Minggu, 02 Desember 2012

"SOSIOLOGI POLITIK"

"Sebelum membahas perkembangan, pendekatan dan peranan "Sosiologi Politik", terlebih dahulu perlu memahami pengertian dan hakikat "Sosiologi Politik"
Hal ini penting, agar dalam mempelajari materi selanjutnya memiliki pemahaman yang jelas mengenai apa itu "Sosiologi Politik", apa cakupannya dan dimana posisinya antara "Sosiologi" dan ilmu "Politik"? Apakah sebagai cabang dari "Sosiologi", atau merupakan pokok bahasan tersendiri terpisah dari kedua disiplin ilmu tersebut?
PENGERTIAN "SOSIOLOGI POLITIK".
"Sosiologi Politik" berasal dari dua kata, yang secara terpisah mempunyai arti sendiri-sendiri sebagai suatu disiplin ilmu, yaitu "Sosiologi" dan "Politik". Istilah "Sosiologi" pertama kali dimunculkan oleh Auguste Comte (1798-1857), salah seorang pendiri disiplin ilmu ini, pada tahun 1839 di dalam bukunya Cours de Philosophie Positive, jilid IV (Duverger, 1989, hal 1). Secara sederhana "Sosiologi" berarti studi tentang masyarakat dipandang dari suatu segi tertentu. Comte dan 'Spencer (1820-1903) yang juga seorang pendiri lainnya (Rush & Althoff, 1990: 1), menekankan masyarakat sebagai unit dasar dari analisis "Sosiologis". Sementara, berbagai lembaga lainnya, seperti.. keluarga, dan lembaga-lembaga "Politik", ekonomi dan keagamaan dan interelasi antara lembaga-lembaga tersebut merupakan sub-unit dari analisk

Para "Sosiolog" modern mendefinisikan "Sosiologi" sebagai "ilmu pengetahuan yang membahas kelompok-kelompok sosial" (Jhonson, 1961: 2) dan "studi mengenai interaksi-interaksi manusia dan interrelasinya" (Ginsburg, 1934: 7). Dari sudut pandang ini, "Sosiologi" memberikan pusat perhatian pada tingkah laku individual dan tingkah laku kolektifnya secara terpisah dari masyarakat, karena hal ini bukan merupakan bidang kajian psikiarti dan psikologi, melainkan tingkah laku manusia dalam konteks sosial.
"Sosiologi Politik" mempunyai beberapa pengertian yang dilihat dari sudut berbeda beberapa ahli. Berikut ini adalah beberapa pengertian "Sosiologi Politik":

"Sosiologi Politik"adalah cabang ilmu "Sosiologi" yang memperhatikan sebab dan akibat sosial dari distribusi kekuatan di dalam masyarakat, dan dengan konflik-konflik sosial dan "Politik" yang berakibat pada perubahan terhadap alokasi kekuatan tersebut. Fokus utama dari "Sosiologi Politik" adalah deskripsi, analisis, dan penjelasan tentang suatu negara, suatu lembaga yang mengklaim monopoli terhadap legitimasi pengunaan kekuatan terhadap suatu wilayah di masyarakat. Sementara ilmu "Politik" terutama berurusan dengan mesin pemerintahan, mekanisme administrasi publik, dan bidang "Politik" formal pada pemilihan umum, opini publik, dan perilaku "Politik". Analisis "Sosiologi" terhadap gejala "Politik" lebih menitikberatkan pada hubungan antara "Politik", struktur sosial, ideology, dan budaya (Gordon Marshall, 1998).

"Sosiologi Politik"adalah upaya untuk memahami dan campur tangan ke dalam hubungan yang selalu berubah antara sosial dan politik. Intinya, ketidakmungkinan dalam "Sosiologi Politik" membuat "Sosiologi Politik" itu penting.
Keberaadaan suatu kata tidak mengindikasikan keberadaan suatu konsep. Demikian juga, ketiadaan suatu kata tidak mengindikasikan ketiadaan suatu konsep. Karenanya kata “social” mungkin ada tanpa konsep dan sebaliknya. Ini diterapkan ke semua hubungan konsep kata bahwa seseorang yang melakukan "Sosiologi Politik" akan menggunakan kata ras, gender, kelas, bangsa, orang, kekuasaan, negara, tekanan, kekerasan, kekuatan, hukum, dan lain-lain.

