Rabu, 05 Desember 2012

"SOSIOLOGI BUDAYA"

"Melacak sejarah "Sosiologi Budaya" secara kultural mendalam merupakan kajian yang tak mudah". 

Memerlukan waktu yang banyak untuk menggali referensi ataupun cerita-cerita tentang awal mula "Budaya" atau ‘manusia yang menjadi subjek "Budaya" ketika mulai ber"budaya". Karena memang, antara sejarah, budaya, antropologi, arkeologi dan "Sosiologi" tidak dapat dipisahkan. Kelima unsur ini memiliki kohesi yang kuat. Begitu pula ketika membicarakan sejarah "Sosiologi Budaya" maka tidak dapat dilepaskan juga dengan ‘evolusi "Budaya". Evolusi "Budaya" inilah yang kemudian menciptakan ‘peradaban dan sejarah baru’.  

Mari kita simak bersama ‘presentase seorang mahasiswa dhaif’. Pada akhir abad ke-19, para antropolog menyimpulkan bahwa adanya persamaan unsur-unsur ke"budaya"an di berbagai tempat disebabkan karena persebaran atau difusi. Adolf Bastian mengemukakan adanya pengaruh Elementer Gedanken, bahwa adanya kesamaan unsur ke"budaya"an pada dua tempat disebabkan karena keduanya berada pada tingkat evolusi yang sama. Sedangkan konsep difusi menurut Kroeber menjelaskan tentang perubahan dalam suatu masyarakat dengan cara mencari asal atau ‘aslinya’ dalam masyarakat yang lain. Difusi pada tahapan yang ekstrim menekankan bahwa setiap pola tingkah laku atau unsur "budaya" yang baru itu tersebar dari satu sumber asli. Jelasnya, difusi adalah komponen penting dalam melirik awal mula dari "Sosiologi Budaya".

Kemudian, gejala persebaran unsur-unsur ke"budaya"an merupakan sebuah sejarah perkembangan peradaban manusia yang secara evolutif bergerak dengan tingkatnya masing-masing. Perbedaan tingkat maupun pola interaksi yang terjadi adalah pola umum yang dapat ditemui pada semua kelompok masyarakat. F. Ratzel (1844-1904) seorang sarjana ilmu hayat, mempelajari berbagai bentuk senjata busur di berbagai tempat di Afrika. Ia banyak menemukan persamaan bentuk pada busur-busur tersebut pada berbagai tempat di Afrika. Begitu pula dengan unsur ke"budaya"an lainnya, seperti rumah, topeng, dan pakaian. Temuan tersebut mengarahkannnya untuk menarik kesimpulan bahwa pada waktu yang lampau terjalin hubungan antara suku-suku bangsa yang mendiami tempat tersebut. Fenomena kesamaan unsur-unsur ke"budaya"an tersebut melahirkan anggapan dasar yang menurut Koentjaraningrat bahwa ke"budaya"an manusia berasal dari satu pangkal dan berada di suatu tempat tertentu. Unsur inilah yang kemudian berkembang dan menyebar ke tempat lain dan kelompok masyarakat lainnya. Dengan demikian konsep ini menyiratkan bahwa sejarah ke"budaya"an manusia diawali dengan sebuah ke"budaya"an awal sebagai pusat atau inti dari sejarah perkembangan ke"budaya"an manusia. Ke"budaya"an inti (induk) tersebut berkembang dan menyebar, kemudian melahirkan bentuk (unsur) baru karena pengaruh lingkungan dan waktu. 

Nah, melacak kembali sejarah gerak perpindahan bangsa-bangsa tersebutlah yang sukar dilakukan. Inilah yang kemudian disebut sebagai ‘kebuntuan’ oleh para antropolog ataupun peneliti-peneliti. Tak mau surut oleh ‘kebuntuan’ tersebut, pengembangan konsep Ratzel oleh para antropolog mendorong produktifitas teori konsep difusionisme lebih kaya dan perspektif. Seorang konservator museum Gracbner (1877-1934) melakukan penelitian dengan menyusun dan mengelompokkan benda-benda (artefak) berdasarkan persamaan bentuk. Metode klasifikasi ini kemudian disebut dengan Kultrukreis. Metode Kulturkreis ini kemudian dikembangkan untuk memetakan secara lebih global ke"budaya"an manusia. Meskipun pekerjaaan klasifikasi sangat rumit mengingat banyaknya ke"budaya"an yang tersebar di seluruh dunia, akan tetapi, kenyataan ini justru melahirkan sebuah cita-cita untuk untuk merekonstruksi Kulturhistores umat manusia dengan harapan akan nampak kembali sejarah persebaran bangsa-bangsa di muka bumi. Metode Kulturkreis selanjutnya dikembangkan oleh Wilhelm Schmidt (1868-1954) untuk mencari jalan untuk mewujudkan Kulturhistoire. 

