"Masalah sosial" timbul karena sebab-sebab dari individu sendiri (intrinsic) dan dari luar individu (ekstrinsik). "Masalah" yang mula-mula menggambarkan kondisi individu kemudian menjadi "masalah" yang menjelaskan kondisi dari sistem di tempat masyarakat hidup.
Sebab-sebab ekstrinsik berasal dari lingkungan fisik dan lingkungan "sosial". Seperti yang telah disebutkan tadi bahwa pengertian "masalah kesejahteraan sosial" pada dasarnya tidak berbeda dengan pengertian "masalah sosial". Untuk memahami pengertian ini, perlu saya kemukakan pendapat Ernest Burgess, yang menyatakan bahwa teori tentang "masalah sosial" dalam perkembangan sosiologi dapat dikelompokkan menjadi lima:
"Masalah sosial" sebagai patologi organik individual.
- "Masalah sosial" sebagai patologi "sosial".
- "Masalah sosial" sebagai disorganisasi personal dan "sosial".
- "Masalah sosial" sebagai koonflik-konflik nilai.
- "Masalah sosial" sebagai proses.
Dewasa ini banyak ahli membahas "masalah sosial" sebagai proses "sosial". "Masalah sosial" sebagai proses "sosial" mencakup konsepsi tentang disorganisasi "sosial " dan konflik nilai. "Masalah sosial" timbul sebagai akibat dari proses perubahan sehubungan dengan perkembangan dalam sistem kepribadian manusia serta sistem "sosial". Dalam proses ini dapat pula terjadi hambatan-hambatan terhadap realisasi nilai-nilai "sosial". Terjadinya "masalah sosial" sebagai proses adalah alami dan tidak dapat dielakkan lagi.
Pada hakekatnya "masalah kesejahteraan sosial" timbul dari dapat atau tidak terpenuhinya kebutuhan manusia. "Masalah kesejahteraan sosial" ada yang secara nyata berpangkal pada hambatan-hambatan dalam pemenuhan kebutuhan, ada yang timbul dan berkembang sebagai pengaruh dari perubahan "sosial"-ekonomik serta penggunaan ilmu dan teknologi dalam kehidupan manusia. Disamping itu juga per"masalah"an yang sering tidak dapat atau sukar diperkirakan sebelumnya seperti bencana alam.
Jenis Jenis "Masalah Kesejahteraan Sosial".
Jenis "masalah kesejahteraan sosial" dapat dilihat dari jenis hambatan yang merupakan penyebab dari "masalah kesejahteraan sosial", antara lain :
Ketergantungan ekonomi.
Ketidak mampuan menyesuaikan diri.
Kesehatan yang buruk.
Kurang atau tidak adanya pengisian waktu senggang dan sarana rekreasi.
Kondisi "sosial", penyediaan dan pengelolaan pelayanan "sosial" yang kurang atau tidak baik.
"Masalah" ketergantungan ekonomi dapat dilihat pada kesulitan yang dialami oleh individu-individu, kelompok dan masyarakat yang disebabkan oleh banyak hal. Mayoritas menunjukkan karena kurangnya pendapatan sehingga tidak dapat memenuhi standart kehidupan minimal dalam penghidupannya. Disamping itu juga mencakup "masalah" ketidak mampuan atau ketidak tahuan mengelola pendapatan mereka yang seharusnya dapat mencukupi. "Masalah" ketergantungan ekonomi sering dikaitkan dengan "masalah" kemiskinan. Kemiskinan itu sendiri mempunyai pengertian yang relatip. Pada dasarnya kemiskinan tidak saja berupa kemiskinan secara ekonomik (yang menunjuk kepada anggota atau sekelompok masyarakat yang mengalami keadaan hidup tertentu sehingga tidak mampu memperbaiki diri untuk mencapai standart kehidupan yang layak), akan tetapi juga berupa kemiskinan emosional yang mempunyai pengertian khusus yaitu ditujukan bagi mereka yang mengalami keadaan hidup tertentu dan tidak mampu memenuhi kebutuhan "social"-psikologik. Kemiskinan emosional disebabkan oleh relasi-relasi yang tidak harmonis dalam lingkungan "sosial" (keluarga, ketetanggaan, sekolah, tempat bekerja dan sebagainya)
Dalam kaitan dengan kemiskinan emosional adalah "masalah" ketidak mampuan menyesuaikan diri. "Masalah" ini merupakan hambatan "sosial" psikologik bagi seseorang yang meliputi sikap dan perilakunya dalam berinteraksi dengan orang lain dan penyesuaian diri dengan norma-norma yang berlaku di lingkungan tertentu. Tetapi pengertian disini tidak saja mencakup konformitas seseorang dengan lingkungannya, lebih jauh lagi harus disertai kesadaran dan kerelaan bahwa apa yang diperbuatnya dilakukan tanpa keterpaksaan terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian mencakup keseluruhan relasi seseorang baik keluar maupun kedalam dirinya.
