"Umumnya orang "gelandangan" setia kawan, dibelenggu oleh "struktur kekuasaan" yang berlaku dalam sub kulturnya dan berada pada kondisi mental tak berdaya."
Istilah "Gelandangan" berasal dari "Gelandang" yang berarti "yang selalu mengembara", menurut istilah dahulu yang berkelana (lelana). "Gelandangan" dilukiskan sebagai orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan dan tempat tinggal tetap dan layak dengan ditambah "serta makan di sembarang tempat.
Orang-orang yang mengembara yang disebut "gelandangan" adalah gejala pada segala zaman, akibat dari urbanisasi. "Gelandangan" ini adalah golongan miskin, bisa jadi termiskin dari kota di Indonesia.
Di kota mereka tentu menciptakan berbagai permasalahan seperti kesehatan, sebab epidemi di antara para "gelandangan" dapat menulari siapa saja, dan beban atas komunikasi kota seperti bis atau fasilitas-fasilitas kota modern.
Sebuah kenyataan bahwa orang "gelandangan" tidak hidup di pedesaan tetapi hidup di perkotaan, dan dibarengi pula dengan adanya kenyataan bahwa semakin besar tingkat perkembangan kota semakin banyak jumlah orang "gelandangan"nya (meskipun belum pernah ada angka yang pasti mengenai jumlah "gelandangan" untuk tiap-tiap kota di Indonesia). Hal ini dapat memberikan kesan bahwa adanya orang "gelandangan" itu adalah karena adanya kota, dan adanya orang "gelandangan" dalam jumlah yang besar sehingga mewujudkannya sebagai masalah kesejahteraan sosial di kota adalah sebagai konsekwensi perkembangan kota.
Sebenarnya masalah adanya orang "gelandangan" di kota bukanlah semata-mata karena berkembangnya sebuah kota; Tetapi justru karena adanya tekanan-tekanan dan rasa tidak aman sebagian warga desa yang kemudian harus mencari tempat yang diduga dapat memberikan kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih baik di kota. Sesungguhnya, memang kotalah yang dapat menampung pendatang-pendatang baru untuk bermukim dan hidup dalam wilayah kota. Ini dimungkinkan karena struktur sosial ekonomi, dan administrasi yang ada di kota lebih kompleks dari pada yang ada di desa, sehingga dapat menampung pendatang-pendatang baru, bukan hanya orang-orang kaya dan terpelajar saja, tetapi juga yang miskin dan fakir. Karena itulah timbul kesan, bahwa adanya perkembangan kota telah melahirkan adanya orang "gelandangan".
Salah satu usaha y
Ada beberapa hal yang perlu dicatat mengenai "gelandangan" :
1. Umumnya orang "gelandangan" mempunyai pekerjaan tetap dan terhormat (pengumpulan kertas, beling, kaleng, puntung, pekerjaan pelabuhan, pasar dan sebagainya), beberapa punya pekerjaan tetap tetapi tidak sesuai dengan norma dan nilai kemasyarakatan yang berlaku.
3. Umumnya orang "gelandangan" setia kawan, dibelenggu oleh "struktur kekuasaan" yang berlaku dalam sub kulturnya dan berada pada kondisi mental tak berdaya. Mau menghadapi malapetaka apapun (penggusuran, kematian, sakit dan sebagainya).
4. "Gelandangan" tidak memiliki tempat tinggal, tidak sanggup menanggung beban atas biaya tempat tinggal dan juga tidak siap untuk diharapkan segera bergaya hidup wajar dan bermukim.
5. Pertolongan pertama dan utama yang dibutuhkan oleh "gelandangan" adalah pengertian (understanding) dan menginginkan mereka merangkak melepaskan diri dari belenggu dengan kekuatan dan tahapan yang wajar.
Badan-badan sosial/kemasyarakatan yang berketetapan untuk menekuni masalah ini, perlu menggunakan pendekatan baru sama sekali (fresh approach) untuk menanggulangi masalah secara lebih mendasar. Membebaskan mereka dari sub kultur "gelandangan". Bukan melakukan langkah kosmetik seperti membagi beras, pakaian bekas, selamatan bersama dan sebagainya dengan "gelandangan". Pendekatan tersenut tidak keliru, akan tetapi tidak mendasar.
Jadi penanganan "gelandangan" tidak hanya semata-mata melalui pendekatan ekonomi, keamanan ketertiban bahkan juga tidak cukup dengan pendekatan pemerintahan. Penanggulangan secara mendasar masalah "gelandangan" ini harus dari pendekatan kemanusiaan, psikologis dan sosial serta menyeluruh.