"Hidup dan "mati" adalah dua peristiwa yang berlawanan
 dan datang silih berganti". 
Dalam al-Qur’an disebutkan siklus hidup "mati"
 seseorang ada empat tahap yaitu, "mati", hidup, di"mati"kan dan dihidupkan 
kembali. Ini adalah siklus umum, meski ada yang tidak mengalami 
kehidupan normal seperti prematur atau bayi yang "mati" dalam kandungan. 
Ke"mati"an pertama adalah ketidakadaan atau sebelum 
manusia terlahir di dunia ini. Semua mahluk bermula dari tidak ada dan 
memang tidak ada sebelumnya. Kemudian melalui proses pernikahan ibu dan 
bapak maka terlahirlah kita sebagai manusia.
Ada kisah seorang anak yang protes kepada orang tuanya, saat melihat orang tuanya berfoto di tempat rekreasi tanpa ada dia di tengah-tengahnya.
“Kenapa saya tidak diajak rekreasi di tempat itu?” tanya anak.
 “Itu foto saat ayah dan ibu masih pengantin baru dan adik belum ada” Jawab ayahnya.
 “Lho, koq belum ada, memangnya saya di mana?”
 “Iya belum ada dan masih di perut ibu”.
 Ibunya mengelaknya, “Ayah, waktu itu ibu belum hamil, kan baru sehari menikah dan belum bulan madu. Mungkin di perut ayah?”
“Ah, tidak mungkinlah di perut ayah!”
“Atau di perut nenek?” Tanya ibunya.
Ayahnya menjawab, “Iya ndaklah, kan dia terlahir dari perut ibu. Mungkin masih di langit??”
Anaknya tambah bingung ayah ibunya berdebat tentang keberadaan dia dulu. Ini adalah gambaran bahwa memang manusia itu asalnya tidak ada kemudian dilahirkan di dunia ini menjadi hidup dan ada.
Kemudian hidup di dunia ini juga bukan akhir dari 
segalanya. Artinya ada batas waktu yang g ditentukan menurut taqdir yang
 sudah ditulis Allah. Logikanya kalau manusia ini dihidupkan terus maka 
sudah lama dunia ini penuh dan tidak muat menampung manusia.
Jadi ke"mati"an adalah kepastian. Hidup di dunia ini 
sebenarnya untuk bersiap-siap "mati". Walaupun belum diketahui kapan, dimana dan bagaimana caranya kita akan "mati". Hidup untuk "mati" adalah kata 
singkatnya.
Sungguh dua kelompok manusia
 yang akan merasakan kerugian besar yaitu yang merasa kekal di dunia ini
 atau merasa ke"mati"an adalah ke"mati"an. Dua kelompok ini dominan ada di 
sebagian besar manusia yang beriman setengah dan kafir dengan adanya 
Allah SWT.
Kelompok pertama, yang merasa kekal di dunia. 
Mereka menggunakan berbagai cara untuk mengekalkan dirinya yaitu dengan 
mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, merebut kekuasaan, menjaga 
keamanan dirinya dengan bodyguard, dokter dan pengawal pribadi yang 
berlapis dari masalah makan, tidur dan safty-safty yang lain. Seolah 
malaikat sudah tidak bisa lagi bisa menembus benteng keamanannya. 
Konskwensinya mereka benci dengan cerita-cerita ke"mati"an dan tidak 
peduli dengan urusan ke"mati"an sehingga cenderung menjadi manusia dikator
 atau arogan.
Kelompok kedua, mereka percaya ke"mati"an tapi 
ke"mati"an adalah akhir dari segalanya. Sebagaimana "mati"nya ayam, sapi, 
kambing dan hewan-hewan yang lain. Artinya tidak ada lagi kehidupan 
apalagi pertanggungjawaban atas amal dan perbuatan yang dilakukan selama
 di dunia ini. Sehingga mereka menghalalkan segala cara untuk menguasai 
dunia tanpa ada ketakutan tentang dosa dan neraka. Inilah lahirnya 
pemahaman materialistik yang melahirkan banyak isme-isme yang merusak 
tatanan kehidupan dunia.
Jika tidak ada kehidupan abadi dengan 
pertanggungjawaban. Maka sungguh beruntung orang-orang yang selama ini 
bebas penjara, tidak pernah dihukum selama di dunia karena pengadilan 
dan hakim bisa dibeli, penjara juga di bawah kendalinya, jual beli 
perkara menjadi hobbi. Koq setelah "mati" selesai urusan. Tentu Allah dan 
kehidupan ini adil.
Ada kehidupan abadi yang "indah" harus dijalani 
manusia. Ada malaikat sebagai saksi yang tidak bisa disuap dan dibeli. 
Ada hukuman neraka yang pasti dan tidak bisa ditawar lagi. Pengadilan 
oleh dzat yang maha Adil untuk menimbang dan menakar amal perbuatan 
selama di dunia.  "Indah"nya ke"mati"an karena mengantar ke surga yang penuh
 dengan nikmat - nikmat luar biasa
Tidak Percaya bahwa "mati" itu "indah"..?
Hampir setiap malam Manusia diberikan kenikmatan "mati" ketika Istirahat malam,.
Mereka tidak sadar ketika tidur, akan tetapi banyak Orang yang trauma akan ke"mati"an yang sebenarnya...
 
Oleh sebab itu , sebelum mengalami Ke"mati"an yang sebenarnya , sebaiknya memohon ampunan ,memperbanyak mendekatkan diri juga amal Sholeh selain Shalat...
 
Jangan hanya berpikir masalah Jodoh , Rizky dan maut..
(berpikir tentang kebahagiaan dan kesenangan Dunia saja, seperti berat ditinggal seseorang , keinginan yang tidak terwujud , Kecewa , Putus asa dan lainnya)
 
Karena jika hal ini sampai membuat seseorang terlena , maka dirinya akan menghadap kepada Allah ta'ala dalam keadaan yang merugi serta penyesalan seterusnya
 
Sesuai dengan firman Allah ta'ala:
Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya "mati", lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu di"mati"kan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan? [QS Al Baqarah 2:28].
Hampir setiap malam Manusia diberikan kenikmatan "mati" ketika Istirahat malam,.
Mereka tidak sadar ketika tidur, akan tetapi banyak Orang yang trauma akan ke"mati"an yang sebenarnya...
Oleh sebab itu , sebelum mengalami Ke"mati"an yang sebenarnya , sebaiknya memohon ampunan ,memperbanyak mendekatkan diri juga amal Sholeh selain Shalat...
Jangan hanya berpikir masalah Jodoh , Rizky dan maut..
(berpikir tentang kebahagiaan dan kesenangan Dunia saja, seperti berat ditinggal seseorang , keinginan yang tidak terwujud , Kecewa , Putus asa dan lainnya)
Karena jika hal ini sampai membuat seseorang terlena , maka dirinya akan menghadap kepada Allah ta'ala dalam keadaan yang merugi serta penyesalan seterusnya
Sesuai dengan firman Allah ta'ala:
Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya "mati", lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu di"mati"kan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan? [QS Al Baqarah 2:28].
"Mati" juga dapat dianalogikan seperti pulang. Mudah 
saja kita membayangkan saat kita selesai bekerja atau sudah lama tidak 
berjumpa dengan keluarga anak-anak dan istri kita, betapa "indah" dan 
menyenangkannya pulang menjumpai mereka dan kembali merasakan kebahagian
 dan kehangatan bersama mereka. Ada penyemangat bagi kita sehingga saat 
kita akan pulang selalu ada alasan rindu kepada mereka.
Karena pulang, maka tidak lengkap kalau kita tidak membawa oleh-oleh sebagai bukti bahwa kita pernah pergi meninggalkan keluarga. Maka demikian juga, "mati" akan menjadi soal serius kalau kita tidak membawa oleh-oleh berupa amal kebaikan yang menjadi wasilah bagi Allah untuk menurunkan rahmat dan ridha-Nya sehingga pulangnya kita menuju Allah benar-benar menjadi sesuatu yang membahagiakan. Karenanya, bekal yang harus kita persiapkan menuju "pulang yang hakiki" itu adalah taqwa.
Karena pulang, maka tidak lengkap kalau kita tidak membawa oleh-oleh sebagai bukti bahwa kita pernah pergi meninggalkan keluarga. Maka demikian juga, "mati" akan menjadi soal serius kalau kita tidak membawa oleh-oleh berupa amal kebaikan yang menjadi wasilah bagi Allah untuk menurunkan rahmat dan ridha-Nya sehingga pulangnya kita menuju Allah benar-benar menjadi sesuatu yang membahagiakan. Karenanya, bekal yang harus kita persiapkan menuju "pulang yang hakiki" itu adalah taqwa.
Dalam QS. Almulk :2, Allah menjelaskan pada kita bahwa ke"mati"an dan 
kehidupan itu merupakan wahana ujian bagi kita untuk melihat kualitas 
ihsan kita dalam beramal. Rupanya kata ihsan yang dipilih Allah dalam 
mengukur kualitas kehidupan kita sebelum "mati". Memang ada orang yang 
tidak berbuat sesuatu setalah dia mendapatkan perlakukan baik dari orang
 lain. Ada juga yang berbuat sesuatu sebatas membalas jasa bahwa dia 
pernah diperlakukan baik dengan orang lain, namun ada juga orang yang 
tidak pernah tidak berbuat baik kepada orang lain, baik ia pernah 
berbuat baik kepadanya ataupun tidak karena motivasi berbuatnya melebihi
 dari sekedar sisi kemanusiaan. Tipe yang terakhir inilah yang termasuk 
kedalam kualitas ihsan.
Berbuat ihsan kepada orang lain mestinya diimplementasikan oleh kita karena Allah juga memperlakukan ihsan kepada kita. Allah senantiasa memberikan kebaikan kepada kita meskipun diantara kita tidak tahu berterima kasih atas semua kebaikan itu. Maka wajar jika Dia menyatakan bahwa yang terbaik diantara kita adalah yang kualitas amalnya paling ihsan.
 
"Mati" itu ibarat pintu yang setiap orang akan memasukinya. Tidak usah terlalu takut "mati" karena "mati" mau atau tidak mau, siap atau tidak siap tetap akan menjemput kita. Sama halnya juga kita tidak usah terlalu berani "mati", karena apapun usahanya menuju "mati" kalau saatnya belum tiba tak akan berhasil. Bukan takut atau beraninya yang penting tapi persiapan dan bekal menuju "mati"lah yang setiap insan mesti memikirkannya. Karenanya penting bagi kita memahami pernyataan Agama tentang semua yang berkaitan dengan ke"mati"an.
Dalam tulisan ini akan dipaparkan satu hadits Nabi yang shahih dan sangat masyhur yaitu bahwa, "orang yang "mati" akan terputus amalnya kecuali 3 hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang senantiasa mendoakan orang tuanya.
Berbuat ihsan kepada orang lain mestinya diimplementasikan oleh kita karena Allah juga memperlakukan ihsan kepada kita. Allah senantiasa memberikan kebaikan kepada kita meskipun diantara kita tidak tahu berterima kasih atas semua kebaikan itu. Maka wajar jika Dia menyatakan bahwa yang terbaik diantara kita adalah yang kualitas amalnya paling ihsan.
"Mati" itu ibarat pintu yang setiap orang akan memasukinya. Tidak usah terlalu takut "mati" karena "mati" mau atau tidak mau, siap atau tidak siap tetap akan menjemput kita. Sama halnya juga kita tidak usah terlalu berani "mati", karena apapun usahanya menuju "mati" kalau saatnya belum tiba tak akan berhasil. Bukan takut atau beraninya yang penting tapi persiapan dan bekal menuju "mati"lah yang setiap insan mesti memikirkannya. Karenanya penting bagi kita memahami pernyataan Agama tentang semua yang berkaitan dengan ke"mati"an.
Dalam tulisan ini akan dipaparkan satu hadits Nabi yang shahih dan sangat masyhur yaitu bahwa, "orang yang "mati" akan terputus amalnya kecuali 3 hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang senantiasa mendoakan orang tuanya.
Hadits diatas memang sudah kita ma'lum. Namun dalam tulisan ini patut 
kiranya diungkap juga dari sisi kebahasaannya karena terkait dengan 
makna yang dikandung. 
Pertama, kata "Ibnu Adam" yang sering diartikan 
manusia. Pertanyaannya adalah yang disebut ibnu Adam atau  manusia itu 
berarti mencakup juga non-Muslim bahkan hingga yang kafir, karena 
bagaimanapun semua manusia berasal dariNya. Yang bisa diterangkan dari 
sisi kebahasaannya adalah bahwa kata "ibnu" merupakan isim nakirah 
(bersifat luas dan umum) digabung dengan kata "Adam" yang merupakan isim
 makrifat (bersifat khusus dan terbatas) sehingga dalam kaidah 
kebahasaan bahwa jika isim nakirah diidhafahkan -disandarkan- pada isim 
makrifat maka kata tersebut terhukumi makrifat atau bersifat khusus. 
Oleh karena itu, penyebutan ibnu Adam merujuk kepada keturunan nabi Adam
 yang muslim dan beriman.
Kedua, penyebutan kata shadaqah juga menggunakan bentuk isim nakirah sehingga shadaqah yang dimaksud tidak hanya tertentu kepada uang yang dishadaqahkan itu. Bukankah tersenyum kepada orang lain adalah shadaqah, bukankah membuang duri yang bisa menghalangi jalannya seseorang juga bisa menjadi shadaqah bahkan kesombongan yang dicounter dengan kesombongan pula dengan tujuan mengobati kesombongan pertama juga bisa menjadi shadaqah. Walhasil banyak ragam shadaqah yang bisa kita sumbangsihkan demi membina dan mengejawantahkan sifat jujur dengan bersedakah itu, karena sesuai dengan dasar kata shadaqah itu yang seakar dengan kata shidiq yang berarti kejujuran.
Ketiga, kata ilmu pada hadits tersebut juga menggunakan isim nakirah. Itu berarti tidak hanya tertuju pada jenis ilmu tertentu tapi mencakup semua ilmu yang tentu saja kita sepakati bahwa ilmu itu bisa membawa manfaat bagi banyak hal dan siapapun. Memang dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa orang yang menunjukkan pada seseorang tentang suatu kebaikan maka ia seolah orang yang melakukan kebaikan itu. Dalam keadaan seseorang tidak memiliki harta untuk disedekahkan maka dengan ilmu yang dia miliki menjadi "harta" juga yang ia bisa sedekahkan atau ajarkan karena zakatnya ilmu adalah mengajarkannya.
Keempat, dalam hadits yang sama lagi-lagi penyebutan kata "walad" yang berarti anak menggunakan isim nakirah sehingga asumsinya adalah tidak hanya terbatas pada anak kandung saja yang bisa mendoakan orang tuanya namun orang lainpun yang bisa disebut anak bisa mendoakannya. Anak memang secara faktanya terbagi menjadi dua. Ada anak hakiki yaitu yang benar-benar terlahir dari orang tuanya atau anak kita sendiri dan ada juga anak ghairu hakiki yang bukan terlahir dari kita namun sudah kita anggap menjadi anak. Bukankah siswa atau santri yang belajar pada kita misalnya bisa kita anggap anak. Bukankah anak-anak yatim yang kita urus juga bisa kita anggap anak. Bukankah ada anak angkat atau anak orang lain yang kita nafkahi juga bisa disebut anak. Walhasil mereka adalah aset bagi kita untuk mendulang keikhlasan doanya kelak saat kita telah pulang menghadap-Nya.
Kelima, masih terkait dengan doa anak-anak yang shaleh, redaksi hadits tersebut menggunakan kata "yad'u" -selalu berdo'a- yang merupakan fiil mdhari'. penggunaan fiil mudhari' memiliki makna kontinyuitas sehingga doa anak-anak yang shaleh itu bukannya hanya diberikan pada hari pertama, ketiga, ketujuh, keempat belas, keseratus apalagi keseribu hari setelah meninggalnya saja, tapi diharapkan doa itu berkelanjutan terus kapanpun dipanjatkan yang tiada henti-hentinya. Inilah harapan bagi orang tua yang memilki anak shaleh yang selalu dan senantiasa mendoakannya agar senantiasa diampuni segala dosa dan kesalahannya, diterima segala amal ibadahnya dan Allah meridhainya dengan menurunkan rahmat kepadanya sehingga ia ditempatkan yang layak di sisi-Nya.
