"Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata "anu" berarti :
yang tidak disebutkan namanya (orang, benda, dsb): si — membeli — di toko–; 2 (untuk menyebutkan) sesuatu yg namanya terlupa atau tidak diketahui: gedung — yg baru selesai dibangun itu akan diresmikan pemakaiannya besok
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
- Kata tunjuk untuk sesuatu yang belum jelas
- Kata tunjuk untuk orang yang tidak diketahui, contoh : "Si "Anu" itu namanya siapa?".
- "Ānu", nama tokoh dalam Susastra Hindu, salah satu leluhur Pandawa dan Korawa
- "Anu", dewa bangsa Mesopotamia
- "ānu", kata dari bahasa Sanskerta yang berarti orang
- Anann, dewi bangsa Celtik
- Singkatan dari Universitas Nasional Australia (Australian National University/"ANU")
- Christine "Anu" (lahir 1970), seorang musisi Australia
- Mashua, sayuran Andean
- VC Bird International Airport, Antigua, dari kode bandara IATA
ENTAH mengapa
orang suka memakai kata "Anu" bila bicara. "Anu" adalah sebuah kata bahasa
Jawa yang sebenarnya tidak punya arti apa-apa. Kalau punya arti, itu
tergantung pada orang itu sendiri yang mengartikannya. Kata itu hanya
berfungsi sebagai kata untuk menyebut sesuatu yang tidak diketahui
istilah atau namanya.
Kadang kata "Anu" dipakai untuk menggantikan kata-kata panjang dan lawan bicara
dianggap tahu obyek pembicaraan. Tapi tidak sedikit pula orang memakai
kata "Anu" karena kemalasan berpikir.
Kata "Anu"
bisa sebagai pengganti sesuatu yang mengganjal di ujung lidah untuk
diucapkan. "Anu" adalah hasil pikiran bebas. "Anu" meski secara resmi tidak
ada dalam bahasa dan kamus tapi punya peranan penting dalam keseharian. "Anu" seolah bisul yang bisa datang dan menghilang pada siapa saja tanpa
diundang dan tanpa meninggalkan bekas yang mengganggu. Kata "Anu" adalah
kata yang berkeliaran dengan bebas di udara dan siap dijemput oleh siapa
saja.
Karena
banyaknya tersedia dan gampang untuk dipakai, maka tidak sedikit jumlah
orang yang menyukainya. Ia bebas diperoleh bagi siapa saja. Sumbernya
tidak terbatas. Tinggal petik di depan kepala. Seolah semua orang pernah
pakai kata "Anu".
"Anu" yang
sebenarnya netral, tidak kentara, tidak berbau, tidak kelihatan, tidak
nyata, tidak resmi ternyata bisa meninggalkan jejak pengaruhnya jika
digunakan tidak semestinya. "Anu" dipakai dengan sengaja untuk hal-hal
yang jelas dan sebenarnya bisa tanpa memakai kata "Anu".
Kata "Anu"
telah diselewengkan menurut kepentingan. Ketidak pedulian orang lain
dengan kata "Anu" telah dimanfaatkan golongan masyarakat tertentu demi
kepentingan diri. Memperlakukan sesuatu yang penting dan menyembunyikan
dari orang lain sebagai sesuatu yang tidak ada manfaatnya dengan
menyebutnya sebagai "Anu". Sesuatu yang digantikan oleh "Anu" tidak lagi
akan mengundang pertanyaan, apalagi diutak-atik secara serius. Paling
cuma diganti dengan kata "Anu" lagi yang baru.
Banyak orang
memperlakukan "Anu" sebagai anugerah. Orang hanya memicingkan sebelah
mata pada kata "Anu". Kata "Anu" tidak dianggap penting karena demikian
gampangnya diperoleh dan keberadaannya ada di mana-mana. Orang merasa
tidak akan kekurangan, maka tak ada gunanya bertengkar karena masalah "Anu".
Banyak orang
membutakan diri dengan eksistensi kata "Anu". Kata "Anu" dianggap tidak
penting dan tidak punya peranan meski kata "Anu" selalu dan pasti ada.
Tidak mungkin menghilang apapun perlakuan kita terhadap kata "Anu". Ia
tak akan pergi kemana-mana. "Anu" akan tetap di situ dan tergantung pada
keberadaannya. Jadi, kita merasa tidak perlu bersyukur atau
berterimakasih pada siapapun atas keberadaan "Anu".
Di tangan
orang-orang pemegang kekuasaan, banyak orang tidak tahu bahwa kata "Anu"
ternyata bisa menguntungkan. Kata "Anu" bisa menjadi wakil sesuatu yang
sebenarnya penting. Pemegang kekuasaan menyebutnya sebagai "Anu" agar
terkesan tidak penting.
Seorang pejabat bilang, “Pokoknya kalau ada "Anu"nya pasti bereslah…”, katanya sambil bergurau.
Kata-kata
yang diucapkan dengan seloroh itu ternyata mengejutkan dampaknya.
Beberapa hari kemudian, ia dapati rekening bank miliknya bertambah
ratusan juta rupiah.
"Anu" yang di
kalangan rakyat biasa tidak memberikan apa-apa selain kemudahan berpikir
itu ternyata bisa berubah jadi sesuatu yang secara nyata menguntungkan
di kalangan pejabat. Mendapati cara mudah untuk mendapat keuntungan
ini, maka berita bagus ini pun menyebar di kalangan orang-orang yang
dekat dengannya dengan diam-diam.
Makin
populerlah kata "Anu" ini dipakai di kalangan pejabat. Kata "Anu" selain
mudah diucapkan dan menghasilkan keuntungan, tapi ternyata juga amat
luwes. Kata "Anu" tidak kehilangan sifat dasar keluwesannya sejak semula
dimanapun dan kapanpun dipakai.
Kata "Anu"
bisa dipakai untuk menjelmakan berbagai hal menjadi berbagai macam
bentuk. Tergantung bagaimana cara mengucapkan dan konteksnya.
“Sebenarnya
mereka tidak mau. Tapi setelah saya sebut beberapa "Anu", dia kasih lebih
besar,” kata seorang pejabat lainnya cerita pengalamannya saat berada di
luar negeri membicarakan bantuan keuangan dengan donatur dari luar
negeri sambil cengengesan.
“Kalau ada masalah, bilang saja kamu lagi "Anu",” kata pejabat lain.
“Yang
penting dicantumkan saja "Anu"nya. Yang sekian persen untuk anggaran
kesehatan rakyat dan sisanya tulis saja buat "Anu". Tidak ada yang
bertanya kok. Beres semua. Sudah aku "Anu",” nasehat pemimpin partai pada
sekretarisnya.
“Saya tidak tahu kalau hal itu sebenarnya "Anu",” kata pejabat lainnya lagi berkelak saat menghadapi tuduhan miring padanya.
“Kemarin aku
lihat "Anu"nya si "Anu" lagi di"Anu" sama "Anu"nya "Anu". Kelihatannya kok "Anu"
sekali. "Anu"nya juga cuma sebesar "Anu". Tidak "Anu" kok,” kata pejabat lain
tak mau kalah dalam bicara "Anu". "Anu" sering diborongnya sekaligus.
Karena
seringnya dipakai dan dalam waktu lama, akhirnya kata "Anu" itu jadi liar
dan ada dimana-mana. Para pejabat saling tanya maksud "Anu" dalam waktu
tertentu. Pejabat minta penjelasan maksud "Anu" pada pengusaha karena
beda dengan apa yang dikehendakinya. Pejabat tanya pada sesama pejabat
lewat rapat internal maksudnya "Anu". Tapi di waktu lain, ketemu "Anu"
lainnya.
"Anu" ada di
anggaran keuangan, di rancangan hukum, APBN, rakernas, rapat proyek,
sidang tahunan, majalah dinding, di WC, di kantin dan lain-lain tempat. "Anu" ada di mana-mana. "Anu" kadang juga ditulis sebagai **** kalau
menyebut kata yang tidak ingin dibaca orang lain atau mengganti
kata-kata yang tidak sopan. Di majalah dinding ada kalimat, “Dasar orang
********an!”.
Kata "Anu"
bahkan menjelma jadi kata jorok, seperti yang terdapat di pintu WC.
“"Anu"nya minta dientot”. Banyak orang menjadi bingung dengan beribu
jelmaan wajah "Anu". "Anu" bagai bakteri wabah, macam virus dengan cepat
menyebar dan sulit terdeteksi. Bedanya dengan virus atau bakteri
beneran, efek samping "Anu" tidak terasa dan tidak kelihatan. Efeknya
pelan dan jangka panjang. Kalau tidak teliti orang bakal tidak tahu
kalau sebenarnya ia sudah terjangkit bakteri atau virus akibat dari "Anu".
Pemimpin
yang jujur dianggap sebagai munafik. Yang tidak sepaham disebut kafir.
Yang suka ceplas-ceplos dianggap tidak tahu adat. Yang mengajarkan
kesamaan hak dianggap antek kapitalis. Orang tegas menegakkan aturan
dibilang kejam kayak Fir’aun. Mengkritik demi kebaikan dianggap
provokator. Orang rendah hati dibilang loyo. Atau kadang sebaliknya.
Korupsi dianggap sedekah. Menghujat dianggap pemberani. Dan lain-lain
kesimpang-siuran akibat "Anu".
Negara yang
sebenarnya sudah gonjang-ganjing tidak dirasakan oleh rakyatnya. Semua
berjalan sebagaimana biasa. Fenomena "Anu" sudah menjangkiti semua segmen
kehidupan. Rakyat masih saja suka dengan kata "Anu". Bahkan mereka setuju
saja ketika "Anu" dipakai dalam hukum, politik, pendidikan, birokrasi,
media cetak, TV, kebijakan ekonomi. Orang dengan enteng saja menjawab
kebingungannya dengan kata-kata, “Tanya saja pada "Anu".
Negara
akhirnya hukumnya berdasar hukum "Anu", moralnya moral "Anu", budayanya
budaya "Anu", sistem pendidikannya pendidikan "Anu", cara kerja birokrasi
cara kerja "Anu", ekonominya dikelola dengan cara "Anu", riset dan teknologi
dengan dana "Anu", kehidupan rakyat diserahkan pada "Anu", kesejahteraan
rakyat adalah masalah "Anu".
Kesilang-sengkarutan
yang kasat mata. Kekacauan dalam keteraturan. Keamburadulan dalam
ketentraman. Kebohongan dalam kejujuran, kemunafikan dalam kemuliaan. "Anu" berada dalam banyak aspek. Mondar-mandir tanpa orang ketahui.
Lalu-lalang tanpa orang sadari. Masa depan bangsa adalah masa depan "Anu".
Bagaimana
mungkin sesuatu yang nampak kecil bisa mempengaruhi yang demikian
besar? Karena banyak orang lupa bahwa dari sesuatu yang kecil itulah
kita menemukan kekuatan diri. Kalau tidak percaya pada hal-hal yang
kecil, lama kelamaan negara pun akhirnya bisa menjadi negara "Anu".
Kata "Anu" sudah
mengakar di seluruh pelosok Indonesia untuk mewakili kata atau kalimat yang
ingin diungkap oleh pembicara. Misalnya di daerah Jawa kita biasa mendengar
dengan pernyataan "Anu" loh, mbak! Di Makassar kita biasa mendengar "Anu" yang
ambilki bukumu!
Selain gambaran di atas, bisa
bahwa kata "Anu" tidak bisa dijelaskan pada aspek morfologi dan sintaksis jika
tidak didukung oleh referensi dan konteks yang sama antara pembicara dengan
pendengar. Oleh karena itu, pada kajian morfologi dikenal dengan istilah kata,
maka dalam kajian semantik dikenal dengan istilah leksem dan pada kajian
sintaksis dikenal dengan kalimat, maka pada kajian semantik dikenal dengan
istilah proposisi. Pada kajian semantik yang mengkaji tentang proposisi, tidak
bisa berdiri sendiri tanpa adanya argumentasi dan predikatif yang mendukungnya.
Namun, satu yang pasti bahwa bagi penulis jika
ditinjau dari segi kualitas, kata ‘anu’ merupakan kata yang lemah (lower word) sehingga kalau dimasukkan
dalam kalimat, meminjam istilah Bolinger
dalam Aspect of Language dikenal dengan istilah Lower Sentences (kalimat yang sangat lemah).
Selain kata "Anu" kata yang lemah itu seperti
‘mungkin’. ‘Malam ini mungkin hujan’.
Kalimat tadi belum bisa dikatakan kuat kualitas maknanya jika belum
dibuktikan. Oleh karena itu, pada kalimat tadi akan menjadi higher sentences (kalimat yang sangat
kuat) jika sudah dihilangkan kata ‘mungkin’ menjadi ‘Malam ini hujan’.
Pada konteks kemasyarakatan kata "Anu" merupakan
penyelamat dalam berkomunikasi. Kata "Anu" bisa mewakili kekerabatan. Kata "Anu" digunakan untuk menutupi kata yang dilupa. Kata "Anu" bisa dimaknai
sebagai jeda. Kata "Anu" bisa mengganti ‘kata ganti’. Kata "Anu" bahkan bisa
mengganti semua kata. Namun, pada akhirnya kata "Anu" merupakan kata yang
sangat lemah (lower word). Sama
dengan posisi kata ‘mungkin’ yang jika dihubungkan dengan kalimat pada kajian
sintaksis atau proposisi pada kajian semantik.
Sumber:
1. daenggassing.com/2011/03/.../postingan-anu/
2. id.wikipedia.org/wiki/Anu
3. herrybsancoko.wordpress.com/.../anu-itu-sebaiknya-di...
4. andi-karman.blogspot.com/.../untung-ada-kata-anu.ht...
5. laely.widjajati.photos.facebook/ALHAMDULILLAH............Sehari-Halal-Bi-Halal-Dua-Kali........
6. muji.kusrini.photos.facebook/mekarsari.....
7. laely.widjajati.photos.facebook/nyantai-sejenak......
0 komentar:
Posting Komentar