"Seorang ayah  tidak dibolehkan memungkiri          nasab "anak" yang dilahirkan di tempat tidurnya, maka begitu          juga dia tidak dibenarkan mengambil "anak" yang bukan berasal          dari keturunannya sendiri". 
Namun demikian tidak tertutup kemungkinan adanya orang-tua yang belum memiliki "anak" setelah lama berkeluarga berusaha meng"angkat" "anak" sebagai pengganti "anak" kandungnya, atau ada orang-tua yang ingin meng"angkat" "anak" orang lain sebagai bentuk kepedulian sosial, meskipun mereka memiliki "anak" kandung sendiri. Umumnya mereka meng"angkat" "anak" saudara mereka yang kurang mampu secara ekonomi. Meskipun demikian ada juga kasus dimana "anak"-"anak" yang di"angkat" tidak memiliki hubungan persaudaraan secara langsung dengan calon orang-tua "angkat"nya. Lantas bagaimanakah kedudukan "anak"-"anak" "angkat" ini dalam "Islam"?
"Islam" sudah mengenal peng"angkat"an "anak" sejak zaman Rasulullah SAW. Karena Rasulullah juga meng"angkat"  seorang "anak" yang bernama Zaid bin Haritsah. Dalam peng"angkat"an "anak""Islam" , nasab (keturunan karena pertalian darah) tidak boleh dihilangkan. Nasab "anak""angkat"  tetaplah mengacu pada ayah kandungnya. Zaid tidak disebut atau dipanggil Zaid bin Muhammad, tetapi Zaid bin Haritsah. Jadi "anak" "angkat" dalam "Islam" tetaplah dinisbatkan kepada ayah kandungnya.
Hal ini sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Al-Ahzab Ayat 4-5:
"Allah tidak menjadikan "anak"-"anak" "angkat"mu itu sebagai "anak"-"anak"mu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu, sedang Allah berkata dengan benar dan Dialah yang menunjukkan ke jalan yang lurus. Panggillah mereka ("anak"-"anak") itu dengan bapa-bapa mereka, sebab dia itu lebih lurus di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapa-bapa mereka, maka mereka itu adalah saudaramu seagama dan kawan-kawanmu."
Marilah kita renungkan ungkapan Al-Qur'an yang suci ini,          yaitu kalimat: "Allah tidak menjadikan "anak"-"anak" "angkat"mu          itu sebagai "anak"-"anak"mu sendiri, yang demikian itu adalah          omongan-omonganmu dengan mulut-mulutmu."
Kalimat ini memberi pengertian, bahwa pengakuan "anak" "angkat" itu hanya omongan kosong, di belakangnya tidak ada          realita sedikitpun. Perkataan lidah tidak dapat mengganti kenyataan dan tidak          dapat mengubah realita, tidak dapat menjadikan orang luar          sebagai kerabat, dan orang asing sebagai pokok nasab, dan          tidak pula "anak" "angkat" sebagai "anak" betulan. Perkataan mulut tidak dapat mengalirkan darah ke dalam          urat dan tidak dapat membentuk perasaan kebapaan ke dalam          hati seseorang, dan tidak pula mengalir dalam kalbu "anak"          "angkat" jiwa kehalusan sebagai "anak" betulan; dia tidak dapat          mewarisi keistimewaan-keistimewaan khusus dari ayah          "angkat"nya dan ciri-ciri keluarga, baik jasmaniah, intelek          maupun kejiwaannya.
Dalam masalah warisan, karena tidak ada hubungan darah,          perkawinan dan kerabat yang sebenarnya, maka oleh Al-Qur'an          hal itu samasekali tidak bernilai dan tidak menjadi penyebab          mendapat warisan. Bahkan Al-Qur'an mengatakan dalam Surat Al-Anfal Ayat 75:
"Keluarga sebagian mereka lebih berhak terhadap sebagian, menurut kitabullah".
Dan dalam hal perkawinan, Al-Qur'an telah mengumandangkan,          bahwa di antara perempuan-perempuan yang haram dikawin ialah          bekas isteri "anak" betul-betul, bukan bekas isteri "anak"          "angkat". Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa' Ayat 24:
"Dan bekas isteri-isteri "anak"mu yang berasal dari tulang rusukmu sendiri".
Oleh karena itu seseorang dibenarkan kawin dengan bekas          isteri "anak" "angkat"nya, karena perempuan tersebut pada          hakikatnya adalah bekas isteri orang lain. Justru itu tidak          salah kalau seorang ayah  "angkat" mengawini bekas istri "anak" "angkat"nya apabila telah dicerai oleh          suaminya ("anak" "angkat"nya).
Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Ahzab Ayat 37:
"Dan (ingatlah) ketika engkau berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau juga telah memberi kenikmatan kepadanya (Zaid bin Haritsah): 'tahanlah untukmu isterimu dan takutlah kepada Allah', dan engkau menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah tampakkan, dan engkau takut manusia, padahal Allahlah yang lebih berhak engkau takutinya. Maka tatkala Zaid memutuskan untuk mencerai Zainab, kami (Allah) kawinkan engkau dengan dia, supaya tidak menjadi beban bagi orang-orang mu'min tentang bolehnya mengawini bekas isteri "anak"-"anak" "angkat"nya apabila mereka itu telah memutuskan mencerainya, dan keputusan Allah pasti terlaksana".