 Inilah beberapa pengecualian terkait dengan amal yang senantiasa 
mengalir pahalanya, di saat Allah SWT. menyatakan bahwa untuk manusia tak 
lain hanyalah amal yang diusahakannya. Artinya bahwa pada saat manusia 
meninggal maka yang dianggap adalah hanya yang ia pernah lakukan dan 
usahakan saat hidup. Ini juga sekaligus menjadi penegas bahwa usaha dan 
amal apapun dengan dalih mentransfer pahalanya bagi orang yang sudah 
meninggal tidak diperkenankan karena memang kesempatan orang yang 
meninggal itu sudah habis. Hanya saja, yang bisa dilakukan oleh orang 
yang hidup untuk orang yang telah "mati" adalah mendoakannya, 
memohonkannya ampun, memohonkannya agar Allah menghapus segala dosa dan 
kesalahannya, memohonkannya agar diberikan rahmat sehingga Allah -dengan
 penuh harap dari kita- akan memberikan kebahagiaan untuknya.
Inilah beberapa pengecualian terkait dengan amal yang senantiasa 
mengalir pahalanya, di saat Allah SWT. menyatakan bahwa untuk manusia tak 
lain hanyalah amal yang diusahakannya. Artinya bahwa pada saat manusia 
meninggal maka yang dianggap adalah hanya yang ia pernah lakukan dan 
usahakan saat hidup. Ini juga sekaligus menjadi penegas bahwa usaha dan 
amal apapun dengan dalih mentransfer pahalanya bagi orang yang sudah 
meninggal tidak diperkenankan karena memang kesempatan orang yang 
meninggal itu sudah habis. Hanya saja, yang bisa dilakukan oleh orang 
yang hidup untuk orang yang telah "mati" adalah mendoakannya, 
memohonkannya ampun, memohonkannya agar Allah menghapus segala dosa dan 
kesalahannya, memohonkannya agar diberikan rahmat sehingga Allah -dengan
 penuh harap dari kita- akan memberikan kebahagiaan untuknya.
Kedua, penyebutan kata shadaqah juga menggunakan bentuk isim nakirah sehingga shadaqah yang dimaksud tidak hanya tertentu kepada uang yang dishadaqahkan itu. Bukankah tersenyum kepada orang lain adalah shadaqah, bukankah membuang duri yang bisa menghalangi jalannya seseorang juga bisa menjadi shadaqah bahkan kesombongan yang dicounter dengan kesombongan pula dengan tujuan mengobati kesombongan pertama juga bisa menjadi shadaqah. Walhasil banyak ragam shadaqah yang bisa kita sumbangsihkan demi membina dan mengejawantahkan sifat jujur dengan bersedakah itu, karena sesuai dengan dasar kata shadaqah itu yang seakar dengan kata shidiq yang berarti kejujuran.
Ketiga, kata ilmu pada hadits tersebut juga menggunakan isim nakirah. Itu berarti tidak hanya tertuju pada jenis ilmu tertentu tapi mencakup semua ilmu yang tentu saja kita sepakati bahwa ilmu itu bisa membawa manfaat bagi banyak hal dan siapapun. Memang dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa orang yang menunjukkan pada seseorang tentang suatu kebaikan maka ia seolah orang yang melakukan kebaikan itu. Dalam keadaan seseorang tidak memiliki harta untuk disedekahkan maka dengan ilmu yang dia miliki menjadi "harta" juga yang ia bisa sedekahkan atau ajarkan karena zakatnya ilmu adalah mengajarkannya.
Keempat, dalam hadits yang sama lagi-lagi penyebutan kata "walad" yang berarti anak menggunakan isim nakirah sehingga asumsinya adalah tidak hanya terbatas pada anak kandung saja yang bisa mendoakan orang tuanya namun orang lainpun yang bisa disebut anak bisa mendoakannya. Anak memang secara faktanya terbagi menjadi dua. Ada anak hakiki yaitu yang benar-benar terlahir dari orang tuanya atau anak kita sendiri dan ada juga anak ghairu hakiki yang bukan terlahir dari kita namun sudah kita anggap menjadi anak. Bukankah siswa atau santri yang belajar pada kita misalnya bisa kita anggap anak. Bukankah anak-anak yatim yang kita urus juga bisa kita anggap anak. Bukankah ada anak angkat atau anak orang lain yang kita nafkahi juga bisa disebut anak. Walhasil mereka adalah aset bagi kita untuk mendulang keikhlasan doanya kelak saat kita telah pulang menghadap-Nya.
Kelima, masih terkait dengan doa anak-anak yang shaleh, redaksi hadits tersebut menggunakan kata "yad'u" -selalu berdo'a- yang merupakan fiil mdhari'. penggunaan fiil mudhari' memiliki makna kontinyuitas sehingga doa anak-anak yang shaleh itu bukannya hanya diberikan pada hari pertama, ketiga, ketujuh, keempat belas, keseratus apalagi keseribu hari setelah meninggalnya saja, tapi diharapkan doa itu berkelanjutan terus kapanpun dipanjatkan yang tiada henti-hentinya. Inilah harapan bagi orang tua yang memilki anak shaleh yang selalu dan senantiasa mendoakannya agar senantiasa diampuni segala dosa dan kesalahannya, diterima segala amal ibadahnya dan Allah meridhainya dengan menurunkan rahmat kepadanya sehingga ia ditempatkan yang layak di sisi-Nya.
 Inilah beberapa pengecualian terkait dengan amal yang senantiasa 
mengalir pahalanya, di saat Allah SWT. menyatakan bahwa untuk manusia tak 
lain hanyalah amal yang diusahakannya. Artinya bahwa pada saat manusia 
meninggal maka yang dianggap adalah hanya yang ia pernah lakukan dan 
usahakan saat hidup. Ini juga sekaligus menjadi penegas bahwa usaha dan 
amal apapun dengan dalih mentransfer pahalanya bagi orang yang sudah 
meninggal tidak diperkenankan karena memang kesempatan orang yang 
meninggal itu sudah habis. Hanya saja, yang bisa dilakukan oleh orang 
yang hidup untuk orang yang telah "mati" adalah mendoakannya, 
memohonkannya ampun, memohonkannya agar Allah menghapus segala dosa dan 
kesalahannya, memohonkannya agar diberikan rahmat sehingga Allah -dengan
 penuh harap dari kita- akan memberikan kebahagiaan untuknya.
Inilah beberapa pengecualian terkait dengan amal yang senantiasa 
mengalir pahalanya, di saat Allah SWT. menyatakan bahwa untuk manusia tak 
lain hanyalah amal yang diusahakannya. Artinya bahwa pada saat manusia 
meninggal maka yang dianggap adalah hanya yang ia pernah lakukan dan 
usahakan saat hidup. Ini juga sekaligus menjadi penegas bahwa usaha dan 
amal apapun dengan dalih mentransfer pahalanya bagi orang yang sudah 
meninggal tidak diperkenankan karena memang kesempatan orang yang 
meninggal itu sudah habis. Hanya saja, yang bisa dilakukan oleh orang 
yang hidup untuk orang yang telah "mati" adalah mendoakannya, 
memohonkannya ampun, memohonkannya agar Allah menghapus segala dosa dan 
kesalahannya, memohonkannya agar diberikan rahmat sehingga Allah -dengan
 penuh harap dari kita- akan memberikan kebahagiaan untuknya.
Sebagai pelajaran bagi kita semua, bahwa menjaga dan membawa diri ini 
untuk selalu istiqamah berada di jalan-Nya bukan sebuah perkara mudah 
namun perlu perjuangan untuk mempertahankannya. Tidak hanya itu, 
tuntutan untuk tidak melakukan sesuatu yang tdak benarpun sedemikian 
kuat sehingga yang dikerjakan oleh diri kita adalah hanya kebaikan atau 
fitrah yang telah Allah tentukan. Harapanya perbuatan baik itulah yang 
akan menjadi bekal bagi kita untuk menjumpai sang Khaliq yang telah 
menciptakan dan akan mengembalikan kita semua hanya kepada-Nya. 
Wallahua'lam Bishshawab... 
Sumber:
1. sosbud.kompasiana.com/.../mati-ternyata-indah-lho-5...
2. bimo.septiadi.facebook/mati-itu-indah....
3. rijalalrebell.blogspot.com/.../mati-itu-pulang-pulang-itu-indah...
4. laely.widjajati.photos.facebook/Add-a-description-1....
5. laely.widjajati.photos.facebook/Add-a-description-2....
6. laely.widjajati.photos.facebook/Add-a-description-3....
7. laely.widjajati.photos.facebook/He-he-he-...Senyumnya-manaaaaaa.......



Tidak ada komentar:
Posting Komentar