa barang-barang dihasilkan dalam satuan-satuan kecil dan tersebar serta dilakukan oleh keluarga-keluarga "petani" kecil. Maka hasil pertanian tadi diperuntukkan bagi konsumen sendiri. Salah satu contoh khas adalah tanaman sayur segar. Sayuran kebun yang dihasilkan dalam jumlah kecil oleh banyak "petani" kecil yang tinggalnya tersebar dan hasilnya dipungut pada waktu yang tidak menentu, maka hasil kebun itu pada waktu-waktu tertentu dibawa ke pasar setempat oleh istri "petani". Hasil-hasil kebun tadi dijual secara eceran kepada istri-istri "petani" lain yang membelinya juga untuk keperluan keluarga sendiri karena kebetulan saat itu tidak menghasilkan sayuran tertentu tadi atau kebetulan saat itu hasilnya belum dapat dipungut. Sebaliknya wanita "petani" yang terakhir ini membawa ke pasar hasil-hasil kebunnya yang kebetulan lebih untuk dimakan sendiri.
Jadi di dalam ekonomi "petani" sederhana dimana hasil pertanian dihasilkan untuk keperluan sendiri dan apabila terjadi kelebihan harus dijual kepada "petani" lain. Maka "tata niaga" terjadi antara ibu "petani" kecil yang menjual belikan hasil pertaniannya di antara mereka sendiri. Oleh karena itu dalam tahap ekonomi sederhana, maka "tata niaga" adalah "tata niaga" antar konsumen.
Jika ekonomi "petani" sederhana tadi mulai berkembang, maka timbullah pengkhususan-pengkhususan. Dengan semakin berkembangnya usaha tani, maka perkembangan pada "tata niaga" pedesaan nampak dengan munculnya orang-orang (diantara para "petani") yang mengkhususkan diri berjualan ke pasar. Dari mereka ini mula-mula muncul para bakul-bakul dan kemudian tengkulak penjual hasil pertanian.
Perkembangan berikutnya adalah datangnya pedagang-pedagang bukan hasil pertanian. Pedagang dari luar daerah atau di luar ekonomi pedesaan ini, kemuadian mendirikan toko-toko barang-barang bukan hasil pertanian. Pada tahap ini, tidak mengesampingkan praktek "tata niaga" pada tahap sebelumnya masih tetap berjalan. Disamping adanya toko-toko yang menjual hasil pertanian maupun barang-barang industri, pasar-pasar yang menjual hasil pertanian pada hari-hari tertentu tetap berjalan.
Apabila kita lihat dari pelaku (lembaga) "tata niaga" pedesaan khususnya hasil pertanian tidak lain adalah "tata niaga" perekonomian rakyat yaitu para produsen kecil yang pada mulanya hanya menghasilkan untuk konsumen sendiri.
Dalam memperjual belikan barang-barangnya itu, para "petani" produsen kemudian mempertemukan dan dihadapkan dengan para pedagang dari luar ekonomi pedesaan yang memperdagangkan hasil industri. Dalam berhadap-hadapan antara produsen kecil dengan pedagang hasil industri dari luar ekonomi pedesaan ini umumnya para "petani" produsen berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Bagaimanapun posisi masing-masing --- "tata niaga" pedesaan tetap berjalan.
Dalam posisi "petani" produsen yang tidak menguntungkan itu muncullah satu lembaga ekonomi yang kita kenal dengan nama Koperasi Unit Desa (KUD) yang sebelumnya disebut BUUD. Lembaga ini tidak tumbuh dengan sendirinya, namun dengan dorongan dan dukungan pemerintah yang dimaksudkan untuk menjembatani lemahnya posisi produsen hasil pertanian dimana sekaligus adalah para konsumen.
Dengan munculnya KUD tidak berarti pedagang hasil pertanian hasil industri di pedesaan menjadi lemah atau lenyap dan mestinya justru mendorong untuk bekerja efisien karena KUD sendiri belum dapat membeli semua jenis komoditi yang dihasilkan produsen kecil di pedesaan. Dan juga belum menjual semua jenis kebutuhan konsumen di pedesaan.
Pada tahap perkembangan "tata niaga" pedesaan seperti sekarang ini peranan transportasi sangat menunjang, oleh karena itu produsen pertanian disamping menjual barang-barangnya di pasar lokal pedesaan ke KUD, juga menjualnya ke kota-kota. Hal itu dapat dilakukan karena semakin membaiknya prasarana dan sarana transportasi. Disamping itu juga informasi pasar dapat sampai kepada "petani" lewat siaran Radio, TV maupun koran masuk desa dan juga dari PPL pertanian.
POSISI "PETANI" DALAM "TATA NIAGA".
Bentuk "tata niaga" memperlihatkan bagaimana barang hasil pertanian tersebut dijual berlebihan. Bentuk tata niaga yang ada sekarang ini menyebabkan "petani" tidak atau kurang tahu pasti tinggi harga yang berlaku di pasar untuk barang-barang yang diperdagangkan. Hal ini disebabkan "petani" kurang tahu pasti besarnya ongkos, termasuk ongkos membawanya dari tempat tanaman ke rumah dan kemudian ke pasar. Oleh karena sebagian produksinya dikerjakan dengan tenaga sendiri beserta keluarganya yang jarang memperhitungkan ongkosnya. Oleh karena itu "petani" sebagai penjual bersifat mengikuti dari pada menentukan harga dalam tawar menawar, kalau toh ada tawar menawar dalam posisi yan g lunak, sehingga harga yang terjadi lebih rendah dari harga yang diinginkan atau bahkan kalau dihitung lebih rendah dari pada ongkos menghasilkannya, alias "petani" berada pada posisi merugi.
Pada kondisi seperti ini, umumnya "petani" dengan mudah dapat dikelabuhi oleh pedagang tersebut, terutama dalam memberikan informasi-informasi marketting yang jauh dari kebenaran. Hal ini dapat terjadi karena pengetahuan "petani" umumnya dalam bidang marketting sangat minim.
Melihat banyak kelemahan yang ada pada "petani" hasil pertanian dalam memasarkan produksinya, maka perlu diambil langkah-langkah antara lain:
1. Memberikan penyuluhan/bimbingan teknis kepada "petani" dalam bidang teknik pertanian, agro ekonomi termasuk marketting melalui kelompok-kelompok tani lewat PPL pertanian, maupun mass media seperti TV dan koran.
2. Memberikan pelayanan kredit untuk "petani", melalui kredit pedesaan. Hal ini dilakukan supaya "petani" tidak terjebak perangkap rentenir di pedesaan.
3. Meningkatkan peranan KUD dalam hal marketting hasil pertanian disamping juga harus mampu menjalankan fungsinya yang luas untuk melayani kebutuhan masyarakat desa. Hal ini dapat berjalan dengan baik dan berkembang apabila ada kerja sama koperasi baik secara horisontal maupun vertikal.
Dengan langkah-langkah tadi diharapkan supaya posisi "petani" yang lemah dalam "tata niaga"tersebut, sedikit demi sedikit akan teratasi dan akhirnya harus dilepaskan sedikit demi sedikit supaya "petani" dapat berjalan sendiri di atas jalan mekanisme harga yang berlaku.
0 komentar:
Posting Komentar