"Makhluk yang namanya manusia pasti pernah "mengeluh". Disadari atau tidak, "mengeluh" seperti sudah menjadi bagian dari hidup manusia itu sendiri".
Hanya saja, frekuensi dan kualitas "keluh"annya yang membedakan antara satu individu dengan individu lainnya.
Sesungguhnya semua masalah itu tidak sepantasnya disebar dan diceritakan kepada setiap orang yang diadukannya. Cukup semua perkara yang dihadapi seorang muslim hanya dicurhatkan kepada "Allah SWT". Seorang muslim hanya akan menampakkan kelemahannya di hadapan "Allah", tidak kepada makhluk yang sama-sama lemah. Oleh karena itu kita memiliki dzikir لَا حَوْلَ وَ لَا قوَّةّ إِلَّا بِا الله yang maknanya adalah tidak ada daya untuk menghindari kemaksiatan dan upaya untuk melakukan ketaatan kecuali kekuatan dari "Allah".
Lihatlah Nabi Ya’qub as. ketika menghadapi kesedihan berupa kehilangan putranya, Yusuf, sehingga anak-anaknya yang lain mengiranya akan bertambah sakit dan sedih. Maka dengarlah jawaban Nabi Ya’qub yang perlu diteladani setiap muslim,
قَالَ إِنَّمَا أَشْكُوْ بثّيْ وَ حُزْنِيْ إِلَى اللهِ
“Dia (Ya’qub) menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada "Allah" aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.” (QS Yusuf: 86)
Apabila kita "mengeluh"kan kesulitan hidup kita kepada orang lain adalah perilaku yang tidak pantas dilakukan orang beriman. Itu pertanda bahwa kita tidak rela atas pembagian dan pemberian "Allah SWT" kepada kita. "Mengeluh"kan keadaan kita kepada orang lain itu berarti (ibarat) mengadukan "Allah SWT" kepada makhluk (orang lain). Kita tidak boleh melakukannya. Kita dilarang "mengeluh" kepada orang lain mengenai kondisi diri kita antara lain keluarga kita. Kita hanya dibolehkan mengadu kepada "Allah SWT". Kita dianjurkan "berdo'a" kepada "Allah SWT" saja. Mengapa demikian? Ya, karena mengadu adalah bagian dari bentuk "do’a" kita kepada-Nya, "berdo'a" bukanlah "mengeluh". jika kita "mengeluh" kepada "Allah" seakan kitapun tidak terima akan ujian-Nya.
Rasulullah SAW pernah bersabda,
“Maukah aku ajarkan kepada kalian beberapa kalimat yang diucapkan oleh Nabi Musa ketika menyeberangi laut bersama Bani Israil ? ”Kami (para sahabat) menjawab, “Tentu saja mau, Ya Rasulullah ! “Beliau besabda, “Bacalah, “Allahumma lakal hamdu wailaikal musytakaa, wa antaal musta’aan wa laa haula wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim (Ya "Allah", segala puji hanya bagi-Mu, hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan., Tiada daya (untuk menjauhi ma’siat ) dan tiada keuatan (untuk tha’at ), kecuali dengan pertolongan "Allah" Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung). “(THR. ‘Abdullah bin Mas’ud Ra.)
Benar saja. Jika seseorang menampakkan dan mengadukan kesedihan serta kesulitan kepada manusia, maka hal itu tidak meringankan kesedihan terdebut. Namun apabila seseorang mengadukan kesedihan itu kepada "Allah SWT", itu lah yang akan bermanfaat baginya. Bagaimana tidak? Sedangkan "Allah SWT" telah menjanjikan hal itu dalam sejumlah firman-Nya dalam Al-Qur'an, sebagai berikut,
وَ إِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيْبٌ أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang "berdo'a" apabila ia memohon kepada-Ku.” [QS Al Baqarah: 186]
Perhatikanlah ayat ini. Di dalam Al Qur'an yang biasa memakai uslub soal-jawab, biasanya setelah disebutkan pertanyaan akan diikuti dengan kata-kata قُلْ (katakanlah), seperti dalam Al Baqarah: 189, 215, 217, dan banyak lagi. Namun dalam ayat ini, "Allah SWT" tidak menggunakan kata-kata قُل (katakanlah), namun langusung menjawabnya, “فَإِنِّى قَرِيْبٌ أُجِيْبُ …إلخ.” Ini menunjukkan bahwa kedekatan dan janji "Allah" itu benar-benar haq. "Allah " berfirman :
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الوَرِيْدِ
“Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” [QS Qaf: 16]
Tentu saja kedekatan di sini adalah kedekatan ilmu, bukan Dzat "Allah". Sebagaimana kesepakan Ahlussunnah wal Jama’ah. Sedangkan kedekatan "Allah" itu ada dua, yaitu (1) kedekatan ilmu-Nya, dan (2) kedekatan-Nya dengan orang yang beribadah dan "berdo'a" kepada-Nya dengan pengkabulan, pertolongan, dan taufik (lihat Taisirul Karimir Rahman). Maka, sesungguhnya ilmu "Allah" itu meliputi segala sesuatu, tidak ada sesuatu pun yang samar bagi-Nya.
Jika "Allah" saja dekatnya sedemikian, maka tidak perlu lagi mencari tempat-tempat curhat dan "mengeluh"kan problem kepada selain-Nya. Karena, “Bukankah "Allah" itu cukup untuk hamba-Nya.” [QS Az Zumar: 36]
Diriwayatkan bahwa dahulu di zaman salaf, segala perkara yang mereka hadapi, kecil atau besar, selalu diadukan kepada "Allah". Sampai garam dapur pun, mereka meminta kepada "Allah". Atau sebagian riwayat, sampai tali sandal yang terpuus pun, diadukan kepada "Allah".
Rasulullah sendiri mengajarkan kepada keponakannya yang masih kecil agar hanya meminta dan memohon kepada "Allah", “Jika kamu meminta, mintalah kepada "Allah". Jika meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada "Allah” [Riwayat At Tirmidzi. Beliau berkomentar, “(Hadits ini) hasan shahih.”] Jika anak kecil saja diajarkan seperti itu, bagaimana yang lainnya? Tentu lebih lagi.
Inilah potret pendidikan Rasulullah SAW., yaitu menanamkan akidah yang benar kepada umatnya sejak kecil agar terpatri kuat di sanubari orang tersebut. Dan pendidikan macam inilah yang seharusnya ditiru oleh para orangtua manapun.
Demikian juga dengan orang yang dirundung bingung antara dua pilihan, jika ia harus memilih. Seluruh ajaran Islam adalah penyerahan diri kepada "Allah". Segala masalah harus diserahkan kepada "Allah SWT", tidak kepada selain-Nya.
Ketika kita tertimpa sakit, hendaknya yang pertama kali terbetik dalam hati kita adalah segera kembali kepada "Allah SWT".
أَمِنْ يُجِيْبُ المُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَ يَكْشِفُ السُّوْءَ
“Atau siapakah yang memperkenankan ("do'a") orang yang dalam kesulitan apabila ia "berdo'a" kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan.” [QS. An Naml: 62]
Ini semua bukan berarti tidak boleh sama sekali meminta pendapat kepada orang lain. Karena "Allah" sendiri juga berfirman yang artinya, “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam perkara itu.” [QS Ali ‘Imran: 159] Akan tetapi, mana yang ia dahulukan. Datang mengadu kepada "Allah" dahulu, atau mendatangi manusia untuk ber"keluh" kesah.
Ada beberapa hadits beserta sedikit penjelasan yang berkaitan dengan "do'a", agar kita menjadi semakin yakin bahwa kekuatan itu ada pada "do'a". Dan sesungguhnya seluruh makhluk itu lemah, kecuali orang yang mau "berdo'a". Bahkan benda-benda mati pun "berdo'a" dan berdzikir, sebagaimana pernyataan "Allah" dalam surat Al Isra’ ayat 44. Maka jika benda yang tidak berakal saja terus bertasbih dan mengingat-Nya, bagaimana pula dengan manusia yang berakal?!