Proyek besar tersebut dimulainya dengan mengumpulkan data-data (identifikasi dan inventarisasi) ke"budaya"an-ke"budaya"an yang tersebar di seluruh dunia yang ia peroleh dari karangan-karangan etnografi. Penelusuruan Kulturhistoire yang dilakukan oleh Schmidt membawanya pada sebuah temuan mengenai bentuk religi tertua. Ia berpendapat bahwa keyakinan dalam bentuk monoteis (Urmonotheismus) merupakan bentuk religi sangat tua. Bahwa Titah Tuhan Asli ada pada bangsa-bangsa yang tua, yang hidup dalam zaman ketika tingkat kebudayaan manusia masih sangat rendah. Salah seorang antropolog ternama yang pada awalnya seorang dokter dan psikolog yang kemudian tertarik pada ilmu antropolog yaitu Rivers (1864-1922). Rivers melakukan ekspedisi penting untuk sebuah eksperimen mengenai hubungan antara ke"budaya"an-ke"budaya"an suku-suku bangsa yang mendiami daerah-daerah di sekitar Selat Torres, Irian Selatan dan Australia Utara. Dalam penelitiannya, Rivers mengembangkan metode wawancara baru yang dikenal dengan Genealogical Method, metode yang mengklasifikasi asal-asal individu, yang kemudian menjadi teknik utama para antropolog dalam melakukan penelitian di daerah. Rivers berhasil mengumpulkan banyak bahan mengenai sistem kemasyarakatan suku-suku bangsa tersebut. Rivers juga melakukan penelitian pada suku bangsa Toda yang tinggal di propinsi Mysore di India Selatan dan kemudian menghasilkan buku The Todas (1906). Dalam penelitian tersebut, Rivers mendapat banyak bahan mengenai sistem kekerabatan orang Toda. Dengan membandingkan bahan tersebut dengan apa yang diperolehnya di daerah Malanesia. Ia kemudian mengembangkan konsep baru mengenai sistem-sistem kekerabatan yang dimuat dalam buku Notes and Queries on Anthropoloy (1912). 

Pengembangan teori difusi juga dilakukan oleh para antropolog di Inggris. Diantaranya adalah Haddon yang pernah memimpin sebuah ekspedisi Cambridge ke selat Torres. Kemudian dikenal pula G. Elliot Smith (1871-1937) dan W.J. Perry (1887-1949) yang mengemukakan teori-teori aneh. Teori aneh mereka misalnya tentang sejarah ke"budaya"an dunia bahwa pada zaman purbakala pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang besar yang berpangkal di Mesir, yang bergerak ke arah timur, daerah sekitar Laut Tengah, Afrika, kemudian bergerak ke India, Indonesia, Polinesia, dan ke Amerika. Teori ini kemudian disebut dengan Heliolithic Theory. Heliolithic Theory bagi Elliot dan Perry didasarkan pada unsur-unsur penting ke"budaya"an Mesir Kuno yang tersebar ke daerah luas, tampak pada bangunan-bangunan batu besar (megalith), unsur religiusitas yang berpusat pada penyembahan matahari, atau helios. Pendapat ini menyimpulkan bahwa ke"budaya"an Mesir menjadi induk dan kemudian tersebar secara acak dan berkembang ke seluruh daerah di dunia di sepanjang waktu perjalanannya.

Teori Heliolithik tersebut kemudian dipergunakan dalam suatu penelitian besar oleh Perry yang mencoba menelusuri peta penyebaran unsur-unsur kebudayaan serta sebab-sebab dari difusi tersebut. Dalam persebarannya dari Mesir ke arah Timur Tengah sampai ke Amerika tengah dan Selatan, yang tentu saja melewati Indonesia, karena keberadaan pulau-pulaunya yang terletak di tenagh. Hasil penelitian Perry tersebut dipublikasikan ke dalam buku yang menadi sangat populer The Children of the Sun (1923). Heliolithic Theory secara konseptual dapat dipahami sebagai sebuah gagasan tentang kekuatan determinan sebuah "budaya". Kekuatan determinasi tersebut tumbuh melalui kemampuannya untuk beradaptasi. Argumen sesungguhnya masih menjadi preposisi, bahwa kelestarian "budaya" tertentu menegaskan kemampuan beradaptasi yang lebih baik. Kaplan dan Manners juga mengemukakan, bahwa semakin tinggi taraf adaptasi suatu "budaya", akan makin banyak struktur yang dikandungnya dan struktur-struktur itu makin terdeferensiasikan, makin terspesialisasikan fungsinya, serta sangat terpadu.

Kajian analitis Heliolithic Theory dapat juga ditemukan pada konsep hegemoni yang dipopulerkan oleh Anthony Gramsci. Sebuah "budaya" dapat memberi pengaruh dan melakukan penetrasi terhadap bangsa (budaya) lain melalui pertarungan gagasan (kontak) maupun kompromi-kompromi yang terbangun pascabenturan. Kompromi tersebut dapat berwujud difusi, maupun asimilasi. Konsep hegemoni Gramsci menyimpulkan bahwa hegemoni juga terkait dengan pertarungan gagasan maupun persetujuan terhadap gagasan-gagasan dominan. Konsep hegemoni tersebut juga jauh dari sekadar berkolusi dengan gagasan-gagasan dominan. Proposisi ini juga mendapat respon dari Dominis Strinati yang menyatakan bahwa jika konsep hegemoni dipandang sebagai berasal dari konflik, maka kita dapat berharap terjadinya kompromi-kompromi hegemonik yang menuntaskan konflik, namun secara temporer, untuk mengungkapkan berbagai persoalan maupun kepentingan yang dipertaruhkan. Meskipun Heliolithic Theory mendapat tempat yang besar di kalangan para antropolog, namun seorang antropolog Amerika, R.H. Lowie justru membantahnya sebagai sebuah teori yang ekstrim. Menurut Lowie teori Heliolithik tidak sesuai dengan kenyataan, baik dipandang dari hasil-hasil penggalian ilmu prasejarah, maupun dari konsep-konsep tentang proses difusi dan pertukaran unsur-unsur ke"budaya"an antara bangsa-bangsa yang telah diterima dalam kalangan ilmu antropologi. Koentjaraningrat menyimpulkan bahwa proses difusi tidak hanya dari sudut bergeraknya unsur-unsur ke"budaya"an dari suatu tempat ke tempat lain di muka bumi saja tetapi terutama sebagai suatu proses di mana unsur-unsur ke"budaya"an dibawa oleh individu-individu dari suatu ke"budaya"an, dan harus diterima oleh individu-individu dari ke"budaya"an lain, maka terbukti bahwa tidak pernah terjadi difusi dari satu unsur ke"budaya"an. Unsur-unsur itu selalu berpindah-pindah sebagai suatu gabungan atau suatu kompleks yang tidak mudah dipisahkan. 

Konsep yang diajukan oleh Koentjaraningrat yang kemudian bisa dipetik kesimpulannya bahwa “sejarah ilmu "budaya" berawal dari kehausan generasi akan pengetahuan yang mengalir lewat ‘arus-arus’ difusi ataupun asimilasi oleh para ‘individu-individu terdahulu’ dan kemudian disempurnakan oleh ‘generasi kini’”. Karena melacak sejarah "Sosiologi Budaya" begitu sulit, maka marilah kita coba menggunakan pendekatan seorang perintis antropolog Amerika bernama L.H. Morgan (1877, yang pernah tinggal dengan suku-suku Indian Iraquois dan banyak melakukan penelitian) lewat bukunya yang berjudul Ancient Society. Buku tersebut tidaklah secara rinci membahas sejarah "Sosiologi Budaya", namun lewat karya Morgan tersebut memberikan pemahaman kepada kita semua bahwa dari evolusi terdahulu (Zaman Liar Tua) manusia mulai ‘ber"budaya"

Ada delapan tahapan evolusi ke"budaya"an yang secara universal dilalui oleh manusia. Delapan tahapan evolusi ke"budaya"an tersebut dapat diartikulasikan menjadi sejarah klasik "Sosiologi Budaya"

Delapan tahapan evolusi "budaya" tersebut yakni:

1. Zaman Liar Tua. Yakni zaman sejak manusia ada sampai menemukan api, kemudian manusia menemukan keahlian lain seperti meramu dan mencari akar-akar tumbuhan liar untuk mempertahankan hidup.
 
