Senin, 14 Februari 2011

"BERSIH DAN RAPI (KETIKA HENDAK SHALAT)"

"Shalat seorang hamba tidak akan diterima kecuali jika jiwa dan badannya "bersih" dari hadas dan najis, pakaiannya "bersih", dan tempat yang dipergunakan untuk shalatpun dalam keadaan "bersih".


Allah telah berfirman dalam Al-Dur'an Surat Al-A'raf Ayat 31: "Wahai anak-anak Adam, pakailah pakaian yang indah di setiap (memasuki) masjid."

Menurut Abu al-Fida' Ibnu Kasir, bahwa "Ayat itu mengandung pengertian bahwa dianjurkan untuk "rapi" dan berhias setiap kali akan melakukan shalat, terutama ketika menghadiri shalat Jum'at dan shalat Id. Diantara cara berhias dan berdandan adalah dengan berharum-haruman, bersiwak atau menggosok gigi, karena siwak termasuk sesuatu yang dapat menyempurnakan ke"rapi"an. Sedangkan pakaian yang paling baik, adalah pakaian adalah putih..."

Yang dimaksud denganberhias dan berdandan adalah pakaian yang pantas, "rapi", "bersih", sopan dan bagus termasuk di dalamnya dengan menggunakan parfum dan harum-haruman. Minimal pakaian yang mencegah seseorang dari hal yang menjadikannya sangat buruk di tengah orang banyak, yaitu pakaian yang dapat menutup auratnya. Pakaian seperti itulah yang wajib dipakai untuk sahnya shalat dan thawaf. Berdasarkan pada ayat ini, mayoritas ulama berpendapat bahwa wajib menutup aurat dalam shalat, dalam setiap keadaan walaupun dia shalat sendirian di tempat sunyi.

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa memakai perhiasan setiap beribadah shalat ke masjid wajib, yang disesuaikan dengan 'urf (kebiasaan) suatu masyarakat ketika menghadiri pertemuan dan keramaian. Hal ini sebagaimana Hadits Riwayat ath-Thabrani dan al-Baihaqi: "Sesungguhnya Allah 'azza wa jalla lebih berhak/patut engkau berhias diri untuk-Nya."

Para wanita tidak diperintah untuk berhias dan berharum-haruman ke masjid, yaitu berhias dalam arti sebagaimana kebiasaan wanita pada umumnya (sangat banyak hadits yang menjelaskan tentang ini), seperti memakai gelang, kalung, cincin berlian, minyak wangi, lipstick, bedak dan lain-lain. Sekalipun demikian mereka tetap diperintahkan untuk berpakaian "rapi" dan "bersih", tidak mencolok ketika dipandang yang dapat menutupi seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.

Hasan bin Ali apabila hendak shalat, ia memakai pakaian yang paling baik dari pakaiannya. Lalu ada yang bertanya kepadanya: "Mengapa anda melakukan ini?' Beliau menjawab: "Sungguh Allah SWT itu Maha Indah dan Dia menyukai keindahan, karena itu aku memakai yang paling indah untuk Tuhanku, sebab Dia telah berfirman: "Wahai anak-anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid."

Apabila seseorang hendak menghadap atasannya atau akan menemui seorang pembesar, tentu saja ia terlebih dahulu mem"bersih"kan badannya dari segala kotoran, atau sebagian badannya, memakai pakaian yang bagus dan "bersih", rambutnya disisir "rapi", dan bila perlu ia akan menyemprotkan minyak wangi, dengan harapan sang atasan atau pembesar berkenan menyambut dan menerimanya dengan baik. Begitu pula jika kita pergi memenuhi undangan menghadiri keramaian, pertemuan-pertemuan, ke pasar atau kemana saja, kita merasa malu dan segan apabila tidak mandi dan mem"bersih"kan badan terlebih dahulu. Kita akan merasa risih dan kikuk apabila bertemu dengan orang apabila kita berpakaian usang dan agak kumal.
Apabila seseorang berpakaian usang dan agak kumal, badannya berlumuran kotoran, pakaiannya tidak "rapi", atau hanya dengan memakai kain sarung dan baju dalam, atau berselendang kain sarung saja, lalu ia pergi menemui seseorang atau pergi ke tempat keramaian, secara lahiriah orang yang berakal akan mengatakan orang yang seperti ini tidak menghormati, menyepelekan atau menganggap enteng orang yang ditemuinya.

Dalam pergaulan sesama manusia saja sudah seperti ini cara, model dan tata keramanya, apalagi bila akan menghadap Allah Rabbul 'alamin, Allah Yang Maha Agung, Maha Mulia, Maha Indah yang kepada-Nya kita bermohon dan mengadukan segala hajat dan kekurangan kita.

Mungkinkah kita akan diterima dengan baik oleh Allah SWT, sementara kita sendiri tidak beradab dan bersopan santun ketika menghadap-Nya. Sungguh aneh dan mengherankan apabila kita begitu hormat, sopan, "rapi", "bersih", tertib dan patuhnya ketika bertemu dan menghadap manusia dibanding ketika bertemu dan menghadap Allah SWT.

Maka dari itu, Islam telah menempatkan suci ("bersih") sebagai syarat mendasar dan kunci untuk melaksanakan shalat sebagai ibadah dan ritual yang tertinggi. Shalat seorang hamba tidak akan diterima kecuali jika jiwa dan badannya "bersih" dari hadas dan najis, pakaiannya "bersih", dan tempat yang dipergunakan untuk shalatpun dalam keadaan "bersih". Belum lagi ke"bersih"an yang diwajibkan terhadap seluruh badan atau sebagian anggota badan. Ke"bersih"an yang wajib ini dalam Islam dilakukan dengan jalan berwudlu dan mandi. 

Sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Ibnu Majah, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: "Berlaku "bersih"lah kamu, karena sesungguhnya Islam itu "bersih".

Rasulullah SAW sangat menekankan masalah ke"bersih"an pakaian, badan, rumah dan pekarangan dan bahkan jalan. Lebih ditekankan lagi adalah ke"bersih"an gigi, muka, tangan dan anggota badan lainnya. Sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Ahmad dan At-Tirmidzi, dari Abu Bakar ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Menggosok gigi itu sebagai pem"bersih" bagi mulut dan merupakan pekerjaan yang diridhai Tuhan."

Bahkan orang yang sudah tidak bergigipun tetap dianjurkan oleh Rasulullah SAW supaya mem"bersih"kan mulut dengan jalan memasukkan jari ke mulutnya. 

Khusus untuk menggosok gigi ini, sangat ditekankan setiap kali berwudlu. Disamping itu menggosok gigi juga disunahkan ketika hendak shalat, akan membaca Al-Qur'an, bangun tidur dan sewaktu bau mulut berubah.
Begitupun memotong dan mem"bersih"kan bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, me"rapi"kan atau memotong kumis juga disunahkan satu kali dalam seminggu, lebih baik dan utama tiap hari Jum'at. Paling lama sekali dalam 40 hari.  Sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Riwayat Ahmad: "Anas ra. berkata: 'Rasulullah SAW memberi batas kepada kami untuk memendekkan kumis, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku selama 40 hari."

Semua itu dilakukan demi menjaga dan menyempurnakan ke"bersih"an dan untuk menyenangkan hati. Sebab, dengan adanya bulu di badan akan menyebabkan seseorang akan terganggu dan merasa tidak tenang dan lebih jauh lagi akan menyebabkan pekerjaan yang dilakukan menjadi tidak sempurna.

Dapat disimpulkan bahwa:
1. Islam mengajari ummatnya untuk senantiasa "bersih" dan "rapi".
2. Kita diperintahkan untuk "rapi" dan "bersih" setiap kali melaksanakan shalat.
3. Keharusan mem"bersih"kan badan, pakaian dan lingkungan.
4. Disunahkan me"rapi"kan rambut, kumis, jenggot, memotong bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku paling lambat sekali dalam 40 hari, sebaik-baiknya setiap Jum'at.
5. Disunahkan menggosok gigi, terutama sewaktu berwudlu, ketika akan shalat, ketika hendak membaca Al-Qur'an, bangun tidur dan sewaktu bau mulut berubah.
6. Tidak dibenarkan memakan makanan yang mengakibatkan mulut berbau, lebih-lebih lagi apabila akan menghadiri shalat berjama'ah.
7. Para wanita tidak dibenarkan memakai harum-haruman yang menyengat, pakaian yang menyolok mata, terutama sekali bila ke masjid.

(Sumber: Bagaimana berkomunikasi dengan Allah, oleh Muhammad Hamdi, MS.).

Minggu, 13 Februari 2011

"GELANDANGAN, PENGEMIS, TUNA SUSILA, DAN TUNA KARYA"

"Gelandangan" berbeda dengan pengemis, walaupun keduanya merupakan penyakit sosial. Seorang pengemis biasanya masih mempunyai rumah atau tempat tinggal, bahkan di antara pengemis ada yang memiliki sawah".


Seperti para pengemis yang mangkal di sekitar masjid-masjid besar menjelang shalat Jum'at atau shalat Tarawih sepanjang bulan Puasa, mereka kebanyakan datang dari daerah lain. Para pengemis mulai dari yang berumur 1 tahun yang  masih digendong hingga yang berumur kurang lebih 70 tahun. Diantara para pengemis itu, hanya ada  satu atau dua orang "gelandangan". Selebihnya adalah pengemis yang memiliki rumah.


Seseorang yang mempunyai rumah atau tempat tinggal dan pekerjaannya meminta-minta ini biasanya memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), serta tidak jarang pengemis semacam ini memiliki badan yang sehat dan tegap, namun ada pula yang berpenyakit lepra. Ada pengemis yang sendirian ada pula yang berkelompok dua atau tiga orang. Pengemis ada yang bermukim di tempat penampungan, dan mereka keluar dari tempat penampungan dengan alasan mau berobat. Hal ini mereka lakukan karena sebenarnya mereka memiliki mata pencaharian tetap di daerahnya, misalnya berkebun, berjualan rokok, sebagai penarik becak dan sebagainya.
Meskipun di antara "gelandangan" wanita ada yang melakukan pekerjaan sebagai wanita tuna susila (WTS), namun mereka berbeda dengan WTS yang didaftar resmi oleh Dinas Sosial. WTS yang terdaftar itu memiliki tempat tinggal yang disediakan oleh seorang germo atau mucikari. 


"Gelandangan" wanita tuna susila, dapat dibawa atau dipanggil ke mana dan kapan saja oleh lelaki. Pada malam hari Wanita "Gelandangan" Tuna Susila (WGTS), berkeliaran di sekitar tempat pemukimannya, atau di daerah tertentu yang dianggap strategis atau banyak pasaran.


Ada resiko besar yang harus dihadapi oleh wanita "gelandangan" tuna susila ini karena rawan ditangkap oleh yang berwajib.Dari segi keleluasaan dan keamanan, nampaknya wanita "gelandangan" tuna susila lebih banyak terancam, misalnya penangkapan ataupun gangguan dari lelaki yang tidak mau bayar sesudah dilayani. Ancaman seperti itu biasa dialami oleh wanita "gelandangan" tuna susila yang tidak mempunyai pendamping.


Berbagai macam pekerjaan dilakukan oleh para "gelandangan", hanya saja apa yang dikerjakan itu tidak layak menurut kemanusiaan. Ada yang menyimpang dari norma undang-undang dan norma susila, ataupun dari kebiasaab masyarakat umum. Meskipun ada diantara mereka yang melakukan pekerjaan seperti yang biasa juga dilakukan oleh masyarakat umum seperti menarik becak, hal itu dilakukan secara temporer. Pekerjaan yang mereka lakukan itu merupakan kompensasi dari ketunakaryaan mereka. Para "gelandangan" ini tidak hanya tuna karya atau penganggur biasa yang mungkin mempunyai rumah, namun para "gelandangan" merangkap juga sebagai tuna wisma. Namun seorang tuna wisma bukanlah "gelandangan", kalau dia mempunyai pekerjaan tetap dan layak.


Diantara para "gelandangan" ada juga yang terserang penyakit jiwa maupun penyakit yang biasa menyerang warga masyarakat pada umumnya. Selain itu ada "gelandangan" yang tuna netra. Penyakit lain yang biasa menjangkit di kalangan "gelandangan" adalah penyakit batuk atau TBC, borok, panu, kadas dan sejenisnya.


