"Tidak mengherankan apabila masalah "agama" dan keberagaman merupakan masalah yang sensitif."
Bagi masyarakat kita yang majemuk, penumbuhan kesediaan untuk saling memahami dan saling menghormati anutan..... "
Bagi masyarakat kita yang majemuk, penumbuhan kesediaan untuk saling memahami dan saling menghormati anutan..... "
Menurut Kathleen Blish, krisis "agama" yang sering diperbincang-kan, disebabkan oleh berbagai perubahan yang secara kasar digambarkan dalam ungkapan 'revolusi industri', perkembangan ilmu dan teknologi, dan sebagainya. Iman terhadap sesuatu kebenaran tidak lagi menurut ""agama" melainkan dicapai melalui penalaran dan alasan-alasan rasional. "Kebenaran ini, di mata seorang modern. berlawanan dengan "agama"; kenyataannya ia kelihatannya menutup jalan untuk memahami "agama".
Di sisi lain orang berbicara tentang kebangkitan kembali "agama"-"agama". Lebih-lebih ketika ada anggapan bahwa ideologi-ideologi sekuler yang menjanjikan perbaikan nasib "manusia" belum juga kunjung berhasil memenuhi janjinya, orang menoleh kembali kepada "agama".
Di kalangan "agama"-"agama" sendiri terasa munculnya kegairahan baru. Ada usaha mengadakan redefinisi, reformulasi dan reinterpretasi tentang "agama" dan relevansinya dengan ke"hidup"an dan tantangan yang dihadapi "manusia" dan masyarakat. Hal ini tidak hanya berlangsung sendiri-sendiri di kalangan masing-masing "agama", akan tetapi juga secara bersama-sama. Berbagai dialog di kalangan berbagai tokoh dari berbagai "agama" yang berlangsung di berbagai tempat, baik pada tingkat lokal, nasional, regional maupun internasional, merupakan bukti-bukti yang jelas tentang hal itu. Kegiatan seperti ini diprakarsai oleh berbagai pihak dan tampaknya akan berlangsung terus di masa-masa mendatang. Kecenderungan dan kesediaan untuk saling belajar dalam dan dari kalangan berbagai "agama" sebagaimana diperlihatkan oleh kegiatan-kegiatan dialog dan semacamnya, haruslah dipupuk terus sehingga gejala saling curiga akan makin menyusut. Sebab kebangkitan kesadaran ber"agama" bisa saja menimbulkan ketegangan dalam hubungan antar kelompok berbagai "agama", lebih-lebih dalam suatu masyarakat di mana berbagai "agama" "hidup" dan berkembang dalam keadaan berdampingan dan sekaligus bersaingan. Masing-masing penganut "agama" merasa mengemban misi luhur untuk menyampaikan kebenaran kepada orang lain.
Tidak mengherankan apabila masalah "agama" dan keberagaman merupakan masalah yang sensitif. Bagi masyarakat kita yang majemuk, penumbuhan kesediaan untuk saling memahami dan saling menghormati anutan dan keyakinan masing-masing pihak menjadi sangat penting. Hal ini merupakan tuntutan obyektif kalau kita menginginkan agar kerukunan hidup di antara umat berbagai "agama" tidak tinggal sebagai gagasan yang mandul dan steril. Kemajemukan keterbukaan dan mobilitas masyarakat kita tidak memungkinkan lagi tegak dan kokohnya tembok-tembok eksklusifisme diantara umat berbagai "agama".
Dalam zaman teknologi modern, "manusia" semakin yakin bahwa berbagai masalah dan kemelut yang dihadapi dewasa ini, tidak mampu dijawab oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern semata, karena keduanya mempunyai keterbatasan-keterbatasan tersendiri. Karena itu manusia mencari kiblat dan alternatif yang lain.
Di tengah gejolak dan ketegangan antara Timur dan Barat, antara Utara dan Selatan, antara negara maju dan negara yang sedang berkembang, berbagai "agama" menggugah kita dengan nilai perdamaian dan cinta kasih yang menjadi suara dominan dari berbagai "agama". Dalam rangka itu pula toleransi, tetap mendapat porsi dalam "hidup" ber"agama".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar