"Sejak pertengahan abad ke-14, dunia sekuler mulai menaruh masalah-masalah bidang "kesejahteraan sosial" yang selama itu ditangani oleh Rohaniawan."
Bersamaan dengan itu Inggris dilanda masalah Black Death, wabah penyakit pes yang melanda dan membunuh beribu-ribu penduduk Inggris dan berakibat terhadap pengurangan tenaga kerja sampai pada akhirnya Raja Edward III mengeluarkan Statute Laborer di tahun 1349. Mulai saat itu, berakhirlah dominasi keagamaan dalam mengurusi masalah-masalah "kesejahteraan sosial" yang dilatar-belakangi oleh pendekatan charities dan filontrofis.
Tahun-tahun kemudian, perhatian terhadap masalah-masalah "kesejahteraan sosial" terus ditingkatkan dan pada tahun 1531 Raja Hendry VIII membuat peraturan Statute of 1536 yaitu peraturan pengawasan terhadap fakir miskin. Kemudian pada tahun 1601 Ratu Elizabeth mengeluarkan undang-undang tentang kemiskinan yang populer dengan The Elizabeth Poor Law of 1601.
Setelah revolusi industri, usaha-usaha di bidang "kesejahteraan sosial" mulai dikenal di luar Inggris, terutama di Amerika. Di negara ini kemudian usaha-usaha "kesejahteraan sosial" berkembang pesat dan seakan-akan memasuki babak baru dalam bidang ini. Karena itu di kemudian hari orang lebih mengenal Amerika sebagai pusat kajian di bidang "kesejahteraan sosial". Walaupun Inggris sendiri tetap bertahan sebagai negara "kesejahteraan" (Welfare State).
Bangsa Indonesia sejak lama telah mengenal konsepsi "kesejahteraan sosial". Hal ini tergambarkan melalui nilai-nilai yang dituangkan dalam ungkapan-ungkapan 'gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, jer basuku mawa bea' dan sebagainya. Kemudian secara lebih jelas cita-cita bangsa Indonesia tentang "kesejahteraan sosial" dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila dan dijabarkan dalam Batang Tubuh UUD 1945.
Di Indonesia usaha-usaha di bidang "kesejahteraan sosial" mulai dikenal dalam konsepsi modern, setelah Indonesia dijajah Belanda. Pada waktu itu Belanda memperkenalkan beberapa program "kesejahteraan sosial" melalui missionaris dan gereja. Walaupun terasa baru, namun bagi bangsa Indonesia yang sebelumnya telah memiliki pandang "kesejahteraan sosial" yang dilandasi oleh nilai-nilai religius termasuk di dalamnya nilai-nilai humanistik, merasa pengenalan tersebut bukanlah suatu surprise namun hanya sebagai reaktualisasi terhadap nilai-nilai "kesejahteraan sosial" yang selama ini dianut.
"KESEJAHTERAAN SOSIAL" SEBAGAI "ILMU" PENGETAHUAN.
Perkembangan selanjutnya di Amerika maupun di Indonesia sendiri - Usaha "kesejahteraan sosial" berkembang dan dikaji sebagai suatu cabang ilmu tersendiri meninggalkan usaha-usaha praktis yang selama ini dilakukan oleh masyarakat luas yang disebut dengan pekerjaan "sosial".
Perkembangan orientasi dari usaha praktis ke kajian ilmiah ini didorong oleh tantangan yang dihadapi di bidang "kesejahteraan sosial" itu sendiri. Suatu contoh bahwa perkembangan berbagai masalah "sosial" pada beberapa dasawarsa ini, memberikan indikator yang menjurus pada tiga model masalah "sosial".
Pertama yaitu masalah "sosial" sebagai suatu petaka pribadi maupun masalah bersama, seperti kemiskinan struktural, bencana alam, kecacadan dan sebagainya. Dimana ciri khas dari model masalah "sosial" ini adalah sulit dihindari, karena sudah terpola atau datangnya tidak dapat diperkirakan atau dihindari.
Model Kedua adalah masalah "sosial" yang ditimbulkan oleh faktor-faktor intern maupun ekstern manusia itu sendiri dengan struktur dan kultur hidup yang memberi peluang dan mendorong timbulnya masalah "sosial".
