"Melacak sejarah "Sosiologi Budaya" secara kultural mendalam merupakan
kajian yang tak mudah".
Memerlukan waktu yang banyak untuk menggali
referensi ataupun cerita-cerita tentang awal mula "Budaya" atau ‘manusia
yang menjadi subjek "Budaya" ketika mulai ber"budaya". Karena memang,
antara sejarah, budaya, antropologi, arkeologi dan "Sosiologi" tidak dapat
dipisahkan. Kelima unsur ini memiliki kohesi yang kuat. Begitu pula
ketika membicarakan sejarah "Sosiologi Budaya" maka tidak dapat dilepaskan
juga dengan ‘evolusi "Budaya". Evolusi "Budaya" inilah yang kemudian
menciptakan ‘peradaban dan sejarah baru’.
Mari kita simak
bersama ‘presentase seorang mahasiswa dhaif’. Pada akhir abad ke-19,
para antropolog menyimpulkan bahwa adanya persamaan unsur-unsur
ke"budaya"an di berbagai tempat disebabkan karena persebaran atau difusi.
Adolf Bastian mengemukakan adanya pengaruh Elementer Gedanken, bahwa
adanya kesamaan unsur ke"budaya"an pada dua tempat disebabkan karena
keduanya berada pada tingkat evolusi yang sama. Sedangkan konsep difusi
menurut Kroeber menjelaskan tentang perubahan dalam suatu masyarakat
dengan cara mencari asal atau ‘aslinya’ dalam masyarakat yang lain.
Difusi pada tahapan yang ekstrim menekankan bahwa setiap pola tingkah
laku atau unsur "budaya" yang baru itu tersebar dari satu sumber asli.
Jelasnya, difusi adalah komponen penting dalam melirik awal mula dari "Sosiologi Budaya".
Kemudian, gejala persebaran unsur-unsur ke"budaya"an merupakan sebuah
sejarah perkembangan peradaban manusia yang secara evolutif bergerak
dengan tingkatnya masing-masing. Perbedaan tingkat maupun pola interaksi
yang terjadi adalah pola umum yang dapat ditemui pada semua kelompok
masyarakat. F. Ratzel (1844-1904) seorang sarjana ilmu hayat,
mempelajari berbagai bentuk senjata busur di berbagai tempat di Afrika.
Ia banyak menemukan persamaan bentuk pada busur-busur tersebut pada
berbagai tempat di Afrika. Begitu pula dengan unsur ke"budaya"an lainnya,
seperti rumah, topeng, dan pakaian. Temuan tersebut mengarahkannnya
untuk menarik kesimpulan bahwa pada waktu yang lampau terjalin hubungan
antara suku-suku bangsa yang mendiami tempat tersebut. Fenomena kesamaan
unsur-unsur ke"budaya"an tersebut melahirkan anggapan dasar yang menurut
Koentjaraningrat bahwa ke"budaya"an manusia berasal dari satu pangkal dan
berada di suatu tempat tertentu. Unsur inilah yang kemudian berkembang dan menyebar ke tempat lain dan
kelompok masyarakat lainnya. Dengan demikian konsep ini menyiratkan
bahwa sejarah ke"budaya"an manusia diawali dengan sebuah ke"budaya"an awal
sebagai pusat atau inti dari sejarah perkembangan ke"budaya"an manusia.
Ke"budaya"an inti (induk) tersebut berkembang dan menyebar, kemudian
melahirkan bentuk (unsur) baru karena pengaruh lingkungan dan waktu.
Nah, melacak kembali sejarah gerak perpindahan bangsa-bangsa tersebutlah
yang sukar dilakukan. Inilah yang kemudian disebut sebagai ‘kebuntuan’
oleh para antropolog ataupun peneliti-peneliti. Tak mau surut oleh
‘kebuntuan’ tersebut, pengembangan konsep Ratzel oleh para antropolog
mendorong produktifitas teori konsep difusionisme lebih kaya dan
perspektif. Seorang konservator museum Gracbner (1877-1934) melakukan
penelitian dengan menyusun dan mengelompokkan benda-benda (artefak)
berdasarkan persamaan bentuk. Metode klasifikasi ini kemudian disebut dengan Kultrukreis. Metode
Kulturkreis ini kemudian dikembangkan untuk memetakan secara lebih
global ke"budaya"an manusia. Meskipun pekerjaaan klasifikasi sangat rumit
mengingat banyaknya ke"budaya"an yang tersebar di seluruh dunia, akan
tetapi, kenyataan ini justru melahirkan sebuah cita-cita untuk untuk
merekonstruksi Kulturhistores umat manusia dengan harapan akan nampak
kembali sejarah persebaran bangsa-bangsa di muka bumi. Metode
Kulturkreis selanjutnya dikembangkan oleh Wilhelm Schmidt (1868-1954)
untuk mencari jalan untuk mewujudkan Kulturhistoire.
Proyek besar tersebut dimulainya dengan mengumpulkan data-data
(identifikasi dan inventarisasi) ke"budaya"an-ke"budaya"an yang tersebar di
seluruh dunia yang ia peroleh dari karangan-karangan etnografi.
Penelusuruan Kulturhistoire yang dilakukan oleh Schmidt membawanya pada
sebuah temuan mengenai bentuk religi tertua. Ia berpendapat bahwa
keyakinan dalam bentuk monoteis (Urmonotheismus) merupakan bentuk religi
sangat tua. Bahwa Titah Tuhan Asli ada pada bangsa-bangsa yang tua,
yang hidup dalam zaman ketika tingkat kebudayaan manusia masih sangat
rendah. Salah seorang antropolog ternama yang pada awalnya seorang
dokter dan psikolog yang kemudian tertarik pada ilmu antropolog yaitu
Rivers (1864-1922). Rivers melakukan ekspedisi penting untuk sebuah eksperimen mengenai
hubungan antara ke"budaya"an-ke"budaya"an suku-suku bangsa yang mendiami
daerah-daerah di sekitar Selat Torres, Irian Selatan dan Australia
Utara. Dalam penelitiannya, Rivers mengembangkan metode wawancara baru
yang dikenal dengan Genealogical Method, metode yang mengklasifikasi
asal-asal individu, yang kemudian menjadi teknik utama para antropolog
dalam melakukan penelitian di daerah. Rivers berhasil mengumpulkan
banyak bahan mengenai sistem kemasyarakatan suku-suku bangsa tersebut.
Rivers juga melakukan penelitian pada suku bangsa Toda yang tinggal di
propinsi Mysore di India Selatan dan kemudian menghasilkan buku The
Todas (1906). Dalam penelitian tersebut, Rivers mendapat banyak bahan
mengenai sistem kekerabatan orang Toda. Dengan membandingkan bahan
tersebut dengan apa yang diperolehnya di daerah Malanesia. Ia kemudian
mengembangkan konsep baru mengenai sistem-sistem kekerabatan yang dimuat
dalam buku Notes and Queries on Anthropoloy (1912).
Pengembangan teori difusi juga dilakukan oleh para antropolog di
Inggris. Diantaranya adalah Haddon yang pernah memimpin sebuah ekspedisi
Cambridge ke selat Torres. Kemudian dikenal pula G. Elliot Smith
(1871-1937) dan W.J. Perry (1887-1949) yang mengemukakan teori-teori
aneh. Teori aneh mereka misalnya tentang sejarah ke"budaya"an dunia bahwa
pada zaman purbakala pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang besar
yang berpangkal di Mesir, yang bergerak ke arah timur, daerah sekitar
Laut Tengah, Afrika, kemudian bergerak ke India, Indonesia, Polinesia,
dan ke Amerika. Teori ini kemudian disebut dengan Heliolithic Theory.
Heliolithic Theory bagi Elliot dan Perry didasarkan pada unsur-unsur
penting ke"budaya"an Mesir Kuno yang tersebar ke daerah luas, tampak pada
bangunan-bangunan batu besar (megalith), unsur religiusitas yang
berpusat pada penyembahan matahari, atau helios. Pendapat ini
menyimpulkan bahwa ke"budaya"an Mesir menjadi induk dan kemudian tersebar
secara acak dan berkembang ke seluruh daerah di dunia di sepanjang waktu
perjalanannya.
Teori Heliolithik tersebut kemudian dipergunakan dalam suatu
penelitian besar oleh Perry yang mencoba menelusuri peta penyebaran
unsur-unsur kebudayaan serta sebab-sebab dari difusi tersebut. Dalam
persebarannya dari Mesir ke arah Timur Tengah sampai ke Amerika tengah
dan Selatan, yang tentu saja melewati Indonesia, karena keberadaan
pulau-pulaunya yang terletak di tenagh. Hasil penelitian Perry tersebut
dipublikasikan ke dalam buku yang menadi sangat populer The Children of
the Sun (1923). Heliolithic Theory secara konseptual dapat dipahami
sebagai sebuah gagasan tentang kekuatan determinan sebuah "budaya".
Kekuatan determinasi tersebut tumbuh melalui kemampuannya untuk
beradaptasi. Argumen sesungguhnya masih menjadi preposisi, bahwa
kelestarian "budaya" tertentu menegaskan kemampuan beradaptasi yang lebih
baik. Kaplan dan Manners juga mengemukakan, bahwa semakin tinggi taraf
adaptasi suatu "budaya", akan makin banyak struktur yang dikandungnya dan
struktur-struktur itu makin terdeferensiasikan, makin terspesialisasikan
fungsinya, serta sangat terpadu.
Kajian analitis Heliolithic Theory dapat juga ditemukan pada konsep
hegemoni yang dipopulerkan oleh Anthony Gramsci. Sebuah "budaya" dapat
memberi pengaruh dan melakukan penetrasi terhadap bangsa (budaya) lain
melalui pertarungan gagasan (kontak) maupun kompromi-kompromi yang
terbangun pascabenturan. Kompromi tersebut dapat berwujud difusi, maupun
asimilasi. Konsep hegemoni Gramsci menyimpulkan bahwa hegemoni juga terkait
dengan pertarungan gagasan maupun persetujuan terhadap gagasan-gagasan
dominan. Konsep hegemoni tersebut juga jauh dari sekadar berkolusi
dengan gagasan-gagasan dominan. Proposisi ini juga mendapat respon dari
Dominis Strinati yang menyatakan bahwa jika konsep hegemoni dipandang
sebagai berasal dari konflik, maka kita dapat berharap terjadinya
kompromi-kompromi hegemonik yang menuntaskan konflik, namun secara
temporer, untuk mengungkapkan berbagai persoalan maupun kepentingan yang
dipertaruhkan. Meskipun Heliolithic Theory mendapat tempat yang besar
di kalangan para antropolog, namun seorang antropolog Amerika, R.H.
Lowie justru membantahnya sebagai sebuah teori yang ekstrim. Menurut
Lowie teori Heliolithik tidak sesuai dengan kenyataan, baik dipandang
dari hasil-hasil penggalian ilmu prasejarah, maupun dari konsep-konsep
tentang proses difusi dan pertukaran unsur-unsur ke"budaya"an antara
bangsa-bangsa yang telah diterima dalam kalangan ilmu antropologi. Koentjaraningrat menyimpulkan bahwa proses difusi tidak hanya dari
sudut bergeraknya unsur-unsur ke"budaya"an dari suatu tempat ke tempat
lain di muka bumi saja tetapi terutama sebagai suatu proses di mana
unsur-unsur ke"budaya"an dibawa oleh individu-individu dari suatu
ke"budaya"an, dan harus diterima oleh individu-individu dari ke"budaya"an
lain, maka terbukti bahwa tidak pernah terjadi difusi dari satu unsur
ke"budaya"an. Unsur-unsur itu selalu berpindah-pindah sebagai suatu
gabungan atau suatu kompleks yang tidak mudah dipisahkan.
Konsep yang diajukan oleh
Koentjaraningrat yang kemudian bisa dipetik kesimpulannya bahwa “sejarah
ilmu "budaya" berawal dari kehausan generasi akan pengetahuan yang
mengalir lewat ‘arus-arus’ difusi ataupun asimilasi oleh para
‘individu-individu terdahulu’ dan kemudian disempurnakan oleh ‘generasi
kini’”. Karena melacak sejarah "Sosiologi Budaya" begitu sulit, maka marilah kita coba menggunakan pendekatan seorang perintis antropolog Amerika
bernama L.H. Morgan (1877, yang pernah tinggal dengan suku-suku Indian
Iraquois dan banyak melakukan penelitian) lewat bukunya yang berjudul
Ancient Society. Buku tersebut tidaklah secara rinci membahas sejarah "Sosiologi Budaya", namun lewat karya Morgan tersebut memberikan pemahaman
kepada kita semua bahwa dari evolusi terdahulu (Zaman Liar Tua) manusia
mulai ‘ber"budaya".
Ada delapan tahapan evolusi ke"budaya"an yang secara
universal dilalui oleh manusia. Delapan
tahapan evolusi ke"budaya"an tersebut dapat diartikulasikan menjadi
sejarah klasik "Sosiologi Budaya".
Delapan tahapan evolusi "budaya" tersebut
yakni:
1. Zaman Liar Tua. Yakni zaman sejak manusia ada sampai menemukan
api, kemudian manusia menemukan keahlian lain seperti meramu dan mencari
akar-akar tumbuhan liar untuk mempertahankan hidup.
2. Zaman Liar Madya. Yakni zaman dimana manusia menemukan senjata busur
dan anak panah. Pada zaman ini manusia mulai merubah mata pencahariannya
yaitu dari meramu menjadi pencari ikan. Dari peramu beralih ke nelayan.
3. Zaman Liar Muda. Yakni zaman dimana manusia masih dipengaruhi oleh
‘zaman liar madya’, namun sudah memiliki kepandaian untuk membuat
alat-alat dari tembikar tetapi kehidupan manusia dizaman ini masih
bersandar menjadi ‘pemburu’.
4. Zaman Barbar Tua. Yakni zaman dimana manusia masih dipengaruhi oleh
‘zaman liar muda’ (memiliki kepandaian membuat alat-alat dari tembikar)
namun manusia pada zaman ini sudah bisa beternak dan bercocok tanam.
5. Zaman Barbar Madya. Yakni zaman dimana manusia masih dipengaruhi oleh
‘zaman barbar tua’ (sudah bisa beternak dan bercocok tanam) namun
manusia pada zaman ini sudah bisa membuat alat-alat atau benda-benda
dari logam.
6. Zaman Barbar Muda. Yakni zaman dimana manusia masih dipengaruhi oleh
‘zaman barbar madya’ (sudah bisa membuat alat-alat dari logam) namun
manusia sudah mampu mengenal tulisan.
7. Zaman Peradaban Purba. Yakni zaman dimana manusia sidah mampu
menghasilkan beberapa peradaban klasik zaman batu dan logam
8. Zaman Masa Kini. Yakni zaman klasik sampai sekarang.
Demikianlah sejarah "Sosiologi Budaya" klasik (bahasa atau istilah
penulis) yang sekaligus menampilkan tahapan evolusi "budaya" klasik dari
kaca mata tokoh Morgan dan tokoh-tokoh lainnya. Dan sepengetahuan saya,
penyebab dangkalnya kajian "Sosiologi Budaya" adalah karena sebenarnya "Sosiologi Budaya" memiliki kajian yang masuk pada beberapa ranah disiplin
ilmu ("Sosiologi", "Budaya", antropologi, arkeologi, dan sejarah). Sehingga
cocok jikalau ‘tokoh’ "Sosiologi Budaya" sangat sulit dilacak. Jauh dari
sebelumnya bahwa tokoh-tokoh dari "budaya"wan, antropolog dan yang lainnya
adalah berasal dari para tokoh "Sosiologi".
Mengetahui penjelasan diatas, maka pada kesempatan ini penulis juga
mencoba menampilkan dan mengungkapkan sejarah "Sosiologi Budaya", namun
menitik beratkannya pada pola-pola kebangkitan dan keruntuhan peradaban.
Mengungkap kajian peradaban dalam hal ini tidaklah jauh berbeda dengan
mengungkap kajian "budaya". Melalui kaca mata Arnold Toynbee lewat
karyanya yang berjudul A Study of History mengatakan bahwa terjadinya
suatu peradaban itu sendiri terdiri dari suatu transisi dari kondisi
statis ke aktivitas dinamis. Transisi ini mungkin terjadi secara
spontan, melalui pengaruh beberapa peradaban yang telah ada atau melalui
disintegrasi dari satu peradaban atau lebih dari generasi yang lebih
tua. Ia melihat pola dasar dalam terjadinya peradaban itu sebagai suatu
pola interaksi yang disebutnya dengan “tantangan dan tanggapan”.
Tantangan dari lingkungan alam dan sosial memancing tanggapan kreatif
dalam suatu masyarakat itu memasuki proses peradaban. Peradaban terus tumbuh ketika tanggapan terhadap tantangan berhasil
membangkitkan momentum "budaya" yang membawa masyarakat keluar dari
kondisi ‘equilibrium’ memasuki keseimbangan yang berlebihan
(overbalance) yang tampil sebagai tantangan baru. Dengan cara ini, pola
tantangan dan tanggapan awal terulang dalam fase-fase pertumbuhan
berikutnya, dimana masing-masing tanggapannya berhasil menimbulkan suatu
diseqilibrium yang menuntut penyesuaian-penyesuaian kreatif baru.
Irama berulang dalam pertumbuhan "budaya" ini tampak terkait dengan
proses-proses fluktuasi yang telah diamati selama berabad-abad dan
selalu dianggap sebagai bagian dari dinamika pokok alam semesta. Para
filsuf Cina kuno yang sekaligus menjadi "budaya"wan (menurut penulis)
percaya bahwa semua manifestasi realitas dihasilkan oleh dinamika yang
saling mempengaruhi antara dua kutub kekuatan yang disebut yin dan yang.
Pengertian suatu irama universal pokok ini juga diungkap oleh para
tokoh moderen. Sain Simon melihat sejarah peradaban sebagai rangkaian
pertukaran periode-periode “organik” dan kritis.
Setelah mencapai puncak vitalitasnya, peradaban cenderung kehilangan
tenaga "budaya"nya dan kemudian runtuh. Suatu elemen penting dalam
keruntuhan "budaya" ini, menurut Toynbee, adalah hilangnya fleksibilitas.
Pada waktu struktur sosial dan pola perilaku telah menjadi kaku sehingga
masyarakat tidak lagi mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang
berubah, peradaban itu tidak akan mampu melanjutkan proses kreatif
evolusi "budaya"nya. Dia akan hancur dan secara berangsur mengalami
disintegrasi.
Sementara peradaban-peradaban yang sedang berkembang menunjukkan
keberagaman dan kepandaian yang tak pernah berhenti, peradaban-peradaban
yang berada dalam proses disintegrasi menunjukkan keseragaman dan
kurangnya daya temu. Hilangnya fleksibilitas dalam masyarakat yang
mengalami disintegrasi ini disertai dengan hilangnya harmoni secara umum
pada elemen-elemennya yang mau tak mau mengarah pada meletusnya
perpecahan dan kekacauan sosial.
Namun demikian, selama proses disintegrasi yang menyakitkan itu
kreativitas masyarakat-kemampuannya untuk menanggapi tantangan-tidak
hikang sama sekali. Meskipun arus "budaya" telah menajdi beku dengan
melekatkan diri pada pemikiran-pemikiran mapan dan pola-pola perilaku
yang kaku, minoritas kreatif akan tetap muncul ke permukaan dan
melanjutkan proses tantangan—dan—tanggapan itu. Lembaga-lembaga sosial
yang dominan akan menolak menyerahkan peran-peran utama kepada
kekuatan-kekuatan "budaya" baru ini, tetapi mereka mau tak mau akan tetap
runtuh dan mengalami disintegrasi, dan kelompok minoritas kratif itu
mungkin akan mampu mentransformasikan beberapa elemen lama menjadi
konfigurasi baru. Proses evolusi "budaya" ini akan terus berlanjut, tetapi
berada dalam kondisi-kondisi baru dan dengan tokoh-tokoh yang baru pula.
Pola-pola "budaya" yang digambarkan oleh Toynbee itu tampak sesuai
dengan situasi kita dewasa ini. Dalam buku yang berjudul The Turning
Point Titik Balik Peradaban karangan Fritjof Capra, menggambarkan bahwa
manusia dalam "budaya" dan evolusinya mengalami spiralisai peradaban.
Prediksi radikal penulis kedepan adalah evolusi "budaya" kita akan
kemabali ke titik nol. Artinya ada re- "budaya" dan peradaban. Banyak
manifestasi "budaya" ‘lalu’ yang di adopsi oleh masyarakat sekarang.
Seperti apa yang pernah dikatakan oleh seorang filosof Cina bernama I
Ching yakni: “setelah masa kehancuran datanglah titik balik. Cahaya
penuh daya yang dahulu hilang kini bersinar kembali. Segala sesuatu
adalah gerak, namun bukan oleh tenaga… Gerak itu alami, mengalir
spontan. Karena itulah pergantian menjadi mudah. Yang lama berakhir,
yang baru terlahir. Keduanya berlangsung dalam saat yang telah
ditentukan, karenanya tidak ada luka yang ditimbulkan”. Dan satu hal
yang mesti kita ketahui adalah bahwa seperti apa yang pernah dikatakan
oleh Bacon yaitu tujuan ilmu adalah penguasaan dan pengendalian alam,
yang menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah dapat digunakan untuk “mengubah
kita menjadi tuan dan pemilik alam”.…
Sumber:
1. sastra-indonesia.com/.../sosiologi-budaya-dan-teori-evolusi-budaya/
2. http://www.balihub.com/img_tool/view_image/3669
3. laely-widjajati.blogspot.com/.../indahnya-banjarmasin-kalimantan-selatan. html
4. laely-widjajati.blogspot.com/.../istana-kerajaan-gowa-balla-lompoa.html
5. laely-widjajati.blogspot.com/2009/12/wisata-akhir-tahun-2009.html
0 komentar:
Posting Komentar