Sabtu, 12 Oktober 2013

"KEUTAMAAN PUASA HARI ARAFAH"

"KEUTAMAAN HARI ARAFAH".


Di antara "keutamaan Hari Arofah" (9 Dzulhijah) disebutkan dalam hadits berikut,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ

“Di antara "hari" yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah di "hari Arafah" (yaitu untuk orang yang berada di "Arafah"). Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan "keutamaan" mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?”

Itulah "keutamaan" orang yang berhaji. Saudara-saudara kita yang sedang wukuf di "Arafah" saat ini telah rela meninggalkan sanak keluarga, negeri, telah pula menghabiskan hartanya, dan badan-badan mereka pun dalam keadaan letih. Yang mereka inginkan hanyalah ampunan, ridha, kedekatan dan perjumpaan dengan Rabbnya. Cita-cita mereka yang berada di "Arafah" inilah yang akan mereka peroleh. Derajat mereka pun akan tergantung dari niat mereka masing-masing.

"Keutamaan" yang lainnya, "Hari Arafah" adalah waktu mustajabnya do’a. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi SAW bersabda,

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ

Sebaik-baik do’a adalah do’a pada "Hari Arafah"

Maksudnya, inilah doa yang paling cepat dipenuhi atau terkabulkan. Jadi hendaklah kaum muslimin memanfaatkan waktu ini untuk banyak berdoa kepada Allah. Do’a pada "Hari Arafah" adalah do’a yang mustajab karena dilakukan pada waktu yang utama.

JANGAN TINGGALKAN "PUASA ARAFAH".


Bagi orang yang tidak berhaji dianjurkan untuk menunaikan "puasa Arafah" yaitu pada tanggal 9 Dzulhijah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Qotadah, Nabi SAW.,  bersabda,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ

Puasa Arafah" dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. "Puasa" Asyura (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” 

Hadits ini menunjukkan bahwa "puasa Arafah" lebih utama daripada "puasa" ‘Asyura. Di antara alasannya, "Puasa" Asyura berasal dari Nabi Musa, sedangkan "puasa Arafah" berasal dari Nabi kita Muhammad SAW. "Keutamaan Puasa Arafah" adalah akan menghapuskan dosa selama dua tahun dan dosa yang dimaksudkan di sini adalah dosa-dosa kecil. Atau bisa pula yang dimaksudkan di sini adalah diringankannya dosa besar atau ditinggikannya derajat.

Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan "Puasa Arafah".

Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ وَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ أُمُّ الْفَضْلِ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun meminumnya.”
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau ditanya mengenai "Puasa Hari Arafah" di "Arafah". Beliau mengatakan,

حَجَجْتُ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ أَبِى بَكْرٍ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُمَرَ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَصُمْهُ. وَأَنَا لاَ أَصُومُهُ وَلاَ آمُرُ بِهِ وَلاَ أَنْهَى عَنْهُ

“Aku pernah berhaji bersama Nabi SAW. dan beliau tidak menunaikan "puasa" pada "Hari Arafah". Aku pun pernah berhaji bersama Abu Bakr, beliau pun tidak ber"puasa" ketika itu. Begitu pula dengan ‘Utsman, beliau tidak ber"puasa" ketika itu. Aku pun tidak mengerjakan "Puasa Arafah" ketika itu. Aku pun tidak memerintahkan orang lain untuk melakukannya. Aku pun tidak melarang jika ada yang melakukannya.”

Dari sini, yang lebih utama bagi orang yang sedang berhaji adalah tidak ber"puasa" ketika "Hari Arafah" di "Arafah" dalam rangka meneladani Nabi SAW. dan para Khulafa’ur Rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman), juga agar lebih menguatkan diri dalam berdo’a dan berdzikir ketika wukuf di "Arafah". Inilah pendapat mayoritas ulama.

"PUASA HARI" TARWIYAH (8 DZULHIJAH).

 
Ada riwayat yang menyebutkan,

صَوْمُ يَوْمَ التَّرْوِيَّةِ كَفَارَةُ سَنَة

Puasa" pada "hari" tarwiyah (8 Dzulhijah) akan mengampuni dosa setahun yang lalu.”

Ibnul Jauzi mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih. Asy Syaukani mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih dan dalam riwayatnya ada perowi yang pendusta. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dha’if (lemah).
Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk ber"puasa" pada tanggal 8 Dzulhijjah karena hadisnya dha’if (lemah). Namun jika ber"puasa" karena mengamalkan keumuman hadits shahih yang menjelaskan keutamaan ber"puasa" pada sembilan hari awal Dzulhijah, maka itu diperbolehkan. Wallahu a’lam.

SIAPAKAH YANG HARUS DIIKUTI DALAM "PUASA ARAFAH"?


Permasalahan ini sering muncul dari berbagai pihak ketika menghadapi "Hari Arafah". Ketika para jama’ah haji sudah wukuf tanggal 9 Dzulhijah di Saudi Arabia, padahal di Indonesia masih tanggal 8 Dzulhijah, mana yang harus diikuti dalam "Puasa Arafah"? Apakah ikut waktu jama’ah haji wukuf atau ikut penanggalan Hijriyah di negeri ini sehingga Puasa Arafah" tidak berpapasan dengan wukuf di "Arafah"?

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mendapat pertanyaan sebagai berikut,

إذا اختلف يوم عرفة نتيجة لاختلاف المناطق المختلفة في مطالع الهلال فهل نصوم تبع رؤية البلد التي نحن فيها أم نصوم تبع رؤية الحرمين؟

“Jika terdapat perbedaan tentang penetapan "Hari Arafah" disebabkan perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan daerah. Apakah kami ber"puasa" mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali ataukah mengikuti ru’yah Haromain (dua tanah suci)?”

Syaikh rahimahullah menjawab,

هذا يبنى على اختلاف أهل العلم: هل الهلال واحدفي الدنيا كلها أم هو يختلف باختلاف المطالع؟ والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع، فمثلاً إذا كان الهلال قد رؤي بمكة، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع، ورؤي في بلد آخر قبل مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوم لأنه يوم عيد، وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة، هذا هو القول الراجح، لأن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول: «إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا» وهؤلاء الذين لم يُر في جهتهم لم يكونوا يرونه، وكما أن الناس بالإجماع يعتبرون طلوع الفجر وغروب الشمس في كل منطقة بحسبها، فكذلك التوقيت الشهري يكون كالتوقيت اليومي.

“Permasalahan ini adalah derivat dari perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Pendapat yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah.
Misalnya di Mekkah terlihat hilal sehingga "hari" ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sedangkan di negara lain, hilal Dzulhijjah telah terlihat se"hari" sebelum ru’yah Mekkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Mekkah adalah tanggal 10 Dzulhijjah di negara tersebut. Tidak boleh bagi penduduk Negara tersebut untuk ber"Puasa Arafah" pada "hari" ini karena "hari" ini adalah "hari" Iedul Adha di negara mereka.
Demikian pula, jika kemunculan hilal Dzulhijjah di negara itu selang satu "hari" setelah ru’yah di Mekkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Mekkah itu baru tanggal 8 Dzulhijjah di negara tersebut. Penduduk negara tersebut ber"Puasa Arafah" pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka meski "hari" tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.

Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini karena Nabi SAW. bersabda, “Jika kalian melihat hilal Ramadhan hendaklah kalian ber"puasa" dan jika kalian melihat hilal Syawal hendaknya kalian ber"hari" raya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Orang-orang yang di daerah mereka hilal tidak terlihat maka mereka tidak termasuk orang yang melihatnya.

Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar serta tenggelamnya matahari itu mengikuti daerahnya masing-masing, demikian pula penetapan bulan itu sebagaimana penetapan waktu harian (yaitu mengikuti daerahnya masing-masing).” Demikian penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah-. Namun kami menghargai pendapat yang berbeda dengan penjelasan Syaikh di atas. Hendaklah kita bisa menghargai pendapat ulama yang masih ada ruang ijtihad di dalamnya.

JANGAN BER"PUASA" PADA "HARI" TASYRIK.


