Jumat, 21 Mei 2010

"JUAL BELI MENURUT TUNTUNAN ISLAM"

"Allah berfirman dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah Ayat 275: ".... Dan Allah telah menghalalkan "jual beli" dan mengharamkan riba....."



HUKUM "JUAL BELI".


Berdasarkan sunah qauliyyah (ucapan Nabi) dan sumah fi'liyyah (perbuatan Nabi) secara bersamaan. Nabi Muhammad SAW telah melakukan "jual beli" dan beliau bersabda sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Muttafaq 'alaih: "Orang yang hadir tidak boleh men"jual" kepada orang yang tidak hadir."

Kemudian beliau juga bersabda: "Orang kota tidak boleh men"jual"kan untuk orang kampung."


HIKMAH "JUAL BELI".


Hikmah disyariatkannya "jual beli", antara lain adalah terpenuhinya kebutuhan manusia terhadap barang (sesuatu) yang ada pada tangan saudaranya (orang lain) dengan tanpa dosa dan tanpa saling merugikan.


RUKUN "JUAL BELI".


Rukun "jual beli" ada lima, yaitu:


1. Al-Ba'i, pen"jual" --- orang yang harus memiliki barang yang akan di"jual"nya, atau mendapat ijin (dari pemilik barang) untuk men"jual"kannya. Orang ini hendaknya rasyid (dewasa, mengerti) tidak safih (tidak sempurna akalnya).


2. Al-Musytari, yaitu pem"beli" yang memiliki kewenangan untuk memanfaatkan sesuatu (tasarruf), misalnya tidak safih dan bukan kanak-kanak yang belum diijinkan untuk melakukan transaksi "jual beli".


3. Al-Mabi', barang yang di"jual" keadaannya harus barang yang mubah (boleh di"jual"), suci, bisa diserahkan, dan diketahui oleh pem"beli" walaupun hanya sifat-sifatnya.


4. Sigat perjanjian "jual beli", yaitu ijab (penyerahan) dan kabul (penerimaan) dengan ucapan seperti: "jual"lah kepadaku benda ini. Lalu jawaban dari pen"jual": aku men"jual" barang ini kepadamu. Atau dengan tindakan, misalnya pem"beli" mengatakan: "jual"lah kepadaku baju itu, lalu pen"jual" menyerahkannya.


5. Saling meridhai. Tidak sah "jual beli" tanpa keridhaan kedua pihak. Nabi SAW pernah bersabda sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Ibn Majah, sanad hasan: "Sesungguhnya "jual beli" itu harus atas dasar saling meridhai."



SYARAT-SYARAT "JUAL BELI" YANG SAH.


Sah mensyaratkan sifat dalam "jual beli". Apabila sifat-sifat yang disyaratkan itu memang benar ada benda yang di"jual", maka sahlah "jual beli" itu. Jika tidak ada, maka "jual beli" itu batal. Misalnya pem"beli" mensyaratkan buku yang akan di"beli"nya kertasnya kuning, atau rumah yang akan di"beli" itu pintunya dari besi.


Sebagaimana pula sahnya mensyaratkan pemanfaatan sesuatu, seperti pen"jual" hewan ternak mensyaratkan untuk sampai ke tempat tertentu. Atau pen"jual" rumah mensyaratkan penempatannya satu bulan. Atau pem"beli" baju mensyaratkan jahitan tertentu pada baju yang akan di"beli"nya. Atau kayu bakar yang dibelah sendiri oleh pen"jual" yang akan di"beli"nya. Karena Jabir telah mensyaratkan kepada Rasulullah bahwa unta yang akan di"jual"nya itu harus hamil.



SYARAT-SYARAT "JUAL BELI" YANG TIDAK SAH.


1. Terdapatnya dua syarat dalam satu perjanjian "jual beli". Seperti pem"beli" kayu bakar mensyaratkan dibelah dan dipikulkannya (secara bersamaan). Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi dan disahihkan lebih dari satu ulama, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Tidak sah perjanjian salf (pinjam meminjam) sekaligus bersama perjanjian "jual beli", dan tidak sah menetapkan dua syarat dalam satu perjanjian "jual beli".


2. Mensyaratkan sesuatu yang tidak ada pada asal (pokok) "jual beli". Misalnya pen"jual" hewan ternak mensyaratkan supaya ternaknya itu tidak di"jual" kepada Zaid, atau tidak boleh diberikan kepada Umar. Atau mensyaratkan supaya barangnya itu dipinjamkan kepadanya, atau di"jual"nya dengan sesuatu. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Tidak sah perjanjian salf dengan "jual beli" (sekaligus). Tidak sah menetapkan dua syarat dalam satu perjanjian "jual beli", dan tidak sah pula men"jual" sesuatu yang bukan miliknya."


