Kamis, 17 Desember 2009

"KEMITRAAN YANG MEMBINGUNGKAN DALAM PEMBINAAN KELUARGA"

"Konsep "kemitraan" kebanyakan ditafsirkan tanpa batas dengan istri punya kewajiban untuk mencari nafkah, sedangkan suami punya kewajiban mengurus "rumah tangga" termasuk mendidik anak-anaknya".



Anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, orang tualah yang membentuknya menjadi baik atau buruk. Ajaran ini kemudian dibenarkan oleh teori Tabularasa, bahwa setiap anak yang lahir itu bagaikan secarik kertas putih, orang tualah yang mewarnai dirinya menjadi merah, biru dan sebagainya.


Konsep di atas menggariskan bahwa begitu dominan peranan "keluarga" dalam melakukan "pembinaan" terhadap anak-anaknya. Dalam arti bahwa masa depan anak tergantung pada bagaimana sebuah "keluarga" memerankan fungsi "pembinaan" kepada ana-anaknya mulai dari dalam kandungan ibu sampai menjadi dewasa.


"Pembinaan keluarga" di atas tergantung pada bagaimana peranan orang tua dalam melaksanakan tugasnya dalam "keluarga" sebagai orang tua, sebagai pendidik dan atau sebagai panutan yang senantiasa dipedomani, digugu dan ditiru oleh anak-anaknya. Produk-produk "pembinaan keluarga" inilah yang senantiasa mendominasi kepribadian anak-anak setelah mereka dewasa nanti. Tak jarang orang akan menggunakan anak sebagai cerminan sebuah "keluarga", dan kebanyakan orang pun semggunakan indikator ini sebagai ukuran keberhasilan sebuah "keluarga" di masyarakat.


Melihat hal ini maka sebenarnya abak merupakan profil yang paling jujur untuk melihat ketidak-jujuran orang tuanya dan yang paling jelas untuk melihat sebuah "keluarga" yang misterius. Dan kalau sudah seperti ini, maka orang tua akan mengatakan bahwa 'mending tidak punya anak, dari pada punya anak yang brengsek'. Kalau kita mau jujur terhadap ajaran dan teori Tabularasa di atas, sebenarnya bukan anaklah yang brengsek, karena dia sesungguhnya makhluk yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, suci bagaikan lembaran kertas yang putih bersih. Akan tetapi justru 'kebrengsekan' anak itu diperoleh dari orang tua-orang tua yang brengsek.


"KEMITRAAN" YANG MEMBINGUNGKAN.

Hampir semua ibu-ibu modern (ibu-ibu yang hidup di kota), akan mengatakan bahwa membantu suami untuk mencari nafkah itu adalah sangat penting dalam membantu ekonomi "keluarga", mengingat bahwa pendapatan suami di kota kebanyakan pas-pasan. Begitu pula dengan suami-suami di kota, merasa tertolong apabila istri mereka ikut membantu mencari nafkah. Pergeseran persepsi mengenai fungsi istri dan suami dalam "keluarga" ini sebenarnya terjadi setelah masyarakat memandang bahwa konsep "kemitraan" dalam "rumah tangga" yaitu istri dan suami memiliki tanggung-jawab yang sama dalam persoalan-persoalan rumah tangga dipandang oleh masyarakat modern sebagai alternatif untuk menjawab kesulitan ekonomi yang setiap saat melanda masyarakat modern itu sendiri. Akan tetapi pada dasarnya alternatif tersebut tidak otomatis juga sebagai solusi dalam menjawab persoalan "pembinaan" anak-anak setelah konsep "kemitraan" itu dapat diterapkan dengan baik.


Konsep "kemitraan" kebanyakan ditafsirkan tanpa batas dengan istri punya kewajiban untuk mencari nafkah, sedangkan suami punya kewajiban mengurus "rumah tangga" termasuk mendidik anak-anaknya. Sehingga kalau istri meninggalkan rumah, bahkan terpaksa bermalam sedangkan suami terpaksa memomong anak dan menggoreng ikan di rumah, maka hal ini adalah sesuai yang seharusnya terjadi pada "keluarga" modern.


Persoalannya sekarang pada "pembinaan" anak dalam "keluarga", bahwa setiap anak membutuhkan panutan dari orang tuanya. Untuk membentuk karakter mereka dibutuhkan profil orang tua yang jelas dengan peranannya masing-masing. Kepada anak-anak laki-laki dibutuhkan profil seorang ayah yang kuat dan tangguh, seorang pahlawan yang selalu membantu yang lemah, sebagai pencari nafkah bagi istri dan anak-anaknya, seperti layaknya seorang laki-laki yang ia pahami dalam legenda-legenda rakyat. Begitu pula bagi anak-anak perempuan, membutuhkan profil seorang ibu yang lemah lembut,,sabar, yang selalu mendongeng menjelang tidur, merawat anak-anaknya dan senantiasa menunggu mereka di rumah.


