"Diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa ia berkata, “Nabi 
Muhammad SAW." senantiasa me"ruqyah" dirinya dengan
 doa-doa perlindungan ketika sakit, yaitu pada sakit yang menyebabkan 
wafatnya beliau. Saat beliau kritis, akulah yang me"ruqyah" beliau dengan 
doa tersebut, lalu aku mengusapkan tangannya ke anggota tubuhnya 
sendiri, karena tangan itu penuh berkah.” (HR. Al-Bukhari)".

 
Pada zaman sekarang ini, ada sebagian thullabul ilmi (penuntut ilmu 
syar’i) menjadi terkenal bisa mengobati orang dengan menggunakan "ruqyah".
 Kemampuan me"ruqyah" membuatnya menjadi terkenal sehingga dapat dijumpai 
sarana-sarana tersebut di tengah-tengah masyarakat.
Dengan banyaknya imbalan yang diperoleh dari me"ruqyah" ini, mereka rela 
melepaskan kesibukan-kesibukan dan mengambil jalan pintas dengan cara 
mengkhususkan diri sebagai tukang "ruqyah". Mereka pun banyak memperluas 
waktu untuk itu dan selalu siap apabila ada orang yang datang untuk 
berobat, sehingga membuat mereka sibuk mengatur jam-jam berobat layaknya
 dokter-dokter dan rumah sakit spesialis, serta menjadikan me"ruqyah" ini 
sebagai pekerjaan tetap (profesi).
Mereka mengkhususkan diri untuk me"ruqyah" dan menjadikannya sebagai 
pekerjaan tetap (mata pencaharian) sehingga menjadikan dirinya terkenal.
 Cara seperti ini dapat mendatangkan kemudharatan, baik bagi pe"ruqyah" 
itu sendiri maupun bagi mereka yang di"ruqyah". Di antara kemudharatan itu
 antara lain:
Dengan banyaknya pengunjung yang datang berobat kepada pe"ruqyah", bisa 
menimbulkan kesalahpahaman di kalangan orang awam. Mereka menyangka, 
hanya dengan melihat banyaknya pengunjung yang datang kepadanya, 
pe"ruqyah" tadi mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh orang lain. 
Sehingga dengan demikian, pentingnya pe"ruqyah" melebihi pentingnya 
bacaan-bacaan yang dibaca oleh pe"ruqyah" tadi, yaitu kalam Allah 
Subhanahu wa Ta'ala . Bahkan orang-orang awam tersebut tidak lagi 
melihat pentingnya apa yang dibaca oleh pe"ruqyah", namun hanya melihat 
kepada pe"ruqyah" itu saja.
Dalam hal me"ruqyah", yang memberi manfaat sebenarnya adalah apa yang 
dibaca dari Al Qur`an, sedangkan pe"ruqyah" itu sendiri hanya membacakan 
saja. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
"Dan Kami turunkan dari Al Qur`an suatu penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman…" [Al Isra` : 82].
Dalam surat lain Allah berfirman :
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ 
"…Katakanlah: “Al Qur`an itu adalah penawar dan petunjuk bagi orang-orang yang beriman …." [Fushilat:44].
Kita tidak memungkiri ada atsar dari keshalihan pe"ruqyah", kuat 
keimanannya, tsiqah-nya terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta 
tawakalnya kepadaNya, namun sebenarnya, dia itu hanyalah membacakan 
saja. Karena yang mempunyai pengaruh kesembuhan, sebenarnya ialah 
kalamullah, yaitu Al Qur`an Al Karim yang dibaca oleh si pe"ruqyah" 
tersebut.
Jadi setiap apa yang melemahkan kepercayaan seseorang terhadap kalamullah, maka seharusnya dicegah dan tidak dibiarkan.
Ibnul Qayyim berkata: “Maka Al Qur`an-lah yang menjadi obat sempurna 
bagi semua penyakit hati, penyakit badan, maupun penyakit dunia dan 
akhirat. Tidak seorang pun yang bisa menyembuhkannya kecuali Dia. 
Apabila seseorang sudah memperbaiki caranya berobat dengan menggunakan 
Al Qur`an, kemudian sudah dia tempatkan pada anggota badan yang sakit 
dengan penuh keyakinan dan keimanannya, menerima dengan lapang dada, dan
 dengan keyakinan yang mantap serta semua syarat-syaratnya sudah 
terpenuhi, maka penyakit itu tidak akan pernah menghalanginya untuk 
mendapat kesembuhan. Sebab bagaimana mungkin penyakit dapat menghalangi 
ataupun melawan kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rabbnya segala apa yang
 ada di langit dan di bumi; apabila Al Qur'an itu diturunkan di atas 
gunung, maka gunung itu akan hancur; atau kalau diturunkan di atas bumi,
 maka bumi itu sendiri akan terpotong dan terbelah" [1].  

 
Apabila kita melihat sirah (perjalanan hidup) Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam, sirah sahabat-sahabatnya serta sejarah para ulama 
kaum Muslimin yang tidak diragukan lagi keimanan dan kelebihan mereka, 
maka kita tidak akan menemukan seorang pun di antara mereka yang 
meninggalkan pekerjaan-pekerjaan mereka dan mengkhususkan diri dengan 
membuka praktek pengobatan melalui "ruqyah". Kita juga tidak akan 
mendapatkan salah seorang pun di antara mereka yang menjadikan "ruqyah" 
sebagai mata pencaharian, sehingga membuat mereka menjadi terkenal di 
kalangan masyarakat, apabila disebut namanya, maka disebut juga 
pekerjaannya ini beserta namanya.  
Tidak diragukan lagi, bahwa setiap zaman penyakit-penyakit itu bertambah
 banyak. Namun kita tidak melihat salah seorang pun dari pemimpin kaum 
Muslimin yang menisbatkan dirinya sebagai tukang "ruqyah" seperti 
penisbatan kepada mufti (pemberi fatwa) dan qadhi (hakim). Pada zaman 
dahulu, orang yang menderita suatu penyakit, dia sendirilah yang 
me"ruqyah" dengan menggunakan Kitab Allah (Al Qur`an) dan do’a-do’a yang 
datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan bila ada seseorang 
yang sakit, kemudian ia di"ruqyah" oleh orang yang faham tentang agama, 
maka hal itu boleh saja. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Jabir 
bin Abdillah, ia berkata: Ada seorang di antara kami yang digigit 
kalajengking pada waktu itu kami sedang duduk bersama Rasulullah, lalu 
ada seorang berkata,”Ya, Rasulullah. Bolehkah saya me"ruqyah"nya?” Lalu 
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ
"Barangsiapa di antara kalian yang mampu memberikan manfaat kepada saudaranya, hendaklah ia lakukan". [2]
Seandainya mengkhususkan diri untuk me"ruqyah" dan menjadikannya sebagai 
pekerjaan tetap (profesi) serta menyebarkannya di kalangan masyarakat 
adalah suatu kebaikan, tentu para sahabat akan melakukannya lebih dahulu
 daripada kita. Hal ini, sama juga ketika suatu amalan yang termasuk 
bagian dari syari’at Islam, namun dilakukan dengan cara yang tidak 
sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan 
tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, kemudian dianggap baik oleh 
masyarakat, maka demikian itu termasuk bid’ah. Hal ini sesuai dengan 
penjelasan As Salt bin Bahram, dia berkata: “Sungguh pada suatu hari 
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berjalan melewati seorang perempuan yang 
sedang memegang tasbih yang ia gunakan untuk bertasbih, maka Ibnu Mas’ud
 pun memotong tasbih tersebut lalu membuangnya”. Kemudian beliau juga 
melewati seorang laki-laki yang sedang bertasbih (memuji-muji kepada 
Allah) dengan menggunakan batu-batu kecil, beliau pun menendang 
batu-batu itu dengan kakinya, lantas berkata,’Kelalaian telah membawa 
kebid’ahan yang merupakan suatu kezhaliman, atau kalian telah melampaui 
keilmuan para sahabat Radhiyallahu 'anhum ?’." [3]
Sebenarnya yang membuat para tukang "ruqyah" pada zaman kita ini lebih 
terkenal ialah, karena mereka menyediakan tempat-tempat khusus untuk 
menemui mereka kapan mereka suka, sebagaimana yang dilakukan para 
dokter, pedagang atau pemilik perusahaan lainnya.
Seandainya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membuka tempat khusus untuk 
me"ruqyah" -tentu akan banyak yang datang, dan kemudian beliau sibuk hanya
 untuk menemui mereka kapan mereka mau- tentu beliau tidak akan dapat 
mengajarkan ilmu syar’i, dan juga tidak dapat menjelaskan tentang 
kebenaran agama Islam kepada umat. Terlebih lagi pada zaman yang 
diliputi kejahilan seperti saat ini serta merebaknya kebodohan dan 
khurafat, ketergantungan kepada selain Allah, kepada wali-wali setan, 
para syaikh dan kepada tokoh tertentu. 
Para ulama Ahlus Sunnah tidak mengkhususkan diri mereka semata-mata 
untuk melayani pengobatan dengan "ruqyah" ini, karena mereka betul-betul 
faham terhadap agama Islam -semoga Allah merahmatinya-. Para ulama Ahlus
 Sunnah banyak menyibukkan diri dengan menuntut ilmu untuk memahami 
agama Islam, mendakwahkannya dan berjihad di jalan Allah.
Para setan, apabila melihat ketergantungan seseorang kepada pe"ruqyah" 
yang sudah menolongnya, maka tanpa sepengetahuannya, setan itu akan 
berpura-pura takut kepada pe"ruqyah", kemudian akan mengatakan bahwa 
dirinya akan keluar dari tubuh orang yang dimasukinya tadi dan yang 
semisalnya, dengan tujuan untuk menambah kepercayaan orang tadi kepada 
pe"ruqyah" lebih kuat daripada kepercayaannya terhadap apa yang dibaca 
oleh pe"ruqyah" itu. Di samping itu, setan-setan itu juga bermaksud agar 
orang awam berkeyakinan, bahwa "ruqyah" mempunyai keanehan tersendiri.
Dalam riwayat Abu Dawud dengan lafazhnya sebagai berikut: dari Zainab 
-istri Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhuma – berkata: Sesungguhnya 
Abdullah melihat benang di leherku, lalu ia berkata,”Apa ini?” Aku 
menjawab,”Benang untuk me"ruqyah"ku”. Zainab berkata: Lalu Abdullah 
mengambilnya, kemudian memotongnya, lalu ia berkata : Kamu semua, wahai 
keluarga Abdullah, sungguh tidak butuh kepada syirik. Aku telah 
mendengar Rasulullah bersabda.
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَلَةَ شِرْكٌ
"Sesungguhnya "ruqyah" [4], tamimah[5], dan tiwalah[6] adalah syirik".
Maka aku berkata: “Waktu itu mataku berair, dan aku berobat kepada fulan Yahudi. Jika ia me"ruqyah"ku, maka aku merasa enak”. 
Maka Abdullah berkata: Itu hanyalah perbuatan setan. Setan itu 
merangsangnya dengan tangannya. Karenanya, jika ia me"ruqyah", ia 
menahannya dari rasa salah. Akan tetapi cukuplah kamu mengucapkan 
sebagaimana Rasulullah ucapkan.
أَذْهِبِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ, وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِى, لاَشِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَيُغَادِرُ سَقَمًا.
"Hilangkanlah penyakit wahai Rabb manusia, dan sembuhkanlah! Engkau 
adalah Dzat Penyembuh, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan Engkau, 
kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit". [7]
Tipu daya setan terhadap manusia itu sangat besar, sampai-sampai tidak 
bisa diketahui, kecuali oleh orang-orang yang faqih dalam masalah agama.
 Sedangkan apa yang dilakukan orang-orang awam ketika mendengar 
cerita-cerita aneh tentang si pe"ruqyah", mereka hanya berlomba-lomba 
menemui tukang "ruqyah" itu dan memberikan kepada mereka upah yang tidak 
sedikit jumlahnya. Lebih-lebih lagi apabila mereka mendengar bahwa 
setan-setan berbicara dengan menggunakan lidah orang-orang yang 
dimasukinya tadi di depan pe"ruqyah", kemudian pe"ruqyah" tadi membuat 
perjanjian dengan setan itu untuk tidak masuk lagi ke dalam tubuh orang 
yang dimasukinya tersebut.

