"Para agen pembaharu yang modernis maupun ilmuwan yang menganut teori modernisasi dalam pengembangan masyarakat membagi "sistem sosial" menjadi dua kutub besar, yaitu "sistem sosial" tradisional dan "sistem sosial" modern."
Suatu "Sistem Sosial" yang menjadi pusat perhatian berbagai ilmu "sosial", pada dasarnya merupakan wadah dari proses-proses interaksi "sosial". Secara struktural, suatu "sistem sosial" akan mempunyai unsur-unsur pokok dan unsur-unsur pokok ini merupakan bagian yang menyatu di dalam "sistem sosial".
Menurut Alvin L. Bertrand, unsur-unsur pokok "sistem sosial" adalah sebagai berikut :
1. Keyakinan (pengetahuan).
2. Perasaan (sentimen).
3. Tujuan, sasaran atau cita-cita.
4. Norma.
5. Kedudukan - peranan.
6. Tingkatan atau pangkat (rank).
7. Kekuasaan atau pengaruh (power).
8. Sanksi.
9. Sarana atau fasilitas.
10.Tekanan ketegangan (stress strain).
1. KEPERCAYAAN/KEYAKINAN (PENGETAHUAN).
Setiap "sistem sosial" mempunyai unsur-unsur kepercayaan/keyakinan-keyakinan tertentu yang dipeluk dan ditaati oleh para warganya. Mungkin juga terdapat aneka ragam keyakinan umum yang dipeluknya di dalam suatu "sistem sosial". Akan tetapi hal itu tidaklah begitu penting. Dalam kenyataannya kepercayaan/keyakinan itu tidak mesti benar. Yang penting, kepercayaan/keyakinan tersebut dianggap benar atau tepat oleh warga yang hidup di dalam "sistem sosial" yang bersangkutan.
Kepercayaan adalah faktor yang mendasar yang mempengaruhi kesatuan "sistem sosial". Kepercayaan merupakan pemahaman terhadap semua aspek alam semesta yang dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak. (Sumber: Soleman B. Taneko, SH).
Ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan kepercayaan, antara lain :
a. Penampilan atau penampakan atau keatraktifan.
b. Kompetensi atau kewenangan.
c. Penguasaan terhadap materi.
d. Popularitas.
e. Kepribadian. (Sumber: Kusnadi, Dr. Ir. Ms.)
2. PERASAAN (SENTIMEN).
Faktor dasar yang lain dari "sistem sosial" adalah perasaan. Perasaan adalah suatu keadaan kejiwaan manusia yang menyangkut keadaan sekelilingnya, baik yang bersifat alamiah maupun "sosial". (Sumber: Soleman B. Taneko, SH.).
Perasaan sangat membantu menjelaskan pola-pola perilaku yang tidak bisa dijelaskan dengan cara lain. Dalam soal perasaan ini misalnya, dapat menjelaskan tentang sebab seorang ayah akan menghadapi bahaya apapun untuk menyelamatkan anaknya.
Proses elemental yang secara langsung membentuk perasaan adalah komunikasi perasaan. Hasil komunikasi itu lalu membangkitkan perasaan, yang bila sampai pada tingkatan tertentu harus diakui.
3. TUJUAN ATAU SASARAN.
Tujuan atau sasaran dari suatu "sistem sosial", paling jelas dapat dilihat dari fungsi sistem-sistem itu sendiri. Misalnya, keturunan merupakan fungsi dari keluarga, pendidikan merupakan fungsi dari lembaga persekolahan dan sebagainya. Tujuan pada dasarnya juga merupakan cita-cita yang harus dicapai melalui proses perubahan atau dengan jalan mempertahankan sesuatu. (Sumber: Soleman B. Taneko, SH).
Tujuan mempunyai beberapa fungsi, antara lain:
a. Sebagai pedoman. Tujuan berfungsi sebagai pedoman atau arah terhadap apa yang ingin dicapai oleh suatu "sistem sosial". Sebagai pedoman, suatu tujuan harus jelas, realistis, terukur dan memperhatikan dimensi waktu.
b. Sebagai motivasi. Tujuan organisasi harus dapat memotivasi seluruh anggota yang terlibat dalam suatu "sistem sosial" untuk ikut berperan serta atau berpartisipasi dalam seluruh kegiatan organisasi. Tujuan harus mencerminkan aspirasi anggota, sehingga organisasi "sosial" tersebut mendapat dukungan dari seluruh anggota.
c. Sebagai alat evaluasi. Fungsi ketiga dari tujuan adalah untuk mengevaluasi suatu organisasi "sosial". Kalau akan mengevaluasi suatu "sistem sosial" harus dikaitkan dulu dengan tujuannya. Evaluasi dilakukan untuk melihat keberhasilan suatu "sistem sosial". Juga untuk mengantisipasi, apabila ada suatu hambatan tidak akan terlalu berlarut-larut atau akan dapat segera diatasi. Evaluasi dilakukan sebelum, selama dan setelah kegiatan berlangsung, dengan kata lain evaluasi dilakukan sejak dimulai suatu kegiatan sampai kapanpun. (Sumber: Kusnadi, Dr. Ir. MS.).
4. NORMA.
Norma-norma "sosial" dapat dikatakan merupakan patokan tingkah laku yang diwajibkan atau dibenarkan di dalam situasi-situasi tertentu. Norma-norma menggambarkan tata tertib atau aturan-aturan permainan, dengan kata lain, norma memberikan petunjuk standard untuk bertingkah laku dan di dalam menilai tingkah laku. Ketertiban atau keteraturan merupakan unsur-unsur universal di dalam semua kebudayaan. Norma atau kaidah merupakan pedoman untuk bersikap atau berperilaku secara pantas di dalam suatu "sistem sosial". Wujudnya termasuk :
a. Falkways, atau aturan di dalam melakukan usaha yang dibenarkan oleh umum, akan tetapi sebetulnya tidak memiliki status paksaan atau kekerasan.
b. Mores, atau segala tingkah laku yang menjadi keharusan, dimana setiap orang wajib melakukan, dan
c. Hukum, di dalamnya menjelaskan dan mewajibkan ditaatinya proses serta mengekang tingkah laku yang berada di luar ruang lingkup mores tersebut.
5. KEDUDUKAN-PERANAN.
Status dapat didefinisikan sebagai kedudukan di dalam "sistem sosial" yang tidak tergantung pada para pelaku tersebut, sedang peranan dapat dikatakan sebagai suatu bagian dari status yang terdiri dari sekumpulan norma-norma "sosial".
Semua "sistem sosial", di dalamnya mesti terdapat berbagai macam kedudukan atau status, seperti misalnya suami-istri, anak laki-laki atau perempuan. Kedudukan atau status seseorang menentukan sifat dan tingkatan kewajiban serta tanggung-jawabnya di dalam masyarakat.
Seorang individu dapat menduduki status tertentu melalui dua macam yang berlainan :
a. Status yang dapat diperoleh secara otomatis (ascribet statutes), dan
b. Status yang didapatkan melalui hasil usaha (achieved statutes). Itu diperoleh setelah seseorang berusaha atau minimal setelah ia menjatuhkan pilihannya terhadap sesuatu.
Di dalam masyarakat :
a. Sudah ditentukan peranan-peranan "sosial" yang mesti dimainkan oleh seseorang yang menduduki suatu status, dan
b. Dapat diramalkan tingkah laku individu-individu di dalam mengikuti pola yang dibenarkan sesuai dengan peranannya masing-masing sewaktu mereka berinteraksi di masyarakatnya.
Karena itu, yang disebut penampilan peranan status (status-role performance) adalah proses penunjukkan atau penampilan dari posisi status dan peranan sebagai unsur-unsur struktural di dalam "sistem sosial". Peranan-peranan "sosial" saling terpadu sedemikian rupa, sehingga saling tunjang menunjang secara timbal-balik hal menyangkut tugas hak dan kewajiban.
6. KEKUASAAN (POWER).
Kekuasaan dalam suatu "sistem sosial" seringkali dikelompokkan menjadi dua jenis utama, yaitu otoritatif dan non-otoritatif. Kekuasaan otoritatif selalu bersandar pada posisi status, sedangkan non-otoritatif seperti pemaksaan dan kemampuan mempengaruhi orang lain tidaklah implisit dikarenakan posisi-posisi status.
7. TINGKATAN ATAU PANGKAT.
Tingkat atau pangkat sebagai unsur dari "sistem sosial" dapat dipandang sebagai kepangkatan sosial (social standing). Pangkat tersebut tergantung pada posisi-posisi status dan hubungan-hubungan peranan. Ada kemungkinan ditentukan orang-orang yang mempunyai pangkat bermiripan. Akan tetapi tidak ada satu "sistem sosial" manapun yang sama orang-orangnya berpangkat sama untuk selama-lamanya.
8. SANKSI (SANCTION).
Istilah sanksi digunakan oleh sosiolog untuk menyatakan sistem ganjaran atau tindakan (rewards) dan hukuman (punishment) yang berlaku pada suatu "sistem sosial". Ganjaran dan hukuman tersebut ditetapkan oleh masyarakat untuk menjaga tingkah laku mereka supaya sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
9. SARANA (FACILITY).
Secara luas, sarana itu dapat dikatakan semua cara atau jalan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan sistem itu sendiri.
Bukan sifat dari sarana itu yang penting di dalam "sistem sosial", tetapi para sosiolog lebih memusatkan perhatiannya pada masalah penggunaan dari sarana-sarana itu sendiri. Penggunaan sarana tersebut dipandang sebagai suatu proses yang erat hubungannya dengan "sistem-sistem sosial".
10. TEKANAN - TEGANGAN.
Dalam "sistem sosial" akan terdapat unsur-unsur tekanan-ketegangan dan hal itu mengakibatkan perpecahan (disorganization). Dengan kata lain, tidak ada satupun "sistem sosial" yang secara seratus persen teratur atau terorganisasikan dengan sempurna.
Soerjono Soekanto memberikan contoh secara konkrit mengenai unsur-unsur dari "sistem sosial" tersebut dengan mengambil keluarga batih sebagai salah satu "sistem sosial" :
1. Adanya suatu keyakinan/kepercayaan, bahwa terbentuknya keluarga batih merupakan kodrat alamiah.
2. Adanya perasaan dan pikiran tertentu dari anggota keluarga batih terhadap anggota lainnya yang mungkin terwujud dalam rasa saling menghargai, bersaing dan seterusnya.
3. Tujuan adanya keluarga batih adalah antara lain agar manusia mengalami sosialisasi dan mendapatkan jaminan akan ketenteraman hidupnya.
4. Setiap keluarga batih mempunyai norma-norma yang mengatur hubungan antara suami dengan istri, anak-anak dengan ayah atau ibunya.
5. Setiap anggota keluarga batih mempunyai kedudukan dan peranan masing-masing baik sarana internal maupun eksternal.
6. Di dalam setiap keluarga batih lazimnya terdapat proses pengawasan tertentu, yang semula datang dari orang tua yang dipengaruhi oleh pengawasan yang ada dalam masyarakat.
7. Sanksi-sanksi tertentu juga dikembangkan di dalam keluarga batih, yang diterapkan kepada mereka yang berbuat benar atau salah.
8. Sarana-sarana tertentu juga ada pada setiap keluarga batih, umpamanya sarana untuk mengadakan pengawasan, sosialisasi dan seterusnya.
9. Suatu keluarga batih akan memelihara kelestarian hidup maupun kelangsungannya di dalam proses yang serasi.
10. Secara sadar dan terencana (walaupun kadang-kadang mungkin tidak demikian) keluarga-keluarga batih berusaha untuk mencapai tingkat kualitas hidup tertentu yang diserasikannya dengan kualitas lingkungan alam maupun lingkungan sosialnya. (Sumber: Soleman B. Taneko, SH.).
"SISTEM SOSIAL" TRADISIONAL DAN "SISTEM SOSIAL" MODERN.
Para agen pembaharu yang modernis maupun ilmuwan yang menganut teori modernisasi dalam pengembangan masyarakat membagi "sistem sosial" menjadi dua kutub besar, yaitu "sistem sosial" tradisional dan "sistem sosial" modern.
Menurut Rogers dan Schoemaker, ciri-ciri "sistem sosial" tradisional adalah :
a. Kurang berorientasi pada perubahan.
b. Kurang maju dalam teknologi atau masih sederhana.
c. Relatif rendah kemelek-hurupannya (tingkat buta hurup tinggi).
d. Sedikit sekali komunikasi yang dilakukan oleh anggota "sistem' dengan pihak lain.
e. Kurang mampu menempatkan diri atau melihat dirinya dalam peranan orang lain, terutama peranan orang di luar "sistem".
Sebaliknya "sistem sosial" modern menurut Rogers dan Schoemaker mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a. Pada umumnya mempunyai sikap positif terhadap perubahan.
b. Teknologinya sudah maju dengan "sistem " pembagian kerja yang kompleks.
c. Pendidikan dan ilmu pengetahuan dinilai tinggi.
d. Hubungan "sosial" lebih bersifat rasional dan bisnis dari pada bersifat emosional.
e. Pandangannya kosmopolit, karena anggota "sistem" sering berhubungan dengan orang luar, mudah memasukkan ide baru ke dalam "sistem sosial".
f. Anggota "sistem sosial" mampu berempati, dapat menghayati peranan orang lain yang betul-betul berbeda dengan dirinya sendiri.
Secara garis besar "sistem sosial" modern dicirikan oleh kemampuan "sistem sosial" itu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan. Oleh karena itu kita sering menyebut orang tua yang sulit berubah dengan sebutan tradisional atau kolot, sebenarnya yang dimakseud adalah kelambanannya untuk berubah. Orang-orang yang fleksible terhadap perubahan-perubahan di sekitarnya disebut moderat.
0 komentar:
Posting Komentar