2. Zaman Liar Madya. Yakni zaman dimana manusia menemukan senjata busur dan anak panah. Pada zaman ini manusia mulai merubah mata pencahariannya yaitu dari meramu menjadi pencari ikan. Dari peramu beralih ke nelayan.
 
3. Zaman Liar Muda. Yakni zaman dimana manusia masih dipengaruhi oleh ‘zaman liar madya’, namun sudah memiliki kepandaian untuk membuat alat-alat dari tembikar tetapi kehidupan manusia dizaman ini masih bersandar menjadi ‘pemburu’.
 
4. Zaman Barbar Tua. Yakni zaman dimana manusia masih dipengaruhi oleh ‘zaman liar muda’ (memiliki kepandaian membuat alat-alat dari tembikar) namun manusia pada zaman ini sudah bisa beternak dan bercocok tanam.
 
5. Zaman Barbar Madya. Yakni zaman dimana manusia masih dipengaruhi oleh ‘zaman barbar tua’ (sudah bisa beternak dan bercocok tanam) namun manusia pada zaman ini sudah bisa membuat alat-alat atau benda-benda dari logam.
 
6. Zaman Barbar Muda. Yakni zaman dimana manusia masih dipengaruhi oleh ‘zaman barbar madya’ (sudah bisa membuat alat-alat dari logam) namun manusia sudah mampu mengenal tulisan.
 
7. Zaman Peradaban Purba. Yakni zaman dimana manusia sidah mampu menghasilkan beberapa peradaban klasik zaman batu dan logam
 
8. Zaman Masa Kini. Yakni zaman klasik sampai sekarang.

Demikianlah sejarah "Sosiologi Budaya" klasik (bahasa atau istilah penulis) yang sekaligus menampilkan tahapan evolusi "budaya" klasik dari kaca mata tokoh Morgan dan tokoh-tokoh lainnya. Dan sepengetahuan saya, penyebab dangkalnya kajian "Sosiologi Budaya" adalah karena sebenarnya "Sosiologi Budaya" memiliki kajian yang masuk pada beberapa ranah disiplin ilmu ("Sosiologi", "Budaya", antropologi, arkeologi, dan sejarah). Sehingga cocok jikalau ‘tokoh’ "Sosiologi Budaya" sangat sulit dilacak. Jauh dari sebelumnya bahwa tokoh-tokoh dari "budaya"wan, antropolog dan yang lainnya adalah berasal dari para tokoh "Sosiologi"

Mengetahui penjelasan diatas, maka pada kesempatan ini penulis juga mencoba menampilkan dan mengungkapkan sejarah "Sosiologi Budaya", namun menitik beratkannya pada pola-pola kebangkitan dan keruntuhan peradaban. Mengungkap kajian peradaban dalam hal ini tidaklah jauh berbeda dengan mengungkap kajian "budaya". Melalui kaca mata Arnold Toynbee lewat karyanya yang berjudul A Study of History mengatakan bahwa terjadinya suatu peradaban itu sendiri terdiri dari suatu transisi dari kondisi statis ke aktivitas dinamis. Transisi ini mungkin terjadi secara spontan, melalui pengaruh beberapa peradaban yang telah ada atau melalui disintegrasi dari satu peradaban atau lebih dari generasi yang lebih tua. Ia melihat pola dasar dalam terjadinya peradaban itu sebagai suatu pola interaksi yang disebutnya dengan “tantangan dan tanggapan”.

Tantangan dari lingkungan alam dan sosial memancing tanggapan kreatif dalam suatu masyarakat itu memasuki proses peradaban. Peradaban terus tumbuh ketika tanggapan terhadap tantangan berhasil membangkitkan momentum "budaya" yang membawa masyarakat keluar dari kondisi ‘equilibrium’ memasuki keseimbangan yang berlebihan (overbalance) yang tampil sebagai tantangan baru. Dengan cara ini, pola tantangan dan tanggapan awal terulang dalam fase-fase pertumbuhan berikutnya, dimana masing-masing tanggapannya berhasil menimbulkan suatu diseqilibrium yang menuntut penyesuaian-penyesuaian kreatif baru.
Irama berulang dalam pertumbuhan "budaya" ini tampak terkait dengan proses-proses fluktuasi yang telah diamati selama berabad-abad dan selalu dianggap sebagai bagian dari dinamika pokok alam semesta. Para filsuf Cina kuno yang sekaligus menjadi "budaya"wan (menurut penulis) percaya bahwa semua manifestasi realitas dihasilkan oleh dinamika yang saling mempengaruhi antara dua kutub kekuatan yang disebut yin dan yang. Pengertian suatu irama universal pokok ini juga diungkap oleh para tokoh moderen. Sain Simon melihat sejarah peradaban sebagai rangkaian pertukaran periode-periode “organik” dan kritis. 