Kesehatan yang buruk dapat disebabkan oleh lingkungan yang tidak sehat dan juga karena factor individu itu sendiri. Menurut Dr. Richard C Cabot, bahwa penyakit-penyakit yang diderita manusia ternyata tidak hanya disebabkan oleh aspek-aspek organik saja tetapi juga disebabkan oleh aspek "social"-psikologik, social-ekonomik, spiritual dan sebagainya. "Masalah" kesehatan yang buruk berkaitan dengan berbagai sebab seperti kemiskinan, kurangnya pendidikan (ketidak tahuan), penyalah gunaan obat (narkotika), ketagihan minuman keras (alkoholik) dan sebagainya.
Rekreasi dan pengisian waktu senggang merupakan kebutuhan yang fundamental bagi kehidupan serta penghidupan seseorang. Rekreasi dan pengisian waktu senggang memiliki fungsi yang penting untuk memberikan keseimbangan dalam kehidupan seseorang. Seseorang memerlukan penyegaran dari beban pemikiran dan tanggung jawab yang berat serta pembebasan dari suasana rutin, yang terus menerus sama serta rasa jenuh. Selain itu rekreasi dan pengisian waktu senggang juga merupakan salah satu kegiatan untuk memberikan kepuaasan kebutuhan atau keinginan-keinginan seseorang. Rekreasi dapat diadakan dengan tanpa mengeluarkan biaya yang tinggi dan dapat memakai sarana yang sederhana.
Sasaran pembangunan dalam bidang "kesejahteraan sosial" tidak hanya ditujukan kepada manusia (anggota masyarakat) yang tidak dapat melaksanakan fungsi "sosial"nya saja, melainkan juga kondisi dan faktor dinamik masyarakat yang dapat dikembangkan dalam rangka meningkatkan partisipasi serta swadaya masyarakat, maka hal ini akan membawa suatu tanggung jawab yang besar. Anggota masyarakat yang disebut sebagai non-fungsional dan apa yang menyebabkannya, Departemen "Sosial" pernah mengelompokkan delapan jenis non-fungsional sebagai berikut :
Non-fungsional secara fisik, seperti tuna netra, penderita cacat fisik lainnya.
Non-fungsional secara ekonomik, yaitu orang-orang miskin, penganggur dan sebagainya.
Non-fungsional karena sebab-sebab kultural, dalam hal ini ada dua kelompok yang terutama harus mendapat perhatian, yaitu suku-suku terasing dan “social" drop-outs”.
Non-fungsional di bidang pendidikan, yaitu yang meninggalkan bangku sekolah sebelum masanya atau yang dikenal sebagai “school drop-out”.
Non-fungsional karena sebeb-sebab alam, yaitu korban-korban bencana alam.
Non-fungsional karena sebab-sebab ethnic, yaitu golongan minoritas yang pada hakikatnya masih hidup terasing dan belum terintegrasikan dalam Bangsa Indonesia.
Non-fungsional karena sebab-sebab politik, yaitu antara lain para repatrian dan para ex. Tahanan politik.
Non-fungsional karena urbanisasi.
Selain penegertian non-fungsional seperti telah disebutkan tadi, terdapat pula masalah yang menyangkut "kesejahteraan sosial" yang bersumber pada keadaan tidak berdaya. Keadaan tidak berdaya ini meliputi :
Keadaan tidak berdaya alamiah (natural helplessness), misalnya masa kanak-
kanak dan masa lanjut usia. Tiap orang lahir sebagai seorang bayi yang tidak berdaya, lalu mencapai tingkat kedewasaan dan mampu hidup mandiri (berdiri sendiri), kemudiaan dalam masa tua kekuatan fisik dan mentalnya menyusut.
Keadaan tidak berdaya secara fisik (physical helplessness) karena sakit, cacat dan wanita yang mengandung serta melahirkan anak.
Keadaan tidak berdaya "sosial" ("social" helplessness). Terdapat tiga macam orang yang membutuhkan bantuan karena kelompok ditempat ia hidup dan memberi bantuan tidak lengkap lagi, misalnya janda, anak yatim piatu dan orang asing. Selain itu ialah si penerima bantuan yang disebut “fakir miskin”. Pengertian miskin dimaksudkan untuk mereka yang tidak dapat mencapai tingkat ekonomi yang terendah dari kelompoknya tanpa adanya bantuan dari kelompok lain. Tingkat hidup tersebut pada tiap-tiap kelompok berbeda satu sama lain. Oleh karena itu pengertian miskin merupakan suatu yang relatip.
Berlainan dengan kemiskinan adalah suatu kelompok yang berada dalam kondisi yang menyedihkan dimana beberapa daerah berjuang untuk mencapai tingkat hidup yang layak. Keadaan ini disebut tidak berdaya yang mutlak (absolute helplessness) karena kelompok ini menghadapi bencana kelaparan.
Ketidaksamaan yang lain yang memperlihatkan aneka ragam kepribadian manusia dalam suatu kelompok atau masyarakat ialah bahwa manusia terdapat si kuat dan si lemah, si pandai dan si bodoh, si cakap dan si tolol, si malas dan si rajin, dan sebagainya.
Selain jenis non-fungsional dan keadaan tidak berdaya seperti tersebut di atas, beberapa "masalah kesejahteraan sosial" lainnya ialah yang beerhubungan dengan tenaga produktif. Dalam hal ini "masalah" ketenagakerjaan seperti perwujudan jaminan bagi buruh, jaminan masa tua, pengembangan potensi buruh dan perlindungan terhadap para buruh (pekerja) wanita.
Pendekatan Terhadap "Masalah Kesejahteraan Sosial".
Pada hakekatnya keinginan untuk menolong, membantu meringankan penderitaan sesama manusia telah mendarah daging dalam diri manusia. Sifat ini yang dikenal sebagai altruist. Berbagai agama mengajarkan kepada pemeluknya untuk berbuat kebajikan sebagai suatu pencerminan keyakinan iman. Menolong yatim piatu, membantu fakir miskin dan menghibur orang yang dalam keadaan susah menjadi kebiasaan yang turun temurun.
Dari studi-studi tentang masyarakat primitive (sederhana) menunjukkan apa yang menjadi dorongan utama dalam kehidupan dan penghidupan mereka adalah perlindungan diri sendiri, "kesejahteraan" keluarga dan "kesejahteraan" kelompok mereka. Tolong menolong, bantu membantu atau bekerja sama pada masyarakat Indonesia sudah ada seperti yang dikenal dengan GOTONG ROYONG. Bentuk lain yang dikenal adalah charity dan philanthropy. CHARITY (Latin : caritas) mengandung arti perbuatan yang bersifat amal, kemurahan hati atau perbuatan untuk menolong orang lain. PHILANTHROPY dari kata Latin “philanthropia” (philein : kasih sayang; anthropos : manusia) adalah tindakan untuk menolong orang yang terdorong oleh rasa cinta kasih.
