Sabtu, 19 Juni 2010

"GUNAKAN WAKTUMU UNTUK BERAMAL SALEH"

"Hampir setiap Muslim telah mengenal dan hafal firman Allah tentang kewajiban kita untuk menggunakan "waktu" kita dengan mengerjakan "amal saleh".


Firman Allah itu yang telah kita kenal dengan Surat Al-'Ashr. Bahkan merekapun berulangkali membaca dan mendengarnya dalam shalat mereka. Surat itu yang mempunyai arti:

"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan "amal saleh" dan saling nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya mentaati supaya menetapi kesabaran."


Namun kenyataan menunjukkan masih banyak dari kalangan kaum Muslimin yang belum pandai menghayati dan meng"amal"kannya. Hal ini terbukti bahwa pandangan dan sikap hidup mereka masih belum sejalan dengan apa yang diajarkan oleh firman Allah tersebut. Bahkan tidak sedikit pula dari kalangan mereka yang justru menganut filsafat beruang. "Waktu" adalah uang. --- Artinya, pandangan dan kegiatan hidup mereka senantiasa dikaitkan dengan nilai-nilai yang bersifat duniawi/bendawi semata, yang mendatangkan keuntungan keuangan ataupun kesenangan duniawi belaka; dan bukan sebagaimana yang diajarkan dalam firman Allah tersebut, bahwa "waktu" itu adalah "amal saleh" dan kebajikan, yang akan melestarikan nilai-nilai manusiawi, disamping mendatangkan keuntungan ukhrawi yang bersifat abadi.


Filsafat beruang yang lebih populer dengan faham materialisme itu bukan saja akan meruntuhkan martabat manusia yang luhur dan terhormat, tapi juga akan mendatangkan kerugian yang fatal di akhirat kelak. Sebab filsafat beruang akan menuntun dan mengajarkan manusia ke arah pengabdian kepada harta dan kesenangan duniawi. Dokterin mereka adalah sebagaimana yang telah digambarkan oleh Allah dalam firman-Nya dalam Surat Al-Mu'minun Ayat 37: "Tidak lain kehidupan itu hanyalah kehidupan dunia kita sekarang ini. (disini) kita mati dan (disini pula) kita hidup, dan kita tidak bakal dibangkitkan (lagi sesudah mati nanti)."


Untuk melindungi diri dan sekaligus menanggulangi bahaya materialisme yang kini banyak melanda kaum Muslimin, maka kaum Muslimin harus kembali sepenuhnya kepada petunjuk-petunjuk Illahi. Kaum Muslimin harus berpegang teguh pada aqidahnya, dan menjadikan Islam secara utuh sebagai pedoman dan tuntunan hidupnya. Apabila umat manusia benar-benar ingin selamat dari kerugian yang fatal dalam menjalani kehidupan dunia yang fana ini, maka hendaklah kita pandai-pandai memanfaatkan "waktu" hidup kita dengan sebaik-baiknya. "Waktu" kita jangan kita sia-siakan begitu saja. Karena tujuan Allah menciptakan manusia di bumi ini adalah untuk beribadah kepada-Nya, maka memanfaatkan "waktu" dengan sebaik-baiknya itu berarti mengisi dengan semaksimal mungkin "waktu-waktu" hidup kita ini dengan beribadah kepada Allah, dengan mengikuti segenap petunjuk-Nya, melaksanakan segenap perintah-Nya dan menjauhi segenap larangan-Nya.


Lingkup ibadah yang diajarkan oleh Islam memang sangat luas, seluas ajaran Islam itu sendiri. Yang garis besarnya mencakup ikhwal hubungan manusia dengan Khaliqnya dan hubungan manusia dengan sesama makhluk. Tentang hubungan manusia dengan sesama makhluk mencakup ekonomi, politik dan sosial. Jadi apabila kesemuanya itu dilaksanakan sesuai dengan petunjuk dan aturan-Nya, dengan mengharap keridhaan-Nya semata, tentu mempunyai nilai ibadah atau "amal saleh". Demikian pula halnya mencari, mengelola dan mendayagunakan harta kekayaan, sesuai dengan petunjuk dan aturan Allah demi mengharap ridha-Nya, juga dinilai sebagai ibadah atau "amal saleh". Disini terlihat betapa peranan keimanan terhadap Allah serta kepatuhan terhadap petunjuk dan aturan-Nya; Bukan saja merupakan kunci bagi diterimanya "amal" perbuatan kita, akan tetapi juga merupakan faktor bagi terwujudnya keseimbangan hidup. Dengan demikian kedudukan dan martabat manusia yang luhur itu tetap terpelihara.


Harta kekayaan memang amat vital bagi kesempurnaan peribadatan dan "amal saleh", namun ia harus tetap diletakkan sebagai sarana, bukan tujuan. Sehingga kita tetap dapat menjaga jarak, tidak terjerumus mempertuhankan harta dan kesenangan duniawi. Sementara itu, masih banyak "amal saleh" yang dapat kita lakukan dengan potensi lain yang non materi.


Pernah di masa Rasulullah SAW, sejumlah orang dari kalangan yang lemah ekonominya menghadap beliau, lalu mereka mengadu:

"Ya Rasulullah, para hartawan telah memborong pahala, mereka melakukan shalat sebagaimana kami juga melakukannya, mereka mengerjakan puasa sebagaimana kami mengerjakannya, sementara itu mereka bisa bershadaqah dengan kelebihan harta kekayaan mereka".