Diantara "gelandangan" banyak yang makan apa saja yang ia anggap dapat dimakan, misalnya di tong-tong sampah dan juga di termpat-tempat pembuangan sampah. Selain itu ada yang makan di tempat penjualan barang bekas atau membeli nasi bungkus yang sangat murah di warung. Ada juga diantara "gelandangan" yang makan nasi hasil masakan sendiri.


Walaupun di dalam masyarakat "gelandangan" terdapat berbagai suku dan ada keragaman tingkat usia, namun dalam pergaulan dan pembentukan kelompok ada rasa persatuan yang tidak terikat oleh perbedaan suku atau perbedaan kelompok usia. Namun sebaliknya perasaan senasib dan sepenanggungan lebih menonjol.


Sebagaimana halnya warga masyarakat normal dan sebagai manusia yang memerlukan makan dan minum, "gelandangan" melakukan usaha-usaha atau pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan kemauan mereka masing-masing. Pekerjaan yang dilakukan oleh "gelandangan" antara lain: mengemis, mencari barang bekas, sebagai wanita tuna susila, mencuri atau mencopet dan sebagainya.


Untuk mengetahui di mana "gelandangan" melakukan operasi atau melakukan pekerjaannya, cukup sulit ditentukan secara pasti. Namun dapat duisampaikan disini tempat-tempat dimana "gelandangan" melakukan pekerjaan itu. Misalnya mereka yang pekerjaannya mencari barang bekas, mereka biasanya berkelana mendatangi tempat-tempat pembuangan sampah, bahkan juga sering mendatangi halaman rumah-rumah penduduk.


Faktor-faktor terjadinya "gelandangan" dapat dibedakan ke dalam faktor intern dan ekstern. Faktor intern meliputi: sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, adanya cacat-cacat fisik dan adanya cacat-cacat psikis (jiwa). Sedangkan faktor ekstern terdiri dari faktor ekonomi, geografi, sosial, pendidikan, psikologis, kultural, lingkungan dan agama.

Kamis, 10 Februari 2011

"IKHLAS.... IKHLAS.... IKHLAS....."

"Iblis sendiri yang mengatakan, bahwa ia tidak akan pernah menggoda hamba-hamba yang "ikhlas". Sebenarnya apa arti "ikhlas" yang sesungguhnya sehingga iblis pun tidak berani menggoda?"


Kita seringkali mencari definisi dan arti tentang "ikhlas" dengan logika yang terbatas. Seringkali memaksa supaya dirinya seakan-akan telah paham tentang "ikhlas", padahal kita tahu logika, akal, rasio sama seperti mata dan telinga kita yang mempunyai keterbatasan dalam memandang.

Mengapa kita mencari-cari dari sumber yang lain? Yang tidak ada ujung pangkalnya, padahal jelas-jelas di dalam Al-Qur'an Allah SWT telah membuat definisi dan arti yang  konkret tentang apa itu "IKHLAS", yakni di dalam firman Allah SWT dalam Al-Qur'an Surat Al-"Ikhlas" Ayat 1-4, yang artinya:
- Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
- Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
- Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan.
- dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."

Ternyata makna "ikhlas" secara definitif dan komprehensif spektrumnya begitu luas. Secara esensial arti "ikhlas" adalah bebas dari syirik, artinya seseorang yang akan melakukan sesuatu perbuatan/ibadah tidak boleh ada rekayasa, tendensi, intrik-intrik, motivasi atau niat yang lain kecuali semata-mata ditujukan kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana maqola Sayidina Ali yang berbunyi:
"Ya Allah aku mengabdi kepada-Mu bukan karena aku takut kepada neraka-Mu, bukan pula aku rakus terhadap surga-Mu, melainkan aku mengabdi kepada-Mu, karena memang Engkau pantas untuk kuabdi."

Betapa berartinya makna Suratul "Ikhlas", yang notabene terdapat kalimat Al-"Ikhlas". Sehingga pada ayat terakhir surat ini harus berkesimpulan bahwa Allah tidak ingin dibagi cintanya kepada hambanaya, Allah akan merasa cemburu manakala ciptaanNya dicintai secara berlebihan.


Ciri-ciri orang "ikhlas":
1. Memberi sesuatu dengan perasaan ringan dan tanpa beban di hati.
2. Ketika tangan terjulur memberi kepada yang diberi, dalam hati berkata: "Ini milik Allah dan saya harus mengembalikan kepada-Nya melalui kamu."
3. Ketika memberi tidak mengharap imbalan atau ucapan terima kasih, yang penting bagi yang diberi merasa bahagia.
4. Tidak mau diperlihatkan orang apalagi disorot media, karena tugas iblis selain menjegal dan menggugurkan amal-amal saleh, juga ia sangat sabar menunggu kapan hamba-hamba yang "ikhlas" gugur amalnya dengan cara dipuja atau diungkit-ungkit.
5. Tidak pernah kecewa walau ternyata amal salehnya berimbas kepada ujian dan cobaan yang menyakitkan.
6. Tidak pernah resah dan gelisah dan tidak pernah bangga dengan keberhasilan, dan tidak pernah merasa sedikitpun sedih bila mengalami kegagalan, sebab yang dicari hanyalah ridha Allah SWT.
7. Beramal karena Ikhsan, Lillah, Billah, Minallah dan Ilallah.


Hadits Qudsi ada yang menyebutkan bahwa "Ikhlas" merupakan rahasia Allah, "Jawabnya suatu rahasia dari rahasia-Ku kata Allah, Aku mempercayakannya kepada hati siapa yang Aku cintai di antara hamba-Ku". (Misykatul Anwar Hadits Ke-32 Ibnu Arabi).

(Sumber: Hakekat "Ikhlas" dan Indahnya Sabar, oleh KH MD Sirojudin).

"DAMPAK POSITIF SHOLAT DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI"

"Setiap hari kita "sholat" di atas sajadah bermunajat dan bermohon kepada Allah, ruku' dan sujud, seharusnya membawa dampak positif dalam kehidupan sehari-hari."


Seharusnya, "sholat" yang kita lakukan dapat terimplementasikan dalam bentuk nyata kehidupan, alias dimanifestasikan dalam setiap gerak dan nafas, maka seharusnya dapat membawa karakter kesabaran, sehingga kesabarannya tidak terkalahkan oleh nafsu yang membara.
Dampak positif "sholat" dalam kehidupan sehari-hari:
1. Setiap orang yang "sholat" seharusnya sadar akan  takdir yang datang dari Allah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Qur'an Surat Al-Anam Ayat 59: 'Tidak sehelai daunpun yang jatuh dari tangkainya melainkan sepengetahuan Dia (Allah)'.

2. "Sholat" dapat dijadikan sebagai penolong bagi orang yang beriman dalam bersikap dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Baqarah Ayat 153: 'Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan "sholat" sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.'

3. Orang yang melakukan "sholat", apabila dikecewakan oleh sesuatu peristiwa, seharusnya segera berkata Innalillahi Wa Innailaihi Roji'un - Aku dari Allah dan akan kembali kepadanya.'; sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Baqarah Ayat 155.
4. Dan segera mengucapkan Lahaula Wala Kuuwata Illa Billah Hil Aliyyil Adzim -- 'Tidak ada yang memiliki kekuatan kecuali yang maha tinggi dan maha agung'; sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Kahfi Ayat 39.
5. Orang yang mendirikan "sholat" harus mempunyai dampak dari atsarissujud sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-Fath Ayat 29: '... kalian lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya, tanda-tanda mereka terlihat pada muka mereka dari bekas sujud.'

6.Yang dimaksud bekas sujud adalah merujuk kepada Surat Al-Mukminun Ayat 1-5: 'Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam "sholat"nya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari yang tidak berguna dan orang-orang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya'.

7. Orang-orang yang mendirikan "sholat" harus mampu dan mau meninggalkan perbuatan-perbuatan keji dan munkar, marah-marah yang bukan pada tempatnya sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah dalam Surat Al-Ankabut Ayat 45: 'Sesungguhnya "sholat" itu mencegah perbuatan-perbuatan keji dan munkar.'

8. Allah memfitrahkan manusia bersifat keluh kesah, namun bagi orang-orang yang mendirikan "sholat" dan sanggup menjaganya Insya'Allah akan terjaga, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Ma'arij Ayat 19: 'Sesungguhnya manusia itu bersifat keluh kesah lagi kikir, apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan "sholat", yang mereka itu melanggengkan "sholat"nya'.

9. Orang yang "sholat" harus memperdalam Aqidah dan akhlaq, terutama akhlaq kepada Allah, dan puncaknya akhlaq manusia kepada Al-Khaliq adalah selalu bersikap khusnudhan kepada Allah. Apapun yang dianugrahkan kepada manusia adalah pilihan Allah yang terbaik, sehingga kita harus bersikap Qonaah (menerima) dan harus selalu mensyukuri anugrah itu tanpa memperhitungkan besar kecilnya anugrah Allah.

Selasa, 08 Februari 2011

"AJI SAKA - PENCIPTA HURUF JAWA"

"Aji Saka" menciptakan "huruf Jawa"  untuk mengabadikan kesetiaan dua abdi dalam melaksanakan tugas yang telah diamanahkan."


"Aji Saka" adalah seorang pertapa yang masih muda yang berasal dari Hindustan. Pada suatu hari "Aji Saka" disertai dua orang abdinya pergi melawat ke Tanah "Jawa". "Aji Saka" bersama dua abdinya menjelajahi masuk kota dan desa. Kedatangan "Aji Saka" di Tanah "Jawa" bermaksud menyebarkan ilmu pengetahuan.


Suatu ketika "Aji Saka" bersama kedua abdinya ke negeri Medang, tetapi dalam perjalanannya mereka bertiga singgah ke pegunungan Kendeng. "Aji Saka" berkata kepada Sembada (salah satu abdinya): 'Sembada besok saya akan ke Medang, dan keris "aji"ku ini saya tinggal disini. Kupercayakan keris "aji"ku kepadamu. Siapapun yang datang meminta, jangan kau beri. Bila aku memerlukan akan saya ambil sendiri. Ingatlah pesanku!'

Selesai berbicara, berangkatlah "Aji Saka" ke negeri Medang seorang diri. "Aji Saka" tiba di desa terpencil di negeri Medang. "Aji Saka" bertamu ke rumah seorang janda tua bernama Mbok Rondo Sengkeran. "Aji Saka" menjelaskan kepada Mbok Rondo Sengkeran, bahwa ia ingin mengabdi kepada Sang Prabu negeri Medang. Namun oleh Mbok Rondo Sengkeran dilarang dan diingatkan, karena Sang Prabu adalah seorang raja yang gemar makan daging manusia. Penduduk banyak mengungsi karena takut. Mbok Rondo Sengkeran masih hidup karena usianya sudah tua, dagingnya sudah alot sehingga Sang Prabu tidak mau memakannya. Meskipun dilarang, "Aji Saka" tetap ingin mengabdi kepada Sang Prabu. Begituloah akhirnya untuk sementara "Aji Saka" tinggal di rumah Mbok Rondo Sengkeran.

"Aji Saka" adalah seorang pertapa yang sakti. Ketika para penduduk ketakutan berlari mengungsi, "Aji Saka" meminta para penduduk itu tinggal bersamanya di rumah Mbok Rondo Sengkeran. Mbok Rondo Sengkeran menganatar "Aji Saka" menghadap Patih (yang setiap harinya mencarikan mangsa untuk Sang Prabu). Di hadapan Patih, "Aji Saka" mengutarakan maksudnya, ingin mengabdi kepada Sang Prabu. Sang Patih melihat "Aji Saka" tertegun karena sikap baiknya. Memang "Aji Saka" seorang pemuda yang bijaksana dan tampan.

Sang Patih berkata: 'Baiklah! Engkau akan kuhadapkan kepada Sang Prabu. Engkau harus tahu tugasmu nanti. Karena tidak mudah mengabdi kepada Sang Baginda Raja Medang.'

"Aji Saka" menjawab: 'Hamba tidak gentar berhadapan dengan Sang Baginda! Hamba tetap pada pendirian semula, yaitu akan mengabdi kepada Sang Prabu. Apabila hamba tidak mati apakah hamba dapat minta sebidang tanah seluas sorban (ikat kepala) ini?' 

Singkat cerita, Sang Patih menyanggupi permintaan "Aji Saka". Lalu diajaklah "Aji Saka" ke istana. Sewaktu makan, "Aji Saka" mengubah dirinya menjadi seorang anak yang cantik. Sang Prabu sangat senang melihatnya. Anak yang cantik tadi ditimangnya. Saat menimang tersebut, Sang Prabu bernafsu untuk melahapnya. Tetapi "Aji Saka" yang sakti dengan cekatan memegang bibir atas dan bibir bawah, lalu disobeklah mulut Sang Prabu (raja Medang) itu sampai meninggal. Setelah peristiwa tewasnya Sang Baginda, "Aji Saka" berubah wujud seperti semula.  "Aji Saka" pergi ke rumah Patih memberitahu bahwa Sang Baginda telah mati terbunut. Senanglah hati Sang Patih mendengar laporan "Aji Saka".
Kemudian "Aji Saka" menagih janji kepada Sang Patih. Ikat kepalanya dilepas dibentangkan di atas tanah. Ikat kepala semakin melebar, meluas hingga meliputi desa dan kota, hutan, gunung, lembah ngarai. Akhirnya selureuh kerajaan Medang menjadi milik "Aji Saka". Sang Patih tidak dapat berbuat apa-apa. Rakyat Medang merasa lega karena raja yang gemar makan daging manusia telah tewas. Rakyat berterima kasih kepada "Aji Saka" yang telah membebaskan rakyat dari kebengisan rajanya. Akhirnya, "Aji SAka" dinobatkan sebagai raja di Medang. 

Penduduk yang mengungsi ke daerah lain kembali ke rumah mereka masing-masing. Mereka mulai mengolah sawah menanami ladang. Sungguh  menjadi tempat yang ramai. Di bawah pemerintahan Raja "Aji Saka", negara Medang mengalami masa kejayaan. Rakyat hidup dengan tenteram. Teringatlah "Aji Saka" akan kerisnya. Dipanggilnya Dora, katanya: 'Hai, Dora, pergilah kau ke pegunungan Kendeng! Ambillah kerisku! Katakan bahwa aku sedang sibuk!' Jawab Dora: 'Ya, tuanku! Hamba siap, berangkat!'

Pergilah Dora ke pegunungan Kendeng!. Sesampai di tempat, Dora memberi salam kepada Sembada. Dan keduanya asyik berdialog melepaskan rindu. Kemudian Dora menyampaikan maksud kedatangannya, diutus "Aji Saka" untuk mengambil keris milik tuannya itu. Mendengar maksud kedatangan Dora, dengan tegas Sembada menolaknya. Kedua abdi tersebut saling mempertahankan perintah "Aji Saka" keduanya tidak mau mengalah. Akhirnya terjadilah baku hantam di antara keduanya. Kedua abdi tersebut, Dora dan Sembada adu kekuatan, adu kepandaian, dan adu kesaktian. Memang kedua abdi tersebut sama-sama sakti. Kedua-duanya sama-sama unggul. Adu kesaktian kedua abdi itu mengakibatkan keduanya tewas. Mereka masing-masing mempertahankan perintah tuannya. Lebih baik mati dar pada mengkhianati perintah tuannya.

Utusan "Aji Saka" lama tak datang. "Aji Saka" khawatir dan cemas menanti kedatangan abdi yang setia, Dora dan Sembada tak kunjung datang. Akhirnya "Aji Saka" meninggalkan istana pergi ke pegunungan Kendeng untuk menyusul Dora dan Sembada. Setelah sampai di pegunungan Kendeng, terkejutlah "Aji Saka" melihat mayat Dora dan Sembada tergeletak di tanah.

Ingatlah "Aji Saka" apa yang pernah dipesankan kepada Sembada. Dora dan Sembada, kedua abdi kesayangannya tewas demi tugas yang diembannya. Kematian mereka berdua sebagai bukti kesetiaan dan kepatuhan terhadap tuannya. Dengan kematian dua abdi setia, "Aji Saka" menciptakan "huruf-huruf " untuk mengabadikan kesetiaan dua abdi dalam melaksanakan tugas. "Huruf Jawa" tersebut dikenal dengan Carakan.

Susunan "huruf Jawa" tersebut sebagai berikut:
- Hana caraka = ada utusan.
- Data sawala = pada bertengkar.
- Padha jayanya = sama saktinya.
- Maga bathanga = mati bersama.
























Itulah tadi kisah terciptanya "huruf Jawa" yang diciptakan oleh "Aji Saka".

Senin, 07 Februari 2011

"PELAYANAN PENCATATAN DAN PENERBITAN KUTIPAN AKTA PENGAKUAN ANAK"

"Pengakuan anak" adalah "pengakuan" secara hukum dari seorang bapak terhadap "anak"nya yang lahir di luar perkawinan yang sah atas perswetujuan ibu kandung "anak" tersebut."


Instansi yang bertanggung-jawab dalam pengurusan surat pencatatan dan penerbitan kutipan  "akta pengakuan anak" adalah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, sebagai berikut:
1. Petugas registrasi bertanggung-jawab pada pengisian formulir, proses verifikasi dan validasi data. Petugas juga bertanggung-jawab merekam data "pengakuan anak" dalam database kependudukan.
2. Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil bertanggung-jawab pada pemeriksaan akhir, perswetujuan formulir untuk kemudian membuat catatan pinggir pada register "akta" Kelahiran dan Kutipan "Akta" Kelahiran. Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil bertanggung-jawab menerbitkan Kutipan "Pengakuan Anak".


Persyaratan yang diperlukan untuk memproses "akta pengakuan anak" antara lain:
1. Surat Pengantar dari RT/RW dan diketahui Kepala Desa/Lurah.
2. Surat "Pengakuan Anak" dari ayah biologis yang disetujui oleh ibu kandung "anak" tersebut.
3. Kutipan "Akta" Kelahiran.
4. Foto copy KK dan KTP ayah biologis dan ibu kandung.

Prosedur pengurusan pencatatan dan penerbitan "akta pengakuan anak" di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, sebagai berikut:
1. Petugas memberikan formulir kepada pemohon untuk diisi disertai dengan persyaratan.
2. Petugas menerima dan meneliti permohonan dan persyaratan.
3. Kepala Dinas mencatat pada Register "Pengakuan Anak" kemudian membuat catatan pinggir pada register "akta" kelahiran dan Kutipan "Akta" Kelahiran.
4. Petugas merekam data "pengakuan anak" dalam database kependudukan.


Pengurusan pencatatan dan penerbitan kutipan "akta pengakuan anak" dilaksanakan selama 2 (dua) hari kerja di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.

"PELAYANAN PENCATATAN DAN PENERBITAN KUTIPAN AKTA PENGESAHAN ANAK"

"Pengesahan anak" adalah "pengesahan" status hukum seorang "anak" yang lahir di luar ikatan perkawinan yang "sah", menjadi "anak" "sah" sepasang suami istri".


Instansi yang bertanggung-jawab melaksanakan pencatatqan dan penerbitan "Akta Pengesahan Anak" adalah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, yakni:
1. Petugas registrasi bertanggung-jawaqb pada pengisian formulir, proses verifikasi dan validasi data.
2. Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil bertanggung-jawab pada pemeriksaan akhir, persetujuan formulir untuk kemudian mencatat pada Register "akta" Kelahiran dan Kutipan "akta" Kelahiran.


Persyaratan yang diperlukan untuk memproses "akta pengesahan anak" antara lain:
1. Surat Pengantar dari RT/RW dan diketahui Kepala Desa/Lurah.
2. Kutipan "Akta" Kelahiran.
3. Foto copy Kutipan "Akta" Perkawinan.
4. Foto copy KK dan KTP pemohon.

Prosedur pengurusan "Akta Pengesahan Anak" adalah:
Di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil:     
a. Petugas memberikan formulir kepada pemohon untuk diisi disertai dengan persyaratan.
b. Petugas menerima dan meneliti permohonan dan persyaratan.
c. Kepala Dinas mencatat pada Register "akta" kelahiran dan Kutipan "Akta" Kelahiran.
d. Melaksanakan sidang perkawinan untuk mensahkan "akta".


MusicPlaylistView Profile