Jangan Berpuasa di hari Tasyrik
Selain puasa, beberapa amalan yang dianjurkan dalam rangka merayakan Idul Adha adalah: menggemakan takbir dan menyembelih hewan kurban yang dilaksanankan setelah sholat Id hingga tiga hari setelah 10 Dzulhijjah yakni tanggal: 11, 12 dan 13. Dimana pada hari-hari itu umat Islam diharamkan berpuasa karena merupakan hari Tasyrik.
Rasulullah Saw telah mengutus Abdullah Bin Huzhaqah untuk mengumumkan di Mina: “Kamu dilarang berpuasa pada hari-hari ini (hari tasyrik). Ia adalah hari untuk makan dan minum serta mengingat Allah.” (Hadith Riwayat Imam Ahmad, sanadnya hasan).
Jika puasa sebelum Idul Adha ialah sangat dianjurkan, maka berpuasa pada hari tasyrik adalah dilarang sama halnya dengan puasa di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Rasulullah Saw melarang puasa pada dua hari, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. (Hadith Riwayat Imam Muslim, Ahmad, an-Nasa’ie, Abu Dawud).
- See more at: http://mk2mijawabarat.com/index.php/26-informasi/news-flash/33-puasa-sunah#sthash.1tQ8bTl3.dpuf
Selain puasa, beberapa amalan yang dianjurkan dalam rangka merayakan Idul Adha adalah: menggemakan takbir dan menyembelih hewan kurban yang dilaksanankan setelah sholat Id hingga tiga hari setelah 10 Dzulhijjah yakni tanggal: 11, 12 dan 13. Dimana pada hari-hari itu umat Islam diharamkan berpuasa karena merupakan hari Tasyrik.
Rasulullah Saw telah mengutus Abdullah Bin Huzhaqah untuk mengumumkan di Mina: “Kamu dilarang berpuasa pada hari-hari ini (hari tasyrik). Ia adalah hari untuk makan dan minum serta mengingat Allah.” (Hadith Riwayat Imam Ahmad, sanadnya hasan).
Jika puasa sebelum Idul Adha ialah sangat dianjurkan, maka berpuasa pada hari tasyrik adalah dilarang sama halnya dengan puasa di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Rasulullah Saw melarang puasa pada dua hari, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. (Hadith Riwayat Imam Muslim, Ahmad, an-Nasa’ie, Abu Dawud).
- See more at: http://mk2mijawabarat.com/index.php/26-informasi/news-flash/33-puasa-sunah#sthash.1tQ8bTl3.dpuf
"Hari" Tasyrik adalah "Hari" penuh kemuliaan bagi umat Islam yaitu tanggal 11, 12 dan  13 Dzulhijjah, pada "Hari" itu jamaah haji sedang melaksanakan ritual melempar jumrah, dan "Hari" dimana umat Islam di seluruh dunia tengah sibuk menyembelih hewan kurban. 

Tidak boleh ber"puasa" pada "Hari" tasyriq menurut kebanyakan pendapat ulama. Alasannya adalah sabda Nabi SAW,

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
"Hari"-"Hari" tasyriq adalah "Hari" makan dan minum.”  An Nawawi rahimahullah memasukkan hadits ini di Shahih Muslim dalam Bab “Haramnya ber"puasa" pada "Hari" tasyriq”.

An Nawawi rahimahullah dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim mengatakan,
"Hari"-"Hari" tasyriq adalah tiga "Hari" setelah Idul Adha. "Hari" tasyriq tersebut dimasukkan dalam "Hari" ‘ied. Hukum yang berlaku pada "Hari" ‘ied juga berlaku mayoritasnya pada "Hari"i tasyriq, seperti "Hari" tasyriq memiliki kesamaan dalam waktu pelaksanaan penyembelihan qurban, diharamkannya "puasa" dan dianjurkan untuk bertakbir ketika itu.”
"Hari" tasyriq disebutkan tasyriq (yang artinya: terbit) karena daging qurban dijemur dan disebar ketika itu.


Imam Malik, Al Auza’i, Ishaq, dan Imam Asy Syafi’i dalam salah satu pendapatnya menyatakan bahwa boleh ber"puasa" pada
"Hari" tasyriq pada orang yang tamattu’ jika ia tidak memperoleh al hadyu (sembelihan qurban). Namun untuk selain mereka tetap tidak diperbolehkan untuk ber"puasa" ketika itu. Dalil dari pendapat ini adalah sebuah hadits dalam Shahih Al Bukhari dari Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah, mereka mengatakan,

لَمْ يُرَخَّصْ فِى أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ ، إِلاَّ لِمَنْ لَمْ يَجِدِ الْهَدْىَ

“Pada
"Hari" tasyriq tidak diberi keringanan untuk ber"puasa" kecuali bagi orang yang tidak mendapat al hadyu ketika itu.”

"Hari" Tasyrik adalah termasuk Id kaum muslimin sebagaimana disebutkan dalam hadits

يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الإِسْلاَمِ وَهِىَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

Hari Arafah",
"Hari" Idul Adha, dan "Hari"-"Hari" Tasyrik adalah ‘id kami -kaum muslimin-. "Hari"i tersebut (Idul Adha dan "Hari" Tasyrik) adalah "Hari" menyantap makan dan minum.”
 
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, menjelaskan tentang keutamaan "Hari" Idul Adha dan "Hari" Tasyrik (11, 12 ,dan 13 Dzulhijah).

إِنَّ أَعْظَمَ الأَيَّامِ عِنْدَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَوْمُ النَّحْرِ ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ

“Sesungguhnya
"Hari" yang paling mulia di sisi Allah Tabaroka wa Ta’ala adalah "Hari" Idul Adha dan yaumul qorr ("Hari" Tasyrik).”

Dikatakan yaumul qor karena pada saat itu jamaah haji sedang berdiam di Mina. Apabila dirinci mengenai "keutamaan" dari tiga
"Hari" Tasyrik ini, maka yang terbaik di antara tiga "Hari" tersebut adalah "Hari"i Tasyrik yang pertama, kemudian yang kedua, dan yang terakhir adalah "Hari" ketiga.

"Hari" Idul Adha dan "Hari" Tasyrik, "Hari" Bersenang-Senang Untuk Menyantap Makanan

Nabi SAW. mengatakan, bahwa Idul Adha dan
"Hari" Tasyrik adalah "Hari" kaum muslimin untuk menikmati makanan. Nabi  SAW. bersabda,

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
"Hari"-"Hari" Tasyrik adalah "Hari" menikmati makanan dan minuman.”
Pada
"Hari" Tasyrik terkumpul berbagai macam nikmat badaniyah dengan makan dan minum, juga terdapat nikmat qolbiyah (nikmat hati) dengan berdzikir kepada Allah. Sebaik-baik hati adalah yang sering berdzikir dan bersyukur. Dengan demikian nikmat-nikmat tersebut akan menjadi sempurna. Makan dan Minum di "Hari" Tasyrik untuk Memperkuat Ibadah
"Hari" Tasyrik disebut dengan "Hari" makan dan minum, juga dzikir kepada Allah. Hal ini pertanda bahwa makan dan minum di "Hari" raya seperti ini dapat menolong kita untuk berdzikir dan melakukan ketaatan pada-Nya. Dengan inilah semakin sempurna rasa syukur terhadap nikmat karena dapat menolong melakukan ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, barangsiapa menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat, berarti dia telah kufur pada nikmat.
 
Demikian pembahasan kami mengenai amalan di awal Dzulhijah dan "Puasa Arafah" serta "Hari" Tasyrik Semoga Allah memudahkan kita beramal shalih dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi-Nya.

Sumber:
1. muslim.or.id/.../amalan-sholih-di-awal-dzulhijah-dan-...
2. www.infonews.web.id/.../kenapa-pada-hari-tasyrik-tid...
3. peahlabu.blogspot.com/Nuruljannah-Fadhilat-Puasa-Hari-Arafah.....
4. laely.widjajati.photos.facebook/manfaat-darah-kambing-yang-masih-segar....
5. musafirsukses.blogspot.com/Sang-Musafir-Hari-Tasyrik.....

"IBADAH KURBAN SETIAP TAHUN"

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan ber"kurban"lah”. (QS Al Kautsar: 1-2).



HUKUM BER"KURBAN"

Bagaimana sih sebenarnya ber"kurban" itu. Wajib apa tidak sih hukumnya? Wajib sih tidak, tapi hukumnya sunnah muakkadah. Artinya, nyaris wajib. Kenapa demikian? Karena selama sembilan "tahun" terakhir Rasulullah SAW hidup, artinya sejak awal disyariatkannya "kurban", Rasulullah SAW selalu ber"kurban" "setiap tahun". Apa kurang miskinnya Rasulullah SAW. Semua orang tahu dan kita tahu betapa sederhananya Rasulullah SAW. Tetapi dengan segala kesederhanaannya, beliau relatif memaksakan diri untuk selalu ber"kurban". Malah diriwayatkaan beliau ber"kurban" dengan dua domba besar yang disembelih dengan tangannya sendiri. Ini adalah hukum dari menyembelih hewan "kurban". Jadi, hukumnya adalah sunnah muakkadah.

Apakah ber"kurban" harus dilakukan "setiap tahun"? Lagian kan saya sudah pernah ber"kurban" pada "tahun" yang lalu. Apa harus ber"kurban" lagi nih "tahun" ini?
Selama ini ada pemahaman masyarakat, bahwa yang namanya ber
"kurban" itu hanya sekali seumur hidup. Jangan disamakan "kurban" itu seperti haji yang dilaksanakan sekali seumur hidup. Yang  namanya sunnah "kurban" itu "setiap tahun". Mengapa demikian. Karena waktu menyembelih itu saat Idul Adha. Idul adha itu bulan Dzulhijjah. Dan bulan Dzulhijjah itu pasti ada di "setiap tahun". Makanya bapak "kurban" juga "setiap tahun".

SIAPA SAJA YANG DISUNNAHKAN UNTUK BER"KURBAN".

Siapa saja  yang harus ber"kurban" itu. Apa semua orang, semua umat Islam? Ya, sebetulnya di kampung tempat tinggal kita ini harus banyak yang ber"kurban", karena untuk ber"kurban" itu tidak mesti orang kaya saja. Memang ada syarat-syaratnya. Yang pertama muslim. Yang kedua akil baligh. Artinya sudah dewasa. Yang ketiga ini dia harus memiliki kemampuan. Jadi jangan dikira yang ada nishab itu di zakat saja. Dalam"kurban"  juga ada nishabnya. Jadi kalau seseorang itu punya harta, kemudian cukup untuk makan, minum, berteduh, berpakaian, selama empat hari mulai dari tanggal 10 dzulhijjah (pada hari raya idul adha) hingga hari-hari tasyrik, lalu ada sisanya minimal seharga satu ekor domba, maka jatuh kepadanya untuk sunnah menyembelih hewan "kurban". Jadi, kalau di kampung tempat tinggal kita ini memang harus sangat banyak orang yang ber"kurban". Tidak bisa hanya sebatas orang-orang kaya saja. Termasuk saya juga meskipun hanya sekedar PNS yang gajinya pas-pasan harus juga ber"kurban".

Orang yang sudah akil baligh, disunnahkan untuk ber"kurban". Satu keluarga minimal satu ekor domba. Tapi itu minimal. Bukan berarti harus satu ekor domba. Jadi kalau misalnya di rumah itu ada 2 orang akil baligh suami dan istri berarti ber"kurban" 2 ekor domba. Kalau anak sudah baligh berarti ada tiga orang akil baligh dan sunnah menyembelih 3 ekor domba, asal ada kemampuan.

Dalam suatu riwayat, Umar Bin Khattab membeli satu ekor domba seharga 600 dirham. Bagus sekali dombanya. Tetapi kemudian ditawar orang mau ditukar dengan satu ekor unta yang kerempeng. Sekerempeng-kerempengnya unta, dagingnya tiga kali lipat  lebih banyak dari kambing bagus tadi. Kemudian lapor kepada Rasulullah SAW. Kata Rasulullah, sembelihlah dombamu. Karena memang pahala
"kurban" itu ditentukan oleh rasa sayang kita terhadap harta itu. Riwayat ini menunjukan kepada kita bahwa ber"kurban" itu harus yang terbaik. Jangan asal-asalan. Makanya syarat untuk menyembelih hewan "kurban" itu sangat ketat. Dia harus mulus, sehat, tidak gila, tidak pincang, tidak sobek telinganya, diutamakan jantan, harus cukup umur dan seterusnya, agar menunjukan kalau kita ber"kurban" itu harus yang terbaik. Jadi kalau kita mau ber"kurban", yang terbaik dong. Kalau misalnya mampunya sapi, apa salahnya ber"kurban" sapi. Cuma sapinya jangan yang kurusan dong. Sekali-kali yang besar. Kalau bisanya domba ya beli domba, kalau bisanya kambing ya beli kambing, disesuaikan dengan kemampuan. Tapi prinsipnya bagaimana kita ber"kurban" yang terbaik.

Bagaimana kalau  perusahaan yang ber
"kurban"? Perusahaan ya boleh saja ber"kurban", tidak masalah. Namun hukumnya dia seperti individu, tidak jadi masalah. Mau 1 ekor sapi, 200 ekor kambing, itu boleh-boleh saja. Tidak jadi masalah.

TAHAPAN BER"KURBAN".

Ibadah "kurban"  ada dua tahap:
Tahap pertama adalah mempersiapkan hewan "kurban", dari sejak kita beli sampai dengan kita sembelih, setelah disembelih, selesai ibadah yang pertama. 

Tahap yang kedua bagaimana memperlakukan hewan "kurban" setelah disembelih. Nah itu memang ada tiga kategori: 
Yang pertama boleh dimakan oleh sipe"kurban".
Kedua boleh dijadikan hadiah kepada saudara, kerabat, tetangga, dan yang 
Ketiga untuk fakir miskin. 


Tetapi para ulama berpendapat bila kemudian sebagian besar itu untuk fakir miskin, itu jauh lebih baik. Nah oleh karena itu pendistribusian hewan "kurban" ini menjadi sangat penting. Makanya kalau di perkotaan sudah banyak, alangkah bagusnya kalau mereka ber"kurban" untuk di pedesaan. Boleh jadi di pedesaan sedikit orang yang ber"kurban" namun masih banyak yang membutuhkan. Makanya lebih tepat pula bila kita ber"kurban" tidak hanya dititipkan lewat mushalla dan masjid saja. Tapi bisa juga kita titipkan ke lembaga-lembaga sosial yang profesional, yang mengelola "kurban" dengan sangat baik, yang bisa didistribusikan tidak hanya di perkotaan saja, tapi di seluruh pelosok negeri itu akan menjadi lebih baik. 

BER"KURBAN" UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL.

Terkait dengan ber"kurban" untuk orang yang telah meninggal:

Pertama:
Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran "kurban" utama, namun statusnya mengikuti "kurban" keluarganya yang masih hidup. Misalnya, seseorang ber"kurban" untuk dirinya dan keluarganya, sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Ber"kurban" jenis ini dibolehkan dan pahala "kurban"nya meliputi dirinya dan keluarganya, termasuk yang sudah meninggal.

Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan, “Adapun mayit termasuk salah satu yang mendapat pahala dari "kurban" seseorang, ini berdasarkan hadits bahwasanya Nabi SAW. ber"kurban" untuk dirinya dan keluarganya. Sementara keluarga Nabi SAW mencakup istrinya yang telah meninggal dan yang masih hidup. Demikian pula ketika Nabi ber"kurban" untuk umatnya. Di antara mereka ada yang sudah meninggal dan ada yang belum dilahirkan. Akan tetapi, ber"kurban" secara khusus atas nama orang yang telah meninggal, saya tidak mengetahui adanya dalil dalam masalah ini.” (Syarhul Mumthi’, 7:287).

Kedua:
Ber"kurban" khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya ber"kurban" untuk dirinya setelah dia meninggal. Ber"kurban" untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit, dan nilai biaya untuk "kurban", kurang dari sepertiga total harta mayit.

Terdapat hadits dalam masalah ini, dari Ali bin Abi Thalib ra, bahwa Nabi pernah ber"kurban" dengan dua ekor kambing. Ketika ditanya, Nabi menjawab: “Dia pernah berwasiat kepadaku agar aku ber"kurban" untuknya. Sekarang saya berkurban atas anamanya.” Hadits ini diriwayatkan Abu Daud dan Tirmudzi, namun status hadits ini dhaif, sebagaimana keterangan Syekh Al-Albani dalam Dhaif Sunan Abi Daud, no. 596.

Ibn Utsaimin mengatakan, “Ber"kurban" atas nama mayit, jika dia pernah berwasiat yang nilainya kurang dari sepertiga hartanya, atau dia mewakafkan hewannya maka wajib ditunaikan…” (Risalah Fiqhiyah Ibn Utsaimin, Ahkam Udhiyah)
Syekh juga mengatakan, Karena Allah melarang untuk mengubah wasiat, kecuali jika wasiat tersebut adalah wasiat yang tidak benar atau wasiat yang mengandung dosa, seperti wasiat yang melebihi 1/3 harta atau diberikan kepada orang yang kaya. Allah berfirman:

فَمَنْ خَافَ مِن مُّوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

(Akan tetapi) Barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 182).

Wasiat untuk berkurban tidak termasuk penyimpangan maupun dosa, bahkan termasuk wasiat ibadah harta yang sangat utama.”(Risalah Dafnul Mayit, Ibn Utsaimin, Hal. 75)

Ketiga:
Ber"kurban" khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit.
Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama madzhab Hanbali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit. Mereka mengkiyaskan (menyamakan) dengan sedekah atas nama mayit. Disebutkan dalam fatwa Lajnah Daimah ketika ditanya tentang hukum ber"kurban" atas nama mayit, sementara dia tidak pernah berwasiat. Mereka menjawab, “Ber"kurban" atas nama mayit disyariatkan. Baik karena wasiat sebelumnya atau tidak ada wasiat sebelumnya. Karena ini masuk dalam lingkup masalah sedekah (atas nama mayit).” (Fatwa Lajnah, 21367).

Akan tetapi menyamakan ibadah "kurban" dengan sedekah adalah analogi yang kurang tepat. Karena tujuan utama ber"kurban" bukan semata untuk sedekah dengan dagingnya, tapi lebih pada bentuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih.

Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan, “Pada kenyataannya, ibadah "kurban" tidak dimaksudkan semata untuk sedekah dengan dagingnya atau memanfaatkan dagingnya. Berdasarkan firman Allah:

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

“Dagingnya maupun darahnya tidak akan sampai kepada Allah, namun yang sampai kepada kalian adalah taqwa kalian.” (QS. Al-Haj: 37)

Namun yang terpenting dari ibadah "kurban" adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih.” (Syarhul Mumthi’, 7:287). Sementara itu, sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak diketahui adanya tuntunan dari Nabi SAW. maupun para sahabat bahwa mereka ber"kurban" secara khusus atas nama orang yang telah meninggal.

Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah SAW. memiliki beberapa anak laki-laki dan perempuan, para istri, dan kerabat dekat yang ia cintai, yang meninggal dunia mendahuluinya. Namun, Nabi SAW. tidak pernah ber"kurban" secara khusus atas nama salah satu diantara mereka. Nabi tidak pernah ber"kurban" atas nama pamannya Hamzah, istrinya Khadijah juga Zainab binti Khuzaimah, dan tidak pula untuk tiga putrinya dan anak-anaknya ra. Andaikan ini disyariatkan, tentu akan dijelaskan oleh Rasulullah SAW., baik dalam bentuk perbuatan maupun ucapan. Akan tetapi, seseorang hendaknya ber"kurban" atas nama dirinya dan keluarganya. (Syarhul Mumthi’, 7:287).

Meskipun demikian, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah tidaklah menganggap bentuk ber"kurban" secara khusus atas nama mayit sebagai perbuatan bid’ah. Syekh mengatakan, “Sebagian ulama mengatakan, ber"kurban" secara khusus atas nama mayit adalah bid’ah yang terlarang. Namun vonis bid’ah di sini terlalu berat. Karena keadaan minimal yang bisa kami katakan bahwa "kurban" atas nama orang yang sudah meninggal termasuk sedekah. Dan terdapat dalil yang shahih tentang bolehnya bersedekah atas nama mayit” (Syarhul Mumthi’, 7:287).

Sumber:
1. www.pkpu.or.id/lite/news/tanya-jawab-ibadah-kurban
2. www.konsultasisyariah.com/bolehkah-kurban-setiap-t...
3. www.pesantrenvirtual.com/index.php?...qurban
4. www.gemabaiturrahman.com/Sunday-November-29-2009-Gema....
5. www.bkn.go.id/BINROHIS-KANREG-VII-BKN-MELA.....