3. Syarat yang batal, tetapi perjanjiannya sah. Batal disebabkan misalnya disyaratkan supaya tidak merugi ketika pem"beli" men"jual" barangnya. Atau pen"jual" hamba sahaya mensyaratkan bahwa hak tuan tetap baginya. Syarat bagi kedua contoh ini adalah batal, walaupun "jual beli"nya sah. Sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Abu Daud dan Hakim, hadits sahih, bahwa Rasulullah pernah bersabda: "Barangsiapa yang membuat syarat dengan syarat yang tidak ada pada Kitabullah, maka hukumnya batal, walaupun sampai seratus syarat."



HUKUM KHIYAR (MEMILIH) DALAM "JUAL BELI".


Disyariatkan khiyar dalam "jual beli" dalam beberapa masalah, yaitu:


1. Pen"jual" dan pem"beli" tetap berada dalam satu majelis, belum berpisah. Maka bagi masing-masing dibolehkan melakukan pilihan antara meneruskan atau membatalkan perjanjian "jual beli"nya itu. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Abu Daud dan Hakim, Hadits sahih, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Kedua orang yang melaksanakan transaksi "jual beli" itu boleh melakukan pilihan. Jika keduanya jujur dan menerangkan dengan jelas, maka akan diberkati "jual beli"nya itu. Jika keduanya saling menyembunyikan dan berdusta, maka akan dihancurkan keberkahan "jual beli"nya itu."


2. Apabila salah seorang yang melaksanakan akad "jual beli" menetapkan syarat satu waktu tertentu untuk melakukan pilihan, lalu keduanya sepakat, maka dengan demikian keduanya boleh melakukan pilihan, sampai dengan batas waktu tersebut. Kemudian boleh melangsungkan transaksi "jual beli"nya itu. Sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Abu Daud dan Hakim, hadits sahih, bahwa Rasulullah bersabda: "Kaum Muslimin boleh melangsungkan sesuatu berdasarkan ketentuan yang mereka tetapkan."


3. Apabila salah seorang menipu yang lainnya dengan tipuan yang keji, misalnya menipu sampai melebihi sepertiga atau bahkan lebih banyak, seperti men"jual" sesuatu yang berharga sepuluh tetapi di"jual" lima belas atau sampai dua puluh, maka pem"beli" boleh membatalkannya atau mengambilnya dengan harga yang jelas. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Hadits Riwayat Bukhari: "Rasulullah berkata kepada orang yang tertipu dalam "jual beli" karena lemah akalnya: Barangsiapa yang men"jual" sesuatu kepadamu katakan jangan menipu."
Sesungguhnya apabila telah jelas seseorang menipunya, maka ia harus mengembalikan kelebihannya atau membatalkan perjanjian "jual beli"nya itu.


4. Apabila pen"jual" menipu ketika men"jual" barangnya, misalnya ia mengemukakan yang baiknya dan menyembunyikan yang buruknya, atau menyampaikan susu pada susu domba, maka pem"beli" boleh melakukan pilihan antara membatalkan atau meneruskan "jual beli"nya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Muttafaq 'alaih, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah kamu sekalian mengikat susu (dibiarkan lama supaya kelihatan gemuk) pada unta dan kambing. Barangsiapa yang mem"beli"nya, maka boleh melakukan dua pilihan setelah memerasnya, yaitu apabila menghendaki diambilnya, dan apabila tidak menghendakinya boleh dikembalikan kepada pen"jual"nya dengan satu sa' dari kurma."


5. Apabila pada barang yang di"beli" terdapat cela yang mengurangi nilainya, sementara pem"beli" tidak mengetahuinya, maka baginya boleh memilih antara meneruskan atau membatalkannya. Sebagaimana Hadite Riwayat Ahmad dan Ibn Majah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah halal bagi Muslim men"jual" kepada saudaranya sesuatu yang ada celanya, kecuali telah dijelaskannya."
Rasulullah juga bersabda: "Barangsiapa yang menipu kami, maka ia bukan golongan kami."


6. Apabila terjadi perbedaan antara pen"jual" dengan pem"beli" dalam menetapkan harga atau dalam mensifati barangnya, maka masing-masing dapat melakukan sumpah. Kemudian keduanya dapat melakukan pilihan antara meneruskan atau membatalkan "jual beli" itu. Sebagaimana riwayat yang dikemukakan para pengarang kitab Sunan dan disahihkan Hakim: "Jika terjadi perbedaan pendapat antara pen"jual" dengan pem"beli", sedangkan barangnya masih ada, namun tidak ada saksi satupun, maka masing-masing hendaknya bersumpah."



MACAM "JUAL BELI" YANG DILARANG.


Nabi Muhammad SAW melarang beberapa jenis "jual beli" yang di dalamnya mengandung unsur penipuan yang menjerumuskan pada memakan harta orang lain dengan batil. Dan penipuan yang menghasilkan kedengkian, pertentangan, dan permusuhan di antara sesama kaum Muslimin. "Jual beli" yang dilarang tersebut antara lain:


1. Men"jual" sesuatu barang yang belum diterima.
Seorang Muslim tidak boleh mem"beli" sesuatu barang lalu men"jual"nya kembali sebelum ia menerima barang tersebut. Hal ini sebagaimana yang diterangkan dalam Hadits Riwayat Ahmad dan Tabrani, di dalam sanad hadits ini ada bantahan tetapi hadits ini sahih, bahwa Rasulullah bersabda: "Jika engkau mem"beli" sesuatu maka jangan men"jual"nya sebelum engkau menerimanya."
Dan juga Hadits Riwayat Bukhari, menjelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa mem"beli" makanan, maka jangan men"jual"nya sebelum memenuhinya (menerimanya)."
Hadits Riwayat Bukhari juga menerangkan, Ibn Abbas berkata: "Aku tidak menghitung segala sesuatu kecuali yang sama seperti itu."


2. Seorang Muslim men"jual" barang yang telah di"jual"nya pada Muslim lain.
Tidak boleh bagi seorang Muslim yang mem"beli" suatu barang dari Muslim lain, misalnya dengan seharga lima, lalu seorang Muslim lain berkata kepada pem"beli": kembalikanlah barang itu kepada pemiliknya, aku akan men"jual" kepadamu seharga empat. Sebagaimana tidak diperbolehkan pula ia berkata kepada pemilik barang batalkan "jual beli" itu, saya akan mem"beli"nya dari engkau seharga enam. Sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Muttafaq 'alaih, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Seseorang tidak boleh men"jual" barang yang telah di"jual" kepada yang lain."


3. "Jual beli" Najasy.
Seorang Muslim tidak boleh menambah sesuatu pada barangnya padahal ia tidak bermaksud untuk mem"beli"nya, tetapi bertujuan supaya diikuti oleh pem"beli" lain dalam proses penawaran. Dalam "jual beli" ini ada penipuan terhadap pem"beli". Ia juga tidak boleh berkata kepada orang yang bermaksud mem"beli" barang itu "bahwa barang itu telah di"beli" dengan harga sekian" semata-mata karena dusta karena ingin menipu si pem"beli". Sama saja apakah orang itu bersekongkol dengan pemilik barang ataukah tidak. Ibn Umar berkata: "Rasulullah melarang dari kegiatan najasy."
Hadits Riwayat Muttafaq 'alaih, menjelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah kalian saling menipu."


4. Men"jual" barang haram dan najis.
Seorang Muslim tidak boleh men"jual" barang haram dan najis, atau barang yang akan menyampaikan pada sesuatu yang diharamkan. Berdasarkan hal itu, maka tidak boleh men"jual" khamar (minuman keras), babi, gambar (lukisan), bangkai berhala, anggur yang akan dijadikan minuman keras. Sebagaimana Hadits Riwayat Muttafaq 'alaih, bahwa Rasulullah pernah bersabda: "Sesungguhnya Allah mengharamkan men"jual" minuman keras, bangkai, babi dan berhala.
Rasulullah SAW juga pernah bersabda: "Allah melaknat orang yang suka melukis."
Hadits Riwayat Tabrani dan Baihaqi, dijadikan hadits hasan oleh Hafiz dalam Bulug al-Maram, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang menahan anggur pada hari memungut atau memetiknya, hingga men"jual"nya kepada Yahudi atau Nasrani, atau kepada orang yang menjadikannya minuman keras, maka sesungguhnya ia telah menceburkan diri ke dalam api neraka dengan terang-terangan."


5. "Jual beli" yang mengandung penipuan.
Seorang Muslim tidak boleh men"jual" sesuatu yang di dalamnya ada unsur penipuan, seperti men"jual" ikan di dalam air, bulu pada punggung domba, bayi dalam kandungan, air susu pada puting susunya, buah yang belum tetap kemaslahatannya (belum matang), biji buah-buahan sebelum matang, dan men"jual" sesuatu barang tanpa dilihat dahulu atau tanpa membolak-balikkannya dan tanpa memeriksanya jika benda itu ada di hadapannya. Atau tanpa menerangkan sifatnya, jenisnya maupun kadarnya, jika benda itu tidak berada di hadapannya. Hal ini sebagaimana Hadits Riwayat Ahmad, dalam sanadnya terdapat bantahan, namun ditemukan saksi yang memperkuatnya, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah kamu sekalian mem"beli" ikan di dalam air, karena itu termasuk penipuan."
Hadits Riwayat Baihaqi dan Daruqutni, hadits sahih, menjelaskan bahwa Umar bin Khattab berkata: "Rasulullah melarang men"jual" kurma, hingga layak untuk dimakan, dan men"jual" bulu pada punggung (hewan), atau susu dalam puting susunya, atau men"jual" minyak pada air susunya."