Ketiga, adalah perpaduan dari model pertama dan kedua. Dimana seseorang bermasalah "sosial" sebagai akibat dari keadaan yang tidak dapat dihindarinya serta kerelaan dirinya untuk tidak keluar dari masalah "sosial" tersebut.
Untuk mengatasi masalah-masalah diatas, tentu tidak cukup hanya bertumpu pada kegiatan-kegiatan memobilisir dan mendistribusikan dana serta usaha-usaha lain yang bersifat rehabilitatif. Akan tetapi harus dikaji secara mendalam dan ilmiah. Berangkat dari kesadaran ini maka universitas-universitas muncul jurusan atau program studi "Ilmu Kesejahteraan Sosial".
Sesungguhnya di bidang"kesejahteraan sosial", kita mengenal teknologi dan sain. Teknologi bidang "kesejahteraan sosial", yaitu upaya-upaya praktis dengan menggunakan metodologi tepat guna, keterampilan serta pengetahuan praktis dalam memberikan pertolongan kepada masyarakat yang mengalami masalah "sosial". Teknologi ini secara akademik lebih dikenal dengan nama pekerjaan "sosial". Sedangkan "Ilmu Kesejahteraan Sosial" adalah lebih menitik beratkan pada orientasi problem solving pada masalah kawasan, lintas "ilmu", struktural, perencanaan baik pada bidang "kesejahteraan sosial" maupun bidang-bidang lain yang saling berhubungan dengan bidang "kesejahteraan sosial".
"Kesejahteraan Sosial" sebagai suatu "ilmu", berinduk pada bidang "ilmu" utama, menghasilkan beberapa bidang "ilmu", antara lain adalah "ilmu" masalah-masalah "sosial" atau "ilmu" disorganisasi "sosial". Dari bidang "ilmu" ini, menjadi beberapa "ilmu" khusus, antara lain "Ilmu Kesejahteraan Sosial" adalah salah satu dari bidang "ilmu" khusus tersebut.
SEBUAH KEPRIHATINAN.
Di Indonesia perincian asal usul "Ilmu Kesejahteraan Sosial" seperti di atas, belum banyak dikenal orang -- walaupun banyak perguruan tinggi telah membuka jurusan atau program studi "Ilmu Kesejahteraan Sosial". Karena itu kita belum saatnya berharap banyak dari "ilmu" yang satu ini, karena kita harus jujur bahwa di Indonesia "Ilmu Kesejahteraan Sosial" masih penuh dengan 'lumpur'. Karenanya masih banyak memerlukan diskusi, polemik dan lain sebagainya. Para sarjana dalam "ilmu" pun masih harus banyak belajar dan mau meninggalkan tingkah laku intelektual ataupun sikap intelektual yang banyak menimbulkan kesan konsumerais dimana mereka hanya doyan produk-produk "ilmu" orang lain, kemudian bangga dengan sikapnya itu, dan akhirnya lupa diri. Lupa bahwa dia adalah sarjana dengan wawasan ke-diri-an, dengan keharusan mengembangkan "ilmu"nya tersebut.
Dalam situasi seperti ini, tidak semestinya kita saling menunjuk hidung dan saling mengkambing-hitamkan. Yang jelas bahwa kurikulum pendidikan "Ilmu Kesejahteraan Sosial" harus segera direvisi sesuai dengan kebutuhan saat ini dan disini "Ilmu Kesejahteraan Sosial" produk Indonesia haruslah berwawasan ke-Indunesia-an dan menyentuh hajat setiap individu Indonesia. Untuk ini semua, kita butuh piranti yang mampu bertindak sebagai komunikator antar sesama peminat "ilmu" ini, kalau tidak ingin "ilmu" ini akan menjadi sampah.
Suatu kenyataan dari statement di atas, terbukti bahwa produk-produk perguruan tinggi dalam bidang "Ilmu Kesejahteraan Sosial" sukar bersaing di pasar, mereka selalu terpojok dan pada akhirnya mencari status di pegawai negeri dengan kualitas di bawah pas-pasan.
Buntutnya tidak sampai disitu, kualitas para sarjana menentukan hidup mati dari bidang "ilmu" ini. Dan kalau masyarakat telah mengukur sesuatu dengan kualitas, sedangkan kualitas sarjana "Ilmu Kesejahteraan Sosial" masih seperti yang digambarkan itu, maka tinggal tunggu saja saat kehancurannya.
0 komentar:
Posting Komentar