"Sudah selayaknya gerakan "kesetiakawanan sosial" harus bisa diarahkan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap akar penyebab penderitaan mereka."
Bukan sekedar memberi hiburan pada penderitaan itu dengan sejumlah bantuan materiil.
Bukan sekedar memberi hiburan pada penderitaan itu dengan sejumlah bantuan materiil.
Tanggal 20 Desember diresmikan sebagai Hari "Kesetiakawanan Sosial" Nasional. Adanya himbauan dan berbagai macam pernyataan atau pidato resmi untuk mewujudkan "kesetiakawanan" merupakan langkah yang baik. Memang harus diakui pidato-pidato resmi tidak dapat menciptakan masyarakat yang penuh dengan "kesetiakawanan sosial", bebas dari egoisme. Tetapi pidato-pidato semacam ini kerap dapat menolong menciptakan masyarakat dimana orang merasa malu hanya mencari keuntungan bagi diri sendiri dan hidup mewah jauh berbeda dari kehidupan banyak rakyat kecil.
Lebih penting dari pada himbauan atau pidato tentang "kesetiakawanan sosial" adalah usaha pencarian tindakan-tindakan yang dapat menunjang dan menumbuhkan serta memperkuat "kesetiakawanan sosial". Tumbuhnya berbagai gerakan dan lembaga "kesetiakawanan" akhir-akhir ini merupakan hal positif. Bagaimanapun itu menunjukkan makin meningkatnya perhatian warga masyarakat untuk bergerak di bidang "sosial".
Berikut ini adalah beberapa tindakan yang penting demi semakin adanya "kesetiakawanan sosial".
PENYADARAN.
Salah satu tindakan untuk menumbuhkan dan memperkuat "kesetiakawanan sosial" adalah penyadaran kepada seluruh warga masyarakat tentang sebab kemiskinan rakyat kecil dan bagaimana menolong mereka. Dengan kata lain penyadaran kalau dipakai istilah medis tentang diagnosa dan terapi mengenai kemiskinan. Penataan kehidupan bersama di bidang sosial, ekonomi dan politiklah atau struktur sosiallah yang menyebabkan kemiskinan. Sedang terapinya adalah semakin besar keikutsertaan rakyat kecil dalam memutuskan penataan kehidupan bersama tersebut. Yang masih kuat dalam masyarakat adalah kesadaran atau diagnosa salah ialah rakyat kecil itu miskin karena mentalitas mereka, yaitu malas, tidak tekun dalam berusaha, mudah putus asa dan apatis, menerima nasib. Padahal mentalitas rakyat kecil ini muncul dan bertahan karena struktur sosial yang ada yang telah bertahan bertahun-tahun.
Pandangan lain adalah tentang kuatnya budaya ketidaksamarataan. Ketidaksamarataan dalam masyarakat dimengerti sebagai hal yang sudah semestinya. Perbedaan kaya miskin dianggap biasa. Orang bukannya merasa malu tetapi malah bangga bahwa gaya hidupnya sangat berlainan dari gaya hidup rakyat miskin.
Budaya ketidaksamarataan itu dan diagnosa salah di atas tumbuh karena adanya paham tentang achieving personality atau achieving society : apa yang diperoleh seseorang itu disebabkan karena kemauan kuat seseorang untuk berprestasi. Karena juga orang harus berkompetisi dengan orang lain. Yang memang dalam kompetisi sudah wajar mendapat imbalan yang memadai. Adalah suatu
mitos bahwa keberhasilan seseorang sama sekali tergantung dari kemauan keras untuk berprestasi. Harus disadarkan bahwa struktur "sosial" yang ada sangat menunjang keberhasilan seseorang.
Kesadaran yang salah inilah yang ikut melanggengkan kesenjangan "sosial" ekonomi, politik dalam masyarakat. Kecuali itu, kesadaran yang salah inilah yang menghambat perlunya "kesetiakawanan" dengan rakyat kecil.
KEGIATAN POLITIK.
Implikasi dari terapi yang tepat agar orang kecil dapat membebaskan diri dari kemiskinan mereka, yaitu keikutsertaan mereka dalam menata kehidupan bersama, adalah pentingnya distribusi kekuasaan. Ini berarti rakyat kecil harus terlibat dalam kegiatan politik. Mereka hendaknya bebas berorganisasi, bebas mendapatkan pendidikan politik.
Lembaga Perwakilan Rakyat (DPR) harus berani menyalurkan aspirasi rakyat kecil. Faktor-faktor yang melemahkan lembaga perwakilan rakyat harus diatasi. Anggota DPR merasa takut dan kurang vokal memperjuangkan kepentingan rakyat kecil karena mereka dulu dipilih atau diajukan oleh Dewan Pimpinan Partai dan disetujui oleh eksekutif. Akibatnya anggota DPR lebih berorientasi ke atas, menghindari recalling.
BIDANG EKONOMI.
Monopoli di bidang ekonomi jelas akan memperbesar kesenjangan ekonomi antara kelompok kaya dan rakyat kecil. Free fight liberalism akan menyebabkan usaha-usaha atau kegiatan ekonomi rakyat kecil yang bermodal kecil akan dimatikn oleh usaha-usaha ekonomi yang bermodal besar. Maka perlindungan untuk usaha kecil atau menengah perlu diberikan. Sebaliknya penarikan pajak progresif yang keras dan tegas perlu diberlakukan terhadap perusahaan-perusahaan besar.
DUNIA PENDIDIKAN.
Sering terjadi institusi pendidikan secara tidak sadar justru memupuk bahkan melanggengkan semangat dan praktek persaingan yang sering tidak adil. Anak-anak didik diajak bersaing menjawab pertanyaam yang diajukan guru. Yang menjawab salah, menjadi malu, sedang yang betul merasa bangga.
Ketidak-berhasilan seorang murid menjadi sumber kegembiraan dan kebanggaan teman lain yang berhasil. Hal demikian akan membuat anak didik selalu sadar bahwa ia harus bersaing dengan teman-temannya. Apalagi sekarang dengan diterapkan sistem ranking di sekolah-sekolah kita.
Perlu dicoba dan dikembangkan suatu cara agar anak terbiasa bekerja sana : studi kelompok, ujian kelompok, penilaian kelompok. Selain itu, demi tumbuhnya "kesetiakawanan sosial" pada anak-anak tidak cukup hanya mengajak mereka mengunjungi asrama piatu, rumah orang jompo, penampungan anak/orang cacat dan lain-lain yang dikelola oleh lembaga amaliah.
Usaha semacam ini malahan bisa merugikan pendidikan "kesetiakawanan sosial", sebab ada bahaya pendidikan semacam ini lebih membuka dan mengarahkan anak pada tindakan amaliah/karitatif saja. Anak tidak diajak untuk melihat ketidak-adilan dan memperjuangkan keadilan.
Maka perlulah anak ditolong untuk menganalisa sebab kemiskinan rakyat miskin yang normal. Melalui pembuatan analisis oleh anak, diharapkan anak melihat dan menyadari bahwa struktur "sosial" yang sekarang ini ada inilah yang merupakan sebab rakyat kecil tetap miskin.
PERUBAHAN STRUKTURAL.
Langkah memberi bantuan dan sedekah justru mungkin bisa mempertajam jurang antara si kaya dan si miskin. Sebab tindakan tersebut menunjukkan si pemberi berada pada posisi yang lebih tinggi. Dengan begitu, selama masih ada pemberian sebagai skema umum maka merupakan deskriminasi dan menimbulkan kesenjangan. Maka pandangan amaliah yang ada sekarang ini perlu ditingkatkan kepada tahap:"....yang berjuang untuk keadilan sosial yang struktural sehingga tak perlu lagi memberi sedekah dan dana, Tahapan ini bakal mampu lebih memberikan harkat dan martabat kepada sesama manusia."
Kalau kita menganggap mereka lebih rendah dan sekedar sasaran belas kasihan, kita bisa terjerumus ke dalam sikap menindas, meremehkan hak-hak mereka sebagai sesama manusia untuk memilih dan menentukan jalan hidup mereka. Sebaliknya kita harus memiliki sikap solidaritas terhadap penderitaan mereka.