6. Melakukan dua perjanjian pada satu "jual beli".
Seorang Muslim tidak boleh melakukan dua perjanjian pada satu "jual beli", namun harus melakukan perjanjian masing-masing secara jelas. "Jual beli" dengan dua perjanjian tersebut, akan menimbulkan ketidakjelasan yang akan menyakiti Muslim, atau akan memakan hartanya tanpa hak. "Jual beli" yang terdiri dari dua perjanjian itu bentuknya antara lain:

a. Seseorang mengatakan kepada orang lain: aku men"jual" barang ini kepadamu sepuluh ribu rupiah, atau lima belas ribu rupiah dengan bon sampai batas waktu tertentu. "Jual beli" itu berlangsung tanpa dijelaskan perjanjian mana yang akan dipenuhinya.

b. Seseorang mengatakan kepada orang lain: Aku men"jual" rumah ini kepadamu, misalnya dengan seharga sekian, tetapi kamu harus men"jual" lagi dengan harga sekian dan sekian.

c. Seseorang men"jual" dua buah benda yang berbeda dengan seratus ribu rupiah misalnya, lalu perjanjian berlangsung. Tetapi pem"beli" tidak mengetahui benda mana di antara dua benda itu yang telah dibelinya. Hal ini sebagaiman dijelaskan Hadits Riwayat Ahmad dan Tirmidzi, "Rasulullah melarang dua perjanjian pada satu "jual beli".


7. "Jual" panjar.
Seorang Muslim tidak boleh melakukan "jual beli" dengan "jual beli" sistem arbun (panjar), atau mengambil sewa secara mutlak. Sebagaimana dijelaskan Hadits Riwayat Malik dlam kitab Muwatta' dan yang lainnya, bahwa berdasarkan sebuah riwayat: "Rasulullah melarang men"jual" dengan cara panjar."


8. Men"jual" sesuatu yang tidak dimilikinya.
Seorang Muslim tidak boleh menjual sesuatu barang yang tidak dimilikinya. Karena hal itu akan menyakitkan pen"jual" dan pem"beli" yang tidak dapat mendapatkan barang yang di"jual" tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan o;eh Ahli Hadits disahihkan Tirmidzi, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Engkau tidak boleh men"jual" sesuatu yang tidak kamu miliki.


9. Men"jual" utang dengan utang.
Seorang Muslim tidak boleh men"jual" utang dengan utang, karena hal itu sama dengan men"jual" sesuatu barang yang tidak dimilikinya. Islam tidk mengijinkan "jual beli" semacam itu.


10. "Jual beli" I'inah.
Seorang Muslim tidak boleh men"jual" sesuatu sampai pada waktu tertentu, lalu mem"beli"nya lagi dari orang tersebut dengan harga yang lebih murah ketika ia men"jual"nya.


11. "Jual beli" penduduk kota untuk penduduk kampung.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Muttafaq 'alaih, bahwa Rasulullah bersabda: "Janganlah penduduk kota men"jual"kan barang untuk penduduk kampung. Tinggalkanlah atau biarkanlah orang-orang itu, Allah akan memberikan rezki sebagiannya atas sebagiannya lagi."


12. Mem"beli" dari orang yang sedang menuju ke pasar.
Tidak boleh bagi seorang Muslim yang mendengar barang-barang datang ke dalam kota, lalu ia keluar untuk menjumpai para pembawa barang yang berkendaraan itu di luar kota (mencegat di perjalanan) lalu mem"beli"nya di tempat tersebut. Setelah itu dibawanya masuk ke dalam kota dan di"jual" sekehendak hatinya. "Jual beli" semacam itu akan menimbulkan penipuan bagi si pemilik barang dan akan merugikan penduduk, pedagang maupun yang lainnya.
Hal ini sebagaimana dijelaskan Hadits Riwayat Muttafaq 'alaih, bahwa Rasulullah bersabda: "Janganlah kalian mencegat para pedagang penunggang kendaraan (di tengah jalan) dan janganlah penduduk kota men"jual"kan barang untuk penduduk kampung."


