“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan ber"kurban"lah”. (QS Al Kautsar: 1-2).
HUKUM BER"KURBAN". 
Bagaimana sih sebenarnya ber"kurban" itu. Wajib apa tidak sih hukumnya? Wajib sih tidak, tapi hukumnya sunnah muakkadah. Artinya, nyaris wajib. 
Kenapa demikian? Karena selama sembilan "tahun" terakhir Rasulullah SAW 
hidup, artinya sejak awal disyariatkannya "kurban", Rasulullah SAW selalu 
ber"kurban" "setiap tahun". Apa kurang miskinnya Rasulullah SAW. Semua orang
 tahu dan kita tahu betapa sederhananya Rasulullah SAW. Tetapi dengan 
segala kesederhanaannya, beliau relatif memaksakan diri untuk selalu 
ber"kurban". Malah diriwayatkaan beliau ber"kurban" dengan dua domba besar 
yang disembelih dengan tangannya sendiri. Ini adalah hukum dari 
menyembelih hewan "kurban". Jadi, hukumnya adalah sunnah muakkadah.
Apakah ber"kurban" harus dilakukan "setiap tahun"? Lagian kan saya 
sudah pernah ber"kurban" pada "tahun" yang lalu. Apa harus ber"kurban" 
lagi nih "tahun" ini?
Selama ini ada pemahaman masyarakat, bahwa yang namanya ber"kurban" itu hanya sekali seumur hidup. Jangan disamakan "kurban" itu seperti haji yang dilaksanakan sekali seumur hidup. Yang namanya sunnah "kurban" itu "setiap tahun". Mengapa demikian. Karena waktu menyembelih itu saat Idul Adha. Idul adha itu bulan Dzulhijjah. Dan bulan Dzulhijjah itu pasti ada di "setiap tahun". Makanya bapak "kurban" juga "setiap tahun".
Selama ini ada pemahaman masyarakat, bahwa yang namanya ber"kurban" itu hanya sekali seumur hidup. Jangan disamakan "kurban" itu seperti haji yang dilaksanakan sekali seumur hidup. Yang namanya sunnah "kurban" itu "setiap tahun". Mengapa demikian. Karena waktu menyembelih itu saat Idul Adha. Idul adha itu bulan Dzulhijjah. Dan bulan Dzulhijjah itu pasti ada di "setiap tahun". Makanya bapak "kurban" juga "setiap tahun".
SIAPA SAJA YANG DISUNNAHKAN UNTUK BER"KURBAN". 
 Siapa saja  yang harus ber"kurban" itu. Apa semua orang, semua umat Islam? Ya, sebetulnya di kampung tempat tinggal kita ini harus banyak
 yang ber"kurban", karena untuk ber"kurban" itu tidak mesti orang kaya saja.
 Memang ada syarat-syaratnya. Yang pertama muslim. Yang kedua akil 
baligh. Artinya sudah dewasa. Yang ketiga ini dia harus memiliki 
kemampuan. Jadi jangan dikira yang ada nishab itu di zakat saja. Dalam"kurban"  juga ada nishabnya. Jadi kalau seseorang itu punya harta, 
kemudian cukup untuk makan, minum, berteduh, berpakaian, selama empat 
hari mulai dari tanggal 10 dzulhijjah (pada hari raya idul adha) hingga 
hari-hari tasyrik, lalu ada sisanya minimal seharga satu ekor domba, 
maka jatuh kepadanya untuk sunnah menyembelih hewan "kurban". Jadi, kalau 
di kampung tempat tinggal kita ini memang harus sangat banyak orang yang ber"kurban". 
Tidak bisa hanya sebatas orang-orang kaya saja. Termasuk saya juga 
meskipun hanya sekedar PNS yang gajinya pas-pasan harus juga ber"kurban".
Orang yang sudah akil baligh, disunnahkan untuk ber"kurban". Satu
 keluarga minimal satu ekor 
domba. Tapi itu minimal. Bukan berarti harus satu ekor domba. Jadi kalau
 misalnya di rumah itu ada 2 orang akil baligh suami dan istri berarti 
ber"kurban" 2 ekor domba. Kalau anak sudah baligh berarti ada tiga orang 
akil baligh dan sunnah menyembelih 3 ekor domba, asal ada kemampuan.
