"Antropologi Ekonomi" merupakan bagian dari "antropologi" spesialisasi
yang kurang berkembang di Indonesia".
Kondisi ini disebabkan oleh
perhatian terhadap aktivitas per"ekonomi"an lebih menitikberatkan pada
aspek ilmu "ekonomi" modern dan kurangnya perhatian terhadap aspek-aspek
substantif dari aktivitas tersebut. Pendekatan formalis memandang
tahap-tahap perkembangan per"ekonomi"an sebagai sesuatu yang linier,
sehingga perkembangan masyarakat di Indonesia disamakan saja dengan
perkembangan masyarakat barat. Inilah kelemahan pendekatan formalis
dalam "Antropologi Ekonomi" yang menafikan faktor-faktor sosio kultural
yang ada di masyarakat.
"Antropologi Ekonomi" berupaya untuk menjelaskan fenomena aktivitas
"ekonomi" masyarakat tidak melulu berdasarkan teori dan konsep "ekonomi"
modern, akan tetapi berkaitan erat budaya dan lingkungan fisiknya.
Untuk memahami gejala itu, dibutuhkan sebuah pendekatan yang mampu
menampilkan setting keterkaitan antara gejala tersebut dengan baik,
yaitu pendekatan holistik.
"Antropologi Ekonomi" adalah suatu kajian dalam "Antropologi" social
budaya yang memusatkan studi pada gejala "ekonomi" dalam kehidupan masyarakat manusia.
Posisi bidang kajian ini adalah sejajar dengan bidang kajian lain dalam study "Antropologi". Perilaku "ekonomi" adalah saling mempengaruhi factor social budaya yaitu
adanya proses produksi, distribusi dan komsumsi adanya barang dan jasa. Dalam
"Antropologi Ekonomi" mencakup:
(1) bagaimana factor – factor non "ekonomi" dan "ekonomi" berperan dalam
kegiatan "ekonomi";
(2) system kekerabatan berperan dalam kegiatan "ekonomi" yang tidak
dilihat;
(3) pranata- pranata social yang sering kali terkait didalamnya.
Ghathering Society ( Masyarakat Pranata )
Masyarakat yang hidup dalam kelompok – kelompok yang relative kecil dan terpencar- pencar dan sering berpindah- pindah dari suatu tempat ke tempat lain untuk mencari sumber makanan. Dalam proses mata pencaharian manusia yang berawal dari berburu dan meramu menjadi peternakan kerena manusia berhsil menjinakkan binatang buruannya dari tingkat bangsa beternak berevolusi ke bercocok tanam. Ciri-cirinya yaitu:
Masyarakat yang hidup dalam kelompok – kelompok yang relative kecil dan terpencar- pencar dan sering berpindah- pindah dari suatu tempat ke tempat lain untuk mencari sumber makanan. Dalam proses mata pencaharian manusia yang berawal dari berburu dan meramu menjadi peternakan kerena manusia berhsil menjinakkan binatang buruannya dari tingkat bangsa beternak berevolusi ke bercocok tanam. Ciri-cirinya yaitu:
(1) kehidupan kurang stabil akibatnya bahan makanan kurang cukup sehingga
mereka harus hidup berpindah
(2) jumlah penduduk sedikit orang hidup dalam kesatuan keluarga atau kelompok kecil
(3) hubungan social atas dasar kekerabatan
(4) hidup didaerah terpencil kurang kontak dengan dunia luar dan penduduk lainny.
Dalam evolusi mata
pencaharian hidup manusia dibagi atas berburu, beternak, dan berc ocok tanam. Pola hidup masyarakat berburu dan meramu merupakan pola hidup manusia
yang paling tua di permukaan bumi, yang ditandai dengan berkelompok dan
terkadang bermalam di tempat buruannya yang banyak terdapat hewan yang bisa ditangkap untuk
bahan makanan. Pembagian hasil buruannya dengan kaum kerabat, tetangga dan
orang lain dalam masyarakatnya. Misalnya dapat kita lihat pada suku bangsa Bgu penduduk
pantai utara Irian Jaya yang masih hidup berburu dan meramu. Beternak secara tradisional merupakan mata pencaharian pokok yang
dikerjakan secara besar-besaran. Pada masa sekarang beternak dilakukan oleh kurang
lebih tujuh juta manusia yaitu kira- kira 0,02% dari 3 milyar penduduk dunia. Suku
-suku bangsa peternak cenderung bersifat agresif, karena mereka secara terus menerus harus
menjaga keamanan kelompok tetangga suku bangsa peternak juga biasanya hidup mengembara
sepanjang musim semi dan musim panas dalam suatu wilayah tertentu yang sangat luas
dalam musim dingin mereka menetap dalam suatu perkemahan induk atau desa induk.
Berbeda dengan pola hidup bercocok tanam, bercocok tanam di ladang
berpindah, merupakan bentuk mata pencaharian manusia yang lambat laun hilang,
diganti dengan bercocok tanam menetap.bercocok tanam di ladang berpindah dilakukan
dengan membuka sebidang tanah menebang pohon-pohon kemudian membakar daun dahan dan
balok pohon hasil tebangan, lading yang telah dibuka di tengah hutan kemudian
ditanami berbagai macam tanaman tanpa pengolahan tanaman yang intensif juga irigasi.
SEJARAH PERKEMBANGAN "ANTROPOLOGI EKONOMI".
•"Antropologi Ekonomi" berkembang sejak akhir abad ke 19 dan awal ke20
ketika Malinowwski melakukan penelitian di Kepulauan Trobrian
•Dari penelitian tersebut terdapat perhatian dari muridnya yaitu R. Firth, Good Fellow dan Herkofits
•Ahli ilmu "ekonomi" murni yang tertari k dengan pemikiran Malinowski, seperti Manning Nash dan Belsaw
•Ahli sejarah Karl Polanyi dengan latar belakang ilmunya mengkaji system "ekonomi" secara historis
•Dari penelitian tersebut terdapat perhatian dari muridnya yaitu R. Firth, Good Fellow dan Herkofits
•Ahli ilmu "ekonomi" murni yang tertari k dengan pemikiran Malinowski, seperti Manning Nash dan Belsaw
•Ahli sejarah Karl Polanyi dengan latar belakang ilmunya mengkaji system "ekonomi" secara historis
FASE PERKEMBANGAN PENDEKATAN "ANTROPOLOGI EKONOMI".
•Zaman Malinoski akhir abad XIX awal abad XX « Argonauts Of The Westen Pacific” sebagai peletak dasar "Antropologi Ekonomi"
•Munculnya ahli "ekonomi" Roymond Firth, Herkovits serta ahli sosiologi "ekonomi" Good Fellew karyanya masing-masing: primitive Polynesian "ekonomi" (1939) , The "Ekonomi" Primitive people(1940), Principle of "Ekonomi" Sosilogy (1939) yang kemudian mereka disebut Formalis.
•Muncul George Dalton, Karl polangi, Paul Bohannan Buku Dalton “Economic" thery and Primitive Society (1961) mereka disebut subtantivist
•Munculnya M Gother, dengan bukunya yang berjudul: Un Domaine Constita "Antropology Economique”(1974).disebut Neo –Marxist.
•Muncul tulisan James Scott. The Moral Of The Peasent "Economi", Rebillion, Subdistence "Economi" in south east Asia (1977), Disebut Neo Subtantif.
•Terbitnya buku S.Poptein yang berjudul”Retional Peasent”(1978), Disebut Neo Formalist.
•. Munculnya tulisan Cyril S Belhsaw:Traditional exchange and Markets.disebut Moderat.
•Terbit karyta dari "Antropologi" dari Leiden Jpm Den Bremen « Onze Aarde Houndt Neet Van Rejs « (1985) daia disebut strukturalis
•Muncul karya dari "Antropologi" Amerika Steven Goodmen (1986) dia disebut sebagai ahli "Antropologi Ekonomi" simbolik
•Muncul karya Dewey, Szanton, dan Davis mengenai “ social Relation in Philipine Market disebut "ekonomi" personalisme.
Pendekatan –pendekatan dalam "Antropologi Ekonomi" meliputi Pendekatan Formal, Pendekatan Subtantif, Pendekatan Neo Formal, Pendekatan Neo Subtantif, dan Pendekatan
PEMBAHASAN
Dalam kajian ilmu "ekonomi" modern, kegiatan "ekonomi" pada intinya berpusat pada kegiatan produksi barang, distribusi (mendeliverkan barang pada
konsumen) dan akhirnya pada proses konsumi (menghabiskan atau memakai barang atau jasa). Semua
proses ini juga terjadi dalam kehidupan "ekonomi" masyarakat tradisional, walaupun
tidak begitu mendapat perhatian dari ahli "ekonomi" karena lebih memusatkan
per"ekonomi"an pada tingkat global. Dalam sistem matapencarian hidup para ahli "Antropologi"
juga memperhatikan sistem produksi lokalnya, cara pengolahan sumberdaya alam,
cara pengumpulan modal, cara pengerahan dan manajemen tenaga kerja. Teknologi
dalam sistem produksi, sistem distribusi pasar, dan proses konsumsinya. Kalau
dirinci lebih jauh lagi termasuk didalamnya dikaji bagaimana keterlibatan keluarga dalam
mengkonsumsi suatu barang juga sistem distribusi seperti apa yang digunakan, siapa
saja yang terlibat dalam proses produksi, dan lain sebagainya. Di dalam buku pengantar ilmu "Antropologi" terlihat Koentjaraningrat begitu membatasi kajian "ekonomi" pada sistem
mata mencarian hidup hanya dalam ruang lingkup yang kecil saja dan menganggap hal-hal
seperti proses distribusi yang besar dengan jaringan yang luas dan sistem "ekonomi" yang
berdasarkan pada industri merupakan murni kajian ahli "ekonomi". Sehingga memberikan kesan
pemahaman bahwa "Antropologi" adalah ilmu yang tertinggal (membatasi diri pada hal
-hal yang seharusnya bisa menjadi kajian "Antropologi", dengan tidak lepas dari akar
ilmu "Antropologi" sendiri tentunya).
Dalam "Antropologi", terdapat tiga pendekatan yang penting dan berkaitan
dengan kegiatan "ekonomi" yakni, pendekatan formal, subtantif, dan marksis serta
pendekatan lainnya yang mencoba memperbaharui pendekatan yang telah ada sebelumnya.
Ketiga pendekatan tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing -masing.
Umum terjadi bahwa setiap peneliti akan menekankan studinya pada salah satu pendekatan
tersebut. Sebagai peneliti ia akan berusaha untuk menggunakan pendekatan tersbut,
dalam analisis data yang ditemukannya atau mencari sintesa dari teori -teori yang
terdapat pada pendekatan tersebut. Ahli "Antropologi Ekonomi" awalnya terbelah kedalam
pendekatan formal dan subtantif dalam usaha menjelaskan fenomena "ekonomi" dari
masyarakat yang mereka teliti. Namun pada perkembangan berikutnya ahli "Antropologi"
mengembangkan pendekatan marksis. Pada bagian ini dibicarakan pendekatan formal dan
subtantif dan pendekatan Marksis.
A. PENDEKATAN FORMAL
Pendekatan formal adalah pendekatan yang berasal dari teori – teori
makro atau teori konvensionalisme atau teory "ekonomi" klasik untuk menjalaskan dan
menganalisis gejala social "ekonomi" masyarakat. "Ekonomi" sebagai cara mengklasifikasikan
sumber – sumber yang terbatas jumlahnya dan mencapai tujuan – tujuan yang banyak
jumlahnya secara maksimal. Secar konvensional ilmu "ekonomi" kemidian mengasumsikan bahwa
tindakan manusia bersifat rasional dalam melakukan alktivitas "ekonomi" yang
merupakan dasar yang diterima sebagai suatu kebenaran. Pendekatan ini cenderung melihat
gejala "ekonomi" sebagai suatu tindakan memilih antara tujuan -tujuan tak terbatas.
Secara konvensional ilmu "ekonomi" kemudian mengasumsikan bahwa tindakan manusia bersifat rasional
dalam melakukan aktifitas "ekonomi" tersebut. Asumsi tersebut merupakan asumsi
dasar yang diterima sebagai suatu kebenaran.
Gejala "ekonomi" tidak dapat dilihat
dari segi subtantifnya, yaitu dari segi proses pemberian makna sumber daya "ekonomi". Tokohnya yaitu Raymond Firth, Herkovits, Good Fellow, Monning Nash, Pospisil,
Scott Cook, S. Epstein, Alice Dewey, Peggy Barlent. Pendekatan yang sangatlah "ekonomis", namun "Antropologi" menempatkan diri
pada pengembangan ilmu "ekonomi" untuk memahami gejala -gejala yang lebih luas
dalam per"ekonomi"an primitive dan peasant, "Antropologi Ekonomi" sebagai
pendekatan hubungan-hubungan sosial tentang pemanfaatan sumber daya "ekonomi". , untuk
mencapai pemahaman yang akurat tentang keberagaman dan kompleksitas tingkah laku sosial
yang diobservasi, bersifat anhistoris, walaupun bukan anti -historis atau sinkronik,
meskipun pendekatan ini
bersifat analitisaa dan formala dalam orientasinya, tetapi memiliki kecenderungan yang kuat dalam menerapkan prinsip-prinsip abstraksi umum.
bersifat analitisaa dan formala dalam orientasinya, tetapi memiliki kecenderungan yang kuat dalam menerapkan prinsip-prinsip abstraksi umum.
Ada enam ciri yang dikemukakan oleh Scoot Cook (dalam Sairin dkk)
yang membedakan pendekatan formal dengan subtantif.
Pertama, telah diutarakan
sebelumnya bahwa pendekatan formal terkesan dengan kesukse san ilmu "ekonomi"
neo-klasik dalam merumuskan hukum-hukum "ekonomi" untuk menjelaskan dan menprediksi
perilaku "ekonomi" masyarakat Eropa pada abad ke -19 dan ke-20 serta masyarakat
diluar Eropa pada abad tersebut yang menganut sistem ekonomi pasar.
Beberapa prinsip "ekonomi" formal meliputi:
•Scarce/ Limited Of Good atau keterbatasan sumber- sumber atau factor produksi.
•Tujuan cita-cita kebutuhan banyak
•Tujuan, cita-cita atau kebutuhan diarahkan pada kepentingan individu yang berwujud meterial maupun inmaterial
•Perlu "ekonomi"sasi karena sumber – sumber yang terbatas sedangkan kebutuhan tak terbatas / banyak
•Rasionalisasi, eksistensi, evektivitas, dan kulkulasi
•Scarce/ Limited Of Good atau keterbatasan sumber- sumber atau factor produksi.
•Tujuan cita-cita kebutuhan banyak
•Tujuan, cita-cita atau kebutuhan diarahkan pada kepentingan individu yang berwujud meterial maupun inmaterial
•Perlu "ekonomi"sasi karena sumber – sumber yang terbatas sedangkan kebutuhan tak terbatas / banyak
•Rasionalisasi, eksistensi, evektivitas, dan kulkulasi
Kedua, pendekatan formal menempatkan "Antropologi Ekonomi" sebagai studi
tentang hubungan-hubungan sosial yang menayngkut proses pemanfaatan sumber daya
"ekonomi". Hal ini dilakukan sebagai usaha mendeskripsikan dan menganalisis cara
-cara proses pemanfaatan sumber daya "ekonomi" tersebut dalam berbagai setting kultural .
Hubungan-hubungan sosial ssebagai gejala proses pemanfaatan sumber adaya "ekonomi" dapat
dilihat misalnya dalam hubungan patron -klien, hubungan persahabatan, jaringan
kekerabatan dan hubungan-hubungan lainnya yang terpola menurut pranata-pranata dalam
lembaga-lembaga
yang hidup di masyarakat.
yang hidup di masyarakat.
Ketiga, tujuan pendekatan formal ini adalah untuk mencapai pemahaman
yang akurat tentang keragaman dan kompleksitas tingkah laku sosial yang
diobservasi. Untuk mencapai tujuan ini, penganut formalist cenderung mengkonstruksi model-model yang bersifat memprediksi tingkah laku yang akan terjadi dalam berbegai latar
budaya. Hal ini berakibat terjadinya reduksi data dan fakta -fakta yang ada di lapangan. Penganut formal lebih tertarik terhadap fakta-fakta yang relevan
dengan model -model yang telah disusun sebelumnya dan fakta-fakta yang mendukung teori "ekonomi", sehingga mereka
kurang memperhatikan fakta yang khas yang muncul di lapangan.
Keempat, para penganut aliran formal ini pada dasarnya bersifat
sinkronik atau ahistoris. Dengan kata lain, ciri ini menerangkan misalnya bila
meneliti sistem pertukaran dalam suatu sistem "ekonomi", peneliti tidak akan membandingkan sistem
pertukaran secara diakronis melainkan hanya pada suatu periode tertentu saja.
Kelima, meskipun pendekatan ini bersifat analitis dan formal dalam
orientasinya, tetapi mempunyai kecendrungan yang kuat dalam menerapkan prinsip-prinsip abstraksi umum atau dengan menggunakan logika deduktif untuk menganalisis tingkah
laku "ekonomi" pada berbagai latar budaya yang berbeda.
Keenam, penganut pendekatan ini melihat gejala "ekonomi" pada tingkah
laku individu dan motif-motif yang mendorong tingkah laku tersebut, sehingga
per"ekonomi"an dilihat sebagai kumpulan dari pelaku -pelaku, tingkah laku dan motif
-motifnya. Dengan demikian, keberadaan sistem "ekonomi" tergantung atas interaksi antar
individu, individu yang menetukan sistem "ekonomi".
Konsepsi teori "ekonomi" dapat diterapkan pada system "ekonomi" semua
masyarakat di dunia baik "ekonomi" masyarakat sederhana pedesaan maupun "ekonomi"
industri. Hal ini dapat kita lihat pada mekanisme "ekonomi" meliputi harga, modal,
investasi, uang, dan prinsip "ekonomi" meliputi maksimalisasi keuntungan, minimalisasi biaya,
mengenal hokum permintaan dan penawaran. Karena sistem "ekonomi" masyarakat sederhana
hanya dilihat dari perbedaan tingkat, bukan jenis, maka para penganut pendekatan
formalis menyarankan perlunya mengaplikasikan teori "ekonomi" formal untuk mengkaji fenomena "ekonomi" masyarakat sederhana. Beberapa ahli kemudian mencoba mengaplikasikan
dengan memodifikasikan dan mengalih bahkan teori "ekonomi" itu sesuai dengan
kondisi sosio-kultural di lapangan. Pada kaum formalis prinsip "ekonomi" dapat dilakukan
dimana saja dalam masyarakat sederhana hingga yang kompleks objek kajian "ekonomi"
formal organisasi tenaga kerja
1. pola pembagian kerja
2. pola kerjasama dengan kelompok
3. pola kepemimpinan dalam kelompok
4. organisasi pranata- pranata untuk menimbun menggunakan modal dalam wujud tanah dan peralatan produksi dan mendistribusikan hasil produksi
5. pranata sosial budaya di luar ilmu gaib produksi serta simboli k dalam tukar menukar hasil produksi.
1. pola pembagian kerja
2. pola kerjasama dengan kelompok
3. pola kepemimpinan dalam kelompok
4. organisasi pranata- pranata untuk menimbun menggunakan modal dalam wujud tanah dan peralatan produksi dan mendistribusikan hasil produksi
5. pranata sosial budaya di luar ilmu gaib produksi serta simboli k dalam tukar menukar hasil produksi.
Secara umum, pendekatan formalis telah menarik beberapa kesimpulan umum tentang sistem "ekonomi" masyarakat primitif dan peasant. Hal dikemukakan
bahwa sistem "ekonomi" masyarakat tersebut mempunyai banyak kesamaan prinsip dengan
sistem "ekonomi" masyarakat Eropa (modern). Oleh karena itu sistem "ekonomi"
masyarakat sederhana pada dasarnya tidak jauh berbeda jenis dengan sistem "ekonomi"
modern, melainkan hanya berbeda tingkat. Perbedaan tingkat ini terjadi karena
tingkat kemajuan perdaban orang Eropa, khususnya bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kesamaan dasar antara sistem "ekonomi" Eropa dengan sistem "ekonomi" sederhana dapat
dilihat dari : (1) mekanisme "ekonomi", dan (2) prinsip "ekonomi".
Dalam hal ini baik sistem
"ekonomi" modern maupun sederhana sama-sama memakai mekanisme dan prinsip "ekonomi" yang
fungsinya sama. Mereka sama mengenal apa yang disebut sebagai kategori harga,
bank, modal, kredit, investasi, uang dan sebagainya. Mereka mempunyai prinsip
"ekonomis", mengenal prinsip memaksimalkan keuntungan, meminimalisasikan biaya dan mengenal
hukum permintaan dan penawaran
Inti daripada pendekatan formalis ini adalah bagaimana memanfaatkan
sumber daya yang terbatas dan keinginan akan kebutuhan yang banyak. Karena sistem "ekonomi" masyarakat sederhana hanya dilihat dari perbedaan
tingkat, bukan jenis, maka para penganut pendekatan formalis menyarankan perlunya mengaplikasikan teori "ekonomi" formal untuk mengkaji fenomena "ekonomi"
masyarakat sederhana. Beberapa ahli kemudian mencoba mengaplikasikan dengan
memodifikasikan dan mengalih bahkan teori "ekonomi" itu sesuai dengan kondisi sosio
-kultural di lapangan.
R. Firth (dalam Koentjaraningrat 187:1990) termasuk golongan ahli "Antropologi Ekonomi" yang berpendapat bahwa azas -azas mentalitas manusia pada
dasarnya hakikatnya sama dimana-mana. Manusia dalam masyarakat sederhana, masyarakat
pedesaaan atau masyarakat industri, semua akan bereaksi dengan cara yang sama terhadap
rangsangan-rangsanagn "ekonomi" dan perbedaan antara mentalitas dalam masyarakat
non-industri dan masyarakat industri hanya merupakan penjelmaan lahiriah saja dari
perbedaan kuat-lemahnya, atau perbedaan susunan dari unsur -unsur mentalitas tersebut.
Karena "ekonomi" menurut definisi Firth adalah “… seluruh perilaku manusia dalam organisasi dan pranata yang mengatur penggunaan sumber-sumber terbatas untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dalam suatu masyarakat tertentu”. Maka kita dapat memahami mengapa ia
berpendirian bahwa konsep-konsep serta teori-teori yang dikembangkan ilmu "ekonomi" dalam masyarakat industri dapat juga diterapkan pada "ekonomi" masyarakat
peasant. Namun ia juga mengakui bahwa metodologi penelitian ilmu "ekonomi" tidak relevan
untuk emenliti dan menganalisis "ekonomi" dalam masyarakat peasant, karena metodologi
ilmu "ekonomi" sering menggunakan laporan-laporan "ekonomi" tertulis serta data statistik
"ekonomi" secara luas. Bahan seperti itu biasanya tidak ada dalam masyarakat ‘primitif’
peasant.
Sudut pandang Firth tersebut berkaitan dengan hasil penelitiannya pada
masyarakat Haiti. Ia melihat bahwa aktifitas perdagangan dikalangan orang Haiti
dicirikan oleh adanya kompetisi antar pedagang, dan kemahiran para pedagang untuk memasarkan
dan membeli dagangan dengan membaca perkembangan harga. Kondisi seperti itu
menunjukkan bahwa orang Haiti, yang hidup dalam tingkat kebudayaan yang berbedadengan orang
barat, telah mengenal hukum permintaan dan penawaran. Bertolak dari kondisi seperti
itu Firth melihat
bahwa aktivitas "ekonomi" sangat tergantung dari peran -peran individu-individu dalam suatu jaringan "ekonomi". Aktivitas "ekonomi" di barat pun demikian juga, sehingga kajian mengenai aktivitas "ekonomi" perlu memeperhatikan peran mereka dalam latar budaya.
bahwa aktivitas "ekonomi" sangat tergantung dari peran -peran individu-individu dalam suatu jaringan "ekonomi". Aktivitas "ekonomi" di barat pun demikian juga, sehingga kajian mengenai aktivitas "ekonomi" perlu memeperhatikan peran mereka dalam latar budaya.
Kelamahan pendekatan formalis terletak pada pengujian di lapangan .
Pendekatan formalis ini tidak memberikan jawaban mengapa banyak kegagalan
pembangunan "eknomi" di negara berkembang, dan terjadinya penyimpangan arah perkembangan
"ekonomi". Inilah kelemahan pendekatan formalis. Ia mengabaikan dimensi sejarah
perkembangan "ekonomi". Keengganan masyarakat petani berpartisipasi dalam per"ekonomi"an pasar,
misalnya, merupakan suatu hasil dari proses sejarah kapitalisme di dalam
masyarakat negara berkembang, masyarakat pernah merasakan penjajahan. Keengganan-keengganan tersebut sangat rasional sebagai jawaban atas kemiskinan dan
bahaya dari sistem "ekonomi" pasar yang tidak mengenal kasihan. Bahkan di uraikan kritik tajam terhadap
pendekatan ini
B. PENDEKATAN SUBTANTIF
Pendekatan subtantif adalah hekekat, realita, kenyataan, nyata, dan
sebagainya. Jadi pendekatan subtantif artinya sudut pandang yang melihat "ekonomi" yang
nyata sesuai relitanya atau apa adanya yang diterapkan oleh masyarakat tertentu.
Pendekatan subtantif juga menaruh perhatian terhadap upaya untuk menghasilkan teori–teori
baru yang cocok di lapangan kecenderunagnnya ini sangat beralasan karena penganutnya
tidak lagi berurusan denagn konsep "ekonomi" formal meainkan "ekonomi" subtntif yang
melihat gejala "ekonomi" dari proses pemberian makna yang dilakukan manusia dalam
memanfaatkan sumber daya "ekonomi". Penganut pendekatan subtantif juga penempatkan
per"ekonomi"an sebagai rangkaian dari aturan dan organisasi sosial dimana setiap
individu dilahirkan dan diatur dalam suatu system organisasi tersebut. Sebagai suatu system
organisasi fenomena "ekonomi" dalam masyarakat terikat pada system pranata dan norma – norma
yang sama. Konsepsi ini menempatkan individu sebagai pihak pasif dalam aktivitas "ekonomi" sebagai suatu system menetukan bagaimana individu bertingkah laku. Misalnya pada
masyarakat Indian di Irian jaya Tokohnya melipu ti: Karl Polayi, George Dalton,
Sahlin, Paul, Bohanna, Goldman.
Sejarah perkembangan pendekatan subtantif berawal dari pengertian "ekonomi" yang dikemukakan oleh ahli "ekonomi" formal yang berpandangan bahwa kebutuhan
itu terbatas sifatnya, kemudian lahirlah "ekonomi" subtantif yang berpendapat kebutuhan
tidak tak terbatas sifatnya. "Ekonomi" adalah cara pemenuhan kebutuhan/ pemeliharaan
kebutuhan fisik/ biologis serta social dan budaya dilakukan melalui :
(1)
eksploitasi/ pemanfaatan secara maksimal SDA dilakukan d enagn penerapan teknik/ teknologi local
maupun modern yang sudah diterima oleh masyarakat;
(2) pembagian atau kerja sama
(cooperation) pun bagian kerja paengunaan atau pemanfaatan tenaga, pola kerjasama harus
diatur dengan baik. Dalam hal ini aturan "ekonomi" adalah pola social dan budaya untuk
mengatur dan menentukan eksploitasi dan pemanfaatan a tau pembagian tenaga kerja.
Dalam Sairin dkk mengemukakan pandangan penganut pendekatan ini dalam menyimak sistem "ekonomi" peasant.
Pertama, aliran ini menganggap bahwa
dalam per"ekonomi"an peasant tidak ada lembaga yang secara eksklusif hanya
melakukan aktivitas "ekonomi". Jadi di masyarakat tersebut tidak ada lembaga "ekonomi" seperti
PT atau Bank sebagai institusi-institusi milik sistem "ekonomi" kapitalis. Di
masyarakat pra industri institusi yang ada adalah institusi non "ekonomi" yang kegiannya
mengandung aspek-aspek "ekonomi". Contoh sederhana adalah keluarga, ia merupakan lembaga
kekerabatan, tetapi menjalankan aktivitas "ekonomi".
Kedua, aliran menyimpulkan bahwa aturan -aturan dari organisasi "ekonomi" pada per"ekonomi"an masyarakat sederhana berbeda dengan sistem "ekonomi" modern. Dengan kata lain, sistem "ekonomi" masyarakat sederhana merupakan sistem "ekonomi" yang berbeda jenis, bukan hanya berbeda tingkat dengan perekonomian modern. Oleh karena berbeda jenis itu pula maka, teori-teori dan konsep ilmu "ekonomi" tidak dapat diterapkan untuk mengkaji sistem "ekonomi" sederhana. Diperlukan suatu teori dan konsep baru untuk menjelaskan sistem-sistem "ekonomi" sederhana yang beraneka ragam.
Ketiga, perbedaan jenis antara sistem "ekonomi" sederhana dan sistem "ekonomi" modern terletak pada mekanisme "ekonomi", institusi atau lembaga "ekonomi" dan prinsip "ekonomi". Mekanisme "ekonomi", seprti uang misalnya, kalau pun di masyarakat sederhana berlaku, tetapi fungsinya berbeda. Dengan mengamati struktur dan fungsi institusi dan prinsip "ekonomi", maka perbedaan jenis semakin nyata daripada perbedaan tingkat. Pola keterkaitan system keyakinan dan sisitem produksi. System keyakinan meliputi aturan atau sanksi, religi, system upacara, kepemimpinan upacara social. System produksi meliputi factor-faktor produksi berupa tanah, modal, tenaga kerja, skill atau knowledge (Proses kerja produksi). Distribusi meliputi alokasi, excange / pemasaran, system bagi hasil (hasil produksi). Konsumsi yaitu penjatahan pemenuhan kebutuhan, pola makan, (system social budaya).
Kedua, aliran menyimpulkan bahwa aturan -aturan dari organisasi "ekonomi" pada per"ekonomi"an masyarakat sederhana berbeda dengan sistem "ekonomi" modern. Dengan kata lain, sistem "ekonomi" masyarakat sederhana merupakan sistem "ekonomi" yang berbeda jenis, bukan hanya berbeda tingkat dengan perekonomian modern. Oleh karena berbeda jenis itu pula maka, teori-teori dan konsep ilmu "ekonomi" tidak dapat diterapkan untuk mengkaji sistem "ekonomi" sederhana. Diperlukan suatu teori dan konsep baru untuk menjelaskan sistem-sistem "ekonomi" sederhana yang beraneka ragam.
Ketiga, perbedaan jenis antara sistem "ekonomi" sederhana dan sistem "ekonomi" modern terletak pada mekanisme "ekonomi", institusi atau lembaga "ekonomi" dan prinsip "ekonomi". Mekanisme "ekonomi", seprti uang misalnya, kalau pun di masyarakat sederhana berlaku, tetapi fungsinya berbeda. Dengan mengamati struktur dan fungsi institusi dan prinsip "ekonomi", maka perbedaan jenis semakin nyata daripada perbedaan tingkat. Pola keterkaitan system keyakinan dan sisitem produksi. System keyakinan meliputi aturan atau sanksi, religi, system upacara, kepemimpinan upacara social. System produksi meliputi factor-faktor produksi berupa tanah, modal, tenaga kerja, skill atau knowledge (Proses kerja produksi). Distribusi meliputi alokasi, excange / pemasaran, system bagi hasil (hasil produksi). Konsumsi yaitu penjatahan pemenuhan kebutuhan, pola makan, (system social budaya).
Pola keterkaitan pranata social dan "ekonomi", pranata social meliputi
garis keturunan, system pemilihan warisan, dan system pemilihan perkawinan
terkait dengan system "ekonomi" yamg meliputi produksi (tanah, modal, tenaga kerja, dan
skill), distribusi (alokasi/pembagian, excange/pemasaran, bagi hasil, dan hubungan
produksi), dan konsumsi (penjatahan/pemenuhan kebutuhan, dan pola makan). Pola makan secara budaya/keyakinan dan keterkaitan dengan "ekonomi" dapat
kita lihat pada masyarakat misalnya di Mexico terdapat masyarakat yang
menganggap tabuh jika memakan minggo atau srigala sebelum masyarakatnya diinisiasi atau
disakralkan. Dapat juga kita lihat pada masyarakat Amborigi n, masyarakat ini
menganggap tabuh apabila seorang wanita sebelum menstruasi mengkonsumsi burung gagak. Dan
di daerah Sulawesi sendiri terdapat masyarakat yang menganggap tabuh mengkonsumsi
pisang yang berdempetan atau bagi yang berkeyakinan/muslim akan sa ngat diharamkan
untuk mengkonsumsi daging babi.
Terdapat beberapa penganut pendekatan subtantif yang dapat diketahui
dari pikiran-pikiran maupun kesimpulan-kesimpulan yang mereka sajikan dari hasil
studi mereka termasuk di dalamnya adalah Malinowski. Malinowski sebenarnya bukan
tokoh "Antropologi ekonomi". Kendatipun demikian, dari hasil studinya tentang
perdagangan Kula di Kepulauan Trobriand, menjadi dasar bagi "Antropolog" membenarkan aliran
subtantif ini.
Malinowski menemukan bahwa pertukaran benda berharga berupa kalung dan gelang pada penduduk di Kepulauan Trobriand tidak didasari oleh motif "ekonomi" melainkan motif sosial. Pertukaran ini merupakan ekspresi dasar pikiran orang Trobriand tentang pertukaran Hadiah, yang berfungsi membina hubungan sosial yang tinggi nilainya. Pertukaran tersebut juga merupakan aktivitas ritual, jauh dari ektivitas mencari keuntungan. Bakan kesimpulan diperkuat lagi oleh George Dalton (dalam Keesing 202:1999) untuk mengamati fenomena dunia kesukuan seperti halnya pertukaran pasar (muncul dalam bentuk terbatas pada giwwali di kalangan orang-orang Trobriand dan dikembangkan dengan lebih sempurna); begitu juga pada penggunaan beberapa barang berharga yang berfungsi sebagai uang dalam beberapa kasus. Di kalangan orang Trobriand tidak ada barang yang serupa mata uang. Tetapi di bagian-bagian lain di Melanisia, barang -barang berharga dari kerang lebih mendekati fungsi “mata uang”. Karena Tambu digunakan dalam banyak transaksi, karena segala sesuatu yang bisadimiliki seseorang dapat dibeli atau dijual baik dengan harga mati atau harga penawaran, dan karena tambu bisa saling dipertukarkan dengan mata uang resmi, barang-barang berharga berupa untaian kerang ini dalam banyak segi menyerupai mata uang barat. Namun sebagaimana dinyatakan oleh Dalton (1965), semakin periferal fungsi pasa dalam masyarakat Melanesia dan semakin besar maknanya sebagai barang-barang berharga untuk upacara, makin diperlukan kehatian-hatian dalam mempersamakan “mata uang” demikian tadi dengan mata uang di dunia barat.
Malinowski menemukan bahwa pertukaran benda berharga berupa kalung dan gelang pada penduduk di Kepulauan Trobriand tidak didasari oleh motif "ekonomi" melainkan motif sosial. Pertukaran ini merupakan ekspresi dasar pikiran orang Trobriand tentang pertukaran Hadiah, yang berfungsi membina hubungan sosial yang tinggi nilainya. Pertukaran tersebut juga merupakan aktivitas ritual, jauh dari ektivitas mencari keuntungan. Bakan kesimpulan diperkuat lagi oleh George Dalton (dalam Keesing 202:1999) untuk mengamati fenomena dunia kesukuan seperti halnya pertukaran pasar (muncul dalam bentuk terbatas pada giwwali di kalangan orang-orang Trobriand dan dikembangkan dengan lebih sempurna); begitu juga pada penggunaan beberapa barang berharga yang berfungsi sebagai uang dalam beberapa kasus. Di kalangan orang Trobriand tidak ada barang yang serupa mata uang. Tetapi di bagian-bagian lain di Melanisia, barang -barang berharga dari kerang lebih mendekati fungsi “mata uang”. Karena Tambu digunakan dalam banyak transaksi, karena segala sesuatu yang bisadimiliki seseorang dapat dibeli atau dijual baik dengan harga mati atau harga penawaran, dan karena tambu bisa saling dipertukarkan dengan mata uang resmi, barang-barang berharga berupa untaian kerang ini dalam banyak segi menyerupai mata uang barat. Namun sebagaimana dinyatakan oleh Dalton (1965), semakin periferal fungsi pasa dalam masyarakat Melanesia dan semakin besar maknanya sebagai barang-barang berharga untuk upacara, makin diperlukan kehatian-hatian dalam mempersamakan “mata uang” demikian tadi dengan mata uang di dunia barat.
Pemikiran yang lebih mendalam tentang sudut pandang menganut lairan
subtantif dapat disimak dari pemikiran Polanyi, Dalton dan Sahlins. Menurut Karl
Polanyi (dalam Sairin dkk 2002:13), pembangunan pendekatan ini, sistem ekonomi pasar
didominasi oleh pertukaran pasar, sedangkan sistem "ekonomi" tradisional dan peasant
didominasi sistem pertukaran resiprositas dan redistribusi pasar seperti yang ia rumuskan
tentang tiga macam
pertukaran di dalam masyarakat manusia :
1. Perbalasan (reciprocity)
2. Penyebaran kembali (redistribution)
3. Pertukaran pasar (market exchange) (dalam Keesing 201:1999)
pertukaran di dalam masyarakat manusia :
1. Perbalasan (reciprocity)
2. Penyebaran kembali (redistribution)
3. Pertukaran pasar (market exchange) (dalam Keesing 201:1999)
Sedangkan pertukaran yang memakai prinsip pasar selalu memiliki ciri
-ciri sebagai berikut :
1. Memakai uang sebagai alat pengukur barang atau jasa yang dipertukarkan
2. Memakai harga yang diatur oleh hukum permintaan dan penawaran, dan
3. Aktivitas "ekonomi" yang didominasi oleh tujuan -tujuan mencari keuntungan sebanyak mungkin dari sumber daya yang tersedia.
1. Memakai uang sebagai alat pengukur barang atau jasa yang dipertukarkan
2. Memakai harga yang diatur oleh hukum permintaan dan penawaran, dan
3. Aktivitas "ekonomi" yang didominasi oleh tujuan -tujuan mencari keuntungan sebanyak mungkin dari sumber daya yang tersedia.
Sebaliknya, pertukaran yang memakai prinsip resiprositas dan
redistribusi merupakan pertukaran yang tidak bermakna ekonomis dan tujuan mencari
keuntungan komersil, tetapi bermakna sosial, yaitu membina kepentingan dan
solidaritas sosial.
Menurut Polanyi, tugas ahli "Antropologi" adalah menunjukkan karakteristik
yang khas dari setiap per"ekonomi"an, dan mengkaitkan gejala "ekonomi" dengan organisasi
sosial dan kebudayaan. Saran Polanyi ini sejalan dengan konsep-konsep "ekonomi" yang
didefinisikan sebagai proses pemberian makna material. Proses ini melibatkan berbagai
aspek dalam kehidupan manusia baik aspek organisasi sosial maupun kebudayaan. Dengan
memakai makna subtantif, maka dalam mengkaji ekonomi perhatian ditujukan pada
bagaimana cara manusia untuk memenuhi kebutuhan biologis dan sosial. Makna subtantif
berbicara tentang apa yang sebenarnya bukan apa yang seharusnya. Makna formal berbicara
tentang logika rasional dalam memilih alternatif yang beragam di antara sumber daya
yang terbatas.
Seperti halnya yang diungkapkan oleh Polanyi, Sahlins juga rupanya
berpendapat sama dengan melihat bahwa yang membedakan per"ekonomi"an barat dengan
masyarakat tradisional atau petani, terletak pada sistem pertukaran. Menurut
Sahlins, dalam masyarakat sederhana tidak ada alat pertuakaran yang secara umum dapat diterima
setiap orang dalam masyarakat itu. Kegunaan uang sangat terbatas sebagai alat tukar yang
hanya dapat ditukar dengan produk-produk tertentu dan tidak ada standar nilainya. Dengan
tidak adanya alat tukar yang standar inimaka sudah barang tentu orang tidak dapat
melakukan pilihan-pilihan bersifat "ekonomi"s. Sahlins mencontohkan bahwa sistem pertukaran dalam
per"ekonomi"an tradisional berbeda pada masyarakat modern. Dalam masyarakat
tradisional, peranan hubungan kekerabatan dan personal sangat berpengaruh terhadap bentuk
pertukaran.
Dalam lingkungan rumah tangga, pertukaran yang terjadi adalah
resiprositas umum, yaitu individu saling bertukar tanpa mengharapkan suatu pengembalian yang
sebanding. Kedua, adalah pertukaran sebanding yang dilakukan individu dengan individu
lainnya dalam komunitas masyarakat tradisional. Sebaliknya, ketika masyarakat
tradisional melakukan transaksi dengan pihak luar, maka yang terjadi adala resiprositas
negatif yang mengarah pada upaya mencari keuntungan dengan mengorbankan pihak lain.
Dalton sebagai pengikut Polanyi memberikan beberapa catatan tentang
pentingnya melihat perbedaan antara sistem "ekonomi" pasar dan sistem "ekonomi"
sederhana. Menurut Dalton, peneliti mungkin dapat menemukan dalam sistem "ekonomi" yang dapat
disebut gejala kelangkaan, bunga, uang seperti dalam "ekonomi" pasar. N amun
demikian, peneliti jangan menyimpulkan bahwa gejala tersebut sama fungsinya seperti yang
berlaku dalam "ekonomi" pasar di barat. Lanjut dalton mengatakan bahwa semua sistem
"ekonomi" mempunyai ciri yang sama, yaitu adanya oragnisasi yang terstruktur beserta aturan-aturannya yang menjamin tersedianya benda material dan jasa secara terus menerus.
Tugas "Antropolog" adalah memahami organisasi sosial dan aturan tersebut, dan
setiap sistem "ekonomi" ditandai oleh adanya mekanisme "ekonomi" seperti uang. Dalam
menganalisis "ekonomi" peneliti perlu memperhatikan aspek makna yang hidup dalam alam
pikiran masyarakat tentang aspek ekonomi tersebut.
Penganut pendekatan subtantif menempatkan per"ekonomi"an sebagai rangkaian
dari aturan-aturan dan oragnisasi sosial, dimana setiap individu dilahirkan
dan diatur dalam suatu sistem organisasi tersebut. Sebagai suatu sistem organisasi,
fenomena "ekonomi" masyarakat terikat pada sistem pranata dan norma-norma yang sama.
Konsepsi ini menempatkan individu sebagai pihak yang pasif dalam ak tifitas "ekonomi"
karena "ekonomi" sebagai suatu sistem menentukan bagaimana individu bertingkah laku. Kalau
diamati lebih lanjut, cara pandang penganut aliran subtantif mengabaikan gejala
perubahan "ekonomi" dalam masyarakat. Peranan inidividuterhadap perubahans istem "ekonomi"
tidak mendapat perhatian khusus.
Pandangan subtantif mengenai fenomena "ekonomi" yang memandang individu bersifat statis juga kurang dapat diikuti. Pandangan tersebut mempunyai
kejajaran dengan konsep kebudayaan yang melihat bahwa manusia mener ima kebudayaan
sebagai suatu yang diterima begitu saja. Kal au gejala kebudayaan dipandang dari
tingkat individu maka akan terlihat bahwa tidak semua individu nempunyai respon yang sama
terhadap system social budaya yang membelenggu system "ekonomi". Misalnya dapat kita lihat
pada masyarakat Tator dalam pesta kematiannya, semua biaya -biaya atau nilai "ekonomi" pest
tersebut tidak diperhatikan karena sudah menganggap suatu tradisi yang
mesti dilakukan. Penganut aliran ini juga menekankan pentingnya menempatkan "Antropologi Ekonomi" dalam suatu studi sistem "ekonomi" komparatif, yang cakupannya
meliputi deskripsi dan analisis semua sistem ekonomi, baik sistem "ekonomi"
industri dan pra industri, baik yang masih hidup maupun yang sudah tiada. Dengan
melakukan studi komparatif ini, maka peneliti akan menemukan tentang keterbatasan hukum-hukum "ekonomi" dan menemukan universalitas dari hukum -hukum tersebut. Disiplin "Antropologi" sebagai induk yang mengibarkan pentingnya studi komparatif untuk menarik
generalisasi empiris pun mengalami kesulitan karena studinya berurusan engan konsep
lintas budaya.
Pendekatan subtantif pada akhirnya lebih menghasilkan suatu tipologi daripada universalitas dari suatu teori. Dalam pendekatan subtantif juga ditemukan sifat relativistik yang mengemuk akan bahwa sistem "ekonomi" suatu masyarakat merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat tersebut. Akibatnya, karena kebudayaan masyarakat bersifat relatif, maka gejala "ekonomi" yang terjadi pada masyarakat tersebut relatif pula. Oleh karen aitu, penganut pendekatan ini menghendaki suatu studi komparatif dalam menelorkan teori -teori "ekonomi". Pendekatan ini menolak teori "ekonomi" barat karena teori "ekonomi" ini dibangun dari masyarakat baratyang kebuadayaannya berbeda dengan kebudayaan suku -suku bangsa di luar Eropa.
Pendekatan subtantif pada akhirnya lebih menghasilkan suatu tipologi daripada universalitas dari suatu teori. Dalam pendekatan subtantif juga ditemukan sifat relativistik yang mengemuk akan bahwa sistem "ekonomi" suatu masyarakat merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat tersebut. Akibatnya, karena kebudayaan masyarakat bersifat relatif, maka gejala "ekonomi" yang terjadi pada masyarakat tersebut relatif pula. Oleh karen aitu, penganut pendekatan ini menghendaki suatu studi komparatif dalam menelorkan teori -teori "ekonomi". Pendekatan ini menolak teori "ekonomi" barat karena teori "ekonomi" ini dibangun dari masyarakat baratyang kebuadayaannya berbeda dengan kebudayaan suku -suku bangsa di luar Eropa.
Dalam mengkaji "ekonomi", penganut aliran ini kemudian mencoba menyelami
alam pikiran pelaku "ekonomi" secara induktif. Kecendrungan bersifat
relativisme sejalan dengan kecendrungan pendekatan ini bahwa gejala kebudayaan yang ditangkap
merupakan sistem makna yang ada dalam masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan
sumber daya. Meskipun individu memiliki sistem kognitif yang berbeda dalam bertingkah
laku "ekonomi", tetapi mereka mempunyai kesamaan pandangan tentang ekonomi, karena
pandangan "ekonomi" itu berkaitan dengan aspek-asek sosio-kultural yang mereka
miliki. Reevan dengan pendekatan tersebut, aliran ini juga melihat per"ekonomi"an sebagai proses
pemberian makna material ("ekonomi"). Konseps ini mengarahkan peneliti untuk melihat
gejala "ekonomi" bukan pada penampilan (performance), atau barang maupun tingkah laku yang
nampak, tetapi pada pikiran-pikiran yang mendasari terwujudnya barang dan tingkah laku
tersebut.
Seperti aliran formalis, menganalisis "ekonomi" sebagai bidang studi,
tetapi perhatian penganut aliran subtantif juga mencakup di luar "ekonomi" dalam arti
harafiah, karena mencakup aspek sosio-kultural yang terkait pada perilaku "ekonomi". Hal
ini terjadi karena umumnya para penganut subtantif mengabaikan keberadaan gejala "ekonomi"
yang lepas dari aspek sosio-kultural seprti yang diperhatikan para ahli "ekonomi". Mereka
lebih memberikan perhatian terhadap hubungan antara aktivitas "ekonomi" dengan organisasi
sosial serta aspek -aspek budaya dalam masyarakat. Kecendrungan ini
kiranya masuk akal karena sesuai dengan kenyataan di lapangan bahwa aktivitas "ekonomi" dalam
masyarakat primitif dan peasant terintegrasi dengan sistem sosial dan kultur. Keadaan ini
memaksa para "Antropolog" untuk mengkaji masalah "ekonomi" sekaligus pada waktu yang sama mengkaji
aspek sosio kultural yang melekat pada masalah tersebut.
C. PENDEKATAN NEO-SUBTANTIF
Pendekatan ini menganggap "ekonomi" sebagai penguasaan barang dan jasa
secara teratur untuk memenuhi kebutuhan Bio – sosial. "Ekonomi" Subsistensi
merupakan pemenuhan-pemenuhan pokok sehari-hari, tokohnya yaitu James Scoot
tentang moral "ekonomi" petani yaitu, kontimyuitas atas sumber – sumber "ekonomi",
distribusi resiko yang bersifat sosial, sepenanggungan ada perasaan untuk memberi bantuan.
Kedermawanan merupakan wujud distribusi resiko sehin gga ada system Bantu membantu,
patro client jalinan kerjasama yang mapan dan kuat berfungsi sebagi pemberitahuan
pada yang lemah sehingga keselarasan dapat berjalan secara merata dan keseimbangan
kepada semua masyarakatdimana factor- factor produksi selalu terbatas sehingga perlu
dijaga keseimbangannya.
James Scott dalam bukunya yang terbit tahun 1976 berusaha untuk
menerangka tata "ekonomi" masyarakat peasant di Asia Tenggara dan kaitannya dengan
peristiwa pemberontakan yang lekat dengan sejarah kontemporer mereka. Sebagai
langkah pembuka bukunya, Scott menunjukkan fakta bahwa kehidupan ekonomi peasant
hanyalah sedikit diatas garis subsistensi mereka. Secara tegas angka
garis subsistensi itu sendiri tidak pernah diterangkan oleh Scott, menurutnya angka terse but cenderung berbeda
dari satu masyarakat ke masyarakat lain namun berapa perbedaannya juga tetap tidak jelas,
kondisi seba miskin itu pula yang memunculkan etika subsistensi. Di mata Scott dan teman-teman satu alirannya, desa peasant yang harmonis yang memberikan jaminan sosial
bagi kelangsungan hidup warganya, yang tampil sebagai benteng yang melindungi warganyadari
ancaman hidup di bawah garis subsistensi. Bahwa tata "ekonomi" peasant diikat oleh
sistem moral peasant, agar beban kerja dan rejeki terbagi secara merata sehingga
tidak ada satu warga desa pun yang sampai mengalami kelaparan. Scott juga percaya bahwa
perilaku "ekonomi" masyarakat peasant dilangsungkan berdasar prinsip dahulukan selamat. Di
bawah tekanan kemiskinan dan ekosistem yang sering banyak ulah, peasant terpaksa
mengembangkan prinsip "ekonomi" mendahulukan keselamatan hidup daripada mengeluarkan
energi untuk melakukan perbaikan nasib. Dalam kondisi kehidupan yang penuh ancaman itulah peasant baru berani melakukan inovasi, mengeluarkan investa si didalam dua kemungkinana
kondisi.
Pertama, bila keamanan subsistensinya sudah terjaga dan ia yakin benar bahwa
investasi tadiakan mendatangkan hasil. Di mata pemikir "ekonomi" moral sistem "ekonomi" pasar
yang kapitalistik hadir ke hadapan kaum peasant seba gai suatu ancaman
terhadap tata kehidupan desa mereka yang komunal dan memberi jaminan subsistensi. Ketika para
peasant berbondong-bondong memasuki pasar, menjual produk pertanian dan menual
tenaga kerja hal itu terjadi, dalam pandangan "ekonomi" moral, akibat adanya kekuatan
dari luar yang memaksa. Kedua ketika mereka merasa etika subsistensi mereka mendapat
ancaman. Inovasi disini termasuk melibatkan diri dalam "ekonomi" pasar dan
melakukan makar dan pemeberontakan. Kondisi sosial baru, sisitem pasar yang ka pitalistik,
bagi kaum peasant adalah ancaman terhadap harmoni desa dan etika subsistensi yang ada
di dalamnya. Pemebrontakan kaum peasant, dalam pandangan Scott, adalah upaya untuk
menghilangkan ancaman tersebut, pemberontakan adalah upaya untuk menjaga kea manan
struktur sosial lama yang aman dan harmonis.