13. "Jual beli" Musarrah.
Seorang Muslim tidak boleh mengikat air susu domba, sapi ataupun unta, yakni mengumpulkan air susunya beberapa hari supaya kelihatan banyak susunya, sehingga orang-orang akan senang mem"beli" dan men"jual"nya. Hal ini mengandung penipuan dan kecurangan. Sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Muttafaq 'alaih, bahwa Rasulullah bersabda: "Janganlah kamu sekalian membiarkan air susu sapi dan kambing tidak diperas (supaya kelihatan banyak). Barangsiapa yang mem"beli"nya setelah itu, maka boleh melakukan pilihan antara dua hal setelah memerasnya, jika ridha boleh dimilikinya, kalau tidak (benci, marah), maka boleh mengembalikannya, ditambah satu sa' dari kurma."


14. "Jual beli" ketika adzan Salat Jum'at.
Seorang Muslim tidak boleh "jual beli" sesuatu pada waktu adzan salat Jum'at telah dikumandangkan, dan Imam sudah naik ke mimbar.
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Al-Jumu'ah Ayat 9: "Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah "jual beli". Yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui."


15. "Jual beli" Muzabanah atau Muhaqalah.
Hal ini sebagaimana Hadits Riwayat Bukhari, menjelaskan bahwa Umar bin Khattab berkata: "Rasulullah melarang muzabanah, yaitu seseorang men"jual" buah kurma kebunnya dinilai sama dengan kurma kering. Jika buah anggur, di"jual" sama dengan anggur yang kering dengan cara ditakar. Jika tanam-tanaman di"jual" dengan biji-bijian yang jelas takarannya. Rasulullah melarang semua kegiatan "jual beli" tersebut."
Hadits Riwayat Bukhari juga menjelaskan bahwa Zaid bin Sabit berkata: Rasulullah mengizinkan pemilik anggur men"jual"nya dengan cara ditaksir."


16. "Jual beli" dengan pengecualian.
Seorang Muslim tidak boleh menjual sesuatu lalu dikecualikan sebagiannya, kecuali jika yang dikecualikannya itu sudah diketahui. Apabila seseorang men"jual" sebidang kebun misalnya, maka tidak sah dikecualikan kurma atau pohon lain yang tidak jelas. Karena hal ini akan menyebabkan penipuan yang diharamkan.
Hadits Riwayat Bukhari, menjelaskan bahwa Jabir pernah berkata: "Rasulullah telah melarang "jual beli" dengan cara muhaqalah dan muzabarah, dan pengecualian, kecuali jika yang dikecualikan itu diketahui."



"JUAL BELI" POHON YANG BERBUAH.


Apabila seorang Muslim men"jual" pohon kurma ataupun pohon lainnya, dimana kurma itu atau buahnya sudah nampak, demikian pula pohon lainnya, maka buahnya itu buat orang yang men"jual"nya, kecuali jika disyaratkan oleh si pem"beli". Jika tidak disyaratkan maka buahnya itu untuk si pem"jual".
Hal ini sebagaimana Hadits Riwayat Tirmidzi, yang menjelaskan bahwa Rasulullah pernah bersabda: "Barangsiapa yang men"jual" kurma yang sudah berbuah, maka buahnya itu untuk pen"jual", kecuali jika dipersyaratkan oleh pem"beli".



SARF, "JUAL BELI" MATA UANG.


Sarf, adalah "jual beli" mata uang, sebagian atau sebagian lainnya, seperti men"jual" dinar emas dengan dirham perak. Sarf ini diijinkan, karena merupakan bagian dari "jual beli", sedangkan "jual beli" itu diijinkan oleh Kitab Allah dan sunah. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah Ayat 275: "... Allah menghalalkan "jual beli"......."
Dan Rasulullah juga bersabda: "Jual"lah emas dengan perak sekehendak hatimu, asalkan kontan dengan kontan."


Hikmah disyariatkannya "jual beli" mata uang, adalah untuk menolong kaum Muslimin dalam memindahkan pekerjaannya dari satu kepada yang lainnya yang ia butuhkan.


Syarat untuk sahnya "jual beli" mata uang adalah taqabud (saling menerima) ketika masih ada di majelis (tempat penukaran) sehingga sifatnya langsung dan kontan." Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah: "Jual"lah oleh kamu sekalian emas dan perak, sekehendak hatimu, jika langsung dan kontan."
Rasulullah juga bersabda: "Emas ditukar dengan mata uang adalah riba, kecuali kontan dengan kontan."