 
Dalam suatu riwayat, Umar Bin Khattab membeli satu ekor domba seharga 600 dirham. Bagus sekali dombanya. Tetapi kemudian ditawar orang mau ditukar dengan satu ekor unta yang kerempeng. Sekerempeng-kerempengnya unta, dagingnya tiga kali lipat lebih banyak dari kambing bagus tadi. Kemudian lapor kepada Rasulullah SAW. Kata Rasulullah, sembelihlah dombamu. Karena memang pahala "kurban" itu ditentukan oleh rasa sayang kita terhadap harta itu. Riwayat ini menunjukan kepada kita bahwa ber"kurban" itu harus yang terbaik. Jangan asal-asalan. Makanya syarat untuk menyembelih hewan "kurban" itu sangat ketat. Dia harus mulus, sehat, tidak gila, tidak pincang, tidak sobek telinganya, diutamakan jantan, harus cukup umur dan seterusnya, agar menunjukan kalau kita ber"kurban" itu harus yang terbaik. Jadi kalau kita mau ber"kurban", yang terbaik dong. Kalau misalnya mampunya sapi, apa salahnya ber"kurban" sapi. Cuma sapinya jangan yang kurusan dong. Sekali-kali yang besar. Kalau bisanya domba ya beli domba, kalau bisanya kambing ya beli kambing, disesuaikan dengan kemampuan. Tapi prinsipnya bagaimana kita ber"kurban" yang terbaik.
 
Bagaimana kalau perusahaan yang ber"kurban"? Perusahaan ya boleh saja ber"kurban", tidak masalah. Namun hukumnya dia seperti individu, tidak jadi masalah. Mau 1 ekor sapi, 200 ekor kambing, itu boleh-boleh saja. Tidak jadi masalah.
 
Dalam suatu riwayat, Umar Bin Khattab membeli satu ekor domba seharga 600 dirham. Bagus sekali dombanya. Tetapi kemudian ditawar orang mau ditukar dengan satu ekor unta yang kerempeng. Sekerempeng-kerempengnya unta, dagingnya tiga kali lipat lebih banyak dari kambing bagus tadi. Kemudian lapor kepada Rasulullah SAW. Kata Rasulullah, sembelihlah dombamu. Karena memang pahala "kurban" itu ditentukan oleh rasa sayang kita terhadap harta itu. Riwayat ini menunjukan kepada kita bahwa ber"kurban" itu harus yang terbaik. Jangan asal-asalan. Makanya syarat untuk menyembelih hewan "kurban" itu sangat ketat. Dia harus mulus, sehat, tidak gila, tidak pincang, tidak sobek telinganya, diutamakan jantan, harus cukup umur dan seterusnya, agar menunjukan kalau kita ber"kurban" itu harus yang terbaik. Jadi kalau kita mau ber"kurban", yang terbaik dong. Kalau misalnya mampunya sapi, apa salahnya ber"kurban" sapi. Cuma sapinya jangan yang kurusan dong. Sekali-kali yang besar. Kalau bisanya domba ya beli domba, kalau bisanya kambing ya beli kambing, disesuaikan dengan kemampuan. Tapi prinsipnya bagaimana kita ber"kurban" yang terbaik.
Bagaimana kalau perusahaan yang ber"kurban"? Perusahaan ya boleh saja ber"kurban", tidak masalah. Namun hukumnya dia seperti individu, tidak jadi masalah. Mau 1 ekor sapi, 200 ekor kambing, itu boleh-boleh saja. Tidak jadi masalah.
TAHAPAN BER"KURBAN".
Ibadah "kurban"  ada dua tahap:
Tahap pertama adalah mempersiapkan hewan "kurban", dari
 sejak kita beli sampai dengan kita sembelih, setelah disembelih, 
selesai ibadah yang pertama. 