Setelah mencapai puncak vitalitasnya, peradaban cenderung kehilangan tenaga "budaya"nya dan kemudian runtuh. Suatu elemen penting dalam keruntuhan "budaya" ini, menurut Toynbee, adalah hilangnya fleksibilitas. Pada waktu struktur sosial dan pola perilaku telah menjadi kaku sehingga masyarakat tidak lagi mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah, peradaban itu tidak akan mampu melanjutkan proses kreatif evolusi "budaya"nya. Dia akan hancur dan secara berangsur mengalami disintegrasi. 

Sementara peradaban-peradaban yang sedang berkembang menunjukkan keberagaman dan kepandaian yang tak pernah berhenti, peradaban-peradaban yang berada dalam proses disintegrasi menunjukkan keseragaman dan kurangnya daya temu. Hilangnya fleksibilitas dalam masyarakat yang mengalami disintegrasi ini disertai dengan hilangnya harmoni secara umum pada elemen-elemennya yang mau tak mau mengarah pada meletusnya perpecahan dan kekacauan sosial. 

Namun demikian, selama proses disintegrasi yang menyakitkan itu kreativitas masyarakat-kemampuannya untuk menanggapi tantangan-tidak hikang sama sekali. Meskipun arus "budaya" telah menajdi beku dengan melekatkan diri pada pemikiran-pemikiran mapan dan pola-pola perilaku yang kaku, minoritas kreatif akan tetap muncul ke permukaan dan melanjutkan proses tantangan—dan—tanggapan itu. Lembaga-lembaga sosial yang dominan akan menolak menyerahkan peran-peran utama kepada kekuatan-kekuatan "budaya" baru ini, tetapi mereka mau tak mau akan tetap runtuh dan mengalami disintegrasi, dan kelompok minoritas kratif itu mungkin akan mampu mentransformasikan beberapa elemen lama menjadi konfigurasi baru. Proses evolusi "budaya" ini akan terus berlanjut, tetapi berada dalam kondisi-kondisi baru dan dengan tokoh-tokoh yang baru pula.
 
Pola-pola "budaya" yang digambarkan oleh Toynbee itu tampak sesuai dengan situasi kita dewasa ini. Dalam buku yang berjudul The Turning Point Titik Balik Peradaban karangan Fritjof Capra, menggambarkan bahwa manusia dalam "budaya" dan evolusinya mengalami spiralisai peradaban. Prediksi radikal penulis kedepan adalah evolusi "budaya" kita akan kemabali ke titik nol. Artinya ada re- "budaya" dan peradaban. Banyak manifestasi "budaya" ‘lalu’ yang di adopsi oleh masyarakat sekarang. Seperti apa yang pernah dikatakan oleh seorang filosof Cina bernama I Ching yakni: “setelah masa kehancuran datanglah titik balik. Cahaya penuh daya yang dahulu hilang kini bersinar kembali. Segala sesuatu adalah gerak, namun bukan oleh tenaga… Gerak itu alami, mengalir spontan. Karena itulah pergantian menjadi mudah. Yang lama berakhir, yang baru terlahir. Keduanya berlangsung dalam saat yang telah ditentukan, karenanya tidak ada luka yang ditimbulkan”. Dan satu hal yang mesti kita ketahui adalah bahwa seperti apa yang pernah dikatakan oleh Bacon yaitu tujuan ilmu adalah penguasaan dan pengendalian alam, yang menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah dapat digunakan untuk “mengubah kita menjadi tuan dan pemilik alam”.…

Sumber:
1. sastra-indonesia.com/.../sosiologi-budaya-dan-teori-evolusi-budaya/
2. http://www.balihub.com/img_tool/view_image/3669
3. laely-widjajati.blogspot.com/.../indahnya-banjarmasin-kalimantan-selatan.html
4. laely-widjajati.blogspot.com/.../istana-kerajaan-gowa-balla-lompoa.html
5. laely-widjajati.blogspot.com/2009/12/wisata-akhir-tahun-2009.html


MusicPlaylistView Profile