Kalau kita mau menolong mereka janganlah kita memberikan bantuan berupa materiil saja, akan tetapi kita harus memberikan alat dan bagaimana cara mempergunakan alat untuk memenuhi kebutuhan yang harus dipenuhi. Dalam hal ini bisa saya kutip falsafah Konfusius : "Kalau anda memberi seekor ikan kepada orang lapar, maka dia akan kenyang sehari. Tapi kalau memberinya sebuah kail, dia akan kenyang seumur hidupnya."
Sudah selayaknya gerakan "kesetiakawanan sosial" harus bisa diarahkan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap akar penyebab penderitaan mereka. Bukan sekedar memberi hiburan pa penderitaan itu dengan sejumlah bantuan materiil. "Gerakan kesetiakawanan sosial" harus mampu menjangkau secara struktural dari penderitaan itu sendiri. Sehingga itu bisa sampai pada proses penyadaran pada orang-orang miskin bahwa sebenarnya mereka juga bisa mengangkat harkat hidup mereka dengan memahami potensi diri. Bukan hanya mengharap bantuan orang lain. Maka beri mereka peluang untuk bisa berinisiatif, membuka peluang pengembangan potensi diri.
Pada akhirnya pemberian sedekah yang sifatnya amaliah kelak seharusnya hanya pada kasus-kasus khusus. Artinya hanya untuk mereka yang cacat, setengah gila, keluarga yang memang sudah ambruk secara finansial atau kepada para yatim piatu. Tanggung-jawabnya bukan pada pihak pemerintah, melainkan tanggung-jawab pemerintah dan masyarakat. Perjuangan membangun masyarakat adil dan makmur terlaksana kalau bersama-sama.
PENGAMALAN AGAMA HARUS PERERAT "KESETIAKAWANAN SOSIAL".
Setiap upaya pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran agama hendaknya mampu menyentuh dua aspek, yaitu aspek vertikal yang berhubungan dengan Tuhan dan aspek horisontal yang berhubungan dengan masyarakat. Dengan kata lain, upaya itu tidak hanya mempertebal rasa keimanan kepada Tuhan saja, akan tetapi hendaknya juga mampu meningkatkan dan memperkuat rasa "kesetiakawanan sosial".
Sebagai bangsa yang berfalsafahkan Pancasila, kekuatan bangsa Indonesia terletak pada kehidupan beragama yang dinamis dan sehat serta serasi dengan tuntutan kesatuan dan persatuan.
Dalam menghadapi semua permasalahan yang ada, bangsa Indonesia harus mengambil langkah-langkah penyesuaian dengan perkembangan yang terjadi, antara lain dengan bekerja keras, hidup hemat dan sederhana.
Selain langkah penyesuaian, sebagai bangsa yang religius, bangsa Indonesia harus pula lebih meningkatkan serta memperkuat keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan. Bertolak dari itu semua, kita harus memobilisasikan solidaritas dan persatuan bangsa. Hanya dengan solidaritas dan persatuan bangsa Insya'Allah kita dapat mengatasi dan melalui berbagai permasalahan yang terjadi.
Umat Islam dalam beribadah shalat juga harus melengkapi dengan pembinaan hubungan serasi antar sesama manusia. Dalam kaitannya dengan pembinaan hubungan serasi, perlu ditekankan pula bahwa umat Islam harus melaksanakan kewajiban membayar zakat. Kewajiban membayar zakat, adalah satu mekanisme utama dalam Islam untuk pemerataan kenikmatan kebendaan dari anggota masyarakat yang beruntung di bidang materi kepada mereka yang kurang beruntung.
Islam mengakui dan menjunjung tinggi prinsip persamaan, namun persamaan disini berarti kesempatan dan bukan persamaan hak untuk menikmatai tanpa memperhatikan perbedaan kadar sumbangan, prestasi dan hasil karya seseorang. Tetapi, prinsip persamaan kesempatan tanpa dibarengi mekanisme pemerataan, akan menjurus kepada pola ekonomi di mana terjadi akumulasi kekayaan pada segolongan kecil anggota masyarakat, yang pada gilirannya akan menimbulkan "kerawanan sosial".
Padahal, "kerawanan sosial" tersebut secara langsung atau tidak langsung dapat menggagalkan usaha menciptakan kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat yang serasi, tenteram, tenang dan utuh seperti diajarkan dan diupayakan oleh Islam.
0 komentar:
Posting Komentar