Tahap yang kedua bagaimana memperlakukan 
hewan "kurban" setelah disembelih. Nah itu memang ada tiga kategori: 
Yang pertama
 boleh dimakan oleh sipe"kurban". 
Kedua boleh dijadikan hadiah kepada 
saudara, kerabat, tetangga, dan yang 
Ketiga untuk fakir miskin. 
Tetapi 
para ulama berpendapat bila kemudian sebagian besar itu untuk fakir 
miskin, itu jauh lebih baik. Nah oleh karena itu pendistribusian hewan "kurban" ini menjadi sangat penting.
 Makanya kalau di perkotaan sudah banyak, alangkah bagusnya kalau mereka 
ber"kurban" untuk di pedesaan. Boleh jadi di pedesaan sedikit orang yang 
ber"kurban" namun masih banyak yang membutuhkan. Makanya lebih tepat pula 
bila kita ber"kurban" tidak hanya dititipkan lewat mushalla dan masjid 
saja. Tapi bisa juga kita titipkan ke lembaga-lembaga sosial yang 
profesional, yang mengelola "kurban" dengan sangat baik, yang bisa 
didistribusikan tidak hanya di perkotaan saja, tapi di seluruh pelosok 
negeri itu akan menjadi lebih baik. 
BER"KURBAN" UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL.
Terkait dengan ber"kurban" untuk orang yang telah meninggal:
Pertama: 
Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran "kurban" utama, namun statusnya mengikuti "kurban" keluarganya yang masih hidup. Misalnya, seseorang ber"kurban" untuk dirinya dan keluarganya, 
sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Ber"kurban" 
jenis ini dibolehkan dan pahala "kurban"nya meliputi dirinya dan 
keluarganya, termasuk yang sudah meninggal.
Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan, “Adapun mayit termasuk salah satu 
yang mendapat pahala dari "kurban" seseorang, ini berdasarkan hadits 
bahwasanya Nabi SAW. ber"kurban" untuk dirinya dan keluarganya. Sementara keluarga Nabi SAW
 mencakup istrinya yang telah meninggal dan yang masih hidup. Demikian 
pula ketika Nabi ber"kurban" untuk umatnya. Di antara mereka ada yang 
sudah meninggal dan ada yang belum dilahirkan. Akan tetapi, ber"kurban" 
secara khusus atas nama orang yang telah meninggal, saya tidak 
mengetahui adanya dalil dalam masalah ini.” (Syarhul Mumthi’, 7:287).
Kedua:
Ber"kurban" khusus untuk orang yang meninggal 
karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya ber"kurban" untuk dirinya
 setelah dia meninggal. Ber"kurban" untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka
 menunaikan wasiat si mayit, dan nilai biaya untuk "kurban", kurang dari 
sepertiga total harta mayit.
Terdapat hadits dalam masalah ini, dari Ali bin Abi Thalib ra, bahwa Nabi pernah ber"kurban" dengan dua ekor kambing. Ketika ditanya, Nabi menjawab: “Dia
 pernah berwasiat kepadaku agar aku ber"kurban" untuknya. Sekarang saya 
berkurban atas anamanya.” Hadits ini diriwayatkan Abu Daud dan Tirmudzi,
 namun status hadits ini dhaif, sebagaimana keterangan Syekh Al-Albani 
dalam Dhaif Sunan Abi Daud, no. 596.
Ibn Utsaimin mengatakan, “Ber"kurban" atas nama mayit, jika dia pernah 
berwasiat yang nilainya kurang dari sepertiga hartanya, atau dia 
mewakafkan hewannya maka wajib ditunaikan…” (Risalah Fiqhiyah Ibn 
Utsaimin, Ahkam Udhiyah)
Syekh juga mengatakan, Karena Allah melarang untuk mengubah wasiat, 
kecuali jika wasiat tersebut adalah wasiat yang tidak benar atau wasiat 
yang mengandung dosa, seperti wasiat yang melebihi 1/3 harta atau 
diberikan kepada orang yang kaya. Allah berfirman:
فَمَنْ خَافَ مِن مُّوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“(Akan tetapi) Barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat
 itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan 
antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha 
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 182).