Dora Peyser mengatakan bahwa asistensi merupakan fungsi yang fundamental di dalam kehidupan kelompok atau kehidupan "sosial". Membantu, menolong, memberikan sokongan adalah tindakan-tindakan "sosial", dimana tanpa tindakan "sosial" ini hidup berkelompok bagi manusia tidak mungkin.
Selanjutnya Dora Peyser, mengemukakan bahwa titik tolak dari asistensi sebagai fungsi "sosial" disebabkan adanya ketidak samaan (inequality) antara manusia dan adanya ketidak samaan dalam keadaan. Maksud dan tujuan asistentsi sedapat-dapatnya untuk mengurangi atau menghilangkan adanya ketidak samaan itu. Ketidak samaan yang dikemukakan oleh Dora Peyser bersumber pada keadaan tidak berdaya seperti yang telah diuraikan terdahulu.
b. Pendekatan Institusional.
Walaupun keadaan kehidupan masyarakat sudah diperbaiki, sebagian masyarakat senantiasa akan masih ada yang hidup di bawah tingkat yang layak. Maka dari itu usaha penanggulangan "masalah kesejahteraan sosial" dilaksanakan secara berkesinambungan dan pendekatan dilakukan secara institusional. Hal ini mengingat majemuknya "masalah kesejahteraan sosial", misinyapun makin bertambah berat. Usaha-usaha yang dilakukan secara tradisional tidak lagi memadai. Karena itu misi "kesejahteraan sosial" juga lebih maju lagi dengan memperjuangkan hak setiap masyarakat tanpa memandang ideology atau golongan. Setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama. Fungsi kesejahteraan "sosial" lebih meningkat lagi.
Pelayanan "sosial" dan pendekatan terhadap "masalah kesejahteraan sosial" dewasa ini lebih jauh berupa usaha suatu tim. Usaha ini antara lain dengan menunjang program pelayanan lainnya seperti program kependudukan dan keluarga berencana, kesehatan masyarakat dan latihan kerja. Program "kesejahteraan sosial" ikut pula memperhatikan usaha meningkatkan pendapatan atau usaha pendistribusiannya. Sehubungan dengan hak-hak "kesejahteraan sosial" umumnya orang masih cenderung untuk meminta bantuan setelah mereka mengalami "masalah".
Pendekatan institusional cendderung kepada usaha mengadakan perubahan berencana. Tujuan perubahan berencana adalah untuk mendapatkan suatu bentuk perubahan yang lebih manusiawi dan efektif. Pendekatan terhadap "masalah kesejahteraan sosial" pertama-tama berdasarkan pada sifat kemanusiaan dengan menciptakan suasana dan perlakuan manusiawi (humane). Langkah kedua dengan senantiasa memperhatikan kebutuhan manusia (human needs) dan penggalian sumber-sumber daya manusia (human resources). Ketiga, bahwa apa yang dilakukan ini adalah untuk prosperitas (kemakmuran, "kesejahteraan") bersama sehingga tercipta suasana yang aman tenteram. Yang keempat, seperti yang telah disebutkan bahwa usaha pelayanan atau pendekatan terhadap "masalah kesejahteraan sosial" adalah usaha kerja tim (team work).
Dalam kaitan pendekatan institusional yang menekankan pada usaha kerja tim, dewasa ini dikedepankan pendekatan secara multidisipliner dan lebih jauh lagi secara interdisipliner. Penanganan kerja melalui tim melibatkan berbagai profesi dan disiplin ilmu. Hal ini lebih memungkinkan untuk melihat secara holistic terhadap "masalah kesejahteraan sosial" yang ditimbulkan oleh berbagai sebab. Usaha pemecahan "masalah" secara terintegrasi atau terpadu dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam terhadap "masalah" yang akan ditangani. Selanjutnya akan lebih memantapkan usaha untuk menentukan sasaran dan memberikan kelengkapan serta keutuhan dalam mengadakan evaluasi kerja. Salah satu kegiatan penting dari kerja tim adalah mengadakan case conference (pertemuan untuk memperbincangkan dan membahas kasus serta menentukan cara pendekatan, pemecahan maupun evaluasi pelaksanaannya).
Pendekatan terhadap "masalah kesejahteraan sosial" perlu memperhatikan dasar-dasar hukum dan sikap atau pengetahuan ilmiah. Pengetahuan ilmiah memerlukan data-data atau fakta-fakta "sosial". Perubahan berencana merupakan usaha pemecahan "masalah" dengan mempergunakan pengetahuan ilmiah.
Dewasa ini "kesejahteraan sosial" dipandang pula sebagai suatu sistem interval. Suatu sistem merupakan sekelompok bagian-bagian atau sejumlah komponen (pendapat, alat, kejadian, cara) yang disusun dan diatur untuk melakukan maksud/tujuan tertentu. Istilah “intervensi” secara harfiah mengandung arti ikut campur atau semacam pengantaraan yang mencakup perbuatan-perbuatan dan cara untuk memperhubungkan antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Istilah ini sering dihubungkan dengan tindakan yang tidak terpuji atau pemaksaan sehingga menjadi konotasi yang negatip. Akan tetapi dalam bidang "kesejahteraan sosial" memiliki arti tersendiri.
Pincus dan Minahan mengkaitkan perihal intervensi dengan ketrampilan-ketrampilan (skills) yang harus dimiliki oleh para pelaku perubahan (change agents) yang dikategorikan dalam tiga bidang, yaitu :
a. pengumpulan data (data collection)
b. analisa data dan pembuatan keputusan (data analysis and decision making),
c. .intervensi.
Dalam pembahasannya tentang suatu program yang menitikberatkan pada distribusi sumber-sumber, Mass mengemukakan tujuan intervensi, intervensi dalam hal ini merupakan usaha perubahan-perubahan pada sistem-sistem "sosial" atau menciptakan kebutuhan untuk berubah. Karena tidak seluruhnya suatu sistem itu menyadari akan adanya "masalah" dan terkadang tidak dapat memecahkan "masalah"nya sendiri, maka perlu diciptakan kesadaran atau pemberitahuan bahwa sistem tersebut mempunyai "masalah" serta memerlukan bantuan dari luar sistem.
Dalam kaitan dengan usaha-usaha perubahan atau menciptakan kebutuhan untuk berubah, "kesejahteraan sosial" mencakup usaha-usaha pengadaan dan distribusi sumber-sumber daya untuk pemecahan "masalah". Sedangkan yang dimaksudkan distribusi sumber-sumber antara lain : distribusi pendapatan, perumahan dan pelayanan-pelayanan di dalam masyarakat. Sehubungan dengan pendekatan terhadap "masalah kesejahteraan sosial" untuk ini diselenggarakan program-program baik yang berupa bantuan "sosial" secara materiil maupun non-materiil seperti bimbingan dan penyuluhan serta pelayanan "sosial" lainnya.
Pendekatan institusional melalui perubahan berencana meliputi komponen sistem klien sebagai sasaran perubahan dan pelaku perubahan (change agent). Sistem klien dalam intervensi mikro mencakup individu-individu, keluarga dan kelompok kecil. Pada intervensi makro, sistem klien meliputi lingkungan tetangga, komunitas, organisasi formal, masyarakat atau lebih luas lagi seperti negara dan kawasan regional (misalnya dengan apa yang kita kenal sebagai daerah utara untuk negara-negara maju dan daerah selatan bagi negara-negara yang sedang membangun). Pelaku perubahan (change agent) akan menjalankan tugasnya menciptakan kebutuhan untuk berubah bagi sistem klien sehingga taraf berfungsi klien dapat ditingkatkan.