D. PENDEKATAN NEO-FORMAL
Pendekatan Neo Formalis atau juga biasa disebut dengan "ekonomi"
politik adalah aktivitas "ekonomi" yang berarti cara berproduksi, distribusi, dan
konsumsi yang dilakukan dengan menggunakan lembaga atau pranata-pranata sosial dengan tujuan
untuk memperoleh keuntungan. Salah satu tokohnya adalah S. L Popkin (Rational
of Peasants). Dalam "ekonomi" formal ia bersifat lepas, bebas dari hubungan institusi
atau lembaga-lembaga, sedangkan dalam "ekonomi" neo-formal ia mengandalkan institusi
formal politik yang dapat dikelola dalam rangka usaha-usaha "ekonomi".
"Ekonomi" yang berkenaan dengan pendekatan neo formalis adalah the study
of alocation of source means to al ternative ends, dimana defenisi ini
bersangkut paut dengan “choice action” yaitu setrap individu menjalin relasi dengan institusi
pengontrol sumber daya yang dibutuhkan dalam rangka keuntungan/usaha-usaha "ekonomi". Dalam
choice action terdapat biaya keuntungan, kwalitas skill, dan kondisi sumb
erdaya. hal tersebut harus didukung, motivasi yang tinggi, informasi yang luas, kebebasan
secara luas full emproyment.
Popkin menyatakan bahwa ketika kaum peasant melibatkan diri dalam "ekonomi" pasar, menanam tanaman komoditi, atau menjual tenaga ke pasar, hal itu terjadi bukan karena mereka merasa subsistensinya terancam (seperti yang diutarakan sebelumnya oleh Scoot dalam tulisannya), melainkan karena mereka melihatbahwa pasar menawarkan peluang kehidupan yang lebih baik daripada yang ada di desa. Pembero ntakan kaum peasant bukanlahupaya resporatif untuk menjaga kelanggengan struktur sosial lama, melainkan upaya untuk menciptakan struktur sosial baru yang lebih menguntungkan, agar akses mereka terhadap sumber -sumber ekonomi menjadi semakin besar.
Popkin menyatakan bahwa ketika kaum peasant melibatkan diri dalam "ekonomi" pasar, menanam tanaman komoditi, atau menjual tenaga ke pasar, hal itu terjadi bukan karena mereka merasa subsistensinya terancam (seperti yang diutarakan sebelumnya oleh Scoot dalam tulisannya), melainkan karena mereka melihatbahwa pasar menawarkan peluang kehidupan yang lebih baik daripada yang ada di desa. Pembero ntakan kaum peasant bukanlahupaya resporatif untuk menjaga kelanggengan struktur sosial lama, melainkan upaya untuk menciptakan struktur sosial baru yang lebih menguntungkan, agar akses mereka terhadap sumber -sumber ekonomi menjadi semakin besar.
Pandangan romantis seperti yang dituduhkan Popkins terhadap Scott yang memebawa para pemikir moral pada anggapan yang sesat mengenai desa
peasant. Di mata Scott dan teman-teman satu alirannya, desa peasant yang harmonis yang
memberikan jaminan sosial bagi kelangsun gan hidup warganya, yang tampil sebagai
benteng yang melindungi warganya dari ancaman hidup di bawah garis subsistensi. Desa
peasant menurut Popkin, sama sekali jauh dari kondisi harmonis dan penuh dengan
eksploitasi. Menurut Popkin desa-desa peasant lebih tepat dipandang sebagai
korporasi, bukan sebagai komun dan hubungan patron-klien harus dilihat sebagai eksploitasi bukan
sebagai hubungan paternal. Ketika kaum peasant samapi pada kondisi desa yang
sekarang ini mereka miliki, maka desa itu adalah desa yang lebih baik keadaannya
daripada desa tradisional, desa mereka yang terdahulu. Dewasa ini, masyarakat peasant
tinggal di desa -
desa yang bercirikan :
1. Tanggung jawab pembayaran pajak secara individual
2. Kekaburan batas desa dengan dunia luar.
3. Tidak ada atau sedikitnya larangan pemilikan tanah bagi orang luar desa.
4. Kekaburan perasaan sebagai warga desa
5. Privatisasi tanah milik
desa yang bercirikan :
1. Tanggung jawab pembayaran pajak secara individual
2. Kekaburan batas desa dengan dunia luar.
3. Tidak ada atau sedikitnya larangan pemilikan tanah bagi orang luar desa.
4. Kekaburan perasaan sebagai warga desa
5. Privatisasi tanah milik
Sebagai kebalikan dar desa terbuka, dahulu kaum peasant tinggal di desa-desa tertutup (corporate village) yang bercirikan :
1. Pajak dibayar secara kolektif sebagai tanggung jawab desa.
2. Batas yang tegas antara desa dengan dunia luar
3. Adanya larangan penguasaan lahan atau tanah sebagai hak milik pribadi.
4. Konsep kewargaan desa yang jelas
5. Tanah merupakan hak ulayat desa.
KESIMPULAN
Kajian-kajian yang luas mengenai perekonomian di tingkat global, per"ekonomi"an negara, ketertinggalan negara -negara dunia ketiga (yang
akar permasalahannya juga adalah masalah "ekonomi"), proses pembuatan kebijakan
oleh pemerintah, pola perilaku konsumen, bahkan penciptaan dan inovasi produk
baru
dalam proses produksi sebenarnya bisa diperdalam dan dipelajari oleh spesilaisasi ilmu "Antropologi" seperti "Antropologi Ekonomi", "Antropologi" terapan dan "Antropologi" perkotaan.
dalam proses produksi sebenarnya bisa diperdalam dan dipelajari oleh spesilaisasi ilmu "Antropologi" seperti "Antropologi Ekonomi", "Antropologi" terapan dan "Antropologi" perkotaan.
PENUTUP
Dalam kajian ilmu "ekonomi" modern, kegiatan "ekonomi" pada intinya
berpusat pada kegiatan produksi barang, distribusi (mendeliverkan barang pada
konsumen) dan akhirnya pada proses konsumi (menghabiskan atau memakai barang atau
jasa). Semua proses ini juga terjadi dalam kehidipan ekonomi masyarakat tradisional,
walaupun tidak begitu mendapat perhatian dari ahli ekonomi karena lebih
memusatkan per"ekonomi"an pada tingkat global. Dalam sistem matapencarian hidup para
ahli "Antropologi" juga memperhatikan sistem produksi lokalnya, cara pengolahan sumberdaya alam, cara pengumpulan modal, cara pengerahan dan manajemen
tenaga kerja. Teknologi dalam sistem produksi, sistem distribusi pasar, dan
proses konsumsinya. Kalau dirinci lebih jauh lagi terma suk didalamnya dikaji
bagaimana keterlibatan keluarga dalam mengkonsumsi suatu barang juga sistem
distribusi seperti apa yang digunakan, siapa saja yang terlibat dalam proses produksi, dan
lain sebagainya. Di dalam buku pengantar ilmu "Antropologi" terlihat
Koentjaraningrat begitu membatasi kajian "ekonomi" pada sistem mata mencarian hidup hanya dalam
ruang lingkup yang kecil saja dan menganggap hal -hal seperti proses
distribusi yang besar dengan jaringan yang luas dan sistem "ekonomi" yang berdasarkan pada industri merupakan murni kajian ahli "ekonomi". Sehingga memberikan kesan pemahaman bahwa "Antropologi" adalah ilmu yng tertinggal (membatasi diri pada hal
-hal yang seharusnya bisa menjadi kajian "Antropologi", dengan tidak lepas dari akar
ilmu "Antropologi" sendiri tentunya).
Sumber:
1. fidiyani.wordpress.com/publikasi/buku/2-antropologi-ekonomi/
2. wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/12/antropologi-ekonomi/
3. laely-widjajati/facebook-photos/Habis Libur,
Ayoooo Bekerja Semangaaaaaaat............
4. laely-widjajati/facebook-photos/peningkatan-sdm/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar