"Dibandingkan dengan "kain batik" dari tempat lain, "wastra Madura" mempunyai keunikan dan keistimewaan tersendiri."
"Wastra" adalah sehelai "kain" tradisional yang biasanya ditenun tangan yang mempunyai sarat makna. Sehelai "kain batik" dapat berfungsi sebagai selendang pakaian adat, salah satu bentuk mas kawin, penutup jenazah, benda wasiat dan lain-lain. "Wastra" yang akan dibahas disini adalah "kain batik" yang berasal dari "Madura".
"Kain batik" selain berfungsi untuk dipakai sehari-hari, juga mempunyai fungsi emosional yang dalam, misalnya sebagai benda pusaka tang mengingatkan seseorang kepada asalnya, siapa nenek moyangnya, sebagai benda koleksi, sebagai benda kenangan yang menyenangkan atau mungkin sebagai pemanis ruangan.
"Kain batik" yang dibuat dengan menggunakan lilin (malam, parafin) dengan bantuan canting dan pencelupan dengan zat warna berasal dari Jawa. Motif hiasnya mendapat pengaruh dari budaya Hindu, Budha dan Islam. Di Jawa dikenal "batik" Yogyakarta, "batik" Surakarta dan di luar kedua tempat tersebut dikenal sebagai "batik" pesisiran. Karena itu "batik" dari "Madura" dapat digolongkan sebagai "batik" pesisiran. "Batik" pesisiran pada umumnya berasal dari daerah pesisir Pulau Jawa motif hias serta pewarnaannya lebih banyak dipengaruhi oleh budaya mancanegara, seperti dari India, Cina dan Eropa. Motif bunga, motif binatang dan motif obyek lain yang lebih naturalistik memperkaya penampilan "batik" pesisiran.
"Batik" dari "Madura" sampai saat ini kebanyakan masih menggunakan zat warna dari alam, antara lain warna merah dari sari kulit akar mengkudu(Morinda citrifolia), warna biru dari pohon tarum atau nila (Indigofera suffruticosa) dan warna cokelat atau sogan berasal dari kulit pohon jambal (Pelthophorum pterocarpa). Ciri khas lain dari "batik Madura" ialah latar belakang yang lebih penuh tidak dibiarkan kosong. Isen latar digambarkan dengan jelas, misalnya dengan motif sisik ikan atau sisik ular (gringsing), motif garis berombak (galaran), motif swastika (banji), kipas, segitiga, persegi atau hanya nitik yaitu berupa titik-titik. Motif hias "batik Madura" selain menerapkan motif tradisional yang mempunyai arti simbolis juga mengambil obyek yang ada di sekitar perajinnya.
Motif flora fauna terutama burung merak masih sering ditampilkan. Bulu dan ekor burung ini dapat disitir yang dapat dijadikan obyek kreativitas para perajin. Pengaruh dari Cina dengan burung hong yang melambangkan panjang umur juga melanda pem"batik Madura". Pengaruh Eropa tampak pada penerapan penggambaran obyek fauna seperti motif kupu-kupu, gajah dan kuda. Di samping itu motif geometris yang diulang-ulang seperti kawung, ceplokan dan parang juga ada di "Madura". Motif Tasikmalaya berupa garis diagonal dengan pinggiran bunga.
Kalau "batik" Yogyakarta, "batik" Surakarta atau Pekalongan kepala jarik-nya ("kain" panjang) terdapat pada bagian tepi yang vertikal, pada "batik Madura" kepala jarik-nya ada di tengah "kain". Hal ini mungkin karena penggunaan "kain" untuk busana berupa "kain" sarung yang tidak harus menggunakan wiru (lipit-lipit) di tengah seperti pemakaian jarik di Jawa Tengah. Wanita "Madura" memakai "kain" untuk sarung hanya sampai sebatas betis. Hal ini karena salah satu bagian yang penting dari aksesori busana "Madura" adalah gelang kaki (binggel) yang tidak boleh tertutup oleh "kain" panjang.
Seperti pada "batik" Pekalongan, "kain batik Madura" juga sering dibuat berpola pagi/sore. Artinya satu helai "kain batik" dibagi dua menyerong. yang setiap bagian mempunyai motif yang berbeda. Satu sisi dipakai untuk busana sarung pagi hari, bagian sisi yang lain dipakai untuk sore hari. Hal demikian dimaksudkan untuk efisiensi supaya busana pagi dan busana sore hari tampak berbeda. Pada "kain" sarung juga sering diberi hiasan pinggiran sepanjang tepi "kain". Karena pengaruh dari Belanda, sering pinggiran ini dibuat seperti renda dengan liku-liku terawang.
"Batik" dari berbagai daerah di Indonesia masing-masing mempunyai keunikan dan keindahan tersendiri. Diharapkan seni lukis dan seni kerajinan tradisional yang diterapkan pada sehelai "kain" akan tetap dapat berkembang walaupun tidak selalu berfungsi sebagai busana tetapi mungkin berubah jadi penunjang interior atau koleksi yang berharga. (Anur Mulhadiono).
(Sumber: Majalah Griya ASRI, edisi Nomor 247/051, Maret 2004).
0 komentar:
Posting Komentar