"KEUTAMAAN HARI ARAFAH".
Di antara "keutamaan Hari Arofah" (9 Dzulhijah) disebutkan dalam hadits berikut,
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا 
مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى 
بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ
“Di antara "hari" yang Allah banyak membebaskan seseorang dari 
neraka adalah di "hari Arafah" (yaitu untuk orang yang berada di "Arafah"). 
Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan "keutamaan" mereka pada 
para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh 
mereka?”
Itulah "keutamaan" orang yang berhaji. Saudara-saudara kita yang sedang
 wukuf di "Arafah" saat ini telah rela meninggalkan sanak keluarga, 
negeri, telah pula menghabiskan hartanya, dan badan-badan mereka pun 
dalam keadaan letih. Yang mereka inginkan hanyalah ampunan, ridha, 
kedekatan dan perjumpaan dengan Rabbnya. Cita-cita mereka yang berada di
 "Arafah" inilah yang akan mereka peroleh. Derajat mereka pun akan 
tergantung dari niat mereka masing-masing.
"Keutamaan" yang lainnya, "Hari Arafah" adalah waktu mustajabnya do’a. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi SAW bersabda,
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ
“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada "Hari Arafah". 
Maksudnya, inilah doa yang paling cepat dipenuhi atau terkabulkan. 
Jadi hendaklah kaum muslimin memanfaatkan waktu ini untuk banyak berdoa 
kepada Allah. Do’a pada "Hari Arafah" adalah do’a yang mustajab karena 
dilakukan pada waktu yang utama.
JANGAN TINGGALKAN "PUASA ARAFAH".
Bagi orang yang tidak berhaji dianjurkan untuk menunaikan "puasa 
Arafah" yaitu pada tanggal 9 Dzulhijah. Hal ini berdasarkan hadits Abu 
Qotadah, Nabi SAW.,  bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ 
السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ
 عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى 
قَبْلَهُ
“Puasa Arafah" dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan 
setahun akan datang. "Puasa" Asyura (10 Muharram) akan menghapuskan dosa 
setahun yang lalu.” 
Hadits ini menunjukkan bahwa "puasa Arafah" 
lebih utama daripada "puasa" ‘Asyura. Di antara alasannya, "Puasa" Asyura 
berasal dari Nabi Musa, sedangkan "puasa Arafah" berasal dari Nabi kita 
Muhammad SAW. "Keutamaan Puasa Arafah"
 adalah akan menghapuskan dosa selama dua tahun dan dosa yang 
dimaksudkan di sini adalah dosa-dosa kecil. Atau bisa pula yang 
dimaksudkan di sini adalah diringankannya dosa besar atau ditinggikannya
 derajat.
Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan "Puasa Arafah".
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ وَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ أُمُّ الْفَضْلِ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa 
ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun 
meminumnya.”
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau ditanya mengenai "Puasa Hari Arafah" di "Arafah". Beliau mengatakan,
حَجَجْتُ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ 
أَبِى بَكْرٍ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُمَرَ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ 
عُثْمَانَ فَلَمْ يَصُمْهُ. وَأَنَا لاَ أَصُومُهُ وَلاَ آمُرُ بِهِ وَلاَ 
أَنْهَى عَنْهُ
“Aku pernah berhaji bersama Nabi SAW. dan beliau tidak menunaikan "puasa" pada "Hari Arafah". Aku pun 
pernah berhaji bersama Abu Bakr, beliau pun tidak ber"puasa" ketika itu. 
Begitu pula dengan ‘Utsman, beliau tidak ber"puasa" ketika itu. Aku pun 
tidak mengerjakan "Puasa Arafah" ketika itu. Aku pun tidak memerintahkan 
orang lain untuk melakukannya. Aku pun tidak melarang jika ada yang 
melakukannya.”
Dari sini, yang lebih utama bagi orang yang sedang berhaji adalah 
tidak ber"puasa" ketika "Hari Arafah" di "Arafah" dalam rangka meneladani Nabi SAW. dan para Khulafa’ur Rosyidin 
(Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman), juga agar lebih menguatkan diri dalam 
berdo’a dan berdzikir ketika wukuf di "Arafah". Inilah pendapat mayoritas 
ulama.
"PUASA HARI" TARWIYAH (8 DZULHIJAH).