Kemudian Al-Qur'an meneruskan untuk melindungi pribadi          Nabi Muhammad SAW. dalam perbuatan ini dan memperkuat          perkenannya serta menghilangkan anggapan dosa karena          perbuatannya itu. Maka Allah berfirman dalam Al-Qur'an Surat Al-Ahzab Ayat 38-40:
"Tidak boleh ada keberatan atas diri Nabi dalam hal yang telah diwajibkan oleh Allah kepadanya menurut sunnatullah pada orang-orang yang telah lalu sebelumnya, sebab perintah Allah itu suatu ketentuan yang telah ditentukan, (yaitu) orang-orang yang menyampaikan suruhan Allah dan mereka takut kepadaNya, dan tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah; dan kiranya cukuplah Allah sebagai pengira. Tidaklah Muhammad itu ayah bagi seseorang dari laki-laki kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup bagi sekalian Nabi, dan Allah Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu".
Begitulah peng"angkat"an "anak" yang dihapus oleh "Islam";          yaitu seorang menisbatkan "anak" kepada dirinya padahal dia          tahu, bahwa dia itu "anak" orang lain. "Anak" tersebut          dinisbatkan kepada dirinya dan keluarganya, dan baginya          berlaku seluruh hukum misalnya: bebas bergaul, menjadi          mahram, haram dikawin dan berhak mendapat waris.
Di sini ada semacam peng"angkat"an "anak" yang diakui oleh          beberapa orang, tetapi pada hakikatnya bukan peng"angkat"an "anak" yang diharamkan oleh "Islam". Yaitu seorang ayah memungut          seorang "anak" kecil yatim atau mendapat di jalan, kemudian          dijadikan sebagai "anak"nya sendiri baik tentang kasihnya,          pemeliharaannya maupun pendidikannya; diasuh dia, diberinya          makan, diberinya pakaian, diajar dan diajak bergaul seperti          "anak"nya sendiri. Tetapi bedanya, dia tidak menasabkan pada          dirinya dan tidak diperlakukan padanya hukum-hukum "anak"          seperti tersebut di atas.
Ini suatu cara yang terpuji dalam pandangan agama Allah,          siapa yang mengerjakannya akan beroleh pahala kelak di          surga. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. yang dijelaskan          dalam Hadits Riwayat             Bukhari, Abu Daud dan Turmidzi:
"Saya akan bersama orang yang menanggung "anak" yatim, seperti ini sambil ia menunjuk jari telunjuk dan jari tengah dan ia renggangkan antara keduanya".
Laqith ("anak" yang dipungut di jalan) sama dengan "anak"          yatim. Tetapi untuk "anak" seperti ini lebih patut dinamakan          Ibnu Sabil ("anak" jalan) yang oleh "Islam" kita dianjurkan          untuk memeliharanya. Apabila seseorang yang memungutnya itu tidak mempunyai          keluarga, kemudian dia bermaksud akan memberikan hartanya          itu kepada "anak" pungutnya tersebut, maka dia dapat          menyalurkan melalui cara hibah sewaktu dia masih hidup, atau          dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka, sebelum          meninggal dunia
Jadi pengangkatan "anak" yang tidak menjadikan "anak" "angkat" sebagai ahli waris bagi bapak  "angkat"nya dan sebaliknya hukumnya sangat dianjurkan. Peng"angkat"an "anak" dalam  konteks ini berarti memelihara "anak" orang lain sebagai "anak"nya sendiri, yang  biasanya antara "anak" "angkat" dan orang tua "angkat" saling berkepentingan, di mana  pihak "anak", biasanya termasuk "anak" yang berasal dari orang tua yang berekonomi  lemah yang tidak menjamin kesejahteraan bagi "anak"nya di kemudian hari. Sedang  pihak orang tua "angkat", termasuk orang yang berekonomi cukup, bahkan kuat,  yang terkadang dalam kasus tertentu ia tidak mempunyai "anak", atau mempunyai  "anak" tetapi semata-mata berkeinginan menolong nasib "anak" "angkat" yang menurut penilaiannya, jika tidak ditolong atau diangkat, ke depan "anak" tersebut  tidak bernasib baik karena semata-mata disebabkan oleh faktor kekurangan  ekonomi atau minimnya pendidikan lantaran tidak adanya biaya.
Peng"angkat"an "anak" dalam pengertian demikian dan yang bermotif mensejahterakan kehidupan  "anak" dan tidak menjadikan "anak" "angkat" sebagai ahli waris bagi bapak "angkat"nya,  tentu sangat sesuai dengan ajaran "Islam", yang selalu memerintahkan kepada  pemeluknya untuk senantiasa melakukan tolong menolong dalam kebaikan, menolong  orang-orang yang hidup dalam kekurangan, seperti menyantuni orang-orang miskin,  membantu orang-orang yang lemah, memelihara dan menyantuni yatim piatu,  memberikan shadaqah kepada mereka yang lemah dan sebagainya. 
Referensi:
1. media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/303.html
2. www.idlo.int/DOCNews/204DOC2.pdf
3. www.pabondowoso.com/berita-147-pengangakatan-anak-dan-akibat...
3. www.pabondowoso.com/berita-147-pengangakatan-anak-dan-akibat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar