Minggu, 10 Januari 2010

"PERANAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA (PMD)"

"Fenomena "LSM" selama ini adalah bahwa "LSM" belum dapat menjadi katalisator dalam tingkat macro concept."




Lembaga Swadaya Masyarakat ("LSM") stsu Non Guvermental Organization (NGO) menurut H. Sumitro Maskun, merupakan usaha mandiri dari kalangan organisasi swasta yang berciri altruistis, edukatif, agama dan perlindungan alam lingkungan untuk kesejahteraan umat manusia dalam masa kini dan masa datang. Usaha "LSM" adalah usaha-usaha kemanusiaan (Humanisme) yang mengutamakan masyarakat kaum "kecil" sebagai sasaran pemberian bantuan dalam bidang keterampilan dan cara hidup dan penghidupan lebih baik.



Melalui "LSM", dapat disampaikan dan diperkenalkan kepada masyarakat berbagai macam teknologi tepat guna yang dibutuhkan oleh masyarakat dan dilakukannya usaha-usaha peningkatan pendapatan penduduk, kesempatan kerja di desa, terutama bagi kaum muda dan wanita.


"LSM" dapat memegang peranan penting dalam proses pembangunan masyarakat desa (PMD), melalui usaha-usaha menggalakkan proses perencanaan yang dilakukan oleh masyarakat. Perencanaan masyarakat ini sebagai micro level planning sangat membutuhkan usaha-usaha yang inovatif, kreatif dan pengalaman-pengalaman yang bermanfaat, yang umumnya banyak dimiliki oleh "LSM".


Peran "LSM" dalam membangkitkan masyarakat desa adalah menghilangkan penyebab-penyebab pokok dari kemiskinan dan kebutaan-kebutaan , menghilangkan ketimpangan-ketimpangan struktural yang berakar di masyarakat dan menghilangkan nilai-nilai budaya yang menghambat perkembangan masyarakat.


Peran "LSM" selanjutnya adalah memanfaatkan potensi sumber daya untuk pembangunan, mempersiapkan masyarakat akan hidup di masa depan secara lebih baik, mengembangkan keterampilan-keterampilan khusus yang telah timbul di beberapa kalangan masyarakat tertentu, menciptakan iklim agar masyarakat terdorong untuk giat berusaha dan lain-lain.



Peran "LSM" sebagai katalisator pembangunan biasanya dalam bentuk mempengaruhi masyarakat dalam jangka waktu yang cukup pendek guna untuk menciptakan suasana dapat terbentuknya organisasi di kalangan masyarakat atau guna menciptakan struktur dan proses kegiatan masyarakat yang mantap dalam usaha memenuhi kebutuhan pokok mereka. Sebagai katalisator, "LSM" merupakan "sgent of change" yang dapat masuk atau menerobos sampai ke lingkungan masyarakat yang paling bawah.



Fenomena "LSM" selama ini adalah bahwa "LSM" belum dapat menjadi katalisator dalam tingkat macro concept. Tetapi melalui kesempatan-kesempatan mengadakan penelitian dan pengamatan-pengamatan tentang kebijaksanaan pembangunan, "LSM" sebenarnya dapat saja menterjemahkan kebijaksanaan yang ada menjadi pola peningkatan kehidupan masyarakat yang bersangkutan.



Masalah yang dihadapi oleh "LSM" adalah bagaimana "LSM" dapat mempunyai akses dengan pemerintah. Hal ini kemungkinan dapat dipecahkan dengan cara pemerintah melakukan pertemuan-pertemuan dengan "LSM" dan pertemuan-pertemuan ini lama kelamaan dapat melembaga dalam bentuk forum.


Peran "LSM" dalam membantu pemerintah adalah dapatnya "LSM" melakukan berbagai macam kegiatan monitoring dengan kedudukannya sebagai konsultan. Dalam hal ini diharapkan "LSM" dapat menganalisa situasi secara tepat dan menjamin dengan data yang akurat yang didapat secara profesional. Haasil-hasil usaha ini tidak lain bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Dan perlu diakui pula, "LSM" menurut S. Indro Tjahyono, mewakili satu pendekatan sosiologi yang Community based dan people based. Dalam hal ini, "LSM" dalam membangun masyarakat desa, memiliki flesibilitas yang tinggi dalam kegiatannya dan lebih mudah dan banyak berkesempatan untuk lebih mengenal kenyataan-kenyataan hidup di pedesaan, adat istiadat yang mempengaruhi sikap hidup masyarakat desa dan lebih mendalami situasi dan kondisi setempat.

Sabtu, 09 Januari 2010

"STRUKTUR SOSIAL PADA ORGANISASI SOSIAL MASYARAKAT"

"Pada hakekatnya "struktur sosial" berpengaruh terhadap tingkah laku manusia dan perubahan tingkah laku dalam menjawab rangsangan dari luar."



Pembahasan "struktur sosial" sangat erat hubungannya dengan sistem "sosial". Kalau sistem "sosial " lebih menitik beratkan pada sejumlah orang/kelompok dan kegiatannya yang mempunyai hubungan timbal-balik relatif tetap, sedang "struktur sosial" membahas pola hak dan kewajiban para pelaku dalam suatu sistem interaksi yang terwujud dari rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam suatu jangka waktu tertentu. Gunawan Wiradi menyatakan, bahwa "struktur sosial" terdiri atas seperangkat unsur yang mempunyai ciri-ciri tertentu dan seperangkat hubungan diantara unsur-unsur tersebut.



Hak dan status para pelaku dihubungkan dengan status dan peranan pelaku masing-masing, status dan peranan itu bersumber pada sistem penggolongan yang ada dalam kebudayaan "masyarakat" yang bersangkutan. Status dan peranan berlaku menurut masing-masing kesatuan sosial dan situasi interaksi sosial.



Sederhana atau kompleksnya "struktur sosial" suatu "masyarakat" tergantung dari keadaan "masyarakat". "Masyarakat" primitif atau terasing umumnya mempunyai "struktur sosial" yang sederhana dan terutama ditentukan oleh corak sistem kekerabatannya. Sedangkan pada "masyarakat" yang sudah maju, "struktur sosial" umumnya sangat kompleks, dan tidak hanya bersumber pada sistem kekerabatan, tetapi juga ditentukan oleh sistem ekonomi, sistem pelapisan sosial dan sebagainya yang merupakan kombinasi. (Sumber: Jabal Tarik Ibrahim).


PENGARUH "STRUTUR SOSIAL" TERHADAP DIFUSI INOVASI.

Menurut Rogers dan Schoemaker, anggota sistem "sosial" mempunyai perbedaan sedemikian rupa sehingga tercipta suatu "struktur sosial" di dalamnya. "Struktur sosial" disusun dari status dan posisi anggota dalam suatu sistem. Pada hakekatnya dalam suatu sistem "sosial" selalu terdapat "struktur sosial".


Pada hakekatnya "struktur sosial" berpengaruh terhadap tingkah laku manusia dan perubahan tingkah laku dalam menjawab rangsangan dari luar. "Struktur sosial" dapat merintangi atau memudahkan proses difusi, dan sebaliknya difusi dapat mengubah "struktur sosial" suatu "masyarakat".


"Struktur sosial" merintangi atau memudahkan cepatnya penyebaran ide baru dan pengadopsian inovasi melalui apa yang disebut efek sistem. Norma-norma "sosial" dan hirarki yang ada dalam suatu sistem "sosial" mempengaruhi perilaku anggota-anggotanya. Inovatif tidaknya seseorang dapat dipengaruhi oleh dua variabel, yaitu :

a. Variabel kepribadian seseorang, yakni komunikasi "sosial"nya, sikap-sikapnya, pendidikannya dan lain-lain.


b. Ciri-ciri sistem "sosial" yang melengkapinya, modern atau tradisional.


Dalam beberapa hal kita dapat menemui seseorang yang hidup di lingkungan "masyarakat" yang kolot, tetapi tetap menunjukkan kemoderatannya dalam kehidupan. Kasus seperti ini menunjukkan bahwa dia memang mempunyai hubungan sosial yang luas, punya sikap terbuka terhadap perubahan, atau mungkin dia terdidik walaupun sistem sosial di sekitarnya kolot. Kejadian ini menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap kemoderatannya adalah variabel kepribadian.



Sebaliknya seseorang berkepribadian kolot bila bergaul di lingkup sistem yang mempunyai ciri-ciri modern lambat laun akan bersifat moderat juga. Walaupun perilaku individu tadi tidak berubah seluruhnya. Bahkan bisa juga terjadi, di dalam suatu sistem "sosial" modern terdapat anggota-anggota "masyarakat" yang menolak pembaharuan-pembaharuan. (Sumber: Jabal Tarik Ibrahim).



"STRUTUR SOSIAL"" MASYARAKAT" INDONESIA.

Menurut Nasikun, "struktur sosial" "masyarakat" Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang unit, yaitu :

a. Secara horizontal, "struktur sosial" "masyarakat" Indonesia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan "sosial" berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan.


b. Secara vertikal, "struktur sosial" "masyarakat" Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan yang cukup tajam. (Soleman B. Taneko, SH.).



Perbedaan suku bangsa, agama, adat dan kedaerahan seringkali disebut sebagai ciri "masyarakat" Indonesia yang bersifat majemuk. "Masyarakat " majemuk (plural societies) menurut Furnivall adalah suatu "masyarakat" yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kestuan politik. Sebagai "masyarakat" majemuk, "masyarakat" Indonesia disebut sebagai suatu type "masyarakat" daerah tropis dimana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras. (Sumber: Nasikun, Drs.).


Bila disimpulkan dari konsepsi Furnivall, suatu "masyarakat" majemuk adalah suatu "masyarakat" dalam mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan "sosial" yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para anggota "masyarakat" kurang memiliki loyalitas terhadap "masyarakat" sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.






Sedangkan menurut Clifford Geertz, "masyarakat" majemuk adalah merupakan "masyarakat" yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri yang masing-masing sub sistem terikat keadaan oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial.


Pierre L. Van dan Berghe, menyebutkan beberapa karakteristik sebagai sifat-sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk, antara lain memiliki "struktur sosial" yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer.


"STRUKTUR SOSIAL" AGRARIS DI PEDESAAN JAWA.

"Masyarakat" pedesaan yang ditandai dengan kegiatan produksi pertanian, "struktur sosial"nya terbentuk berdasarkan pada "struktur sosial" agraris tertentu. "Struktur sosial" desa sebenarnya sangat kondisional, maka dari itu diperlukan kajian-kajian secara mikro.



Gunawan Wiradi, telah menarik beberapa ciri-ciri umum "struktur sosial" agraris pedesaan Jawa yang disimpulkan dari berbagai laporan penelitian, antara lain:

a. Pertanian di Jawa terdiri dari usaha tani yang luasnya sempit.


b. Pemilikan tanah cenderung sempit-sempit tetapi relatif merata bila dibanding luar Jawa maupun negara-negara berkembang lainnya.


c. Status/bentuk pemilikan tanah sangat beragam. Ada beberapa status pemilikan tanah, apakah itu berdasarkan hukum adat, kolonial maupun nasional.


d. Sebagian besar usaha tani terdiri dari usaha tani yang digarap oleh pemilik tanahnya sendiri.


e. Proporsi penggunaan tenaga kerja luar keluarga untuk kegiatan pra panen sangat besar (untuk kegiatan pemanenan lebih besar lagi).


f. Hampir semua tenaga kerja luar keluarga terdiri dari tenaga upahan/bayaran.


g. Terdapat jutaan keluarga tunakisma (orang yang tidak memiliki tanah).


h. Untuk semua lapisan "masyarakat " pedesaan, pendapatan yang berasal dari kegiatan non pertanian merupakan tambahan pendapatan yang sangat penting.


i. Hampir setiap rumah tangga di pedesaan Jawa hidup atas dasar yang disebut extrene occuptional multiplicity dengan suatu pembagian kerja yang sangat lentur diantara anggota-anggota rumah tangga. Pendapatan keluarga didapat dari berbagai sumber kehidupan pada saat-saat tertentu.


j. Terdapat kelembagaan hubungan kerja tradisional yang beragam dan rumit. (Sumber: Jabal Tarik Ibrahim).

"PENGERTIAN SISTEM SOSIAL (MENURUT SOSIOLOGI)"

"Sistem sosial" merupakan ciptaan dari manusia, dalam hal ini "sistem sosial" terjadi karena manusia adalah makhluk sosial. Ada beberapa hal yang membuat manusia menciptakan "sistem sosial", antara lain karena : ...... "




Istilah "sistem" berasal dari bahasa Yunani "Systema" yang mempunyai pengertian :

a. Suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian.


b. Hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen secara teratur.


Jadi, dengan kata lain istilah "systema" itu mengandung arti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu keseluruhan. (Sumber: Tatang M. Amirin, Drs.).


Sedangkan pengertian "sistem sosial", menurut Jabal Tarik Ibrahim dalam bukunya Sosiologi Pedesaan, adalah sejumlah kegiatan atau sejumlah orang yang mempunyai hubungan timbal balik relatif konstan. Hubungan sejumlah orang dan kegiatannya itu berlangsung terus menerus. Dari tiga hal di atas terdapat tiga hal pokok, yaitu :



a. Dalam setiap "sistem sosial" ada sejumlah orang dan kegiatannya.



b. Dalam sustu "sistem sosial", orang-orang dan atau kegiatan-kegiatan itu berhubungan secara timbal-balik.


c. Hubungan yang bersifat timbal-balik dalam suatu "sistem sosial" bersifat konstan.




Dari uraian tadi menunjukkan bahwa "sistem sosial" merupakan kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian (elemen atau komponen), yaitu :

a. orang dan atau kelompok beserta kegiatannya.
b. Hubungan sosial, termasuk di dalamnya norma-norma, dan nilai-nilai yang mengatur hubungan antar orang atau kelompok tersebut.


"Sistem sosial" merupakan ciptaan dari manusia, dalam hal ini "sistem sosial" terjadi karena manusia adalah makhluk sosial. Ada beberapa hal yang membuat manusia menciptakan "sistem sosial", antara lain karena :

a. Manusia mempunyai kebutuhan dasar biologi tertentu seperti pangan, papan, sandang dan seks.


b. Untuk memuaskan kebutuhan ini, manusia tergantung pada organisasi-organisasi kemasyarakatan.


c. Kenyataan di atas menciptakan kebutuhan-kebutuhan lain, yaitu kebutuhan sistem pada diri individu.


d. Pada akhirnya manusia berusaha untuk memaksimumkan kepuasan dari kebutuhan dirinya.


"Sistem sosial" mempengaruhi perilaku manusia, karena di dalam suatu "sistem sosial" tercakup pula nilai-nilai dan norma-norma yang merupakan aturan perilaku anggota-anggota masyarakat. Dalam setiap "sistem sosial" pada tingkat-tingkat tertentu selalu mempertahankan batas-batas yang memisahkan dan membedakan dari lingkungannya ("sistem sosial" lainnya). Selain itu, di dalam "sistem sosial"



ditemukan juga mekanisme-mekanisme yang dipergunakan atau berfungsi mempertahankan "sistem sosial" tersebut. (Sumber: Jabal tarik Ibrahim).