Wasiat untuk berkurban tidak termasuk penyimpangan maupun dosa, bahkan termasuk wasiat ibadah harta yang sangat utama.”(Risalah Dafnul Mayit, Ibn Utsaimin, Hal. 75)
Ketiga:
Ber"kurban" khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit.
Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama madzhab Hanbali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa 
sampai kepada mayit. Mereka mengkiyaskan (menyamakan) dengan sedekah 
atas nama mayit. Disebutkan dalam fatwa Lajnah Daimah ketika ditanya 
tentang hukum ber"kurban" atas nama mayit, sementara dia tidak pernah 
berwasiat. Mereka menjawab, “Ber"kurban" atas nama mayit disyariatkan. 
Baik karena wasiat sebelumnya atau tidak ada wasiat sebelumnya. Karena 
ini masuk dalam lingkup masalah sedekah (atas nama mayit).” (Fatwa 
Lajnah, 21367).
Akan tetapi menyamakan ibadah "kurban" dengan sedekah adalah analogi 
yang kurang tepat. Karena tujuan utama ber"kurban" bukan semata untuk 
sedekah dengan dagingnya, tapi lebih pada bentuk mendekatkan diri kepada
 Allah dengan menyembelih.
Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan, “Pada kenyataannya, ibadah "kurban" 
tidak dimaksudkan semata untuk sedekah dengan dagingnya atau 
memanfaatkan dagingnya. Berdasarkan firman Allah:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Dagingnya maupun darahnya tidak akan sampai kepada Allah, namun yang sampai kepada kalian adalah taqwa kalian.” (QS. Al-Haj: 37)
Namun yang terpenting dari ibadah "kurban" adalah mendekatkan diri 
kepada Allah dengan menyembelih.” (Syarhul Mumthi’, 7:287). Sementara 
itu, sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai 
satu bentuk bid’ah, mengingat tidak diketahui adanya tuntunan dari Nabi SAW. maupun para sahabat bahwa mereka ber"kurban" secara khusus atas nama orang yang telah meninggal.
Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah SAW.
 memiliki beberapa anak laki-laki dan perempuan, para istri, dan kerabat
 dekat yang ia cintai, yang meninggal dunia mendahuluinya. Namun, Nabi SAW.
 tidak pernah ber"kurban" secara khusus atas nama salah satu diantara 
mereka. Nabi tidak pernah ber"kurban" atas nama pamannya Hamzah, istrinya 
Khadijah juga Zainab binti Khuzaimah, dan tidak pula untuk tiga putrinya
 dan anak-anaknya ra. Andaikan ini disyariatkan, tentu akan dijelaskan oleh Rasulullah SAW.,
 baik dalam bentuk perbuatan maupun ucapan. Akan tetapi, seseorang 
hendaknya ber"kurban" atas nama dirinya dan keluarganya. (Syarhul Mumthi’,
 7:287).
Meskipun demikian, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah
 tidaklah menganggap bentuk ber"kurban" secara khusus atas nama mayit 
sebagai perbuatan bid’ah. Syekh mengatakan, “Sebagian ulama mengatakan, 
ber"kurban" secara khusus atas nama mayit adalah bid’ah yang terlarang. 
Namun vonis bid’ah di sini terlalu berat. Karena keadaan minimal yang 
bisa kami katakan bahwa "kurban" atas nama orang yang sudah meninggal 
termasuk sedekah. Dan terdapat dalil yang shahih tentang bolehnya 
bersedekah atas nama mayit” (Syarhul Mumthi’, 7:287).
Sumber:
1. www.pkpu.or.id/lite/news/tanya-jawab-ibadah-kurban
2. www.konsultasisyariah.com/bolehkah-kurban-setiap-t...
3. www.pesantrenvirtual.com/index.php?...qurban
4. www.gemabaiturrahman.com/Sunday-November-29-2009-Gema....
5. www.bkn.go.id/BINROHIS-KANREG-VII-BKN-MELA.....

Tidak ada komentar:
Posting Komentar