"Diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa ia berkata, “Nabi
Muhammad SAW." senantiasa me"ruqyah" dirinya dengan
doa-doa perlindungan ketika sakit, yaitu pada sakit yang menyebabkan
wafatnya beliau. Saat beliau kritis, akulah yang me"ruqyah" beliau dengan
doa tersebut, lalu aku mengusapkan tangannya ke anggota tubuhnya
sendiri, karena tangan itu penuh berkah.” (HR. Al-Bukhari)".
Pada zaman sekarang ini, ada sebagian thullabul ilmi (penuntut ilmu
syar’i) menjadi terkenal bisa mengobati orang dengan menggunakan "ruqyah".
Kemampuan me"ruqyah" membuatnya menjadi terkenal sehingga dapat dijumpai
sarana-sarana tersebut di tengah-tengah masyarakat.
Dengan banyaknya imbalan yang diperoleh dari me"ruqyah" ini, mereka rela
melepaskan kesibukan-kesibukan dan mengambil jalan pintas dengan cara
mengkhususkan diri sebagai tukang "ruqyah". Mereka pun banyak memperluas
waktu untuk itu dan selalu siap apabila ada orang yang datang untuk
berobat, sehingga membuat mereka sibuk mengatur jam-jam berobat layaknya
dokter-dokter dan rumah sakit spesialis, serta menjadikan me"ruqyah" ini
sebagai pekerjaan tetap (profesi).
Mereka mengkhususkan diri untuk me"ruqyah" dan menjadikannya sebagai
pekerjaan tetap (mata pencaharian) sehingga menjadikan dirinya terkenal.
Cara seperti ini dapat mendatangkan kemudharatan, baik bagi pe"ruqyah"
itu sendiri maupun bagi mereka yang di"ruqyah". Di antara kemudharatan itu
antara lain:
Dengan banyaknya pengunjung yang datang berobat kepada pe"ruqyah", bisa
menimbulkan kesalahpahaman di kalangan orang awam. Mereka menyangka,
hanya dengan melihat banyaknya pengunjung yang datang kepadanya,
pe"ruqyah" tadi mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Sehingga dengan demikian, pentingnya pe"ruqyah" melebihi pentingnya
bacaan-bacaan yang dibaca oleh pe"ruqyah" tadi, yaitu kalam Allah
Subhanahu wa Ta'ala . Bahkan orang-orang awam tersebut tidak lagi
melihat pentingnya apa yang dibaca oleh pe"ruqyah", namun hanya melihat
kepada pe"ruqyah" itu saja.
Dalam hal me"ruqyah", yang memberi manfaat sebenarnya adalah apa yang
dibaca dari Al Qur`an, sedangkan pe"ruqyah" itu sendiri hanya membacakan
saja. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
"Dan Kami turunkan dari Al Qur`an suatu penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman…" [Al Isra` : 82].
Dalam surat lain Allah berfirman :
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
"…Katakanlah: “Al Qur`an itu adalah penawar dan petunjuk bagi orang-orang yang beriman …." [Fushilat:44].
Kita tidak memungkiri ada atsar dari keshalihan pe"ruqyah", kuat
keimanannya, tsiqah-nya terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta
tawakalnya kepadaNya, namun sebenarnya, dia itu hanyalah membacakan
saja. Karena yang mempunyai pengaruh kesembuhan, sebenarnya ialah
kalamullah, yaitu Al Qur`an Al Karim yang dibaca oleh si pe"ruqyah"
tersebut.
Jadi setiap apa yang melemahkan kepercayaan seseorang terhadap kalamullah, maka seharusnya dicegah dan tidak dibiarkan.
Ibnul Qayyim berkata: “Maka Al Qur`an-lah yang menjadi obat sempurna
bagi semua penyakit hati, penyakit badan, maupun penyakit dunia dan
akhirat. Tidak seorang pun yang bisa menyembuhkannya kecuali Dia.