MASYARAKAT DESA SEBAGAI "SISTEM SOSIAL"

Menurut Bouman, desa adalah salah satu bentuk dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir semuanya saling mengenal; kebanyakan yang termasuk di dalamnya hidup dari pertanian, perikanan dan sebagainya, usaha-usaha yang dapat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Di desa, terdapat ikatan-ikatan keluarga yang rapat, taat pada tradisi dan kaidah-kaidah "sosial".


Masyarakat desa merupakan "sistem sosial" yang komprehensif, artinya di dalam masyarakat desa terdapat semua bentuk pengorganisasian atau lembaga-lembaga yang diperlukan untuk kelangsungan hidup atau untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia.


Di era globalisasi seperti sekarang ini, hanya ada beberapa masyarakat desa yang masih mempertahankan upaya pemenuhan kebutuhan hidup dari dalam masyarakat desa sendiri.


Dalam masyarakat desa, jumlah kelompok atau kesatuan-kesatuan "sosial" tidak hanya satu. Oleh karena itu seorang warga masyarakat dapat menjadi anggota berbagai kelompok atau kesatuan "sosial" yang ada. Misalnya atas dasar kekerabatan, tempat tinggal, agama, politik dan lain-lain. (Sumber: Jabal Tarik Ibrahim).



"UNSUR UNSUR SISTEM SOSIAL"

"Para agen pembaharu yang modernis maupun ilmuwan yang menganut teori modernisasi dalam pengembangan masyarakat membagi "sistem sosial" menjadi dua kutub besar, yaitu "sistem sosial" tradisional dan "sistem sosial" modern."



Suatu "Sistem Sosial" yang menjadi pusat perhatian berbagai ilmu "sosial", pada dasarnya merupakan wadah dari proses-proses interaksi "sosial". Secara struktural, suatu "sistem sosial" akan mempunyai unsur-unsur pokok dan unsur-unsur pokok ini merupakan bagian yang menyatu di dalam "sistem sosial".


Menurut Alvin L. Bertrand, unsur-unsur pokok "sistem sosial" adalah sebagai berikut :

1. Keyakinan (pengetahuan).


2. Perasaan (sentimen).


3. Tujuan, sasaran atau cita-cita.


4. Norma.


5. Kedudukan - peranan.


6. Tingkatan atau pangkat (rank).


7. Kekuasaan atau pengaruh (power).


8. Sanksi.


9. Sarana atau fasilitas.


10.Tekanan ketegangan (stress strain).


1. KEPERCAYAAN/KEYAKINAN (PENGETAHUAN).

Setiap "sistem sosial" mempunyai unsur-unsur kepercayaan/keyakinan-keyakinan tertentu yang dipeluk dan ditaati oleh para warganya. Mungkin juga terdapat aneka ragam keyakinan umum yang dipeluknya di dalam suatu "sistem sosial". Akan tetapi hal itu tidaklah begitu penting. Dalam kenyataannya kepercayaan/keyakinan itu tidak mesti benar. Yang penting, kepercayaan/keyakinan tersebut dianggap benar atau tepat oleh warga yang hidup di dalam "sistem sosial" yang bersangkutan.


Kepercayaan adalah faktor yang mendasar yang mempengaruhi kesatuan "sistem sosial". Kepercayaan merupakan pemahaman terhadap semua aspek alam semesta yang dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak. (Sumber: Soleman B. Taneko, SH).


Ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan kepercayaan, antara lain :

a. Penampilan atau penampakan atau keatraktifan.


b. Kompetensi atau kewenangan.


c. Penguasaan terhadap materi.


d. Popularitas.


e. Kepribadian. (Sumber: Kusnadi, Dr. Ir. Ms.)



2. PERASAAN (SENTIMEN).

Faktor dasar yang lain dari "sistem sosial" adalah perasaan. Perasaan adalah suatu keadaan kejiwaan manusia yang menyangkut keadaan sekelilingnya, baik yang bersifat alamiah maupun "sosial". (Sumber: Soleman B. Taneko, SH.).


Perasaan sangat membantu menjelaskan pola-pola perilaku yang tidak bisa dijelaskan dengan cara lain. Dalam soal perasaan ini misalnya, dapat menjelaskan tentang sebab seorang ayah akan menghadapi bahaya apapun untuk menyelamatkan anaknya.


Proses elemental yang secara langsung membentuk perasaan adalah komunikasi perasaan. Hasil komunikasi itu lalu membangkitkan perasaan, yang bila sampai pada tingkatan tertentu harus diakui.


3. TUJUAN ATAU SASARAN.

Tujuan atau sasaran dari suatu "sistem sosial", paling jelas dapat dilihat dari fungsi sistem-sistem itu sendiri. Misalnya, keturunan merupakan fungsi dari keluarga, pendidikan merupakan fungsi dari lembaga persekolahan dan sebagainya. Tujuan pada dasarnya juga merupakan cita-cita yang harus dicapai melalui proses perubahan atau dengan jalan mempertahankan sesuatu. (Sumber: Soleman B. Taneko, SH).


Tujuan mempunyai beberapa fungsi, antara lain:

a. Sebagai pedoman. Tujuan berfungsi sebagai pedoman atau arah terhadap apa yang ingin dicapai oleh suatu "sistem sosial". Sebagai pedoman, suatu tujuan harus jelas, realistis, terukur dan memperhatikan dimensi waktu.


b. Sebagai motivasi. Tujuan organisasi harus dapat memotivasi seluruh anggota yang terlibat dalam suatu "sistem sosial" untuk ikut berperan serta atau berpartisipasi dalam seluruh kegiatan organisasi. Tujuan harus mencerminkan aspirasi anggota, sehingga organisasi "sosial" tersebut mendapat dukungan dari seluruh anggota.


c. Sebagai alat evaluasi. Fungsi ketiga dari tujuan adalah untuk mengevaluasi suatu organisasi "sosial". Kalau akan mengevaluasi suatu "sistem sosial" harus dikaitkan dulu dengan tujuannya. Evaluasi dilakukan untuk melihat keberhasilan suatu "sistem sosial". Juga untuk mengantisipasi, apabila ada suatu hambatan tidak akan terlalu berlarut-larut atau akan dapat segera diatasi. Evaluasi dilakukan sebelum, selama dan setelah kegiatan berlangsung, dengan kata lain evaluasi dilakukan sejak dimulai suatu kegiatan sampai kapanpun. (Sumber: Kusnadi, Dr. Ir. MS.).



4. NORMA.

Norma-norma "sosial" dapat dikatakan merupakan patokan tingkah laku yang diwajibkan atau dibenarkan di dalam situasi-situasi tertentu. Norma-norma menggambarkan tata tertib atau aturan-aturan permainan, dengan kata lain, norma memberikan petunjuk standard untuk bertingkah laku dan di dalam menilai tingkah laku. Ketertiban atau keteraturan merupakan unsur-unsur universal di dalam semua kebudayaan. Norma atau kaidah merupakan pedoman untuk bersikap atau berperilaku secara pantas di dalam suatu "sistem sosial". Wujudnya termasuk :

a. Falkways, atau aturan di dalam melakukan usaha yang dibenarkan oleh umum, akan tetapi sebetulnya tidak memiliki status paksaan atau kekerasan.


b. Mores, atau segala tingkah laku yang menjadi keharusan, dimana setiap orang wajib melakukan, dan


c. Hukum, di dalamnya menjelaskan dan mewajibkan ditaatinya proses serta mengekang tingkah laku yang berada di luar ruang lingkup mores tersebut.


5. KEDUDUKAN-PERANAN.

Status dapat didefinisikan sebagai kedudukan di dalam "sistem sosial" yang tidak tergantung pada para pelaku tersebut, sedang peranan dapat dikatakan sebagai suatu bagian dari status yang terdiri dari sekumpulan norma-norma "sosial".


Semua "sistem sosial", di dalamnya mesti terdapat berbagai macam kedudukan atau status, seperti misalnya suami-istri, anak laki-laki atau perempuan. Kedudukan atau status seseorang menentukan sifat dan tingkatan kewajiban serta tanggung-jawabnya di dalam masyarakat.


Seorang individu dapat menduduki status tertentu melalui dua macam yang berlainan :

a. Status yang dapat diperoleh secara otomatis (ascribet statutes), dan


b. Status yang didapatkan melalui hasil usaha (achieved statutes). Itu diperoleh setelah seseorang berusaha atau minimal setelah ia menjatuhkan pilihannya terhadap sesuatu.


Di dalam masyarakat :

a. Sudah ditentukan peranan-peranan "sosial" yang mesti dimainkan oleh seseorang yang menduduki suatu status, dan


b. Dapat diramalkan tingkah laku individu-individu di dalam mengikuti pola yang dibenarkan sesuai dengan peranannya masing-masing sewaktu mereka berinteraksi di masyarakatnya.


Karena itu, yang disebut penampilan peranan status (status-role performance) adalah proses penunjukkan atau penampilan dari posisi status dan peranan sebagai unsur-unsur struktural di dalam "sistem sosial". Peranan-peranan "sosial" saling terpadu sedemikian rupa, sehingga saling tunjang menunjang secara timbal-balik hal menyangkut tugas hak dan kewajiban.




6. KEKUASAAN (POWER).

Kekuasaan dalam suatu "sistem sosial" seringkali dikelompokkan menjadi dua jenis utama, yaitu otoritatif dan non-otoritatif. Kekuasaan otoritatif selalu bersandar pada posisi status, sedangkan non-otoritatif seperti pemaksaan dan kemampuan mempengaruhi orang lain tidaklah implisit dikarenakan posisi-posisi status.


7. TINGKATAN ATAU PANGKAT.

Tingkat atau pangkat sebagai unsur dari "sistem sosial" dapat dipandang sebagai kepangkatan sosial (social standing). Pangkat tersebut tergantung pada posisi-posisi status dan hubungan-hubungan peranan. Ada kemungkinan ditentukan orang-orang yang mempunyai pangkat bermiripan. Akan tetapi tidak ada satu "sistem sosial" manapun yang sama orang-orangnya berpangkat sama untuk selama-lamanya.



8. SANKSI (SANCTION).


Istilah sanksi digunakan oleh sosiolog untuk menyatakan sistem ganjaran atau tindakan (rewards) dan hukuman (punishment) yang berlaku pada suatu "sistem sosial". Ganjaran dan hukuman tersebut ditetapkan oleh masyarakat untuk menjaga tingkah laku mereka supaya sesuai dengan norma-norma yang berlaku.



9. SARANA (FACILITY).

Secara luas, sarana itu dapat dikatakan semua cara atau jalan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan sistem itu sendiri.

Bukan sifat dari sarana itu yang penting di dalam "sistem sosial", tetapi para sosiolog lebih memusatkan perhatiannya pada masalah penggunaan dari sarana-sarana itu sendiri. Penggunaan sarana tersebut dipandang sebagai suatu proses yang erat hubungannya dengan "sistem-sistem sosial".


10. TEKANAN - TEGANGAN.

Dalam "sistem sosial" akan terdapat unsur-unsur tekanan-ketegangan dan hal itu mengakibatkan perpecahan (disorganization). Dengan kata lain, tidak ada satupun "sistem sosial" yang secara seratus persen teratur atau terorganisasikan dengan sempurna.



Soerjono Soekanto memberikan contoh secara konkrit mengenai unsur-unsur dari "sistem sosial" tersebut dengan mengambil keluarga batih sebagai salah satu "sistem sosial" :

1. Adanya suatu keyakinan/kepercayaan, bahwa terbentuknya keluarga batih merupakan kodrat alamiah.


2. Adanya perasaan dan pikiran tertentu dari anggota keluarga batih terhadap anggota lainnya yang mungkin terwujud dalam rasa saling menghargai, bersaing dan seterusnya.


3. Tujuan adanya keluarga batih adalah antara lain agar manusia mengalami sosialisasi dan mendapatkan jaminan akan ketenteraman hidupnya.


4. Setiap keluarga batih mempunyai norma-norma yang mengatur hubungan antara suami dengan istri, anak-anak dengan ayah atau ibunya.


5. Setiap anggota keluarga batih mempunyai kedudukan dan peranan masing-masing baik sarana internal maupun eksternal.


6. Di dalam setiap keluarga batih lazimnya terdapat proses pengawasan tertentu, yang semula datang dari orang tua yang dipengaruhi oleh pengawasan yang ada dalam masyarakat.


7. Sanksi-sanksi tertentu juga dikembangkan di dalam keluarga batih, yang diterapkan kepada mereka yang berbuat benar atau salah.


8. Sarana-sarana tertentu juga ada pada setiap keluarga batih, umpamanya sarana untuk mengadakan pengawasan, sosialisasi dan seterusnya.


9. Suatu keluarga batih akan memelihara kelestarian hidup maupun kelangsungannya di dalam proses yang serasi.


10. Secara sadar dan terencana (walaupun kadang-kadang mungkin tidak demikian) keluarga-keluarga batih berusaha untuk mencapai tingkat kualitas hidup tertentu yang diserasikannya dengan kualitas lingkungan alam maupun lingkungan sosialnya. (Sumber: Soleman B. Taneko, SH.).


"SISTEM SOSIAL" TRADISIONAL DAN "SISTEM SOSIAL" MODERN.

Para agen pembaharu yang modernis maupun ilmuwan yang menganut teori modernisasi dalam pengembangan masyarakat membagi "sistem sosial" menjadi dua kutub besar, yaitu "sistem sosial" tradisional dan "sistem sosial" modern.


Menurut Rogers dan Schoemaker, ciri-ciri "sistem sosial" tradisional adalah :

a. Kurang berorientasi pada perubahan.


b. Kurang maju dalam teknologi atau masih sederhana.


c. Relatif rendah kemelek-hurupannya (tingkat buta hurup tinggi).


d. Sedikit sekali komunikasi yang dilakukan oleh anggota "sistem' dengan pihak lain.


e. Kurang mampu menempatkan diri atau melihat dirinya dalam peranan orang lain, terutama peranan orang di luar "sistem".


Sebaliknya "sistem sosial" modern menurut Rogers dan Schoemaker mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

a. Pada umumnya mempunyai sikap positif terhadap perubahan.


b. Teknologinya sudah maju dengan "sistem " pembagian kerja yang kompleks.


c. Pendidikan dan ilmu pengetahuan dinilai tinggi.


d. Hubungan "sosial" lebih bersifat rasional dan bisnis dari pada bersifat emosional.


e. Pandangannya kosmopolit, karena anggota "sistem" sering berhubungan dengan orang luar, mudah memasukkan ide baru ke dalam "sistem sosial".


f. Anggota "sistem sosial" mampu berempati, dapat menghayati peranan orang lain yang betul-betul berbeda dengan dirinya sendiri.


Secara garis besar "sistem sosial" modern dicirikan oleh kemampuan "sistem sosial" itu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan. Oleh karena itu kita sering menyebut orang tua yang sulit berubah dengan sebutan tradisional atau kolot, sebenarnya yang dimakseud adalah kelambanannya untuk berubah. Orang-orang yang fleksible terhadap perubahan-perubahan di sekitarnya disebut moderat.


MusicPlaylistView Profile