Ada beberapa hukum (aturan) untuk "jual beli" mata uang, yaitu:


1. Boleh menukarkan emas dengan emas, dan perak dengan perak, jika sama timbangannya, tidak dilebihkan yang satu atas yang lainnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Muttafaq 'alaih, bahwa Rasulullah pernah bersabda: "Janganlah kalian men"jual" emas dengan emas, kecuali sama dengan sama, janganlah kalian melebihkan yang satu atas yang lainntya, dan jangan pula men"jual"nya yang tidak ada dengan yang kontan."
"Jual beli" semacam ini harus dilakukan dalam satu majelis, sebagaimana dijelaskan pula dalam Hadits Riwayat Muttafaq 'alaih, bahwa Rasulullah bersabda: "Emas ditukar dengan emas adalah riba, kecuali kontan dengan kontan, perak dengan perak adalah riba, kecuali dilakukan kontan dengan kontan."


2. Boleh dilebihkan jika berbeda jenisnya, seperti emas dengan perak, apabila berlangsung dalam satu majelis. Sebagaimana Hadits Riwayat Muttafaq 'alaih, Rasulullah SAW bersabda: "Apabila benda-benda itu berbeda, maka "jual"lah sekehendak hatimu, apabila berlangsung kontan dengan kontan."


3. "Jual beli" tersebut batal apabila kedua orang yang melakukan tukar menukar sudah berpisah sebelum masing-masing menerimanya. Hal ini sebagaimana dijelaskan Hadits Riwayat Muttafaq 'alaih, bahwa Rasulullah bersabda: "Kecuali dilakukan langsung dengan langsung."


S A L M.


Salm atau salf adalah men"jual" sesuatu yang disifati dalam tanggungan. Yakni seorang Muslim mem"beli" barang yang telah jelas sifatnya, seperti makanan, hewan ataupun yang lainnya, sampai waktu yang telah ditentukan. Lalu ia membayar harganya dan menunggu sampai waktu yang telah ditentukan untuk menerima barangnya. Apabila telah tiba waktunya, maka pen"jual" menyerahkan barangnya tersebut.


Salm hukumnya diijinkan, karena ia termasuk "jual beli", sedangkan "jual beli" itu diijinkan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Muttafaq 'alaih, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: "Barangsiapa yang melakukan "jual beli" sesuatu dengan cara salm hendaknya menggunakan takaran dan timbangan yang jelas, serta batas waktu yang jelas pula."
Dan juga berdasarkan Hadits Riwayat Muttafaq 'alaih pula, menjelaskan bahwa Ibn Abbas berkata: "Rasulullah datang ke Medinah, dan penduduknya melakukan "jual beli" dengan sistem salm untuk waktu satu hingga tiga tahun."


Syarat sahnya "jual beli" dengan sistem salm adalah sebagai berikut:


1. Dengan harga kontan, baik berupa emas maupun perak, atau alat tukar yang menggantikan keduanya yang dipergunakan dalam muamalah, supaya jangan sampai terjadi "jual beli" secara riba dengan yang sejenis, secara nasiah.


2. Barang yang di"jual" hendaknya dibatasi sifat sempurna yang ditentukannya. Hal ini dilakukan dengan cara menyebutkan jenis, macam dan ukurannya, sehingga tidak terjadi pertentangan antara sesama Muslim yang menyebabkan terjadinya kedengkian dan permusuhan.


3. Batas waktu hendaknya diketahui, misalnya satu bulan atau lebih lama lagi.


4. Harga hendaknya disepakati ketika masih berada dalam satu majelis, supaya jangan sampai tergelincir pada "jual beli" utang dengan utang yang diharamkan.

HSyarat-syarat tersebut berdasarkan sabda Rasulullah yang dijelaskan dalam Hadits Riwayat Muttafaq 'alaih: "Barangsiapa yang melakukan "jual beli" dengan secara salm, hendaknya menggunakan takaran, timbangan dan waktu yang jelas."


Hukum "jual beli" dengan salm, adalah:


1. Hendaknya waktu disesuaikan dengan kemungkinan adanya perubahan situasi pasar, seperti waktu satu bulan. Karena sesungguhnya "jual beli" salm ini apabila dalam waktu yang dekat, maka hukumnya sama dengan hukum "jual beli". Sedangkan dalam "jual beli" itu disyaratkan melihat dan meneliti barang yang akan di"beli"nya.


2. Waktu yang ditentukan memungkinkan pen"jual" dapat menyefiakan barang pesanan. Karenanya tidaklah sah men"jual" kurma basah pada waktu musim bunga, atau men"jual" buah anggur pada waktu musim dingin, karena hal ini akan mengundang pertentangan antara sesama kaum Muslimin.


