"Hukum" begitu mudah mencengkeram 
rakyat kecil, namun sulit menjangkau kejahatan di tingkat elite. Dengan 
kata lain, penegakan "hukum tajam ke bawah", tapi "tumpul ke atas".
Dulu ketika jaman Orde Lama,  "hukum" bagaikan sampah yang tiada artinya,
 bayangkan dahulu itu kalaupun pejabat korupsi seBESAR-BESARnya tidak 
akan dipertanggungjawabkan masalah "hukum"nya. Seiring berjalannya waktu 
sampai sekarangpun  masih  dalam perspektif yang sama 
yaitu “Tajam ke bawah, Tumpul ke atas”. Menyedihkan 
memang melihat negeri kita yang baru seumur jagung ini,  68 tahun merdeka 
masih banyak warga/rakyat yang kelaparan di tengah gerlapnya dunia "hukum" di tanah air. Kesal sekaligus gemes terhadap para pejabat maupun 
politikus  yang kerap menyalahgunakan wewenangnya 
dalam mengambil keputusan. Maraknya mengambil hak yang bukan miliknya 
(Korupsi), dan masih banyak lagi. 
Kasus-kasus yang menimpa rakyat kecil seperti AAL, nenek Minah dan 
pencuri kapuk, melahirkan sebuah ironi. "Hukum" begitu mudah mencengkeram 
rakyat kecil, namun sulit menjangkau kejahatan di tingkat elite. Dengan 
kata lain, penegakan "hukum tajam ke bawah", namuni "tumpul ke atas".  Dalam 
kasus dugaan suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior 
Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom, misalnya. Kendati penerima suap 
sudah di"hukum", namun pemberi suap hingga kini belum tersentuh "hukum".
Penegakan "hukum" di negeri ini memang masih layaknya pisau; "tajam ke 
bawah, tumpul ke atas". Aparat penegak "hukum"; mulai polisi, jaksa dan 
hakim, sangat begitu garang ketika menangani dan meng"hukum" pelaku 
kejahatan/tindak pidana dari kaum papa. Garangnya para penegak "hukum" 
sudah dimulai sejak proses penyidikkan di polisi. Sebut saja ketika ada 
orang miskin melakukan tindak pidana pencurian ringan –yang motifnya 
sering kali karena keterdesakan (baca: kemiskinan)- atau tindak pidana 
ringan lainnya, polisi langsung memproses "hukum", bahkan kerapkali pelaku
 langsung ditahan. Alasan normatif “kaku” yang seringkali dipakai adalah
 karena alasan objektif dan alasan subjektif. Dua alasan ini yang sering
 pula diterapkan secara berbeda ketika menangani pelaku yang berbeda 
kasta. Penerapan alasan ini juga yang diterapkan pada kasus; mbah Minah,
 Basar-Kholil, Aal, dan kaum papa lainnya.
Sementara, sebaliknya aparat penegak "hukum" sangat lembek dan 
pedang "hukum" terasa "tumpul" ketika menangani atau berhadapan dengan 
pelaku tindak pidana yang pelakunya dari golongan kasta atas. Sebut saja
 misalnya kasus-kasus mega skandal pembobolan bank, pajak APBN/D, atau 
kasus "hukum" yang melibatkan anak pejabat, sebut saja misalnya kasus Rasyid Rajasa.
Saat ini, praktik ketidakadilan "hukum" yang cukup telanjang adalah 
kasus Rasyid Rajasa yang menjadi terdakwa dalam kasus tabrak mati awal 
Januari 2013 lalu. Sejak awal, ketidakadilan "hukum" sudah mulai menguap; 
mulai dari proteksi pelaku ketika kecelakaan lalin terjadi; kejadiannya 
cenderung “ditutup-tutupi”. Mulai proses "hukum" (baca: penyidikan) di 
kepolisian, sang pelaku atau tersangka tidak ditahan dengan alasan 
subjektif polisi, padahal menimbulkan korban meninggal. Bagi polisi, 
pelaku tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti, dan tidak
 melakukan perbuatan yang sama. Dalam proses penyidikan di kepolisian, 
sangat kelihatan sekali perlakuan yang berbeda dengan kebanyakan pelaku 
yang lainnya dengan kasus yang sama.
Perlakuan "hukum" yang sama juga terjadi ketika masuk ke kejaksaan, 
tersangka juga tidak ditahan, dengan alasan yang nyaris sama pada saat 
penyidikan. Pada proses "hukum" di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, yang 
membuat heran masyarakat luas, adalah dasar "hukum" dan tuntutan Jaksa 
Penuntut umum (JPU). Rasyid dikenakan dakwaan primer Pasal 310 Ayat 4 
subsider Ayat 3 Undang-Undang RI No 22 Tahun 2009 mengenai kelalaian 
dalam mengemudi yang menyebabkan orang lain meninggal dunia dengan 
dakwaan kedua Pasal 310 Ayat 2 Undang-Undang RI No 22 Tahun 2009 
mengenai kelalaian yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas dengan korban
 luka ringan dan kerusakan kendaraan. Atas dasar ini, Rasyid dituntut 8 
bulan dengan masa percobaan 12 bulan.. Dan akhirnya hakim PN memvonis 
Rasyid bersalah dengan hukuman 5 bulan dengan masa percobaan 6 bulan. 
Artinya, putra Hatta Rajasa itu tidak menjalani enam bulan di penjara 
jika selama 12 bulan tidak melakukan pelanggaran "hukum" yang sama. Rasyid
 pun tak pernah ditahan sedikitpun.
Publik langsung terperangah melihat tuntutan JPU dan vonis hakim yang
 super ringan tersebut. Dari tuntutan dan vonis itu, secara yuridis 
normatif memang tidak ada yang keliru. Namun, tuntutan dan vonis 
tersebut tentunya sangat menciderai rasa keadilan masyarakat. Bagaimana 
seandainya kasus yang sama dialami oleh selain Rasyid. Dan fakta 
membuktikan, dengan kasus yang sama pelakunya di"hukum" cukup berat.
Mungkin masyarakat yang sangat awam masih cuek atau tidaklah 
mempedulikan apa itu korupsi, apa efek bagi keberlangsungan hidupnya dan
 apa  pula mudaratnya bagi anak cucunya kelak ketika melihat bangsa yang
 lahir dari nenek moyangnya yang semangat dalam mengusir penjajah untuk 
memerdekakan bangsa yang sangat besar ini bernama Indonesia. Lagu 
Indonesia Raya dinyanyikan di setiap ajang kompetisi olahraga dan bahkan 
berberapa ada yang menitikkan air mata karena saking banggganya terhadap
 negara kita yang kita cintai ini yaitu Indonesia. 
KETIDAKADILAN "HUKUM".
Keadilan "hukum" bagi kebanyakan masyarakat bagaikan sesuatu barang 
yang mahal, sebaliknya barang murah bagi segelintir orang (baca: elit). 
Keadilan "hukum" hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kekuatan 
dan akses politik serta ekonomi saja. Kondisi ini sesuai dengan ilustrasi 
dari Donald Black (1976:21-23), ada kebenaran sebuah dalil, bahwa 
Downward law is greater than upward. Maksudnya, tuntutan-tuntutan atau 
gugatan oleh seseorang dari kelas "atas" atau kaya terhadap mereka yang 
berstatus rendah atau miskin akan cenderung dinilai serius sehingga akan
 memperoleh reaksi, namun tidak demikian yang sebaliknya. Kelompok "atas" 
lebih mudah mengakses keadilan, sementara kelompok marginal atau miskin 
sangat sulit untuk mendapatkannya (Wignjosoebroto, 2008:187).
Fenomena ketidakadilan "hukum" ini terus terjadi dalam praktik "hukum" di
 negeri ini. Munculnya pelbagai aksi protes terhadap aparat penegak 
"hukum" di pelbagai daerah, menunjukkan sistem dan praktik "hukum" kita 
sedang bermasalah. Menurut Ahmad Ali (2005), supremasi "hukum" dan 
keadilan "hukum" yang menjadi dambaan masyarakat tak pernah terwujud dalam
 realitas riilnya, keterpurukan "hukum" di Indonesia malah semakin 
menjadi-jadi. Kepercayaan masyarakat terhadap law enforcement semakin 
memburuk.
Gambaran ini yang disebut Satjipto Rahardjo sebagai bentuk krisis 
sosial yang menimpa aparat penegak "hukum" kita. Berbagai hal yang muncul 
dalam kehidupan "hukum" kurang dapat dijelaskan dengan baik. Keadaan ini 
yang kurang disadari dalam hubungannya dengan kehidupan "hukum" di 
Indonesia (Rahardjo, 2010:17). Praktik-praktik penegakkan "hukum" yang 
berlangsung, meskipun secara formal telah mendapat legitimasi "hukum" 
(yuridis-formalistik), namun legitimasi moral dan sosial sangat lemah.
Ada diskriminasi perlakuan "hukum" antara mereka yang memiliki uang dan
 yang tak memiliki uang, antara mereka yang berkuasa dan yang tak punya 
kuasa. Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase saja. Namun, realita,
 "hukum" terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin dan 
menyanjung kaum elit. Penegak "hukum" lebih banyak mengabaikan realitas 
yang terjadi di masyarakat ketika menegakkan undang-undang atau 
peraturan. Akibatnya, penegak "hukum" hanya menjadi corong dari aturan. 
Ini tidak lain adalah dampak dari sistem pendidikan "hukum" yang lebih 
mengedepankan positivisme. Penegak "hukum" seperti memakai kacamata kuda 
(baca: ber"hukum" dengan UU/pasal) yang sama sekali mengesampingkan fakta 
sosial. Inilah cara ber"hukum" para penegek "hukum" tanpa nurani dan akal 
sehat.
Karena itu, di tengah keterpurukan praktik ber"hukum" di negara kita ini 
yang mewujud dalam berbagai realitas ketidakadilan "hukum", terutama yang 
menimpa kelompok masyarakat miskin, sudah saatnya kita tidak sekedar 
memahami dan menerapkan "hukum" secara legalistic-positivistic, yakni cara
 ber"hukum" yang berbasis pada peraturan "hukum" tertulis semata (rule 
bound), tapi perlu melakukan terobosan "hukum", yang dalam istilah 
Satjipto Raharjo (2008), disebut sebagai penerapan "hukum" progresif. Dan 
salah satu aksi progresivitas "hukum", adalah berusaha keluar dari 
belenggu atau penjara "hukum" yang bersifat positivistik dan legalistik. 
Dengan pendekatan yuridis-sosiologis, diharapkan –selain akan memulihkan
 "hukum" dari keterpurukannya, juga yang lebih riil, pendekatan 
yuridis-sosiologis diyakini mampu menghadirkan wajah keadilan "hukum" dan 
masyarakat yang lebih substantif. (Sumber: Sindo, 28 Maret 2013)
Sumber:
1. news.liputan6.com/.../hukum-tajam-ke-bawah-tumpul...
2.gagasanhukum.wordpress.com/.../ketika-hukum-tump...
3. hukum.kompasiana.com/.../tajam-ke-bawah-tumpul-k...
4. laely.widjajati.photos.facebook/ALHAMDULILLAH..... Limpahan-RahmatMU- pd-saat-Dhuha..
5. laely.widjajati.photos.facebook/MANFAAT/KHASIAT-BUNGA-KAMBOJA......
6. laely.widjajati.photos.facebook/HAVE-A- NICE-SUNDAY...... FOR-ALL....



Tidak ada komentar:
Posting Komentar