Ada riwayat yang menyebutkan,
صَوْمُ يَوْمَ التَّرْوِيَّةِ كَفَارَةُ سَنَة
“Puasa" pada "hari" tarwiyah (8 Dzulhijah) akan mengampuni dosa setahun yang lalu.”
Ibnul Jauzi mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih. Asy 
Syaukani mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih dan dalam riwayatnya 
ada perowi yang pendusta. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits 
ini dha’if (lemah).
Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk ber"puasa" pada 
tanggal 8 Dzulhijjah karena hadisnya dha’if (lemah). Namun jika ber"puasa"
 karena mengamalkan keumuman hadits shahih yang menjelaskan keutamaan 
ber"puasa" pada sembilan hari awal Dzulhijah, maka itu diperbolehkan. 
Wallahu a’lam.
SIAPAKAH YANG HARUS DIIKUTI DALAM "PUASA ARAFAH"?
Permasalahan ini sering muncul dari berbagai pihak ketika menghadapi "Hari Arafah". Ketika para jama’ah haji sudah wukuf tanggal 9 Dzulhijah di
 Saudi Arabia, padahal di Indonesia masih tanggal 8 Dzulhijah, mana yang
 harus diikuti dalam "Puasa Arafah"? Apakah ikut waktu jama’ah haji wukuf 
atau ikut penanggalan Hijriyah di negeri ini sehingga Puasa Arafah" tidak
 berpapasan dengan wukuf di "Arafah"?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mendapat pertanyaan sebagai berikut,
إذا اختلف يوم عرفة نتيجة لاختلاف المناطق المختلفة في مطالع الهلال فهل
 نصوم تبع رؤية البلد التي نحن فيها أم نصوم تبع رؤية الحرمين؟
“Jika terdapat perbedaan tentang penetapan "Hari Arafah" disebabkan 
perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan 
daerah. Apakah kami ber"puasa" mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali 
ataukah mengikuti ru’yah Haromain (dua tanah suci)?”
Syaikh rahimahullah menjawab,
هذا يبنى على اختلاف أهل العلم: هل الهلال واحدفي الدنيا كلها أم هو 
يختلف باختلاف المطالع؟ والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع، فمثلاً إذا كان
 الهلال قد رؤي بمكة، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع، ورؤي في بلد آخر قبل
 مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا 
هذا اليوم لأنه يوم عيد، وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم 
التاسع في مكة هو الثامن عندهم، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق 
ليوم العاشر في مكة، هذا هو القول الراجح، لأن النبي صَلَّى اللَّهُ 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول: «إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا» 
وهؤلاء الذين لم يُر في جهتهم لم يكونوا يرونه، وكما أن الناس بالإجماع 
يعتبرون طلوع الفجر وغروب  الشمس في كل منطقة بحسبها، فكذلك التوقيت الشهري
 يكون كالتوقيت اليومي.
“Permasalahan ini adalah derivat dari perselisihan ulama apakah hilal
 untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan 
daerah. Pendapat yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan 
daerah.
Misalnya di Mekkah terlihat hilal sehingga "hari" ini adalah tanggal 9 
Dzulhijjah. Sedangkan di negara lain, hilal Dzulhijjah telah terlihat 
se"hari" sebelum ru’yah Mekkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Mekkah 
adalah tanggal 10 Dzulhijjah di negara tersebut. Tidak boleh bagi 
penduduk Negara tersebut untuk ber"Puasa Arafah" pada "hari" ini karena "hari"
 ini adalah "hari" Iedul Adha di negara mereka.
Demikian pula, jika kemunculan hilal Dzulhijjah di negara itu selang 
satu "hari" setelah ru’yah di Mekkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di 
Mekkah itu baru tanggal 8 Dzulhijjah di negara tersebut. Penduduk negara
 tersebut ber"Puasa Arafah" pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka meski
 "hari" tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.
Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini karena Nabi SAW. bersabda, “Jika
 kalian melihat hilal Ramadhan hendaklah kalian ber"puasa" dan jika kalian
 melihat hilal Syawal hendaknya kalian ber"hari" raya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Orang-orang yang di daerah mereka hilal tidak terlihat maka mereka tidak termasuk orang yang melihatnya.
Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar serta 
tenggelamnya matahari itu mengikuti daerahnya masing-masing, demikian 
pula penetapan bulan itu sebagaimana penetapan waktu harian (yaitu 
mengikuti daerahnya masing-masing).” Demikian penjelasan dari 
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah-. Namun 
kami  menghargai pendapat yang berbeda dengan penjelasan Syaikh di atas.
 Hendaklah kita bisa menghargai pendapat ulama yang masih ada ruang 
ijtihad di dalamnya.
JANGAN BER"PUASA" PADA "HARI" TASYRIK.
Jangan Berpuasa di hari Tasyrik
Selain puasa, beberapa amalan yang dianjurkan dalam rangka merayakan Idul Adha adalah: menggemakan takbir dan menyembelih hewan kurban yang dilaksanankan setelah sholat Id hingga tiga hari setelah 10 Dzulhijjah yakni tanggal: 11, 12 dan 13. Dimana pada hari-hari itu umat Islam diharamkan berpuasa karena merupakan hari Tasyrik.
Rasulullah Saw telah mengutus Abdullah Bin Huzhaqah untuk mengumumkan di Mina: “Kamu dilarang berpuasa pada hari-hari ini (hari tasyrik). Ia adalah hari untuk makan dan minum serta mengingat Allah.” (Hadith Riwayat Imam Ahmad, sanadnya hasan).
Jika puasa sebelum Idul Adha ialah sangat dianjurkan, maka berpuasa pada hari tasyrik adalah dilarang sama halnya dengan puasa di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Rasulullah Saw melarang puasa pada dua hari, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. (Hadith Riwayat Imam Muslim, Ahmad, an-Nasa’ie, Abu Dawud).
- See more at: http://mk2mijawabarat.com/index.php/26-informasi/news-flash/33-puasa-sunah#sthash.1tQ8bTl3.dpuf
Selain puasa, beberapa amalan yang dianjurkan dalam rangka merayakan Idul Adha adalah: menggemakan takbir dan menyembelih hewan kurban yang dilaksanankan setelah sholat Id hingga tiga hari setelah 10 Dzulhijjah yakni tanggal: 11, 12 dan 13. Dimana pada hari-hari itu umat Islam diharamkan berpuasa karena merupakan hari Tasyrik.
Rasulullah Saw telah mengutus Abdullah Bin Huzhaqah untuk mengumumkan di Mina: “Kamu dilarang berpuasa pada hari-hari ini (hari tasyrik). Ia adalah hari untuk makan dan minum serta mengingat Allah.” (Hadith Riwayat Imam Ahmad, sanadnya hasan).
Jika puasa sebelum Idul Adha ialah sangat dianjurkan, maka berpuasa pada hari tasyrik adalah dilarang sama halnya dengan puasa di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Rasulullah Saw melarang puasa pada dua hari, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. (Hadith Riwayat Imam Muslim, Ahmad, an-Nasa’ie, Abu Dawud).
- See more at: http://mk2mijawabarat.com/index.php/26-informasi/news-flash/33-puasa-sunah#sthash.1tQ8bTl3.dpuf
Selain puasa, beberapa amalan yang dianjurkan dalam rangka merayakan Idul Adha adalah:
 menggemakan takbir dan menyembelih hewan kurban yang dilaksanankan 
setelah sholat Id hingga tiga hari setelah 10 Dzulhijjah yakni tanggal: 
11, 12 dan 13. Dimana pada hari-hari itu umat Islam diharamkan berpuasa 
karena merupakan hari Tasyrik.
Rasulullah Saw telah mengutus Abdullah Bin Huzhaqah untuk mengumumkan di Mina: “Kamu dilarang berpuasa pada hari-hari ini (hari tasyrik). Ia adalah hari untuk makan dan minum serta mengingat Allah.” (Hadith Riwayat Imam Ahmad, sanadnya hasan).
Jika puasa sebelum Idul Adha ialah sangat dianjurkan, maka berpuasa pada hari tasyrik adalah dilarang sama halnya dengan puasa di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Rasulullah Saw melarang puasa pada dua hari, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. (Hadith Riwayat Imam Muslim, Ahmad, an-Nasa’ie, Abu Dawud).
- See more at: http://mk2mijawabarat.com/index.php/26-informasi/news-flash/33-puasa-sunah#sthash.1tQ8bTl3.dpuf
Rasulullah Saw telah mengutus Abdullah Bin Huzhaqah untuk mengumumkan di Mina: “Kamu dilarang berpuasa pada hari-hari ini (hari tasyrik). Ia adalah hari untuk makan dan minum serta mengingat Allah.” (Hadith Riwayat Imam Ahmad, sanadnya hasan).
Jika puasa sebelum Idul Adha ialah sangat dianjurkan, maka berpuasa pada hari tasyrik adalah dilarang sama halnya dengan puasa di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Rasulullah Saw melarang puasa pada dua hari, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. (Hadith Riwayat Imam Muslim, Ahmad, an-Nasa’ie, Abu Dawud).
- See more at: http://mk2mijawabarat.com/index.php/26-informasi/news-flash/33-puasa-sunah#sthash.1tQ8bTl3.dpuf
"Hari" Tasyrik adalah "Hari" penuh kemuliaan bagi umat Islam yaitu tanggal 11, 12 dan  13 Dzulhijjah,
 pada "Hari" itu jamaah haji sedang melaksanakan ritual melempar jumrah, 
dan "Hari" dimana umat Islam di seluruh dunia tengah sibuk menyembelih 
hewan kurban. 
Tidak
 boleh ber"puasa" pada "Hari" tasyriq menurut kebanyakan pendapat ulama. 
Alasannya adalah sabda Nabi SAW,
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
"Hari"-"Hari" tasyriq adalah "Hari" makan dan minum.” An Nawawi rahimahullah memasukkan hadits ini di Shahih Muslim dalam Bab “Haramnya ber"puasa" pada "Hari" tasyriq”.
An Nawawi rahimahullah dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim mengatakan, "Hari"-"Hari" tasyriq adalah tiga "Hari" setelah Idul Adha. "Hari" tasyriq tersebut dimasukkan dalam "Hari" ‘ied. Hukum yang berlaku pada "Hari" ‘ied juga berlaku mayoritasnya pada "Hari"i tasyriq, seperti "Hari" tasyriq memiliki kesamaan dalam waktu pelaksanaan penyembelihan qurban, diharamkannya "puasa" dan dianjurkan untuk bertakbir ketika itu.”
"Hari" tasyriq disebutkan tasyriq (yang artinya: terbit) karena daging qurban dijemur dan disebar ketika itu.
Imam Malik, Al Auza’i, Ishaq, dan Imam Asy Syafi’i dalam salah satu pendapatnya menyatakan bahwa boleh ber"puasa" pada "Hari" tasyriq pada orang yang tamattu’ jika ia tidak memperoleh al hadyu (sembelihan qurban). Namun untuk selain mereka tetap tidak diperbolehkan untuk ber"puasa" ketika itu. Dalil dari pendapat ini adalah sebuah hadits dalam Shahih Al Bukhari dari Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah, mereka mengatakan,
لَمْ يُرَخَّصْ فِى أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ ، إِلاَّ لِمَنْ لَمْ يَجِدِ الْهَدْىَ
“Pada "Hari" tasyriq tidak diberi keringanan untuk ber"puasa" kecuali bagi orang yang tidak mendapat al hadyu ketika itu.”
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
"Hari"-"Hari" tasyriq adalah "Hari" makan dan minum.” An Nawawi rahimahullah memasukkan hadits ini di Shahih Muslim dalam Bab “Haramnya ber"puasa" pada "Hari" tasyriq”.
An Nawawi rahimahullah dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim mengatakan, "Hari"-"Hari" tasyriq adalah tiga "Hari" setelah Idul Adha. "Hari" tasyriq tersebut dimasukkan dalam "Hari" ‘ied. Hukum yang berlaku pada "Hari" ‘ied juga berlaku mayoritasnya pada "Hari"i tasyriq, seperti "Hari" tasyriq memiliki kesamaan dalam waktu pelaksanaan penyembelihan qurban, diharamkannya "puasa" dan dianjurkan untuk bertakbir ketika itu.”
"Hari" tasyriq disebutkan tasyriq (yang artinya: terbit) karena daging qurban dijemur dan disebar ketika itu.
Imam Malik, Al Auza’i, Ishaq, dan Imam Asy Syafi’i dalam salah satu pendapatnya menyatakan bahwa boleh ber"puasa" pada "Hari" tasyriq pada orang yang tamattu’ jika ia tidak memperoleh al hadyu (sembelihan qurban). Namun untuk selain mereka tetap tidak diperbolehkan untuk ber"puasa" ketika itu. Dalil dari pendapat ini adalah sebuah hadits dalam Shahih Al Bukhari dari Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah, mereka mengatakan,
لَمْ يُرَخَّصْ فِى أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ ، إِلاَّ لِمَنْ لَمْ يَجِدِ الْهَدْىَ
“Pada "Hari" tasyriq tidak diberi keringanan untuk ber"puasa" kecuali bagi orang yang tidak mendapat al hadyu ketika itu.”
"Hari" Tasyrik adalah termasuk Id kaum muslimin sebagaimana disebutkan dalam hadits
يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الإِسْلاَمِ وَهِىَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Hari Arafah", "Hari" Idul Adha, dan "Hari"-"Hari" Tasyrik adalah ‘id kami -kaum muslimin-. "Hari"i tersebut (Idul Adha dan "Hari" Tasyrik) adalah "Hari" menyantap makan dan minum.”
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, menjelaskan tentang keutamaan "Hari" Idul Adha dan "Hari" Tasyrik (11, 12 ,dan 13 Dzulhijah).
إِنَّ أَعْظَمَ الأَيَّامِ عِنْدَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَوْمُ النَّحْرِ ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ
“Sesungguhnya "Hari" yang paling mulia di sisi Allah Tabaroka wa Ta’ala adalah "Hari" Idul Adha dan yaumul qorr ("Hari" Tasyrik).”
Dikatakan yaumul qor karena pada saat itu jamaah haji sedang berdiam di Mina. Apabila dirinci mengenai "keutamaan" dari tiga "Hari" Tasyrik ini, maka yang terbaik di antara tiga "Hari" tersebut adalah "Hari"i Tasyrik yang pertama, kemudian yang kedua, dan yang terakhir adalah "Hari" ketiga.
إِنَّ أَعْظَمَ الأَيَّامِ عِنْدَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَوْمُ النَّحْرِ ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ
“Sesungguhnya "Hari" yang paling mulia di sisi Allah Tabaroka wa Ta’ala adalah "Hari" Idul Adha dan yaumul qorr ("Hari" Tasyrik).”
Dikatakan yaumul qor karena pada saat itu jamaah haji sedang berdiam di Mina. Apabila dirinci mengenai "keutamaan" dari tiga "Hari" Tasyrik ini, maka yang terbaik di antara tiga "Hari" tersebut adalah "Hari"i Tasyrik yang pertama, kemudian yang kedua, dan yang terakhir adalah "Hari" ketiga.
"Hari" Idul Adha dan "Hari" Tasyrik, "Hari" Bersenang-Senang Untuk Menyantap Makanan
Nabi SAW. mengatakan, bahwa Idul Adha dan "Hari" Tasyrik adalah "Hari" kaum muslimin untuk menikmati makanan. Nabi SAW. bersabda,
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
"Hari"-"Hari" Tasyrik adalah "Hari" menikmati makanan dan minuman.”
Pada "Hari" Tasyrik terkumpul berbagai macam nikmat badaniyah dengan makan dan minum, juga terdapat nikmat qolbiyah (nikmat hati) dengan berdzikir kepada Allah. Sebaik-baik hati adalah yang sering berdzikir dan bersyukur. Dengan demikian nikmat-nikmat tersebut akan menjadi sempurna. Makan dan Minum di "Hari" Tasyrik untuk Memperkuat Ibadah
"Hari" Tasyrik disebut dengan "Hari" makan dan minum, juga dzikir kepada Allah. Hal ini pertanda bahwa makan dan minum di "Hari" raya seperti ini dapat menolong kita untuk berdzikir dan melakukan ketaatan pada-Nya. Dengan inilah semakin sempurna rasa syukur terhadap nikmat karena dapat menolong melakukan ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, barangsiapa menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat, berarti dia telah kufur pada nikmat.
Demikian pembahasan kami mengenai amalan di awal Dzulhijah dan "Puasa Arafah" serta "Hari"
 Tasyrik Semoga Allah memudahkan kita beramal shalih dengan ikhlas dan 
sesuai dengan petunjuk Nabi-Nya. 
Sumber:
1. muslim.or.id/.../amalan-sholih-di-awal-dzulhijah-dan-...
2. www.infonews.web.id/.../kenapa-pada-hari-tasyrik-tid...
3. peahlabu.blogspot.com/Nuruljannah-Fadhilat-Puasa-Hari-Arafah.....
4. laely.widjajati.photos.facebook/manfaat-darah-kambing-yang-masih-segar....
5. musafirsukses.blogspot.com/Sang-Musafir-Hari-Tasyrik.....



Tidak ada komentar:
Posting Komentar