 
Semakin banyak tersebar cerita-cerita aneh seperti ini, semakin banyak 
pula orang-orang yang mendatangi pe
"ruqyah" ini dengan maksud untuk 
memastikan bahwa dalam dirinya memang tidak ada jin. Seandainya keadaan 
seperti ini memang benar merupakan karamah dari Allah Subhanahu wa 
Ta'ala, maka seharusnya bagi pe"ruqyah" itu untuk takut dari akibat yang 
disebabkan oleh perbuatannya itu. Apalagi seandainya ia tidak bisa 
menjamin bahwa hal itu bisa mengakibatkan istidraj, atau hal itu hanya 
merupakan tipu daya setan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ketika kejadian-kejadian yang 
luar biasa itu sering terjadi pada diri seseorang, maka hal itu tidaklah
 mengurangi derajat orang tersebut. Banyak di antara orang-orang shalih 
yang bertaubat dari hal seperti ini. mereka bertaubat kepada Allah 
Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana taubatnya orang-orang yang berbuat 
dosa-dosa, seperti dosa zina dan mencuri. Mereka mengadukan hal itu 
kepada yang lainnya lantas berdo’a memohon kepada Allah Subhanahu wa 
Ta'ala untuk menghilangkannya. Mereka juga memerintahkan kepada 
orang-orang yang ingin bertaubat agar jangan mengharapkan 
kejadian-kejadian aneh tersebut, lantas menjadikannya sebagai ambisi 
yang harus didapatkannya. Jangan pula berbangga dengan hal itu kemudian 
menyangka, bahwa hal itu sebagai bagian dari karamah. 
Bagaimana 
seandainya, jika hal itu benar-benar perbuatan setan dengan maksud untuk
 menyesatkan mereka? Karena saya tahu, orang-orang yang diajak berbicara
 oleh tumbuh-tumbuhan, ia memberitahukan bahwa di dalam dirinya ada 
manfaatnya. Saya tahu, sebenarnya yang mengajak mereka berbicara itu 
adalah para setan yang ada dalam tumbuh-tumbuhan tersebut. Saya juga 
mengerti orang-orang yang diberi tahu oleh batu, pohon; lantas batu dan 
pohon-pohon itu berkata kepada mereka “Mudah-mudahan dapat 
menyenangkanmu wahai wali Allah”. Ketika dibacakan ayat kursi kepadanya,
 maka hilanglah semua itu. Saya juga mengerti orang-orang yang pergi 
menangkap burung; lantas burung-burung itu berkata kepadanya “Bawalah 
diriku agar aku dimakan oleh orang-orang yang sangat membutuhkan”. Hal 
itu bisa terjadi, karena setan masuk ke dalam tubuh burung itu; 
sebagaimana ia masuk ke dalam tubuh manusia, lalu berkata seperti yang 
diucapkan tadi”.[8]
Bisa jadi, orang-orang yang me"ruqyah" itu merasa bahwa dirinya adalah 
salah seorang wali Allah yang berbakti kepadaNya, atau merasa tinggi 
hati dan yang lainnya. Ini disebabkan karena begitu banyak penyakit yang
 sudah disembuhkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui "ruqyah"nya; 
demikian juga melihat bagaimana setan takut kepadanya dan langsung 
keluar dari orang yang kesurupan, dan yang lainnya. Para salafush shalih
 dahulu -semoga Allah merahmati mereka- merasa takut dan khawatir 
terhadap hal-hal seperti ini, dan mereka pun menutup jalan masuk 
perasaan-perasaan seperti itu.
Orang yang me"ruqyah", sebagaimana yang sudah disebutkan di muka, tidaklah
 seperti seorang dokter yang banyak dikunjungi para pasien untuk berobat
 kepadanya; karena seorang dokter itu mengobati dengan pengobatan yang 
sudah diketahui, dan dia tidak mengetahui bahwa obat itu bermanfaat 
kecuali apabila pasien itu sendiri yang mengatakan kepadanya tentang 
penyakitnya. Bahkan seorang pasien meyakini, bahwa kesembuhannya itu 
tergantung dengan obat-obatan yang diberikan oleh dokter, bukan dengan 
dokter yang mengobatinya. Ini berbeda dengan seorang pe"ruqyah"; maka dia 
menyangka bahwa kesembuhan itu tergantung pada dirinya bukan kepada apa 
yang dibacanya, dengan alasan Al Qur`an ada pada diri setiap Muslim, 
mereka bisa membacanya kapan saja mereka inginkan, namun walaupun 
demikian, mereka berserah diri agar yang membacanya itu harus si 
pe"ruqyah". Hal ini bisa memasukkan perasaan ujub dan sombong pada diri 
pe"ruqyah"; dia menyangka dirinya dengan prasangka yang bermacam-macam. 
Tidak diragukan lagi, menjauhi hal seperti ini adalah lebih baik. Allahu
 a’lam bish shawab.
Salah satu kritik yang perlu diarahkan kepada para tukang "ruqyah" yang 
menggunakan tata cara yang tidak dicontohkan syar’i. Yaitu, 
kadang-kadang mereka berbicara tanpa didasari oleh ilmu. Misal, apabila 
mereka me"ruqyah" seseorang, namun jin yang ada dalam tubuh orang tersebut
 tidak mau berbicara, mereka dengan mudahnya berkata “tidak ada jin 
dalam tubuhmu, namun engkau hanya terkena ‘ain”, atau perkataan “tidak 
ada jin dalam tubuhmu dan tidak juga penyakit ‘ain”. Mereka juga berkata
 “kami tidaklah me"ruqyah" orang kesurupan, kecuali jin itu pasti akan 
berbicara dan berdialog dengan kami karena takutnya kepada kami, atau 
kepada bacaan-bacaan yang kami baca”.
Hal seperti ini bukan berarti menunjukkan si pe"ruqyah" tersebut berilmu. 
Karena sesungguhnya orang yang kesurupan, apabila dibacakan doa dan 
dzikir-dzikir yang biasa digunakan untuk me"ruqyah", kemudian jin yang ada
 di dalam tubuhnya itu merasa takut, maka disebabkan karena ketakutannya
 itu ia pun berbicara. Atau mungkin saja jin itu tidak berbicara dan 
tidak takut. Jadi, dari mana para tukang "ruqyah" itu mengatakan dengan 
yakin, bahwa tidak ada jin atau penyakit ‘ain pada diri seorang 
kesurupan yang sedang di"ruqyah"nya? Kesurupan seperti ini bisa terjadi, 
karena orang yang sakit tadi meninggalkan doa-doa yang diajarkan Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan sebaliknya ia yakin dengan 
perkataan-perkataan para tukang "ruqyah". Allah Subhanahu wa Ta'ala 
berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan
 tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya 
itu akan dimintai pertanggung-jawabannya". [Al Isra`: 36].
Hal yang perlu juga dikritik dari para pe"ruqyah" tersebut, yaitu cara 
mereka mengumpulkan orang-orang yang datang berobat kepadanya, kemudian 
dia membacakan kepada mereka sekaligus dengan satu bacaan, dengan tujuan
 untuk mempersingkat waktu, karena begitu banyak orang yang datang 
berobat kepadanya. Kemudian para pengunjung tadi mengambil ludah 
pe"ruqyah" dengan menggunakan bejana-bejana mereka. Ataupun mengadakan 
majelis khusus dengan mengundang banyak orang untuk di"ruqyah", kemudian 
di"ruqyah" satu persatu, dengan maksud sebagai tontonan kepada masyarakat 
sebagai media pengobatan massal. 
Melihat begitu banyaknya keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan 
cara seperti itu oleh para pe"ruqyah", seperti harta banyak, maka beberapa
 dukun maupun orang pintar dan pembohong besar berlomba-lomba 
menampakkan diri sebagai tukang "ruqyah". Mereka pun membuka tempat-tempat
 khusus untuk tujuan ini, mencampurkan kebenaran dengan kebatilan 
sehingga membuka pintu-pintu kehancuran bagi umat manusia. Dengan 
demikian, sulit untuk mengingkari para dukun dan orang pintar, karena 
semuanya bercampur dengan orang yang tidak mencampurkan bacaan mereka 
dengan tipuan atau ramalan yang mengakibatkan sulitnya membedakan antara
 mereka. Dan suatu kemungkaran itu menjerumuskan kepada kehancuran, maka
 wajib bagi kita untuk mencegahnya, sekalipun orang yang melakukan hal 
itu bermaksud baik.
Abdullah bin Mas’ud dan para sahabatnya serta para ulama tersohor 
melarang untuk menggantungkan Al Qur`an walaupun itu adalah kalamullah, 
sebagai cara untuk mencegah kemungkaran, agar hal itu tidak menjurus 
pada penggantungan tama’im [9]. Dan sebagaimana hal ini difatwakan oleh 
Lajnah Ad Da’imah Lil Buhutsil ‘Ilmiah Wal Ifta’ Saudi Arabia.[10]
Orang-orang yang mengkhususkan diri untuk me"ruqyah" dan menjadikannya 
sebagai pekerjaan tetap (profesi), mereka mengira jika hal itu boleh 
saja dilakukan dan hukum melakukannya adalah sunnah; dan sunnah termasuk
 salah satu hukum syar’i yang merupakan suatu ibadah. Maka perbuatan ini
 bisa menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan bid’ah, karena menjadikan 
ruqyah sebagai profesi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak juga oleh para khulafa’ur 
rasyidin.
Adapun yang terjadi pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, 
ketika beberapa sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam 
melewati sebuah sumber air yang di dekatnya ada sekelompok orang. Salah 
seorang dari sekelompok orang tersebut digigit binatang berbisa. 
Kemudian salah seorang dari mereka berkata: “Apakah di antara kalian ada
 yang dapat me"ruqyah" karena di dekat sumber air itu ada orang yang 
tersengat binatang?” Kemudian pergilah salah seorang di antara para 
sahabat membacakan surat Al Fatihah dengan perjanjian, apabila ia 
sembuh, maka ia dibayar dengan seekor kambing. Setelah dibacakan, orang 
itu pun sembuh, lalu ia memberikan seekor kambing sesuai dengan 
perjanjian mereka sebelumnya. Ketika sahabat tadi kembali ke 
rombongannya dengan membawa seekor kambing, rombongannya tidak mau 
menerima kambing itu dan berkata: “Engkau telah mengambil upah dari 
kitab Allah”. Ketika mereka sampai di kota Madinah, mereka pun 
melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam . Mereka berkata,”Wahai, Rasulullah. Bolehkah kita mengambil upah
 dari Kitab Allah?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu 
menjawab: 
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ.
"Sebaik-baik upah yang kalian ambil adalah upah dari Kitab Allah".[11]
Beberapa sahabat ada yang terkenal dengan doanya yang mustajab, seperti 
Sa’ad bin Abi Waqqas. Dia termasuk salah seorang dari sepuluh orang yang
 diberi kabar gembira untuk masuk surga, dan termasuk orang yang 
didoakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar doanya 
terkabul. Sa’ad berkata: Rasulullah mendoakanku :
اَللَّهُمَّ اسْتَجِبْ لَهُ إِذَا دَعَاكَ 
"Ya Allah, kabulkanlah doanya apabila ia berdoa kepadaMu".[12] 
Selain itu juga beberapa tabi’in (pengikut Nabi Shallallahu 'alaihi wa 
sallam) seperti Uwais Al Qarni Radhiyallahu 'anhu. Namun, walau demikian
 keadaannya, tidaklah membuat kaum Muslimin sangat membutuhkan 
kemustajaban doa mereka untuk memperbaiki dunia dan agama kaum Muslimin,
 meski sebenarnya tidak ada larangan syar’i untuk datang dan meminta doa
 kepada mereka, sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khaththab z kepada 
Uwais bin Al Qarni, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam 
memberitahukannnya untuk melakukan hal itu. Walau demikian, tidak 
diragukan lagi, seandainya Umar bin Khaththab melihat penduduk Madinah 
berkumpul di tempat Uwais untuk meminta doa, demikian juga penduduk 
Makkah dan Irak, tentu ia akan mencegahnya, meskipun beliau juga pernah 
meminta doa kepada Uwais. Hal ini dia lakukan karena takut akan terjadi 
fitnah pada diri orang-orang tersebut dan terhadap Uwais sendiri. Dan 
karena kefakihan Uwais Al Qarni Radhiyallahu 'anhu , ia berusaha 
menyembunyikan keberkahan doanya dan tidak menjerumuskan diri sendiri 
dan orang lain terhadap fitnah.

 
Diriwayatkan dari Usair bin Jabir. Dahulu, ketika Umar bin Khaththab 
Radhiyallahu 'anhu didatangi oleh sekelompok rombongan yang datang dari 
negeri Yaman, beliau bertanya kepada mereka: “Apakah di antara kalian 
ada yang bernama Uwais bin Amir?” Sampai ia ditunjukkan kepada Uwais, 
kemudian beliau berkata: “Apakah engkau Uwais bin Amir?” Dia 
menjawab,”Ya, saya Uwais bin Amir.” Beliau berkata lagi,”Uwais yang 
berasal dari Bani Qarni, dari suku Murad?” Uwais menjawab,”Ya, betul.” 
Umar lalu melanjutkan,”Dulu engkau pernah terkena penyakit kusta, namun 
setelah itu engkau pun sembuh, kecuali masih tertinggal sedikit lagi?” 
Uwais menjawab,”Ya, benar.” Kemudian Umar melanjutkan,”Engkau mempunyai 
seorang ibu?” Uwais menjawab, ”Betul.” Setelah itu Umar berkata lagi, ”Aku
 mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Akan 
datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama sekelompok rombongan dari 
negeri Yaman, dia berasal dari Bani Qarni dari suku Murad. Dahulu ia 
pernah terkena penyakit kusta, namun ia pun sembuh dari penyakit 
tersebut kecuali masih tertinggal sedikit lagi. Dia sangat berbakti 
kepada ibunya. Apabila dia bersumpah dengan Nama Allah, karena baktinya 
kepada ibunya, Allah akan mengabulkan segala permintaannya. Apabila 
engkau mau agar dia memohonkan pengampunan untukmu kepada Allah 
Subhanahu wa Ta'ala , maka lakukanlah’.” Umar lalu berkata: “Mohonkanlah
 pengampunan untukku kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala ”. Setelah itu 
Uwais pun mendoakan agar Allah Subhanahu wa Ta'ala mengampuninya.
Setelah itu Umar bertanya, ”Hendak kemanakah engkau?” Dia menjawab, ”Ke 
negeri Kufah.” Umar berkata lagi, ”Maukah engkau kutuliskan sepucuk surat
 kepada gubernur di sana?” Dia menjawab, ”Aku lebih senang bersama 
orang-orang miskin ini.” Perawi berkata: “Setelah satu tahun dari 
pertemuan mereka itu, salah seorang dari kepala suku Bani Qarni datang 
ke kota Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Ketika kepala suku itu 
bertemu dengan Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, Umar bertanya 
kepadanya tentang keadaan Uwais. Kepala suku itu lalu menjawab, ”Aku 
tinggalkan dia dalam keadaan sangat menyedihkan, miskin sekali.” 
Mendengar jawaban itu, Umar lalu memberitahukan apa yang disabdakan 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya tentang Uwais. Umar 
berkata, ”Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam 
bersabda, ’Akan datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama sekelompok 
rombongan dari negeri Yaman, dia berasal dari Bani Qarni bermarga Murad.
 Dahulu ia pernah terkena penyakit kusta, namun ia pun sembuh dari 
penyakit itu, kecuali masih tertinggal sedikit lagi. Apabila engkau mau 
agar dia memohonkan pengampunan bagimu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala ,
 maka lakukanlah’."
Setelah selesai mengerjakan ibadah haji, kepala suku itu pun pulang dan 
langsung menemui Uwais, lantas berkata kepadanya: “Mohonkanlah ampunan 
bagiku kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.” Uwais menjawab, ”Engkau baru 
saja kembali dari suatu perjalanan shalih (kebajikan). Engkaulah yang 
lebih pantas untuk memintakan aku pengampunan kepada Allah Subhanahu wa 
Ta'ala. Apakah engkau bertemu dengan Umar?” Kepala suku itu menjawab: 
“Ya, aku bertemu dengannya.” Setelah itu Uwais pun mendoakannya, 
sehingga orang-orang pun mengetahui tentang dirinya, lantas pergi 
meninggalkannya. Usair berkata: “Uwais mengenakan pakaian burdah. Dan 
setiap orang yang melihat pakaian tersebut, mereka pasti bertanya, dari 
mana Uwais mendapatkan pakaian itu?" [13]
 
Pada hakikatnya "ruqyah" itu sama seperti doa, bahkan dikategorikan 
sebagai doa dan yang semisalnya. Seandainya penduduk sebuah negeri 
bergantian mendatangi seseorang yang tampaknya bisa memberikan kebaikan 
bagi anak-anak mereka dengan cara men-tahnik-nya dengan kurma atau 
lainnya, maka banyak juga orang yang datang membawa anak mereka untuk di
 tahnik. Yang nampak sangat jelas pada zaman Nabi, banyak bayi yang 
lahir, tetapi tidak dibawa kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
minta untuk di tahnik. Oleh karena itu, seharusnya orang yang me"ruqyah" 
khawatir terhadap dirinya atau terhadap mereka dari fitnah.
Ironisnya pada zaman sekarang ini, ada beberapa thullabul ilmi (penuntut
 ilmu syar’i) yang didatangi oleh beribu-ribu orang dengan tujuan 
meminta ruqyah kepadanya, kemudian mereka meninggalkan para ulama; 
apakah mereka tidak merasa takut terhadap fitnah ujub, riya’, sombong 
dan lain sebagainya?
Jika sudah jelas dalam masalah ini terdapat kerusakan terhadap 
masyarakat, terutama orang-orang awam, yaitu timbulnya ketergantungan 
dan kepasrahan mereka terhadap pe"ruqyah" lebih besar daripada 
ketergantungan dan kepasrahan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan 
firmanNya; mereka menyangka, kesembuhan itu berhubungan dengan pe"ruqyah" 
hanya karena melihat banyaknya pengunjung yang datang menemuinya, 
sementara hal ini merupakan sesuatu yang tidak pernah mereka lihat pada 
sebagian besar ulama-ulama shalih, maka tidak diragukan lagi, mencegah 
kehancuran lebih baik daripada mengharapkan kebaikan, khususnya apabila 
kehancuran yang diakibatkan lebih besar daripada kebaikan yang 
diharapkan. Di samping itu, me"ruqyah" seperti itu juga bisa mendatangkan 
kerusakan pada diri peruqyah sendiri; misalnya, menjadikan dirinya tenar
 dan membuat dirinya merasa tinggi hati, lantas memulai "ruqyah" dengan 
cara-cara yang tidak pernah dikenal di kalangan ulama-ulama salafush 
shalih, seperti dengan cara memukul, atau gaya tertentu, atau membacakan
 terhadap beratus-ratus orang secara bersamaan dengan satu bacaan, 
lantas meniup pada bejana-bejana mereka setelah bacaan tadi. Semua ini 
adalah perbuatan bid’ah.
Sesungguhnya orang-orang yang mengkhususkan diri untuk me"ruqyah", sama 
seperti orang yang mengkhususkan dirinya untuk berdoa bagi orang lain; 
sehingga dengan demikian, "ruqyah" dan doa adalah sama. Jadi apakah pantas
 bagi seorang penuntut ilmu mengatakan “kemari, datanglah kepadaku, aku 
akan mendoakanmu”.
Ini sangat bertentangan dengan petunjuk para salafush shalih. Selain itu
 juga, dahulu Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu dan para sahabat 
lainnya serta para tabi’in benci apabila ada seseorang datang meminta 
doa kepada mereka. Mereka berkata “apakah kami ini seorang nabi?”
Dampak negatif menyebarnya hal ini, yaitu bisa menimbulkan keraguan pada
 diri orang awam dan orang-orang yang tidak berilmu; mereka menyangka, 
cara ini adalah cara yang benar dalam melakukan "ruqyah", sehingga mereka 
pun pergi meminta "ruqyah" kepada orang lain dan melupakan Sunnah 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam me"ruqyah", yaitu me"ruqyah" 
diri sendiri dan menyerahkan diri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala 
untuk memohon kesembuhan kepadaNya. 
 Kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwasanya mengkhususkan diri 
menjadi pe"ruqyah" dan menjadikannya sebagai profesi (mata pencaharian), 
menurut penjelasan para ulama ahlus sunnah, tidak dibenarkan. Hal 
seperti ini akan menjerumuskan kepada bahaya, fitnah dan lain 
sebagainya, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Wallahu a’lam bish 
shawab.
Kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwasanya mengkhususkan diri 
menjadi pe"ruqyah" dan menjadikannya sebagai profesi (mata pencaharian), 
menurut penjelasan para ulama ahlus sunnah, tidak dibenarkan. Hal 
seperti ini akan menjerumuskan kepada bahaya, fitnah dan lain 
sebagainya, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Wallahu a’lam bish 
shawab.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis, thullabul ‘ilmi dan kaum 
muslimin. Mudah-mudahan kita tetap ditunjuki ke jalan yang benar, 
mengikuti Al Qur`an dan Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih.
Washallahu’ala Nabiyyina Muhammadin Shallallahu 'alaihi wa sallam.  
Sumber:
1. www.laelywidjajati.blogspot/menjalankan-sunnah-rasulullah saw-....
2. almanhaj.or.id/.../hukum-mengkhususkan-diri-untuk-meruqyah-dan-me...
3. laely.widjajati.photos.facebook/Add-a-description-1...
4. laely.widjajati.photos.facebook/Add-a-description-2...
5. laely.widjajati.photos.facebook/Add-a-description-3...
6. laely.widjajati.photos.facebook/Mawar-Merah-Muda...
7. laely.widjajati.photos.facebook/Add-a-description-4...