Dari penggunaan pengetahuan ilmiah dalam pemecahan "masalah kesejahteraan sosial" dan pendekatan interdisipliner dengan berdasarkan azas kemanusiaan serta "kesejahteraan" bersama, timbullah pemikiran tentang bagaimana memandang sasaran perubahan yang menjadi subyek pelayanan. Beberapa prinsip dikedepankan seperti hak menentukan diri sendiri (self-determination), keterlibatan (peran serta) secara aktif dari klien, dan pandangan terhadap subyek pelayanan (klien) dengan keunikan-keunikannya tersendiri sehingga pendekatan terhadap mereka bersifat individualistic.
Yang lain ialah prinsip kemandirian (self-reliance) untuk membebaskan dari sifat ketergantungan. Dalam pelaksanaan kegiatan pemecahan "masalah kesejahteraan sosial" ditempuh suatu cara sesuai dengan spesifikasi atau keunikan "masalah" masing-masing. Akan tetapi ada dua hal yang mendasar dalam melaksanakan perubahan berencana. Pertama, bahwa sesuatu hal usaha hendaknya dimungkinkan tercapainya hasil yang berganda (multipurposeness). Kedua, bahwa suatu kegiatan hendaknya memberikan dasar pertumbuhan bagi pemecahan lainnya. Akhirnya, ada satu hal yang perlu ditegaskan dalam perubahan berencana yaitu relasi kolaboratif. Menurut Bennis, Benne dan Chin, relasi kolaboratif merupakan rangkaian-rangkaian ekspektasi-ekspektasi serta pertemuan-pertemuan yang kompleks terdiri dari :
a, Suatu upaya bersama yang melibatkan penentuan bersama dari tujuan-tujuan;
b. Suatu semangat meneliti – adanya kepercayaan pada penentuan-penentuan atas dasar data, yang diterima ;
c. Suatu relasi yang tumbuh dari suatu pertemuan konkrit, di sini dan pertemuan
d. Suatu relasi sukarela antara pelaku perubahan dan klien dengan adanya kebebasan pada kedua belah pihak untuk menghentikan relasi setelah diadakan konsultasi bersama;
e. Suatu distribusi kekuasaan dimana klien dan pelaku perubahan mempunyai kesempatan yang sama atau hampir sama rata untuk saling mempengaruhi satu sama lain;
Suatu penekanan pada tujuan metodologik, dari tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan berdiri sendiri.
Bennis, Benne dan Chin menegaskan bahwa suatu relasi kolaboratif antara pelaku perubahan dan sistem klien adalah komponen yang esensial dalam perubahan berencana. Dalam mengatasi "masalah"-"masalah" atau meningkatkan peran dan fungsi "sosial"nya, klien (sistem klien) memerlukan bantuan dari pelaku perubahan dan ini dapat terjadi bila ada relasi kolaboratif seperti yang dimaksud di atas.
Usaha "kesejahteraan sosial" dijalankan sebagai langkah untuk menanggulangi hambatan-hambatan yang ada yaitu hambatan yang merupakan "masalah kesejahteraan sosial". Pada dasarnya usaha "kesejahteraan sosial" diadakan karena timbul "masalah sosial" dan sebagai jawaban (response) untuk mengatasi "masalah" itu.
PENDEKATAN ISLAMI.
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, agama Islam telah membuktikan kesanggupannya menjawab "masalah"-"masalah sosial" yang ada saat itu. Dalam waktu 23 tahun, suatu masyarakat jahiliah telah berubah menjadi masyarakat yang beriman dan bertauhid. Oleh karena itu, peranan agama, khususnya Islam, pada abad-abad mendatang akan ditentukan oleh seberapa jauh Islam mempu menjawab "masalah"-"masalah sosial" pada zamannya, sebagaimana Nabi SAW telah melakukannya.
Islam harus memberikan sumbangan yang positif dalam pemecahan "masalah"-"masalah sosial", khususnya "masalah"-"masalah" nasional yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Karena dinamika masyarakat terus berkembang, maka pemahaman kita terhadap Islam harus kita persegar, sesuai dengan ruang dan waktu.
0 komentar:
Posting Komentar