Lalu Nabi menjawabnya:

"Apakah Allah tidak memberi potensi yang dapat kamu gunakan untuk bershadaqah (berbuat kebajikan)?. Sesungguhnya pada setiap bacaan tashbih ada shadaqah, pada setiap bacaan takbir ada shadaqah, pada setiap bacaan tahmid ada shadaqah, pada setiap bacaan tahlil ada shadaqah, amar ma'ruf shadaqah dan nahi munkar juga shadaqah. Bahkan seseorang menyetubuhi istrinya juga shadaqah."

Ketika Rasulullah SAW menyebut yang terakhir ini mereka heran sambil bertanya:

"Ya Rasulullah benarkah seseorang menyetubuhi istrinya mendapat pahala?"

Lalu Nabi pun menjawab:

"Bagaimana pikiranmu kalau ia menyalurkannya pada wanita lacur, bukankah ia berdosa? Nah, begitu pula halnya, kalau ia menyalurkannya pada istrinya, tentu ia memperoleh pahala." (Hadits Riwayat Muslim).


Begitu luasnya lingkup "amal saleh" yang diajarkan oleh Islam, sehingga amat luas kesempatan terbuka bagi kita untuk melakukannya, sesuai dengan kondisi dan kadar kemampuan kita. Yang penting jangan menyimpang dari petunjuk dan aturan Islam, dan dengan niat demi mengharap keridhaan-Nya semata. Marilah kita pergunakan "waktu" kita untuk berbuat "amal saleh".

(Sumber: Al Muslimun, No. 204 Thn XVII (32) Rajab 1407 - Maret 1987).

"Waktu" adalah ibadah --- "Time" is praying..........




Jumat, 18 Juni 2010

"SUMPAH PEMUDA DAN IMPLEMENTASINYA"

"Sumpah "Pemuda" dalam kongres "pemuda" Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 merupakan produk nasional yang bernilai tonggak sejarah yang sangat luhur, yang wajib kita lestarikan dan kita teladani."


Sumpah "Pemuda" merupakan salah satu contoh yang besar dan agung produk dari aktivitas sosial kemasyarakatan "pemuda" Indonesia pada 82 tahun yang silam. Hasil itu lahir dari perjuangan terus menerus yang tak kenal menyerah yang dilandasi oleh kepercayaan pada diri sendiri yang sangat kuat. Bagaimana dengan generasi "muda" kita dalam era pembangunan dewasa ini?


Kita semua harus terus beramal, melakukan aktivitas sosial kemayarakatan yang berupa karya-karya baru untuk menjawab segala tantangan dan memenuhi semua hajat dan keperluan bangsa pada masa sekarang ini. Tidak ada alasan untuk berpangku tangan sambil melamun tentang kejayaan nenek moyang pada masa silam sedangkan kita sendiri hanya bermalas-malasan dalam keterbelakangan.


Seperti yang telah dikatakan oleh Dr. Muhammad Iqbal kepada generasi "muda":
Di jalan ini tak ada tempat berhenti,
sikap lamban berarti mati.
Mereka yang bergerak,
merekalah yang di depan yang menunggu,
sejenak sekalipun,
pasti tergilas.


Pada era pesatnya kemajuan teknologi informasi dewasa ini, dirasakan bahwa nilai-nilai budaya barat yang destruktif telah melanda kita semua dengan deras, khususnya generasi "muda". Alat-alat informasi yang modern dan serba canggih itu ternyata padat dengan pesan-pesan yang mendorong hidup mewah, konsumerisme, free sex, perilaku agresif dan sekularisme, yang dampak negatifnya sangat nyata kita rasakan.


Disamping dampak negatif, banyak pula manfaat yang dapat dan wajib diambil dari kemajuan teknologi informasi. Misalnya, dengan bantuan komputer kita akan dapat menerima mengolah dan menyampaikan informasi tentang masalah-masalah umat secara lebih cepat, lebih lengkap dan lebih akurat sehingga akan sangat membantu dalam menegakkan asas musyawarah yang merupakan satu nilai/sila sosial dasar dalam kehidupan umat Islam dan bangsa Indonesia. Dengan bantuan teknologi informasi yang modern pula generasi "muda" tampak makin pandai dan kritis dalam berpikir, makin rasional dan makin luas/universal pandangan hidupnya. Hal itu semua akan banyak pengaruhnya terhadap aktivitas sosial angkatan "muda" sehingga harus dipertimbangkan dan disaring sebaik-baiknya supaya hasilnya positif dalam mensukseskan pembangunan nasional menuju era tinggal landas dan abad ke 21 mendatang.


Harapan kita supaya para umara dan ulama bersatu padu dalam mendorong dan mengarahkan para "pemuda" kita supaya mereka melaksanakan aktivitas sosial kemasyarakatan dalam bentuk program-program kerja yang terarah, terpadu, paralel dan sinkron dalam rangka menuju suksesnya era tinggal landas. Tugas para umara akan lebih dititik beratkan pada bidang hablul minannas, sedangkan tugas para ulama akan lebih dititik beratkan pada bidang hablul minallah --- Walaupun sebenarnya keduanya tidak terpisahkan dan saling tumpang tindih, sehingga hanya menyangkut bidang spesialisasi atau profesi saja. Keduanya harus tetap menyatu dan terpadu sebagai dwitunggal sehingga tidak terjadi dikhotomi.


Adanya aktivitas sosial kemasyarakatan di kalangan "pemuda" adalah hal yang wajar sebagai konsekwensi dari manusia sebagai makhluk sosial di samping sebagai makhluk pribadi. Dalam era pembanguan seperti sekarang ini dimana terjadi proses perubahan yang berlangsung secara terus menerus menuju ke keadaan yang lebih baik, generasi "muda" dituntut untuk mengetahui segala masalah yang dihadapi bangsa dan negara secara tepat dan benar.


Generasi "muda" harus berpartisipasi aktif dalam menanggulangi dan mengatasi masalah-masalah yang ada, mengantisipasi timbulnya masalah baru supaya bangsa kita tidak terjerumus ke dalam pola hidup konsumerisme, diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk membiasakan pola hidup sederhana dalam arti menyesuaikan diri dengan kemampuan yang ada.


Betapapun beratnya permasalahan yang kita hadapi, kita dan semua generasi "muda" harus tetap optimistik melihat ke masa depan dan pantang menyerah. Dengan modal dasar iman dan taqwa kepada Allah yang terus kita pertebal, maka akan tumbuh kepercayaan pada diri sendiri untuk mampu dan kuat dalam mengatasi setiap kesulitan.

(Sumber: Majalah Ilmiah Triwulanan UII Yogyakarta, Nomor 4 Tahun X - Triwulan 1/1989).

"DAMPAK PEMBERITAAN KRIMINALITAS TERHADAP KESADARAN HUKUM MASYARAKAT"

"Masalah "kriminalitas" selalu menarik perhatian bagi wartawan dan pembaca. Karena itu, hampir setiap majalah dan koran selalu menyediakan tempat/kolom berita tentang "kriminalitas".


Mengingat pentingnya pemberitaan, sebagian ahli berpendapat bahwa pemberitaan "kriminalitas" baik melalui media cetak maupun elektronik, menunjang perkembangan ilmu pengetahuan tentang kejahatan atau kriminologi dan proses pembentukan kesadaran hukum "masyarakat". "Masyarakat" pada umumnya cenderung untuk menambah informasi yang diperolehnya secara langsung dengan membaca atau mendengarkan berita lewat koran atau media lainnya supaya lebih sempurna/lengkap.


Para ahli mengakui bahwa pemberitaan "kriminalitas" lewat koran dan majalah dapat berpengaruh terhadap pembaca, baik secara langsung maupun tidak langsung, positif maupun negatif.


Media massa surat kabar merupakan salah satu bentuk komunikasi massa, dimana komunikator berhadapan (secara tidak langsung) dengan komunikan (massa/"masyarakat" pembaca). Komunikasi melalui media surat kabar dan majalah memiliki perbedaan dengan komunikasi massa yang dilakukan dalam sosiologi, karena dalam komunikasi melalui media ini memiliki ciri khas, bahwa massa terikat pada pesan, kejadian atau idea yang terjadi yang terdapat di luar lingkungan hidupnya sehari-hari. Oleh karena itu, berita atau pesan yang dimuat di media ini akan lebih mudah untuk membentuk opini atau pendapat serta sikap pembaca.


Pada umumnya pemberitaan "kriminalitas" selalu menarik perhatian "masyarakat" dan oleh karenanya mempunyai daya pengaruh yang cukup efektif terhadap "masyarakat". Secara teoritik beberapa ahli telah mencoba merumuskan kerangka konseptual tentang pengaruh surat kabar dan majalah terhadap kejahatan. James Russel Wiggins menulis tentang pro dan kontra pemuatan berita "kriminalitas" di surat kabar dan majalah. Pendapat pro dan kontra -- sering dikemukakan oleh penegak hukum, antara lain:

1. Pemuatan berita "kriminalitas" akan meningkatkan kejahatan dengan mengundang peniruan oleh pembaca yang bernaluri jahat.

2. Berita-berita "kriminalitas" melukai perasaan keluarga dari si penjahat atau korban kejahatan.

3. Berita-berita "kriminalitas" selalu menimbulkan 'selera buruk' dengan gambar-gambar yang menakutkan dan mengerikan (misalnya gambar berwarna dari peristiwa kejahatan/pembunuhan/kejahatan.


Disamping dampak negatif tersebut, juga ada dampak positifnya. Wiggins selanjutnya aspek positif pemberitaan "kriminalitas" adalah:

1. "Kejahatan harus berbalas dan kena ganjaran, adalah pegangan hidup di dalam "masyarakat" yang harus diulang untuk menakuti calon-calon penjahat.

2. Berita-berita "kriminalitas" membantu pihak pengusut kejahatan, membekuk si penjahat (pemuatan foto penjahat yang akhirnya berhasil membekuk penjahat).

3. Takut dibeberkan di koran, merupakan penjera yang mujarab untuk mencegah orang-orang berjiwa kecil/jahat melaksanakan niat jahatnya.

4. Pemberitaan proses peradilan dan penangkapan si penjahat, juga membantu si penjahat dari perbuatan sewenang-wenang pihak penegak hukum.


Pemuatan berita "kriminalitas" dengan menokohkan seorang penjahat dan tidak jarang secara tidak langsung mengetengahkan aspek-aspek simpati pemujaan (hero worship) atas pelaku kejahatan tertentu yang dapat menanamkan suatu citra untuk diidentifikasi.


Pada hakekatnya setiap orang dapat belajar dari apa yang disajikan oleh surat kabar dan majalah --- baik yang positif maupun yang negatif --- Namun sebenarnya yang mengkhawatirkan dan memprihatinkan adalah bukan imitasinya tetapi proses pengaruhnya. Media massa dapat mempengaruhi tingkah laku kekerasan dengan cara persetujuannya, misalnya orang membunuh untuk membela diri, dengan menyebarkan informasi tentang kejahatan, dengan menyarankan seolah-olah tindakan kekerasan sebagai cara pemecahan masalah, dengan menimbulkan kadar toleransi yang tinggi antar sesama kelompok dengan cara menutupi perilaku jahat kelompoknya untuk berbuat jahat dengan cara memanas-manasi atau membesarkan permasalahan yang dihadapi.


Dalam dunia penegakan hukum, pemberitaan "kriminalitas", apalagi kejahatan kekerasan yang disajikan dengan bahasa yang demonstratif, lama kelamaan akan membentuk sikap/persepsi "masyarakat" tentang kejahatan itu sendiri. "Masyarakat" akan semakin tumpul kepekaannya terhadap perbuatan-perbuatan yang jahat atau tabu menjadi suatu perbuatan yang wajar dan lumrah bahkan dianggap sebagai suatu perbuatan yang tidak tabu lagi. Sebaliknya, penyajian berita "kriminalitas" dengan menggunakan bahasa yang sopan dan diperhalus, akan menghilangkan batas-batas antara perbuatan yang tercela dan jahat dengan perbuatan yang baik dan benar.


Penghalusan bahasa (eufemisme) -- bagi orang Timur -- dirasa lebih baik dan memperlancar proses komunikasi, namun dapat berdampak pada "masyarakat", yaitu merusak kepekaan "masyarakat" terhadap perbuatan jahat itu sendiri. Lama kelamaan akan terjadi kekaburan akan nilai yang benar dan yang salah, yang halal dan yang haram.


Akhir-akhir ini sering kita jumpai gejala penghalusan bahasa melalui media massa, misalnya 'pelacur' diperhalus menjadi 'wanita tuna susial', 'pezina yang hamil' menjadi 'kecelakaan', 'korupsi' menjadi 'penyimpangan' atau 'komersialisasi jabatan', 'berzina' menjadi 'melakukan perbuatan serong' atau 'jajan', seorang yang jelas-jelas melanggar hukum dengan sengaja atau berbuat 'salah' diganti dengan 'khilaf' dan lain sebagainya.


Dalam hubungannya dengan pembentukan kesadaran hukum "masyarakat", dampak negatif eufisme dalam pemberitaan "kriminalitas" lebih besar dari pada positifnya. Eufisme dalam pemberitaan "kriminalitas" semakin mengaburkan batas-batas perbuatan yang baik dan benar dengan perbuatan yang jahat dan salah. Di satu pihak bertentangan dengan nilai yang dijunjung tinggi oleh "masyarakat", sementara di pihak lain "masyarakat" memperoleh informasi yang tidak se-jahat atau se-tabu dengan apa yang diyakininya. Lama kelamaan akan menanamkan kesadaran yang bertentangan dengan norma dan nilai-nilai atau kepentingan yang dilindungi oleh hukum itu sendiri. Dengan kata lain merusak norma atau nilai yang dijunjung tinggi oleh "masyarakat".

(Sumber: Majalah Ilmiah Triwulan UII Yogyakarta, Nomor 5 Tahun X - Triwulan II/1989).

Minggu, 13 Juni 2010

"TATA NIAGA PEDESAAN DAN POSISI PETANI"

"Tata niaga" yang baik harus membawa keadilan bagi para peserta atau seluruh lembaga yang terkait dalam sistem "tata niaga" itu."



Satu jenis produksi dibandingkan dengan jenis produksi yang lain, "tata niaga"nya dapat sangat berlainan, sehingga masing-masing jenis produksi menuntut pengaturan sendiri-sendiri. Hal ini untuk mencegah timbulnya masalah-masalah yang tidak diinginkan.


Menurut Bustanul Arifin, secara umum "tata niaga" yang baik diharapkan setidaknya dapat:

1. Menjaga kestabilan, yaitu baik kestabilan harga maupun kestabilan arus barang.
Dengan adanya kestabilan yang dinamis, dalam arti terdapat dinamisme tanpa adanya goncangan-goncangan dan lonjakan-lonjakan, baik harga maupun pada arus barang, maka produsen maupun konsumen diuntungkan.

2. Berfungsi secsra efisien dengan biaya pemasaran yang serendah mungkin.
Bila "tata niaga" dapat berfungsi secara efisien yaitu dengan biaya marketting yang serendah-rendahnya, maka produsen maupun konsumen diuntungkan --- Namun harus tidak mengakibatkan turunnya kualitas barang maupun kualitas pelayanan.

3. Memberi pelayanan dan jasa dengan baik.
"Tata niaga" dapat dikatakan baik apabila dapat memberikan pelayanan dan jasa dengan baik terhadap konsumen.

4. Membawa keadilan bagi segenap peserta "tata niaga" tadi.
"Tata niaga" yang baik harus membawa keadilan bagi para peserta atau seluruh lembaga yang terjait dalam sistem "tata niaga" itu. Yang artinya bahwa "tata niaga" harus menghasilkan pemerataan kesempatan kerja dengan tetap memperhatikan azas efisien. "Tata niaga" tersebut juga harus membuat semua pihak mendapat imbalan sesuai dengan jasa yang diberikan.

5. Tanggap, artinya memberikan respons positif terhadap perkembangan dan pembaharuan.
"Tata niaga" harus tanggap terhadap perkembangan dan pembaharuan, dalam arti bahasa "tata niaga" selalu aktif mengikuti perkembangan dan pembaharuan.

Sehingga apabila "tata niaga" tersebut berfungsi dengan baik, maka seharusnya tidak akan timbul masalah-masalah "tata niaga" itu sendiri.


"TATA NIAGA" PEDESAAN.

Bentuk "tata niaga" pedesaan yang paling tradisional dapat dijumpai di lingkungan ekonomi petani sederhana. Seperti yang telah digambarkan oleh Alill Dewey, bahwa barang-barang dihasilkan dalam satuan-satuan kecil dan tersebar serta dilakukan oleh keluarga-keluarga "petani" kecil. Maka hasil pertanian tadi diperuntukkan bagi konsumen sendiri. Salah satu contoh khas adalah tanaman sayur segar. Sayuran kebun yang dihasilkan dalam jumlah kecil oleh banyak "petani" kecil yang tinggalnya tersebar dan hasilnya dipungut pada waktu yang tidak menentu, maka hasil kebun itu pada waktu-waktu tertentu dibawa ke pasar setempat oleh istri "petani". Hasil-hasil kebun tadi dijual secara eceran kepada istri-istri "petani" lain yang membelinya juga untuk keperluan keluarga sendiri karena kebetulan saat itu tidak menghasilkan sayuran tertentu tadi atau kebetulan saat itu hasilnya belum dapat dipungut. Sebaliknya wanita "petani" yang terakhir ini membawa ke pasar hasil-hasil kebunnya yang kebetulan lebih untuk dimakan sendiri.


Jadi di dalam ekonomi "petani" sederhana dimana hasil pertanian dihasilkan untuk keperluan sendiri dan apabila terjadi kelebihan harus dijual kepada "petani" lain. Maka "tata niaga" terjadi antara ibu "petani" kecil yang menjual belikan hasil pertaniannya di antara mereka sendiri. Oleh karena itu dalam tahap ekonomi sederhana, maka "tata niaga" adalah "tata niaga" antar konsumen.


Jika ekonomi "petani" sederhana tadi mulai berkembang, maka timbullah pengkhususan-pengkhususan. Dengan semakin berkembangnya usaha tani, maka perkembangan pada "tata niaga" pedesaan nampak dengan munculnya orang-orang (diantara para "petani") yang mengkhususkan diri berjualan ke pasar. Dari mereka ini mula-mula muncul para bakul-bakul dan kemudian tengkulak penjual hasil pertanian.


Perkembangan berikutnya adalah datangnya pedagang-pedagang bukan hasil pertanian. Pedagang dari luar daerah atau di luar ekonomi pedesaan ini, kemuadian mendirikan toko-toko barang-barang bukan hasil pertanian. Pada tahap ini, tidak mengesampingkan praktek "tata niaga" pada tahap sebelumnya masih tetap berjalan. Disamping adanya toko-toko yang menjual hasil pertanian maupun barang-barang industri, pasar-pasar yang menjual hasil pertanian pada hari-hari tertentu tetap berjalan.


Apabila kita lihat dari pelaku (lembaga) "tata niaga" pedesaan khususnya hasil pertanian tidak lain adalah "tata niaga" perekonomian rakyat yaitu para produsen kecil yang pada mulanya hanya menghasilkan untuk konsumen sendiri.


Dalam memperjual belikan barang-barangnya itu, para "petani" produsen kemudian mempertemukan dan dihadapkan dengan para pedagang dari luar ekonomi pedesaan yang memperdagangkan hasil industri. Dalam berhadap-hadapan antara produsen kecil dengan pedagang hasil industri dari luar ekonomi pedesaan ini umumnya para "petani" produsen berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Bagaimanapun posisi masing-masing --- "tata niaga" pedesaan tetap berjalan.


Dalam posisi "petani" produsen yang tidak menguntungkan itu muncullah satu lembaga ekonomi yang kita kenal dengan nama Koperasi Unit Desa (KUD) yang sebelumnya disebut BUUD. Lembaga ini tidak tumbuh dengan sendirinya, namun dengan dorongan dan dukungan pemerintah yang dimaksudkan untuk menjembatani lemahnya posisi produsen hasil pertanian dimana sekaligus adalah para konsumen.


Dengan munculnya KUD tidak berarti pedagang hasil pertanian hasil industri di pedesaan menjadi lemah atau lenyap dan mestinya justru mendorong untuk bekerja efisien karena KUD sendiri belum dapat membeli semua jenis komoditi yang dihasilkan produsen kecil di pedesaan. Dan juga belum menjual semua jenis kebutuhan konsumen di pedesaan.


Pada tahap perkembangan "tata niaga" pedesaan seperti sekarang ini peranan transportasi sangat menunjang, oleh karena itu produsen pertanian disamping menjual barang-barangnya di pasar lokal pedesaan ke KUD, juga menjualnya ke kota-kota. Hal itu dapat dilakukan karena semakin membaiknya prasarana dan sarana transportasi. Disamping itu juga informasi pasar dapat sampai kepada "petani" lewat siaran Radio, TV maupun koran masuk desa dan juga dari PPL pertanian.


POSISI "PETANI" DALAM "TATA NIAGA".


Bentuk "tata niaga" memperlihatkan bagaimana barang hasil pertanian tersebut dijual berlebihan. Bentuk tata niaga yang ada sekarang ini menyebabkan "petani" tidak atau kurang tahu pasti tinggi harga yang berlaku di pasar untuk barang-barang yang diperdagangkan. Hal ini disebabkan "petani" kurang tahu pasti besarnya ongkos, termasuk ongkos membawanya dari tempat tanaman ke rumah dan kemudian ke pasar. Oleh karena sebagian produksinya dikerjakan dengan tenaga sendiri beserta keluarganya yang jarang memperhitungkan ongkosnya. Oleh karena itu "petani" sebagai penjual bersifat mengikuti dari pada menentukan harga dalam tawar menawar, kalau toh ada tawar menawar dalam posisi yan g lunak, sehingga harga yang terjadi lebih rendah dari harga yang diinginkan atau bahkan kalau dihitung lebih rendah dari pada ongkos menghasilkannya, alias "petani" berada pada posisi merugi.


Pada kondisi seperti ini, umumnya "petani" dengan mudah dapat dikelabuhi oleh pedagang tersebut, terutama dalam memberikan informasi-informasi marketting yang jauh dari kebenaran. Hal ini dapat terjadi karena pengetahuan "petani" umumnya dalam bidang marketting sangat minim.


Melihat banyak kelemahan yang ada pada "petani" hasil pertanian dalam memasarkan produksinya, maka perlu diambil langkah-langkah antara lain:

1. Memberikan penyuluhan/bimbingan teknis kepada "petani" dalam bidang teknik pertanian, agro ekonomi termasuk marketting melalui kelompok-kelompok tani lewat PPL pertanian, maupun mass media seperti TV dan koran.

2. Memberikan pelayanan kredit untuk "petani", melalui kredit pedesaan. Hal ini dilakukan supaya "petani" tidak terjebak perangkap rentenir di pedesaan.

3. Meningkatkan peranan KUD dalam hal marketting hasil pertanian disamping juga harus mampu menjalankan fungsinya yang luas untuk melayani kebutuhan masyarakat desa. Hal ini dapat berjalan dengan baik dan berkembang apabila ada kerja sama koperasi baik secara horisontal maupun vertikal.


Dengan langkah-langkah tadi diharapkan supaya posisi "petani" yang lemah dalam "tata niaga"tersebut, sedikit demi sedikit akan teratasi dan akhirnya harus dilepaskan sedikit demi sedikit supaya "petani" dapat berjalan sendiri di atas jalan mekanisme harga yang berlaku.

Sabtu, 12 Juni 2010

"ETIKA SEKSUAL MENURUT TUNTUNAN ISLAM"

"Seks" dalam "Islam" bukanlah sekedar untuk menciptakan keturunan atau pemuas nafsu. Lebih jauh dari itu sebagaimana diterangkan dalam Surat Addariat Ayat 31: "Pelajarilah dirimu!".



Untuk masalah "seks" ataupun aspek kehidupan lainnya, agama berfungsi sebagai mediator antara manusia dan Tuhan. Oleh sebab itu agama selalu mengambil sikap yang normatif dengan batasan yang jelas antara perilaku "seks" yang 'moral' dan yang 'immoral'. Yang menonjol dalam agama, pada umumnya adalah pentingnya kaitan "seks" dengan prokreasi, yang merupakan salah satu cara penyebaran umat. Namun demikian, "seks" untuk kesenangan pun diamini --- dengan mengikuti aturan-aturan tertentu --- apalagi bila "seks" itu dilakukan demi pembinaan hubungan dan kasih sayang suami istri, maka "seks" adalah ibadah.


"Seks" dalam "Islam" bukanlah sekedar untuk menciptakan keturunan atau pemuas nafsu. Lebih jauh dari itu sebagaimana yang diterangkan dalam Surat Addariat Ayat 31: "Pelajarilah dirimu!". Untuk mengetahui masalah "seksual"itas seorang Muslim harus mengetahui dulu ilmu dan moralnya. Misalnya dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa manusia berasal dari 'nutfah' (mani), maka kita harus tahu apa itu nutfah. Kemudian apa yang disebut sebagai alat "seksual". Artinya, secara alamiah kita harus tahu psikologinya bagaimana? Fungsinya apa? Anatomi bentuknya bagaimana? Dan seterusnya. Dengan mempelajari semua itu, itulah yang dinamakan akhlak "seksual".
Dari situ nantinya kita akan paham pula, ternyata ada perbedaan "seksual" antara pria dan wanita. Menurut Siegmund Freud, sebelum baligh semua anak pria maupun wanita masih bersifat a-"seksual". Yang membedakan mereka hanyalah alat kelamin yang belum berfungsi sebagai alat "seksual", sehingga keduanya belum merasa bergairah terhadap lawan jenis. Maka dari itu pada fase tersebut, "Islam" pun belum membebani mereka dengan kewajiban, peraturan serta hukum-hukum agama, sampai terjadi perubahan anatomis, hormonal dan psikologis yang sangat besar dan nyata pada keduanya.


Selanjutnya, anak laki-laki mulai memperhatikan lawan jenis, bagian-bagian tubuhnya, gerak-geriknya serta mencari kesempatan untuk menikmatinya. Dia pun berubah dari manusia a-"seksual" menjadi manusia "seksual" agresif. Sebaliknya anak wanita --- Atas kesadaran bahwa dirinya mulai merambah dewasa, mereka mulai berdandan menjadi gadis manis. Karena mereka belum memiliki pengalaman yang nikmat tentang "seks", mereka pun cuma mendambakan seorang pria yang baik sebagai teman hidup. Maka dari manusia a-"seksual" mereka berubah menjadi manusia "seksual" yang pasif atraktif.


Maka dari itu, Allah menurunkan dua ketentuan yang berbeda antara pria dan wanita. Antara lain, kalau aurat pria ditetapkan hanya dari pusar sampai lutut, sedangkan aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Mengapa? Hal ini supaya keduanya mampu memelihara pandangan serta faraj (kemaluan) masing-masing. Supaya pria yang suka melihat tidak tergoda dan wanita tidak celaka. Karena, dalam Al-Qur'an telah disebutkan bahwa hidup pria memang dihiasi dengan kesenangan terhadap wanita. Itu fitrah, tidak terkecuali apakah pria itu dokter atau ulama. Sama saja. Di samping itu, jangan lupakan adanya hubungan mata, pandangan dengan respon alat kelamin secara psikologis dan fisiologis.


Jadi kalau wanita diwajibkan menutup aurat, itu merupakan konsep Al-Qur'an, bukan konsep Arab. Memang benar Al-Qur'an diturunkan di Arab. Mungkin benar juga orang Arab lebih agresif karena kehidupan mereka yang keras --- Mereka harus berjalan jauh untuk mencari makan, sehingga ketika pulang menumpuklah nafsunya terhadap wanita dan menyebabkan wanita harus menjaga ketat auratnya. Namun --- Siapa yang menciptakan Al-Qur'an dan kepada siapa Al-Qur'an ditujukan? Bukankah untuk semua umat manusia di seluruh dunia? Dan lagi --- Apakah jika di Indonesia laki-laki melihat wanita setiap hari akan mengakibatkan hilangnya perasaan mereka terhadap wanita? --- Tidak !


Problematika selanjutnya --- Bagaimana menangani perbedaan antara usia baligh atau menurut Freud sebagai fase genital ini terjadi pada usia 16 tahun bagi pria dan 12 tahun bagi wanita --- Namun usia perkawinan yang paling tepat adalah 20 bagi wanita dan 25 bagi pria. Pada usia ini tubuh seorang wanita sudah matang untuk menerima seorang bayi dan mentalnyapun sudah siap menjadi seorang ibu. Demikian pula pria, biasanya baru di usia 25 tahun mereka sudah dapat memantapkan kedudukan sosialnya dan secara mental telah mampu memahami apa fungsi suami dan seorang ayah.


Di antara dua kematangan ini memang kerap muncul berbagai problematika. Setiap hari anak-anak muda itu dapat melihat lawan jenis, menonton film-film dan sebagainya yang mengakibatkan mereka merangsang. Hal ini akan mengakibatkan mereka melakukan hal-hal yang tidak normatif. Pada usia ini kalau mereka pacaran, justru hanya akan lebih merangsang dirinya, menimbulkan nafsunya, namun dia tidak dapat melepaskannya. Akibatnya kalau tidak dapat menahan, dia akan melakukan onani atau pergi ke tempat pelacuran.


Akibat yang tak kalah buruknya, adalah mereka dapat melakukan homo "seksual" atau lesbian. Terutama mereka yang hidup mengelompok dengan satu jenis di lingkungan tertutup, seperti penjara bahkan pesantren.


Kemudian di kalangan mahasiswa, banyak kita dengar juga mereka melakukan kawin mut'ah (perkawinan yang akadnya disahkan hanya berdasarkan kesepakatan pasangan yang melaksanakannya, tanpa saksi, wali dan tanpa tujuan untuk membentuk rumah tangga yang langgeng --- dengan kata lain sekedar untuk menghalalkan hubungan "seksual" antar mereka dalam waktu yang disepakati bersama pula) yang tujuannya hanya untuk kesenangan. Bukan untuk anak, bukan untuk keluarga. Apabila mereka melakukan itu dan selesai kuliah bercerai, bagaimana nasib wanita? Terlantar --- Apakah itu maksud perkawinan? Jelas bukan ! Perkawinan adalah untuk mendirikan rumah tangga, mendidik anak-anak dan menciptakan generasi yang lebih baik.


Berkaitan dengan hal tersebut tadi, "Islam" mengajarkan, antara lain dalam sebuah hadits: "Hai para pemuda, siapa di antara kamu sudah sanggup kawin, maka kawinlah. Karena sesungguhnya perkawinan itu lebih menjaga pandangan dari godaan untuk berbuat maksiat dan lebih menjaga kehormatan. Tapi siapa belum mampu kawin, maka berpuasalah, karena puasa itu mengurangi nafsu syahwat." Jadi puasa, itulah kunci pendidikan yang mengaturnya.


ETIKA "SEKSUAL" DALAM PERKAWINAN.


"Islam" menganjurkan kepada umatnya untuk melaksanakan perkawinan, karena hubungan pria dan wanita ("seksual") merupakan salah satu fitrah manusia disamping fitrah yang lain misalnya fitrah keinginan untuk makan minum, memiliki harta benda, keinginan untuk berkuasa, keinginan untuk hidup beragama dan sebagainya.


"Islam" tidak mematikan fitrah atau naluri tersebut, tetapi "Islam" menyalurkan fitrah itu sesuai dengan ketentuan dari Allah dan RasulNya.


"Seks" dalam perkawinan adalah ibadah besar. "Islam" mengajarkan bahwa hubungan "seksual" suami istri merupakan shodaqah artinya mempunyai pahala. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Muslim, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Dan dalam hubungan kelamin bernilai shodaqah. Para sahabat bertanya: Ya Rasulullah apakah salah seorang dari kita memenuhi nafsu syahwatnya mendapat pahala? Beliau menjawab: Bagaimana pendapatmu apabila melaksanakannya dengan cara yang haram, apakah ia berdosa? Demikianlah apabila ia memenuhi syahwatnya dengan jalan yang halal akan mendapat pahala."

Karena merupakan ibadah, maka "Islam" telah menetapkan puka etikanya. Rasulullah SAW pernah bersabda: "Bila salah seorang kamu berjunub (bersenggama) dengan istrinya, haruslah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Bila selesai sebelum istrinya selesai, maka ia tidak mempercepat pencabutan alat kelaminnya hingga si istri selesai pula."


Hadits lain juga menjelaskan, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Bila salah seorang kamu hendak menggauli istrinya, janganlah lakukan seperti dua ekor unta bersetubuh atau dua ekor keledai. Hendaklah mulai dengan lemah lembut, dengan ucapan dan ciuman."


Disini jelas bahwa suami tidak boleh hanya menuruti kesenangannya sendiri. Hukumnya dosa kalau suami tidak dapat memuaskan istrinya yang ingin dipuaskan. Sebaliknya bila istri menolak permintaan suami hingga suami tidur dengan marah, maka malaikat dan manusia akan mengutukinya sampai subuh. Kecuali salah satu dari mereka memang punya hambatan penyakit. Maka dalam kasus ini bila istri yang sakit dan suami tetap membutuhkan hubungan "seksual", ini dapat menikah lagi seizin istrinya. Namun bila yang terjadi sebaliknya, maka sang istri berhak minta cerai.


Seorang sahabat pernah bertanya kepada Siti Aisyah, "Bagaimana Rasulullah bila bersetubuh?" Siti Aisyah menjawab: "Dia tidak melihat saya 'punya' dan saya tidak pernah melihat dia punya". Mengapa Nabi Muhammad berbuat begitu? Marilah kita pikirkan, apakah kita akan tertarik melihat kelamin pasangan kita yang lain bentuknya? Kita malah bisa jijik. Justru kalau kita buat sebagai khayalan, akan lebih indah. Disitulah bagusnya "Islam". Karena dalam Al-Qur'an istri adalah kebun bagimu, ibu dari anak-anak kamu. Maka dari itu ia harus di[elihara baik-baik, dipupuk dan dihormati karena dia punya perasaan. Bukan dipermainkan dengan mengambil posisi begini-begitu. Dalam "Islam" itu dianggap tidak beradab. "Islam" memang sangat menghormati wanita.


Membahas masalah "seksual"itas tidak akan lepas dari masalah cinta. Adakah birahi harus selalu dikaitkan dengan cinta? --- Tidak ! --- Anak-anak muda memang suka berdalih --- Saya lakukan itu karena cinta. Sebetulnya apa yang mereka rasakan saat itu bukanlah cinta --- Itu baru perasaan tertarik pada lawan jenis. Cinta monyet atau mungkin cinta "seksual", tapi kalau cinta yang sebenarnya belum tentu.


Cinta --- Lebih jauh dan lebih dalam. Memang sebelum kita menikah, kita merasakan sepertinya sudah cinta pada calon pasangan kita, padahal sebetulnya kita belum mengerti. Setelah menikah karena setiap hari kita bergaul dengan pasangan kita, kita tahu kelebihan dan kekurangan masing-masing, kita mau saling menolong dan sebagainya. Disitu baru tumbuh cinta yang sebenarnya. Jadi dibangun dulu dan selama itu tentu dorongan "seksual" atau birahi dapat berjalan tanpa kaitan cinta. Begitulah konsep "Islam". Bangun dulu rumah tangga. Karena Allah berfirman, kalau kamu kawin, maka akan aku berikan kepadamu cinta dan kasih-sayang.


Dengan kata lain, hanya dengan perkawinan orang dapat menemukan kepuasan biologis yang memadai dan cinta kasih yang dicari setiap manusia. Itulah sebabnya "Islam" melarang praktek selibat. Disamping melanggar fitrah, selibat juga memutuskan keturunan manusia. Bukankah di antara tanda-tanda kebesaran Allah bahwa Dia telah menciptakan buatmu jenis pasanganmu supaya kamu hidup tenang dan bahagia dengannya.


Karena hubungan "seksual" antara suami istri bukan hanya sekedar memenuhi tuntutan nafsu syahwat saja, namun bernilai ibadah, maka "Islam" juga memberikan tuntunannya sebagai berikut:


1. Sebelum suami-istri melakukan hubungan "seksual" hendaknya didahului dengan berdo'a terlebih dahulu, sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW:

"Ya Allah jauhkanlah kami dari godaan setan, dan jauhkanlah godaan setan itu dari anak yang engkau anugerahkan kepada kami"
Disamping itu juga ditambahkan dengan do'a Nabi Ibrahim A.S, dan do'a Nabi Zakaria A.S. sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an Surat ke 37 Ayat 100 dan Surat ke 3 Ayat 38.

Dengan do'a tersebut tadi kita mohon kepada Allah bahwa hendaknya sperma yang akan dipertemukan dengan sel telur adalah sperma yang berkualitas baik, sehingga anak yang dikandungnya adalah anak yang baik (sholeh/sholihah).


2. "Islam" melarang suami-istri melakukan hubungan "seksual" apabila istri dalam keadaan menstruasi (haid) sampai istri dalam keadaan suci. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Baqarah Ayat 222:

"Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kami mendekati mereka, sebelum mereka suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri."


3. "Islam" melarang melakukan hubungan "seksual" ke dalam dubur. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Turmidzi dan Ahmad dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Allah tidak akan melihat dengan limpahan rahmat kepada laki-laki yang menggauli sesama laki-laki atau perempuan (istri) pada dubur."


4. "Islam" tidak membenarkan hubungan "seksual" suami-istri dengan tidak mengenakan busana sama sekali (tanpa pakaian). Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Thabrani dari Ummu Umanah, bahwa Rasulullah bersabda: "Apabila salah seorang dari kamu mencampuri istrimu hendaklah bertabir, jangan keduanya telanjang seperti telanjangnya dua ekor keledai."


5. "Islam" melarang hubungan "seksual" selama dalam nifas (sesudah melahirkan anak). Nifas biasanya kurang lebih 40 hari. Apabila melakukan hubungan "seksual" selama masih dalam masa nifas, ada tiga bahaya yang mungkin timbul, ialah mudah kena bibit penyakit, terjadi pendarahan dan luka yang baru sembuh akan terluka kembali.


6. "Islam" mengajarkan suami-istri yang melakukan hubungan "seksual" hendaknya memberikan wangi-wangian/parfum sebelum Berhubungan "seksual", dan sesudah berhubungan "seksual" hendaknya dibasuh atau dibersihkan.


Itulah tadi etika-etika hubungan "seksual" yang diajarkan "Islam". Umat "Islam" wajib melaksanakannya supaya umat "Islam" dapat terhindar dari penyakit-penyakit kelamin yang sekarang ini banyak dialami oleh umat manusia yang melakukan hubungan "seksual" secara menyimpang (tidak sesuai dengan tuntunan).




MusicPlaylistView Profile