Apabila seseorang sudah memperbaiki caranya berobat dengan menggunakan
Al Qur`an, kemudian sudah dia tempatkan pada anggota badan yang sakit
dengan penuh keyakinan dan keimanannya, menerima dengan lapang dada, dan
dengan keyakinan yang mantap serta semua syarat-syaratnya sudah
terpenuhi, maka penyakit itu tidak akan pernah menghalanginya untuk
mendapat kesembuhan. Sebab bagaimana mungkin penyakit dapat menghalangi
ataupun melawan kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rabbnya segala apa yang
ada di langit dan di bumi; apabila Al Qur'an itu diturunkan di atas
gunung, maka gunung itu akan hancur; atau kalau diturunkan di atas bumi,
maka bumi itu sendiri akan terpotong dan terbelah" [1].
Apabila kita melihat sirah (perjalanan hidup) Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, sirah sahabat-sahabatnya serta sejarah para ulama
kaum Muslimin yang tidak diragukan lagi keimanan dan kelebihan mereka,
maka kita tidak akan menemukan seorang pun di antara mereka yang
meninggalkan pekerjaan-pekerjaan mereka dan mengkhususkan diri dengan
membuka praktek pengobatan melalui "ruqyah". Kita juga tidak akan
mendapatkan salah seorang pun di antara mereka yang menjadikan "ruqyah"
sebagai mata pencaharian, sehingga membuat mereka menjadi terkenal di
kalangan masyarakat, apabila disebut namanya, maka disebut juga
pekerjaannya ini beserta namanya.
Tidak diragukan lagi, bahwa setiap zaman penyakit-penyakit itu bertambah
banyak. Namun kita tidak melihat salah seorang pun dari pemimpin kaum
Muslimin yang menisbatkan dirinya sebagai tukang "ruqyah" seperti
penisbatan kepada mufti (pemberi fatwa) dan qadhi (hakim). Pada zaman
dahulu, orang yang menderita suatu penyakit, dia sendirilah yang
me"ruqyah" dengan menggunakan Kitab Allah (Al Qur`an) dan do’a-do’a yang
datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan bila ada seseorang
yang sakit, kemudian ia di"ruqyah" oleh orang yang faham tentang agama,
maka hal itu boleh saja. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Jabir
bin Abdillah, ia berkata: Ada seorang di antara kami yang digigit
kalajengking pada waktu itu kami sedang duduk bersama Rasulullah, lalu
ada seorang berkata,”Ya, Rasulullah. Bolehkah saya me"ruqyah"nya?” Lalu
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ
"Barangsiapa di antara kalian yang mampu memberikan manfaat kepada saudaranya, hendaklah ia lakukan". [2]
Seandainya mengkhususkan diri untuk me"ruqyah" dan menjadikannya sebagai
pekerjaan tetap (profesi) serta menyebarkannya di kalangan masyarakat
adalah suatu kebaikan, tentu para sahabat akan melakukannya lebih dahulu
daripada kita. Hal ini, sama juga ketika suatu amalan yang termasuk
bagian dari syari’at Islam, namun dilakukan dengan cara yang tidak
sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, kemudian dianggap baik oleh
masyarakat, maka demikian itu termasuk bid’ah. Hal ini sesuai dengan
penjelasan As Salt bin Bahram, dia berkata: “Sungguh pada suatu hari
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berjalan melewati seorang perempuan yang
sedang memegang tasbih yang ia gunakan untuk bertasbih, maka Ibnu Mas’ud
pun memotong tasbih tersebut lalu membuangnya”. Kemudian beliau juga
melewati seorang laki-laki yang sedang bertasbih (memuji-muji kepada
Allah) dengan menggunakan batu-batu kecil, beliau pun menendang
batu-batu itu dengan kakinya, lantas berkata,’Kelalaian telah membawa
kebid’ahan yang merupakan suatu kezhaliman, atau kalian telah melampaui
keilmuan para sahabat Radhiyallahu 'anhum ?’." [3]
Sebenarnya yang membuat para tukang "ruqyah" pada zaman kita ini lebih
terkenal ialah, karena mereka menyediakan tempat-tempat khusus untuk
menemui mereka kapan mereka suka, sebagaimana yang dilakukan para
dokter, pedagang atau pemilik perusahaan lainnya.
Seandainya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membuka tempat khusus untuk
me"ruqyah" -tentu akan banyak yang datang, dan kemudian beliau sibuk hanya
untuk menemui mereka kapan mereka mau- tentu beliau tidak akan dapat
mengajarkan ilmu syar’i, dan juga tidak dapat menjelaskan tentang
kebenaran agama Islam kepada umat. Terlebih lagi pada zaman yang
diliputi kejahilan seperti saat ini serta merebaknya kebodohan dan
khurafat, ketergantungan kepada selain Allah, kepada wali-wali setan,
para syaikh dan kepada tokoh tertentu.
Para ulama Ahlus Sunnah tidak mengkhususkan diri mereka semata-mata
untuk melayani pengobatan dengan "ruqyah" ini, karena mereka betul-betul
faham terhadap agama Islam -semoga Allah merahmatinya-. Para ulama Ahlus
Sunnah banyak menyibukkan diri dengan menuntut ilmu untuk memahami
agama Islam, mendakwahkannya dan berjihad di jalan Allah.
Para setan, apabila melihat ketergantungan seseorang kepada pe"ruqyah"
yang sudah menolongnya, maka tanpa sepengetahuannya, setan itu akan
berpura-pura takut kepada pe"ruqyah", kemudian akan mengatakan bahwa
dirinya akan keluar dari tubuh orang yang dimasukinya tadi dan yang
semisalnya, dengan tujuan untuk menambah kepercayaan orang tadi kepada
pe"ruqyah" lebih kuat daripada kepercayaannya terhadap apa yang dibaca
oleh pe"ruqyah" itu. Di samping itu, setan-setan itu juga bermaksud agar
orang awam berkeyakinan, bahwa "ruqyah" mempunyai keanehan tersendiri.
Dalam riwayat Abu Dawud dengan lafazhnya sebagai berikut: dari Zainab
-istri Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhuma – berkata: Sesungguhnya
Abdullah melihat benang di leherku, lalu ia berkata,”Apa ini?” Aku
menjawab,”Benang untuk me"ruqyah"ku”. Zainab berkata: Lalu Abdullah
mengambilnya, kemudian memotongnya, lalu ia berkata : Kamu semua, wahai
keluarga Abdullah, sungguh tidak butuh kepada syirik. Aku telah
mendengar Rasulullah bersabda.
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَلَةَ شِرْكٌ
"Sesungguhnya "ruqyah" [4], tamimah[5], dan tiwalah[6] adalah syirik".
Maka aku berkata: “Waktu itu mataku berair, dan aku berobat kepada fulan Yahudi. Jika ia me"ruqyah"ku, maka aku merasa enak”.
Maka Abdullah berkata: Itu hanyalah perbuatan setan. Setan itu
merangsangnya dengan tangannya. Karenanya, jika ia me"ruqyah", ia
menahannya dari rasa salah. Akan tetapi cukuplah kamu mengucapkan
sebagaimana Rasulullah ucapkan.
أَذْهِبِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ, وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِى, لاَشِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَيُغَادِرُ سَقَمًا.
"Hilangkanlah penyakit wahai Rabb manusia, dan sembuhkanlah! Engkau
adalah Dzat Penyembuh, tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan Engkau,
kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit". [7]
Tipu daya setan terhadap manusia itu sangat besar, sampai-sampai tidak
bisa diketahui, kecuali oleh orang-orang yang faqih dalam masalah agama.
Sedangkan apa yang dilakukan orang-orang awam ketika mendengar
cerita-cerita aneh tentang si pe"ruqyah", mereka hanya berlomba-lomba
menemui tukang "ruqyah" itu dan memberikan kepada mereka upah yang tidak
sedikit jumlahnya. Lebih-lebih lagi apabila mereka mendengar bahwa
setan-setan berbicara dengan menggunakan lidah orang-orang yang
dimasukinya tadi di depan pe"ruqyah", kemudian pe"ruqyah" tadi membuat
perjanjian dengan setan itu untuk tidak masuk lagi ke dalam tubuh orang
yang dimasukinya tersebut.
Semakin banyak tersebar cerita-cerita aneh seperti ini, semakin banyak
pula orang-orang yang mendatangi pe
"ruqyah" ini dengan maksud untuk
memastikan bahwa dalam dirinya memang tidak ada jin. Seandainya keadaan
seperti ini memang benar merupakan karamah dari Allah Subhanahu wa
Ta'ala, maka seharusnya bagi pe"ruqyah" itu untuk takut dari akibat yang
disebabkan oleh perbuatannya itu. Apalagi seandainya ia tidak bisa
menjamin bahwa hal itu bisa mengakibatkan istidraj, atau hal itu hanya
merupakan tipu daya setan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ketika kejadian-kejadian yang
luar biasa itu sering terjadi pada diri seseorang, maka hal itu tidaklah
mengurangi derajat orang tersebut. Banyak di antara orang-orang shalih
yang bertaubat dari hal seperti ini. mereka bertaubat kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana taubatnya orang-orang yang berbuat
dosa-dosa, seperti dosa zina dan mencuri. Mereka mengadukan hal itu
kepada yang lainnya lantas berdo’a memohon kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala untuk menghilangkannya. Mereka juga memerintahkan kepada
orang-orang yang ingin bertaubat agar jangan mengharapkan
kejadian-kejadian aneh tersebut, lantas menjadikannya sebagai ambisi
yang harus didapatkannya. Jangan pula berbangga dengan hal itu kemudian
menyangka, bahwa hal itu sebagai bagian dari karamah.
Bagaimana
seandainya, jika hal itu benar-benar perbuatan setan dengan maksud untuk
menyesatkan mereka? Karena saya tahu, orang-orang yang diajak berbicara
oleh tumbuh-tumbuhan, ia memberitahukan bahwa di dalam dirinya ada
manfaatnya. Saya tahu, sebenarnya yang mengajak mereka berbicara itu
adalah para setan yang ada dalam tumbuh-tumbuhan tersebut. Saya juga
mengerti orang-orang yang diberi tahu oleh batu, pohon; lantas batu dan
pohon-pohon itu berkata kepada mereka “Mudah-mudahan dapat
menyenangkanmu wahai wali Allah”. Ketika dibacakan ayat kursi kepadanya,
maka hilanglah semua itu. Saya juga mengerti orang-orang yang pergi
menangkap burung; lantas burung-burung itu berkata kepadanya “Bawalah
diriku agar aku dimakan oleh orang-orang yang sangat membutuhkan”. Hal
itu bisa terjadi, karena setan masuk ke dalam tubuh burung itu;
sebagaimana ia masuk ke dalam tubuh manusia, lalu berkata seperti yang
diucapkan tadi”.[8]
Bisa jadi, orang-orang yang me"ruqyah" itu merasa bahwa dirinya adalah
salah seorang wali Allah yang berbakti kepadaNya, atau merasa tinggi
hati dan yang lainnya. Ini disebabkan karena begitu banyak penyakit yang
sudah disembuhkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui "ruqyah"nya;
demikian juga melihat bagaimana setan takut kepadanya dan langsung
keluar dari orang yang kesurupan, dan yang lainnya. Para salafush shalih
dahulu -semoga Allah merahmati mereka- merasa takut dan khawatir
terhadap hal-hal seperti ini, dan mereka pun menutup jalan masuk
perasaan-perasaan seperti itu.
Orang yang me"ruqyah", sebagaimana yang sudah disebutkan di muka, tidaklah
seperti seorang dokter yang banyak dikunjungi para pasien untuk berobat
kepadanya; karena seorang dokter itu mengobati dengan pengobatan yang
sudah diketahui, dan dia tidak mengetahui bahwa obat itu bermanfaat
kecuali apabila pasien itu sendiri yang mengatakan kepadanya tentang
penyakitnya. Bahkan seorang pasien meyakini, bahwa kesembuhannya itu
tergantung dengan obat-obatan yang diberikan oleh dokter, bukan dengan
dokter yang mengobatinya. Ini berbeda dengan seorang pe"ruqyah"; maka dia
menyangka bahwa kesembuhan itu tergantung pada dirinya bukan kepada apa
yang dibacanya, dengan alasan Al Qur`an ada pada diri setiap Muslim,
mereka bisa membacanya kapan saja mereka inginkan, namun walaupun
demikian, mereka berserah diri agar yang membacanya itu harus si
pe"ruqyah". Hal ini bisa memasukkan perasaan ujub dan sombong pada diri
pe"ruqyah"; dia menyangka dirinya dengan prasangka yang bermacam-macam.
Tidak diragukan lagi, menjauhi hal seperti ini adalah lebih baik. Allahu
a’lam bish shawab.
Salah satu kritik yang perlu diarahkan kepada para tukang "ruqyah" yang
menggunakan tata cara yang tidak dicontohkan syar’i. Yaitu,
kadang-kadang mereka berbicara tanpa didasari oleh ilmu. Misal, apabila
mereka me"ruqyah" seseorang, namun jin yang ada dalam tubuh orang tersebut
tidak mau berbicara, mereka dengan mudahnya berkata “tidak ada jin
dalam tubuhmu, namun engkau hanya terkena ‘ain”, atau perkataan “tidak
ada jin dalam tubuhmu dan tidak juga penyakit ‘ain”. Mereka juga berkata
“kami tidaklah me"ruqyah" orang kesurupan, kecuali jin itu pasti akan
berbicara dan berdialog dengan kami karena takutnya kepada kami, atau
kepada bacaan-bacaan yang kami baca”.
Hal seperti ini bukan berarti menunjukkan si pe"ruqyah" tersebut berilmu.
Karena sesungguhnya orang yang kesurupan, apabila dibacakan doa dan
dzikir-dzikir yang biasa digunakan untuk me"ruqyah", kemudian jin yang ada
di dalam tubuhnya itu merasa takut, maka disebabkan karena ketakutannya
itu ia pun berbicara. Atau mungkin saja jin itu tidak berbicara dan
tidak takut. Jadi, dari mana para tukang "ruqyah" itu mengatakan dengan
yakin, bahwa tidak ada jin atau penyakit ‘ain pada diri seorang
kesurupan yang sedang di"ruqyah"nya? Kesurupan seperti ini bisa terjadi,
karena orang yang sakit tadi meninggalkan doa-doa yang diajarkan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan sebaliknya ia yakin dengan
perkataan-perkataan para tukang "ruqyah". Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya
itu akan dimintai pertanggung-jawabannya". [Al Isra`: 36].
Hal yang perlu juga dikritik dari para pe"ruqyah" tersebut, yaitu cara
mereka mengumpulkan orang-orang yang datang berobat kepadanya, kemudian
dia membacakan kepada mereka sekaligus dengan satu bacaan, dengan tujuan
untuk mempersingkat waktu, karena begitu banyak orang yang datang
berobat kepadanya. Kemudian para pengunjung tadi mengambil ludah
pe"ruqyah" dengan menggunakan bejana-bejana mereka. Ataupun mengadakan
majelis khusus dengan mengundang banyak orang untuk di"ruqyah", kemudian
di"ruqyah" satu persatu, dengan maksud sebagai tontonan kepada masyarakat
sebagai media pengobatan massal.
Melihat begitu banyaknya keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan
cara seperti itu oleh para pe"ruqyah", seperti harta banyak, maka beberapa
dukun maupun orang pintar dan pembohong besar berlomba-lomba
menampakkan diri sebagai tukang "ruqyah". Mereka pun membuka tempat-tempat
khusus untuk tujuan ini, mencampurkan kebenaran dengan kebatilan
sehingga membuka pintu-pintu kehancuran bagi umat manusia. Dengan
demikian, sulit untuk mengingkari para dukun dan orang pintar, karena
semuanya bercampur dengan orang yang tidak mencampurkan bacaan mereka
dengan tipuan atau ramalan yang mengakibatkan sulitnya membedakan antara
mereka. Dan suatu kemungkaran itu menjerumuskan kepada kehancuran, maka
wajib bagi kita untuk mencegahnya, sekalipun orang yang melakukan hal
itu bermaksud baik.
Abdullah bin Mas’ud dan para sahabatnya serta para ulama tersohor
melarang untuk menggantungkan Al Qur`an walaupun itu adalah kalamullah,
sebagai cara untuk mencegah kemungkaran, agar hal itu tidak menjurus
pada penggantungan tama’im [9]. Dan sebagaimana hal ini difatwakan oleh
Lajnah Ad Da’imah Lil Buhutsil ‘Ilmiah Wal Ifta’ Saudi Arabia.[10]
Orang-orang yang mengkhususkan diri untuk me"ruqyah" dan menjadikannya
sebagai pekerjaan tetap (profesi), mereka mengira jika hal itu boleh
saja dilakukan dan hukum melakukannya adalah sunnah; dan sunnah termasuk
salah satu hukum syar’i yang merupakan suatu ibadah. Maka perbuatan ini
bisa menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan bid’ah, karena menjadikan
ruqyah sebagai profesi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak juga oleh para khulafa’ur
rasyidin.
Adapun yang terjadi pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
ketika beberapa sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
melewati sebuah sumber air yang di dekatnya ada sekelompok orang. Salah
seorang dari sekelompok orang tersebut digigit binatang berbisa.
Kemudian salah seorang dari mereka berkata: “Apakah di antara kalian ada
yang dapat me"ruqyah" karena di dekat sumber air itu ada orang yang
tersengat binatang?” Kemudian pergilah salah seorang di antara para
sahabat membacakan surat Al Fatihah dengan perjanjian, apabila ia
sembuh, maka ia dibayar dengan seekor kambing. Setelah dibacakan, orang
itu pun sembuh, lalu ia memberikan seekor kambing sesuai dengan
perjanjian mereka sebelumnya. Ketika sahabat tadi kembali ke
rombongannya dengan membawa seekor kambing, rombongannya tidak mau
menerima kambing itu dan berkata: “Engkau telah mengambil upah dari
kitab Allah”. Ketika mereka sampai di kota Madinah, mereka pun
melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam . Mereka berkata,”Wahai, Rasulullah. Bolehkah kita mengambil upah
dari Kitab Allah?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu
menjawab:
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ.
"Sebaik-baik upah yang kalian ambil adalah upah dari Kitab Allah".[11]
Beberapa sahabat ada yang terkenal dengan doanya yang mustajab, seperti
Sa’ad bin Abi Waqqas. Dia termasuk salah seorang dari sepuluh orang yang
diberi kabar gembira untuk masuk surga, dan termasuk orang yang
didoakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar doanya
terkabul. Sa’ad berkata: Rasulullah mendoakanku :
اَللَّهُمَّ اسْتَجِبْ لَهُ إِذَا دَعَاكَ
"Ya Allah, kabulkanlah doanya apabila ia berdoa kepadaMu".[12]
Selain itu juga beberapa tabi’in (pengikut Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam) seperti Uwais Al Qarni Radhiyallahu 'anhu. Namun, walau demikian
keadaannya, tidaklah membuat kaum Muslimin sangat membutuhkan
kemustajaban doa mereka untuk memperbaiki dunia dan agama kaum Muslimin,
meski sebenarnya tidak ada larangan syar’i untuk datang dan meminta doa
kepada mereka, sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khaththab z kepada
Uwais bin Al Qarni, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
memberitahukannnya untuk melakukan hal itu. Walau demikian, tidak
diragukan lagi, seandainya Umar bin Khaththab melihat penduduk Madinah
berkumpul di tempat Uwais untuk meminta doa, demikian juga penduduk
Makkah dan Irak, tentu ia akan mencegahnya, meskipun beliau juga pernah
meminta doa kepada Uwais. Hal ini dia lakukan karena takut akan terjadi
fitnah pada diri orang-orang tersebut dan terhadap Uwais sendiri. Dan
karena kefakihan Uwais Al Qarni Radhiyallahu 'anhu , ia berusaha
menyembunyikan keberkahan doanya dan tidak menjerumuskan diri sendiri
dan orang lain terhadap fitnah.
Diriwayatkan dari Usair bin Jabir. Dahulu, ketika Umar bin Khaththab
Radhiyallahu 'anhu didatangi oleh sekelompok rombongan yang datang dari
negeri Yaman, beliau bertanya kepada mereka: “Apakah di antara kalian
ada yang bernama Uwais bin Amir?” Sampai ia ditunjukkan kepada Uwais,
kemudian beliau berkata: “Apakah engkau Uwais bin Amir?” Dia
menjawab,”Ya, saya Uwais bin Amir.” Beliau berkata lagi,”Uwais yang
berasal dari Bani Qarni, dari suku Murad?” Uwais menjawab,”Ya, betul.”
Umar lalu melanjutkan,”Dulu engkau pernah terkena penyakit kusta, namun
setelah itu engkau pun sembuh, kecuali masih tertinggal sedikit lagi?”
Uwais menjawab,”Ya, benar.” Kemudian Umar melanjutkan,”Engkau mempunyai
seorang ibu?” Uwais menjawab, ”Betul.” Setelah itu Umar berkata lagi, ”Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Akan
datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama sekelompok rombongan dari
negeri Yaman, dia berasal dari Bani Qarni dari suku Murad. Dahulu ia
pernah terkena penyakit kusta, namun ia pun sembuh dari penyakit
tersebut kecuali masih tertinggal sedikit lagi. Dia sangat berbakti
kepada ibunya. Apabila dia bersumpah dengan Nama Allah, karena baktinya
kepada ibunya, Allah akan mengabulkan segala permintaannya. Apabila
engkau mau agar dia memohonkan pengampunan untukmu kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala , maka lakukanlah’.” Umar lalu berkata: “Mohonkanlah
pengampunan untukku kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala ”. Setelah itu
Uwais pun mendoakan agar Allah Subhanahu wa Ta'ala mengampuninya.
Setelah itu Umar bertanya, ”Hendak kemanakah engkau?” Dia menjawab, ”Ke
negeri Kufah.” Umar berkata lagi, ”Maukah engkau kutuliskan sepucuk surat
kepada gubernur di sana?” Dia menjawab, ”Aku lebih senang bersama
orang-orang miskin ini.” Perawi berkata: “Setelah satu tahun dari
pertemuan mereka itu, salah seorang dari kepala suku Bani Qarni datang
ke kota Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Ketika kepala suku itu
bertemu dengan Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, Umar bertanya
kepadanya tentang keadaan Uwais. Kepala suku itu lalu menjawab, ”Aku
tinggalkan dia dalam keadaan sangat menyedihkan, miskin sekali.”
Mendengar jawaban itu, Umar lalu memberitahukan apa yang disabdakan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya tentang Uwais. Umar
berkata, ”Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, ’Akan datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama sekelompok
rombongan dari negeri Yaman, dia berasal dari Bani Qarni bermarga Murad.
Dahulu ia pernah terkena penyakit kusta, namun ia pun sembuh dari
penyakit itu, kecuali masih tertinggal sedikit lagi. Apabila engkau mau
agar dia memohonkan pengampunan bagimu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala ,
maka lakukanlah’."
Setelah selesai mengerjakan ibadah haji, kepala suku itu pun pulang dan
langsung menemui Uwais, lantas berkata kepadanya: “Mohonkanlah ampunan
bagiku kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.” Uwais menjawab, ”Engkau baru
saja kembali dari suatu perjalanan shalih (kebajikan). Engkaulah yang
lebih pantas untuk memintakan aku pengampunan kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Apakah engkau bertemu dengan Umar?” Kepala suku itu menjawab:
“Ya, aku bertemu dengannya.” Setelah itu Uwais pun mendoakannya,
sehingga orang-orang pun mengetahui tentang dirinya, lantas pergi
meninggalkannya. Usair berkata: “Uwais mengenakan pakaian burdah. Dan
setiap orang yang melihat pakaian tersebut, mereka pasti bertanya, dari
mana Uwais mendapatkan pakaian itu?" [13]
Pada hakikatnya "ruqyah" itu sama seperti doa, bahkan dikategorikan
sebagai doa dan yang semisalnya. Seandainya penduduk sebuah negeri
bergantian mendatangi seseorang yang tampaknya bisa memberikan kebaikan
bagi anak-anak mereka dengan cara men-tahnik-nya dengan kurma atau
lainnya, maka banyak juga orang yang datang membawa anak mereka untuk di
tahnik. Yang nampak sangat jelas pada zaman Nabi, banyak bayi yang
lahir, tetapi tidak dibawa kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
minta untuk di tahnik. Oleh karena itu, seharusnya orang yang me"ruqyah"
khawatir terhadap dirinya atau terhadap mereka dari fitnah.
Ironisnya pada zaman sekarang ini, ada beberapa thullabul ilmi (penuntut
ilmu syar’i) yang didatangi oleh beribu-ribu orang dengan tujuan
meminta ruqyah kepadanya, kemudian mereka meninggalkan para ulama;
apakah mereka tidak merasa takut terhadap fitnah ujub, riya’, sombong
dan lain sebagainya?
Jika sudah jelas dalam masalah ini terdapat kerusakan terhadap
masyarakat, terutama orang-orang awam, yaitu timbulnya ketergantungan
dan kepasrahan mereka terhadap pe"ruqyah" lebih besar daripada
ketergantungan dan kepasrahan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
firmanNya; mereka menyangka, kesembuhan itu berhubungan dengan pe"ruqyah"
hanya karena melihat banyaknya pengunjung yang datang menemuinya,
sementara hal ini merupakan sesuatu yang tidak pernah mereka lihat pada
sebagian besar ulama-ulama shalih, maka tidak diragukan lagi, mencegah
kehancuran lebih baik daripada mengharapkan kebaikan, khususnya apabila
kehancuran yang diakibatkan lebih besar daripada kebaikan yang
diharapkan. Di samping itu, me"ruqyah" seperti itu juga bisa mendatangkan
kerusakan pada diri peruqyah sendiri; misalnya, menjadikan dirinya tenar
dan membuat dirinya merasa tinggi hati, lantas memulai "ruqyah" dengan
cara-cara yang tidak pernah dikenal di kalangan ulama-ulama salafush
shalih, seperti dengan cara memukul, atau gaya tertentu, atau membacakan
terhadap beratus-ratus orang secara bersamaan dengan satu bacaan,
lantas meniup pada bejana-bejana mereka setelah bacaan tadi. Semua ini
adalah perbuatan bid’ah.
Sesungguhnya orang-orang yang mengkhususkan diri untuk me"ruqyah", sama
seperti orang yang mengkhususkan dirinya untuk berdoa bagi orang lain;
sehingga dengan demikian, "ruqyah" dan doa adalah sama. Jadi apakah pantas
bagi seorang penuntut ilmu mengatakan “kemari, datanglah kepadaku, aku
akan mendoakanmu”.
Ini sangat bertentangan dengan petunjuk para salafush shalih. Selain itu
juga, dahulu Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu dan para sahabat
lainnya serta para tabi’in benci apabila ada seseorang datang meminta
doa kepada mereka. Mereka berkata “apakah kami ini seorang nabi?”
Dampak negatif menyebarnya hal ini, yaitu bisa menimbulkan keraguan pada
diri orang awam dan orang-orang yang tidak berilmu; mereka menyangka,
cara ini adalah cara yang benar dalam melakukan "ruqyah", sehingga mereka
pun pergi meminta "ruqyah" kepada orang lain dan melupakan Sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam me"ruqyah", yaitu me"ruqyah"
diri sendiri dan menyerahkan diri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala
untuk memohon kesembuhan kepadaNya.
Kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwasanya mengkhususkan diri
menjadi pe"ruqyah" dan menjadikannya sebagai profesi (mata pencaharian),
menurut penjelasan para ulama ahlus sunnah, tidak dibenarkan. Hal
seperti ini akan menjerumuskan kepada bahaya, fitnah dan lain
sebagainya, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Wallahu a’lam bish
shawab.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis, thullabul ‘ilmi dan kaum
muslimin. Mudah-mudahan kita tetap ditunjuki ke jalan yang benar,
mengikuti Al Qur`an dan Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih.
Washallahu’ala Nabiyyina Muhammadin Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sumber:
1. www.laelywidjajati.blogspot/menjalankan-sunnah-rasulullah saw-....
2. almanhaj.or.id/.../hukum-mengkhususkan-diri-untuk-meruqyah-dan-me...
3. laely.widjajati.photos.facebook/Add-a-description-1...
4. laely.widjajati.photos.facebook/Add-a-description-2...
5. laely.widjajati.photos.facebook/Add-a-description-3...
6. laely.widjajati.photos.facebook/Mawar-Merah-Muda...
7. laely.widjajati.photos.facebook/Add-a-description-4...