Hubungan ketergantungan antara kata dan konsep memunculkan masalah definisi. “hanya yang tidak memiliki sejarah yang dapat diuraikan.” Karenanya konsep inti dari "Sosiologi Politik" tidak dapat diuraikan (http://www.theoria.ca/theoria mengutip Genealogy of Morality, II, 13)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa "Sosiologi Politik" adalah ilmu tentang kekuasaan, pemerintahan, otoritas, komando di dalam semua masyarakat manusia, tidak hanya di dalam masyarakat nasional. Pengertian tersebut pada dasarnya membedakan antara pemerintah dengan yang diperintah. Di dalam suatu kelompok manusia terdapat orang yang memerintah dan orang yang mematuhinya, terdapat mereka yang membuat keputusan dan orang-orang yang menaati keputusan tersebut. Dapat dikatakan bahwa ilmu ini adalah gabungan antara ilmu sosial dan "Politik" yang berfokus pada hubungan antara masyarakat dan pemerintah, dimana pemerintah lebih berperan untuk mengatur masyarakat melalui lembaga kepemerintahannya.

Dari uraian di atas, dapat kita ikhtisarkan beberapa pengertian "Sosiologi" sebagai berikut:
1. "Sosiologi" adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat;
2. "Sosiologi" adalah ilmu yang mempelajari tentang kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat;
3. "Sosiologi" adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, baik individu maupun kelompok dan relasinya dengan masyarakat, atau tingkah laku manusia dalam konteks sosial.

Setelah dipahami apa itu "Sosiologi", selanjutnya perlu dipahami apa itu "Politik". Banyak batasan mengenai apa itu "Politik". Beragamnya batasan ini sangat tergantung dari sudut pandang para pembuat batasan itu masing-masing. Para pembuat batasan hanya meneropong satu aspek atau unsur saja dari "Politik". Unsur itu diperiakukannya sebagai konsep pokok, yang dipakainya untuk meneropong unsur-unsur lainnya. Hal ini tentu saja sangat menyulitkan kita untuk memahami apa itu "Politik". Namun demikian untuk memberikan gambaran mengenai apa itu "Politik", berikut akan diuraikan konsep-konsep pokok yang mendasari perumusan atasan mengenai "Politik".

Miriam Budiarjo (7) mengemukakan bahwa konsep-konsep pokok mengenai "Politik" adalah "negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policys beleid) dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation)". Secara terurai, Miriam Budiarjo menjelaskan bahwa "Politik" adalah "bermacam-macam kegiatan dalam sistem "Politik" atau negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu yang di dalamnya terdapat proses pengambilan keputusan". Dalam melaksanakan tujuan-tujuan tersebut perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (pubilc "Policies") yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasi dari sumber-sumber yang ada. Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu perlu dimiliki kekuasaaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan dipakai baik, untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang timbul dalam proses ini.

Penjelasan yang lebih kurang sama, dikemukakan oleh Rush dan Althoff mengenai esensi dari "Politik". Menurutnya batasan mengenai "Politik" bermacam-macam. "Politik" bisa diartikan sebagai proses penyelesaian dari konflik-konflik manusia: atau proses dimana masyarakat membuat keputusan-keputusan ataupun mengembangkan kebijakan-kebijakan tertentu: atau secara otoritatif mengalokasikan sumber-sumber dan nilai-nilai tertentu', atau berupa pelaksanaan kekuasaan dan pengaruh di dalam masyarakat.

Namun demikian, menurut Rush dan Althoff, meskipun "Politik" itu memiliki batasan yang bermacam-macam, akan sangat membantu apabila menganggap kekuasaan sebagai titik sentral dari studi "Politik". Batasan ini juga disepakati oleh Duverger (1989) dan beberapa pakar lainnya. Dengan demikian tampaknya kita menyepakati bahwa "Politik" dibatasi sebagai "masalah kekuasaan", dan tentunya kita pun sepakat pula membatasi ilmu "Politik" sebagai "ilmu tentang kekuasaan".

Dua pengertian, yaitu "Sosiologi" dan "Politik" atau "ilmu "Politik" telah dipahami dengan baik. Selanjutnya perlu dipahami apa itu "Sosiologi Politik", bagaimana konsepsi dasarnya? Apakah pengertiannya merupakan gabungan dari pengertian "Sosiologi" dan pengertian "Politik" atau memiliki pengertian tersendiri. Uraian berikut akan memberikan pemahaman?

Mengacu pada pemikiran Duverger (1989), ada dua arti mengenai "Sosiologi Politik". Pengertian pertama, menganggap "Sosiologi Politik" sebagai "ilmu tentang negara", dan yang kedua, menganggap "Sosiologi Politik" sebagai "ilmu tentang kekuasaan".
"Sosiologi Politik" dasarnya berhubungan dengan penggunaan kekuasaan dan wewenang dalam pelaksanaan kegiatan sistem "Politik", yang banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial budaya. 
SUMBANGAN PEMIKIRAN TEORI KLASIK PADA "SOSIOLOGI POLITIK"

Dari beberapa tokoh teori klasik "Sosiologi" ada beberapa tokoh yang dianggap banyak memberikan kontribusi dalam hal teori yang sampai sekarangpun masih digunakan sebagai dasar berpikir dalam menjelaskan "Sosiologi Politik". Tokoh tersebut antara lain adalah Karl Marx, Max Weber dan Emile Durkheim. Ketiganya dapat dianggap sebagai tokoh yang utama dalam teori klasik.

Meskipun ketiganya tidak secara jelas menjelaskan tentang "Sosiologi Politik" tetapi teori-teori dan konsep-konsep mereka tersebut dapat memberikan suatu pemahaman yang mendalam tentang "Sosiologi Politik" dengan berdasarkan teori "Sosiologi" klasik.

Persamaan ketiga tokoh tersebut dalam menjelaskan teorinya adalah:
  1. Memberikan analisis secara makro
  2. Penjelasan bersifat komparasi sejarah
  3. Mengemukakan adanya perubahan sosial
  4. Teorinya dapat diterapkan di semua tipe masyarakat
Setiap tokoh mempunyai pendekatan dan konsep yang berbeda dalam memberikan kontribusi dalam "Sosiologi Politik". Marx dengan pendekatan materialisme historis dengan konsep tentang kelas, eksploitasi, alinasi, negara serta ideologi. Pendekatan Weber adalah analisis tipe ideal dan "Sosiologi" intepretatif, dengan konsep rasionalisasi, otoritas, kelompok status serta partai "Politik". Sedangkan pendekatan Durkheim adalah fungsionalisme "Sosiologis" melalui konsepnya solidaritas sosial, anomie dan kesadaran kolektif. Konsep kekerabatan, agama, ekonomi, stratifikasi dan sistem nilai dan kepercayaan bersama merupakan faktor-faktor sosial budaya yang banyak memberikan pengaruh pada pelaksanaan sistem "Politik", di mana masing-masing tokoh akan mengemukakan hipotesisnya dalam pelaksanaan kegiatan "Politik".
Sumber:
1. monaliasakwati.blogspot.com/2012/04/definisi-sosiologi-politik.html
2. erwientriyasa.blogspot.com/2010/05/sosiologi-politik.html
3. wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/03/pengertian-sosiologi-politik/
4. laely.widjajati's photos/facebook.com/kepetingan-sidoarjo/
5. laely-widjajati.blogspot.com/.../istana-kerajaan-gowa-balla-lompoa.html

"SOSIOLOGI AGAMA"

 "Sosiologi Agama" intinya membicarakan tentang berbagai peranan "Agama" dalam kehidupan masyarakat,baik menurut pendekatan makro maupun mikro."


Dibahas tentang kedudukan "Agama" dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Hubungan "Agama" dengan berbagai unsur sosial dan budaya, seperti organisasi sosial, ekonomi, politik, pengetahuan dan perang suci.

PENGERTIAN "SOSIOLOGI AGAMA".

Berikut ini beberapa pengertian "Sosiologi Agama" menurut para ahli:
  • Drs. D. Hendropuspito, O.C dalam bukunya "Sosiologi Agama" menerangkan bahwa "Sosiologi Agama" adalah suatu cabang "Sosiologi" umum yang mempelajari masyarakat "Agama" secara "Sosiologis" guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
  • Dr. W. Goddijn: "Sosiologi Agama" adalah bagian dari "Sosiologi" umum (versi barat) yang mempelajarii suatu ilmu budaya empiris, profan dan positif yang menuju kepada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok ke"agama"an dan gejala-gejala kekelompokan ke"agama"an.
  • "Sosiologi Agama" mempelajari peran "Agama" di dalam masyarakat; praktik, latar sejarah, perkembangan dan tema universal suatu "Agama" di dalam masyarakat (wiki).
Pendapat lain:
  • "Sosiologi Agama" adalah ilmu yang membahas tentang hubungan antara berbagai kesatuan masyarakat, perbedaan atau masyarakat secara utuh dengan berbagai system "Agama", tingkat dan jenis spesialisasi berbagai peranan "Agama" dalam berbagai masyarakat dan system ke"agama"an yang berbeda.
  • "Sosiologi Agama" adalah studi tentang fenomena social, dan memandang "Agama" sebagai fenomena social. "Sosiologi Agama" selalu berusaha untuk menemukan pinsip-prinsip umum mengenai hubungan "Agama" dengan masyarakat.
  • "Sosiologi Agama" adalah suatu cabang "Sosiologi" umum yang mempelajari masyarakat "Agama" secara "Sosiologis" guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat "Agama" itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
PLURALISME MENURUT KAJIAN "SOSIOLOGI AGAMA".

Berikut ini beberapa pengertian pluralisme:

Pertama, menurut "Sosiologi" fungsional, pluralisme adalah diferensiasi (perbedaan) masyarakat yang dapat diamati pada level individu sebagai diferensiasi peran, pada level organisasional sebagai kompetisi organisasi-organisasi formal, dan pada level masyarakat sebagai pembatasan-pembatasan terhadap fungsi institusi.

Kedua, dalam wacana ilmu sosial, pluralisme dalam arti pengakuan terhadap keragaman dalam masyarakat dan berbagai prasyarat bagi pilihan dan kebebasan individu, dihadapkan pada dua ekstrem yang berlawanan. (1) pluralisme berhadapan dengan berbagai monisme, seperti teokrasi, negara absolut, monopoli, masyarakat total, kesadaran terasing, dan kebudayaan monolitik, (2) pluralisme mengimplikasikan struktur yang dapat diidentifikasi. Di mana pluralisme dapat secara simultan dihadapkan pada sesuatu tanpa bentuk seperti anarki, anomie dalam arti kognitif maupun normatif, relativisme epistimologis, dan posmodernisme yang tidak koheren.


Dengan kalimat lain, pluralisme menekankan pengertian deskriptif dan evaluatif, di satu sisi, konsep pluralisme berarti kesadaran akan banyaknya subentitas, sebaliknya di sisi lain mengungkapkan pengakuan positif terhadap pluralisme. Dari beberapa definisi tentang pluralisme di atas, adapun yang dimaksud dengan pluralisme "Agama" adalah adanya pengakuan bahwa seluruh manusia di bumi ini tidak hanya menganut satu "Agama" tetapi menganut banyak "Agama".

Pluralisme manjadi situasi nyata sebagai masalah yang harus dihadapi oleh manusia. Sebagai reaksi terhadap pluralisme yang menekan, ada beberapa macam reaksi yang timbul, yaitu: (1) Fundamentalis, yaitu reaksi menolak pluralisme dan memperkukuh posisi sendiri; (2) Proselitisme, yaitu usaha mentobatkan pengikut "Agama" lain agar masuk "Agama" sendiri dengan cara-cara yang tidak wajar; (3) Sinkretisme, yaitu reaksi kompromis dengan cara mencampur adukkan kedua keyakinan "Agama" yang bertemu.

Munculnya fenomena pluralisme "Agama" yang dapat ditelusuri dari tiga mazhab teori besar dalam "Sosiologi Agama" diantaranya teori fungsionalisme (Emile Durkheim), kognitivisme (Max Webber) dan teori kritis (Karl Marx). Pandangan tiga mazhab teori itu tentang "Agama" misalnya fungsionalisme melihat bahwa "Agama" sebagai institusi yang dibangun demi integrasi sosial. Kognitifisme memandang "Agama" sebagai pandangan dunia yang memberi makna bagi individu dan kelompok. Sementara teori kritis menginterpretasikan "Agama" sebagai ideologi yang melegetimasi struktur kekuasaan masyarakat.

Fenomena pluralisme seperti yang dikemukakan oleh Talcot Parson (1967) adalah sebagai pembedaan sistematik pada semua level, baik itu level pembedaan peran maupun level pembedaan sosial dan budaya. Bagi kaum kognitivis, seperti yang diwakili oleh Peter L. Berger mengemukakan fenomena pluralisme sebagai gejala sosio-struktural yang pararel dengan sekularisasi kesadaran (Berger, 1967:127). Menurut Berger, sekularisasi membawa pada demonopolisasi tradisi-tradisi "Agama" dan pada peningkatan peran rakyat jelata. Sementara di kalangan teoritisi kritis seperti yang diwakili oleh Houtart, Habermas atau Bourdieu menganalisis pluralisme "Agama" bukan suatu tema yang menarik perhatian, karena dalam tradisi Marxis, "Agama" bukanlah penyebab penting bagi perubahan struktural dan emansipasi manusia.

Saat ini pluralisme yang dipahami dan dipraktekkan oleh sebagian manusia adalah “pluralisme semu” (pseudo pluralism). Dimana pluralisme hanya sebatas dan belum sepenuhnya menjadi entitas yang harus disadari dan diakui sebagai kenyataan sosial dalam masyarakat. Pluralisme semu adalah bentuk pengakuan terhadap keragaman masyarakat (toleransi) yang terdiri dari budaya, suku, dan "Agama" yang berbeda-beda, namun tidak bersedia menyikapi dan menerima suatu keberagaman sebagai kenyataan sejarah (historical necessity) dan kenyatan sosio-kultural (socio-cultural necessity).

Dengan kalimat lain, pluralisme semu merupakan bentuk pengakuan atas perbedaan yang ada, namun penerimaan akan adanya suatu perbedaan belum sepenuhnya nampak dari sebagian sikap sebagian manusia. Sikap mendua atau standar ganda (double standard) dapat berimplikasi pada keretakan hubungan antarumat beragama, yang lambat laun berpotensi melahirkan konflik "Agama". Semestinya, pluralisme harus dipahami sebagai bentuk kesedian menerima kelompok lain secara sama sebagai suatu kesatuan. Adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup, sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu harus diperlakukan sama oleh negara. Di sinilah konsep pluralisme memberikan kontribusi nyata terhadap agenda demokrasi dan anti-diskriminasi. Perhatian yang besar terhadap persamaan (equality) dan anti-diskriminasi kaum minoritas telah menghubungkan pluralisme dengan demokrasi. Dua kondisi inilah yang diperjuangkan oleh Cak Nur dan Gus Dur.

Jadi, Pluralisme bukan hanya mempresentasikan adanya kemajemukan (suku atau etnik, bahasa, budaya dan agama) dalam masyarakat yang berbeda-beda. Akan tetapi, pluralisme harus memberikan penegasan bahwa dengan segala keperbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik.

Sumber:
1. mbegedut.blogspot.com/.../pengertian-sosiologi-agama-menurut-para.html - Cache
2. images.tajularifin.multiply.multiplycontent.com/.../Sosiologi%20Agama.pdf?... - Cache 
3. edukasi.kompasiana.com/2010/.../pluralisme-kajian-sosiologi-agama-1/ - Cache
4. laely-widjajati.blogspot.com/.../masjid-tiban-turen-malang-nan-megah.html - Cache
5. laely-widjajati.blogspot.com/.../indahnya-banjarmasin-kalimantan-selatan.html - Cache


MusicPlaylistView Profile