3. Apabila pada saat perjanjian tidak disebutkan tempat penyerahan barang, maka wajib menyerahkannya di tempat perjanjian. Apabila disebutkan dan ditentukan, maka penyerahan barang wajib dilakukan di tempat yang telah disepakati.


SYUF'AH.


Syuf'ah adalah seorang teman yang mengambil bagian dari barang yang telah di"jual" temannya dengan harga pasar.


Hukum-hukum syuf'ah adalah:


1. Berlakunya syuf'ah secara syariat, sejalan dengan penetapan Rasulullah. Dalam Hadits Riwayat Muttafaq 'alaih dijelaskan: "Dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah telah menetapkan syuf'ah pada setiap benda yang bisa dibagikan. Apabila telah ditetapkan batasan-batasannya dan ditetapkan pula jalan-jalannya, maka tidak berlaku lagi syuf'ah."


2. Syuf'ah tidak berlaku kecuali pada benda-benda yang bisa dibagikan. Apabila benda-benda tersebut tidak dapat dibagikan, seperti kamar kecil (WC), tempat peristirahatan, dan rumah yang sempit, maka syuf'ah tidak berlaku.



3. Syuf'ah tidak berlaku pada benda-benda yang telah dibagikan yang telah ditetapkan batasan-batasan dan jalan-jalannya. Dan juga jika sesudah dibagikan, kawannya tersebut akan menjadi tetangga, sedangkan menurut pendapat yang sahih syuf'ah itu tidak dibenarkan dengan tetangga.


4. Syuf'ah tidak berlaku pada benda-benda bergerak, pakaian dan hewan ternak, akan tetapi berlaku pada benda-benda tidak bergerak seperti bangunan dan tanaman.


5. Hak seseorang yang melakukan syuf'ah akan gugur bila hadir pada waktu perjanjian "jual beli" atau mengetahuinya, sedangkan ia sendiri tidak menuntut untuk melakukan syuf'ah sampai dengan lewatnya suatu tenggang waktu tertentu.


6. Syuf'ah bisa gugur (tidak berlaku) manakala apa yang di"beli" oleh pem"beli" sudah diwakafkan, dihibahkan, ataupun disedekahkannya. Karena Syuf'ah ditinjau dari sudut maknanya adalah membatalkan semua kegiatan taqarrub tersebut. Mendahulukan kegiatan taqarrub adalah lebih utama dari pada menetapkan syuf'ah yang tidak memiliki tujuan, kecuali untuk menghilangkan keburukan yang diperkirakan akan terjadi.


7. Pem"beli" boleh mengambil hasil dan menambahkannya dari yang terpisah dari tanah (yang disyuf;ahkan). Apabila ia membangun ataupun menanam, maka bagi orang yang melakukan syuf'ah berhak memilikinya seharga bangunan ataupun tanaman, atau mencabutnya dengan menanggung segala kekurangannya (biayanya), karena tidak boleh saling merugikan.


8. Perjanjian syuf'ah tergantung kepada pem"beli", sedangkan perjanjian pem"beli" tergantung kepada pen"jual". Orang yang melakukan syuf'ah boleh menuntut kepada pem"beli", dan pem"beli" bisa mengembalikannya kepada pen"jual" segala sesuatu yang berkaitan dengan kewajiban syuf'ah.


9. Hak syuf'ah tidak dapat dijual dan tidak dapat pula dihibahkan.



IQALAH (PEMBATALAN "JUAL BELI").


Iqalah adalah pembatalan "jual beli" dan meninggalkannya serta mengembalikan uang kepada pemiliknya. Sedangkan barangnya dikembalikan kepada pen"jual", apabila salah seorang atau keduanya yang melakukan transaksi "jual beli" itu menyesal.


Iqalah itu diijinkan bahkan dianjurkan, jika diminta oleh salah seorang yang melakukan transaksi "jual beli". Hal ini sebagaimana Hadits Riwayat Abu Daud, Ibn Majah dan Hakim, menjelaskan bahwa Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang membatalkan transaksi "jual beli" seorang Muslim, maka Allah akan menutup rahasianya."
Juga Hadits Riwayat Baihaqi, sanad sahih, menjelaskan bahwa Rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang membatalkan (transaksi "jual beli"nya) karena menyesal, maka Allah akan menutup rahasianya pada hari kiamat nanti."


Hukum iqalah adalah:


1. Terjadi perbedaan pendapat. Apakah iqalah itu dipandang pembatalan terhadap "jual beli" yang pertama. Ataukah itu merupakan "jual beli" yang baru? Pendapat pertama dipegang oleh Ahmad, Syafi'i dan Abu Hanifah. Sedangkan pendapat kedua dipegang oleh Malik.


2. Iqalah diperkenankan apabila terjadi kerusakan pada sebagian benda yang di"jual"nya.


3. Dalam iqalah, tidak dibenarkan mengurangi atau menambah harga, apabila hal ini dilakukan, maka pada saat itu berlaku transaksi "jual beli" baru berdasarkan hukum-hukumnya yang disempurnakan yang membolehkan syuf'ah. Dipersyaratkan menerima pada "jual beli" makanan dan juga yang lainnya seperti sifat "jual beli".


(Sumber: Pedoman Hidup Muslim, oleh Abu Bakr Jabir Al-Jazairi).

"FAKTOR FAKTOR PENYEBAB PERUBAHAN SOSIAL"

"Terjadinya "perubahan-perubahan sosial" merupakan gejala-gejala yang wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia." (Menurut Pitrim A Sorokin).



"Perubahan sosial" yang terjadi pada masyarakat terutama pada beberapa dekade terakhir ini dapat dikatagorikan sebagai "perubahan sosial" yang terjadi karena disengaja (intended change) atau karena tidak disengaja (unintended change), atau dengan istilah lain sebagai contact change dan immanent change. Contact change atau intended change merupakan "perubahan sosial" yang bersumber dari luar masyarakat, baik yang disengaja melalui suatu agent of change maupun secara spontan dikomunikasikan oleh pihak-pihak dari luar masyarakat. Sedangkan Immanent change atau unintended change merupakan "perubahan sosial" yang terjadi karena kehendak atau dinamika masyarakat yang bersangkutan sendiri tanpa pengaruh dari luar.



FAKTOR FAKTOR PENYEBAB "PERUBAHAN SOSIAL".


Ada tiga kategori besar, teori-teori yang menjelaskan penyebab terjadinya "perubahan sosial", yaitu:


1. Teori yang menganggap bahwa faktor biologis sebagai faktor dominan terjadinya "perubahan sosial".


2. Teori yang berpangkal pada faktor kebudayaan sebagai penyebab terjadinya "perubahan sosial".


3. Teori yang berpangkal pada faktor teknologi sebagai penyebab terjadinya "perubahan sosial".



Faktor-faktor biologis, terutama faktor demografis sangat mempengaruhi terjadinya "perubahan sosial". Peristiwa denografis seperti pertambahan penduduk, migrasi akan sangat berpengaruh bagi berubahnya hubungan antara kelompok dalam masyarakat.


Pandangan mengenai pentingnya faktor kebudayaan sebagai determinan "perubahan sosial" bertolak pada anggapan bahwa terdapat hubungan erat antara sistem budaya yang meliputi sistem nilai, kepercayaan, norma. aturan, kebiasaan dengan pola hubungan antar manusia dalam masyarakat. Sistem budayalah yang menjadi pedoman, pendorong dan sekaligus sebagai pengawas atas segala sikap, tingkah laku dan tindakan para warga masyarakat, pengatur berbagai pranata "sosial".


Perubahan teknologi berkat adanya berbagai penemuan dan inovasi baru senantiasa melibatkan berbagai akibat "sosial" yang sebagian dapat dikatagorikan sebagai "perubahan sosial". Pengenalan teknologi merupakan faktor penentu timbulnya kebudayaan baru. Laju "perubahan" kebudayaan material seperti halnya teknologi ini berpacu lebih cepat dari pada laju "perubahan" kebudayaan non material, sehinggal menimbulkan "social" lag atau cultural lag (ketinggalan kebudayaan). Jadi, baik langsung maupun tidak langsung, pengaruh teknologi itu ada dan berkembang dari waktu ke waktu serta berbeda dalam manifestasinya.



FAKTOR FAKTOR YANG MENDORONG PROSES "PERUBAHAN SOSIAL" DALAM ARTI LUAS:


1. Kontak dengan kebudayaan lain.


2. Aistem pendidikan yang maju.


3. Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju.


4. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang.


5. Sistem pelapisan "sosial" yang terbuka (open "social" stratification).


6. Penduduk yang heterogen.


7. Ketidak puasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu. Keadaan tersebut apabila telah terjadi dalam waktu yang lama di mana masyarakat mengalami tekanan-tekanan dan kekecewaan-kekecewaan dapat menyebabkan timbulnya suatu revolusi dalam masyarakat tersebut.


Saluran-saluran "perubahan sosial" atau avenue or channel of change pada umumnya adalah lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan maupun agama. Lembaga Pemerintah sebagai central focusnya yang biasanya sebagai tempat saluran, membawa pengaruh pada lembaga-lembaga lain sebab kedudukan lembaga-lembaga merupakan suatu sistem yang terintegrasi.


MusicPlaylistView Profile