Kenyataannya menjadi terbalik, anak-anak tidak mampu menjadikan orang tuanya sebagai profil ideal. Sedangkan orang tua terus membingungkan mereka dengan peranan dan kesibukan orang tua masing-masing. Anak perempuan tidak mampu meniru ibunya yang 'super woman' dan anak laki-laki merasa enggap menirukan ayahnya yang feminim. Anak-anak menjadi kehilangan pegangan dan orang tua menjadi tidak berwibawa di hadapan anak-anaknya, karena tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut orang tua yang sama dengan apa yang dilihat dari tingkah laku orang tuanya itu. Ayah berkali-kali melarang anaknya untuk tidak merokok, padahal anaknya melihat ayahnya menghabiskan rokok berbatang-batang dalam waktu sejam. Begitu pula ibu berkali-kali melarang anak perempuan ini sering menyaksikan ibunya sering bermalam di luar kota. Bagaimana orang tua melarang anaknya untuk tidak berantam dengan temannya, kalau ibu dan ayahnya setiap ketemu mesti berantam.


Kehilangan panutan di rumah memaksakan anak-anak mencari pengganti kehilangan itu di luar rumah. Muncullah tokoh Rambo, tokoh Super force, tokoh Nobita dsn Dorsemon dan tokoh-tokoh lainnya. Sayangnya Rambo berambut gondrong, senang berkelahi dan berpakaian compang-camping serta peminum, dan Super Force senang membunuh orang walau untuk membela kebenaran, sedangkan Nobita-Doraemon terlalu senang materi. Akhirnya tokoh-tokoh ini lebih berkesan di hati anak-anak, karena satu kalipun tak pernah mendustai mereka. Anak dan orang tua menjadi semakin jauh karena rumah tidak lagi menjadi tempat yang ideal untuk pertemuan keluarga dan akhirnya anak-anak menjadi terlantar dalam "pembinaan keluarga". Anak menjadi anak zaman, dunia mereka menjadi dunia zaman.


SEBUAH ALTERNATIF "PEMBINAAN".

Dalam masyarakat Timur, termasuk masyarakat Indonesia, masih memandang "keluarga" inti (nuclear family) adalah bagian yang utuh dari "keluarga" besar (extende-family) atau sebaliknya. Pada "keluarga" besar, disana terhadap ayah, ibu, anak, nenek dan saudara-saudara lainnya. Pada kebanyakan masyarakat, terutama di kota, merasa bahwa perkawinan seseorang telah memisahkan dia dengan "keluarga" besarnya. Karena itu semua persoalan "rumah tangga" termasuk anak-anak adalah tanggung-jawab dirinya yang justru sedang tidak berdaya menghadapi kesibukan "keluarga"nya itu. Alternatif yang praktis adalah mempekerjakan Pembantu "Rumah Tangga" (PRT). Pada persoalan-persoalan tertentu PRT mungkin adalah jawaban, akan tetapi bukan jawaban bagi rentang "pembinaan" anak yang sedang terbengkalai. Karena "pembinaan" membutuhkan profil orang mirip dengan orang tua anak. Karena itu nenek, sebut saja Mbah Eyang atau Mbah Kakung merupakan sumber dan alternatif "pembinaan" anak-anak terbaik manakala "keluarga" inti (istri dan suami) tidak mampu melaksanakan fungsi "pembinaan" secara utuh karena persoalan dengan berbagai latar belakang tertentu. Nenek adalah orang yang memiliki kemiripan secara emosional, sikap dan tingkah laku orang tua, lebih dari itu nenek memiliki cinta sejati yang sama dimiliki oleh orang tua.


Masalahnya sekarang, mungkinkah setiap nenek bersedia menjadi penyambung jerami "pembinaan" cucu-cucunya, dan bagaimana keikhlasan orang tua melepaskan anak-anaknya menjadi asuhan nenek mereka, mungkin ini lebih baik, lebih manusiawi dan mungkin akan serba lebih untuk "pembinaan" anak-anak dari pada mereka harus terlantar atau seperti yang terjadi pada film Home Alone.

0 komentar:


MusicPlaylistView Profile