لا يَرُدُّ القَضَاء إلا الدُّعَاء
“Tidak ada yang dapat menolak qadha’ kecuali "do'a".” [Riwayat At Tirmidzi, Ibnu Hibban, dari hadits Salman Al Farisi. Dinilai shahih oleh Ibnu Hibban. Dikeluarkan juga Al Hakim, dinilainya shahih. At Tirmidzi mengatakan, “Hasan gharib.” Dan tidak menilainya shahih, karena dalam sanadnya terdapat Abu Maudud Al Bashri yang namanya adalah Fidhdhah. Abu Hatim berkata,”Dha’if.” Juga ditakhrij oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kubra dan Adh Dhiya’ dalam Al Mukhtarah. Lihat Tuhfatudz Dzakirin hal. 29]
Al Qadhi Asy Syaukani rahimahumullah berkata, “Di dalamnya terdapat dalil bahwa "Allah SWT" menolak dengan "do'a" sesuatu yang telah Dia tetapkan atas seorang hamba. Dalam masalah ini telah diriwayatkan banyak hadits. Dan yang menguatkan adalah firman "Allah" yang artinya, "Allah" menghapus apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan (apa yang dikehendaki-Nya). Dan di sisi-Nya terdapat ummul kitab.”
لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللهِ مِنَ الدُّعَاءِ
“Tidak ada sesuatu pun yang lebih mulia di sisi "Allah" dari "do'a” [Direkam oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, Al Bukhari dalam Tarikh-nya, At Tirmidzi dalam Jami’-nya, dan Ibnu Majah, Al Hakim dalam Mustadrak-nya, dari hadits Ibunda ‘Aisyah. Al Hakim menilainya shahih, dan disepakati oleh Adz Dzahabi]
Al ‘Allamah Abul ‘Ula Muhammad bin ‘Abdurrahman Al Mubarakfuri rahimahumullah mengatakan dalam syarahnya, Tuhfatul Ahwadzi [2421], “Karena di dalamnya (yaitu "do'a") terdapat penampakkan kefakiran, ketidakmampuan, penghinaan (diri), dan pengakuan terhadap kekuatan dan kemampuan (kodrat) "Allah".”
Oleh karena "do'a" itu sesuatu yang mulia di sisi "Allah", maka tidak heran jika Rasulullah SAW. juga bersabda:
مَنْ لَمْ يَسْأَلِ الله يَغْضَبْ عَلَيْه
“Siapa yang tidak meminta kepada "Allah", Dia akan murka kepadanya” [Riwayat At Tirmidzi dan Al Hakim, dari hadits Abu Hurairah]
Hadits ini senada dengan firman "Allah SWT" yang artinya, “Dan Tuhanmu berfirman, "berdo'a"lah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” [QS Ghafir: 60]
Rasulullah SAW. juga pernah bersabda:
لَا تَعْجِزُوْ فِي الدُّعَاءِ فَإِنّهُ لَنْ يَهْلِكَ مَعَ الدُّعَاءِ أَحَدٌ
“Jangan kalian lemah (sedikit) dalam "berdo'a". Karena tidak akan binasa orang yang selalu "berdo'a".” [Direkam oleh Ibnu Hibban dalam Ash Shahih, Al Hakim dalam Al Mustadrak, Adh Dhiya’ dalam Al Mukhtarah. Ketiganya menilainya shahih. Lihat Tuhfatudz Dzakirin hal. 31]
Jadi prinsipnya masalah yang ada dalam kehidupan ini adalah cara "Allah" menguji kualitas keimanan setiap Muslim. Oleh karena itu janganlah putus asa dalam menghadapinya. Jangan pula bersandar pada kekuatan apapun selain "Allah". "Berdo'a"lah hanya kepada "Allah", karena "Allah" akan memperkenankan "do'a" hamba-hamba-Nya.
Sumber:
1. https//muslim.or.id/10477-curhat-hanya-kepada-allah...
2. www.eramuslim,com > Akhwat . Muslimah
3. https.//id-id.facebook.com/...mengeluh/22655796736...
4. laely.widjajati.facebook/add-a-description 1....
5. laely.widjajati.facebook/add-a-description 2....
6. laely.widjajati.facebook/suatu-pagi-di-#Telaga-Sarangan........
0 komentar:
Posting Komentar