"Menjadi pe"wirausaha" dianggap sebagai jalan keluar untuk mengatasi
berbagai masalah di dunia kerja".
Bahkan, Mary Mazzio, pembuat film
sekaligus seorang pengusaha di Amerika, mengatakan bahwa setiap orang
memiliki kewajiban untuk menjadi "wirausaha". "Namun Anda harus bertanya
bagaimana cara menciptakan nilai lebih pada produk, dan mengetahui cara
bisnis yang lebih baik," ungkap Mazzio.
Untuk menambah ilmunya
tentang "wirausaha", Mazzio banyak mewawancarai para pengusaha sukses
seperti Richard Branson, pemilik Virgin Group, dan Arthur Blank, co-founder
The Home Depot. Dalam wawancaranya, satu hal yang paling diingat oleh
Mazzio adalah sifat ke"wirausaha"an ini bisa diajarkan pada "anak"-"anak",
agar mereka memiliki jiwa "jiwa wirausaha" sejak kecil.
Menurut Psikolog "Anak", Rina Mutaqinah Taufik, pendidikan "wirausaha" untuk
anak sejak dini ini sangat baik. Namun sebelumnya, si anak harus
dibekali tentang nilai tanggung jawab, cara mengelola uang secara
sederhana, dan mengelola waktu untuk belajar dan ber"wirausaha".
Misalnya, mengajarkan "anak" tanggung jawab ketika buang air kecil ke toilet, dan mengelola uang jajan yang diberikan—sebagian untuk jajan makanan yang sehat, sebagian untuk menabung, dan sebagian lagi untuk sedekah.
Latihan seperti ini sudah bisa dilakukan sejak "anak" berusia dua tahun. Karena, sejak kecil pun "anak" sudah mampu berkomunikasi. “Jangan anggap "anak" tidak mengerti apa-apa dengan mengatakan, ‘Ah, masih "anak" kecil,’” ujarnya.
Sementara itu, menurut Zainun Mu’tadin, M.Psi, Dosen Psikologi UPI YAI, orangtua harus menanyakan "anak"nya hal-hal yang memancing kreativitas. Misalnya, jangan bertanya 5 x 5 berapa. Tapi, tanyalah berapa kali berapa saja sama dengan 25. "Anak" akan dilatih untuk memiliki beberapa alternatif jawaban dan solusi. Dengan alternatif tersebut, "anak" mampu mengambil keputusan yang tepat dari berbagai pilihan yang ada.
Tentu saja "jiwa wirausaha" pada diri "anak" tidak serta-merta ada, tapi memerlukan latihan bertahap. Bisa dimulai dari hal-hal kecil dalam aktivitas keseharian "anak". Misalnya, membereskan mainan selesai bermain, rajin sikat gigi sebelum tidur, dan membereskan tempat tidur. Ini merupakan latihan untuk berdisiplin, bertanggung jawab, dan awal pengajaran tentang kepemilikan.
Latihan selanjutnya, mengajarkan "anak" untuk mampu mengelola uang dengan baik. Latihan yang perlu diajarkan bukan hanya cara membelanjakan, tapi juga menabung, sedekah, dan mencari uang. Tentu saja cara ini memerlukan konsistensi orangtua terhadap aturan.
Tahap selanjutnya, si "anak" mulai diajarkan berbisnis kecil-kecilan. Misalnya, menjual makanan ringan ke teman-teman sekolahnya. Dengan syarat, orangtua harus benar-benar melihat kemampuan si "anak", agar tidak membebani ketika belajar di sekolah. “Kalau kita tahu "anak" bermasalah dalam konsentrasi belajar, sebaiknya jangan dulu diizinkan,” tegas Zainun.
Dengan demikian, "anak" akan memiliki keahlian mendasar untuk menjadi seorang pengusaha. Ia akan belajar mengetahui modal awal, harga jual, dan laba dari penjualan. Secara mental, akan merangsang kreativitas "anak" dan membentuk kesadaran bahwa mencari uang itu tidak mudah. Dan secara tidak langsung, ia juga belajar matematika, marketing, komunikasi, dan lain sebagainya.
Misalnya, mengajarkan "anak" tanggung jawab ketika buang air kecil ke toilet, dan mengelola uang jajan yang diberikan—sebagian untuk jajan makanan yang sehat, sebagian untuk menabung, dan sebagian lagi untuk sedekah.
Latihan seperti ini sudah bisa dilakukan sejak "anak" berusia dua tahun. Karena, sejak kecil pun "anak" sudah mampu berkomunikasi. “Jangan anggap "anak" tidak mengerti apa-apa dengan mengatakan, ‘Ah, masih "anak" kecil,’” ujarnya.
Sementara itu, menurut Zainun Mu’tadin, M.Psi, Dosen Psikologi UPI YAI, orangtua harus menanyakan "anak"nya hal-hal yang memancing kreativitas. Misalnya, jangan bertanya 5 x 5 berapa. Tapi, tanyalah berapa kali berapa saja sama dengan 25. "Anak" akan dilatih untuk memiliki beberapa alternatif jawaban dan solusi. Dengan alternatif tersebut, "anak" mampu mengambil keputusan yang tepat dari berbagai pilihan yang ada.
Tentu saja "jiwa wirausaha" pada diri "anak" tidak serta-merta ada, tapi memerlukan latihan bertahap. Bisa dimulai dari hal-hal kecil dalam aktivitas keseharian "anak". Misalnya, membereskan mainan selesai bermain, rajin sikat gigi sebelum tidur, dan membereskan tempat tidur. Ini merupakan latihan untuk berdisiplin, bertanggung jawab, dan awal pengajaran tentang kepemilikan.
Latihan selanjutnya, mengajarkan "anak" untuk mampu mengelola uang dengan baik. Latihan yang perlu diajarkan bukan hanya cara membelanjakan, tapi juga menabung, sedekah, dan mencari uang. Tentu saja cara ini memerlukan konsistensi orangtua terhadap aturan.
Tahap selanjutnya, si "anak" mulai diajarkan berbisnis kecil-kecilan. Misalnya, menjual makanan ringan ke teman-teman sekolahnya. Dengan syarat, orangtua harus benar-benar melihat kemampuan si "anak", agar tidak membebani ketika belajar di sekolah. “Kalau kita tahu "anak" bermasalah dalam konsentrasi belajar, sebaiknya jangan dulu diizinkan,” tegas Zainun.
Dengan demikian, "anak" akan memiliki keahlian mendasar untuk menjadi seorang pengusaha. Ia akan belajar mengetahui modal awal, harga jual, dan laba dari penjualan. Secara mental, akan merangsang kreativitas "anak" dan membentuk kesadaran bahwa mencari uang itu tidak mudah. Dan secara tidak langsung, ia juga belajar matematika, marketing, komunikasi, dan lain sebagainya.
Untuk menanamkan "jiwa
wirausaha" pada "anak"-"anak", ini yang harus Anda lakukan:
1. Tumbuhkan rasa percaya diri
"Anak" saya sangat pemalu ketika masih kecil, dan ia akan mengarang berbagai alasan untuk menolak permintaan saya untuk mulai ber"wirausaha", ungkap Mazzio. Sebaiknya didik "anak" untuk lebih percaya diri dan menghilangkan rasa malu dalam dirinya. Berhenti berpikir tentang rasa malu terhadap orang lain, dan berhentilah untuk hanya berpikir tentang diri sendiri. Ajak "anak" untuk mulai berani berinteraksi dengan orang lain, dan tampil lebih percaya diri akan kemampuan mereka.
2. Membuat kamar inspirasi
Dimana para pengusaha mendapatkan inspirasi dan ide-ide terbaik mereka? Menurut Mazzio, sebagian besar ide terbaik para pengusaha dihasilkan dari sebuah ruang untuk berpikir kreatif. Buatlah sebuah ruang bermain yang penuh dengan berbagai hal yang bisa meningkatkan kreativitas "anak".
"Jika "anak"-"anak" merasa bosan, hindari untuk membeli mainan untuk mereka. Ajari mereka untuk memikirkan cara menghibur diri mereka sendiri," sarannya. Proses ini bertujuan untuk mengajarkan "anak"-"anak" memecahkan masalah mereka, lebih kreatif, dan punya inisiatif yang tinggi. Inilah salah satu modal seorang pengusaha yang sukses.
3. Tingkatkan produktivitas
Ketika bekerja atau ber"wirausaha", uang memang merupakan imbalan yang akan didapatkan sebagai hasil dari produktivitas dan kreativitas mereka. Namun, biasakan untuk mengajarkan pada "anak"-"anak" bahwa uang tidak selalu bisa menjamin kebahagiaan mereka. Beri pengertian pada "anak", bahwa sebenarnya proses produktiflah yang terpenting dalam pekerjaan. Karena proses produktif akan memberi mereka rasa kebebasan dan kemerdekaan. "Pacu mereka untuk giat belajar matematika dan keterampilan menulis, karena dua pelajaran ini bisa diterapkan pada kehidupan sehari-hari, dan bisa digunakan untuk memenangkan rencana bisnis untuk investor," tukasnya.
4. Jangan remehkan kegagalan
Mazzio mengungkapkan bahwa nilai ke"wirausaha"an bukan hanya dibutuhkan untuk menciptakan bisnis yang sukses. Ke"wirausaha"an juga merupakan cara hidup dan cara berpikir seseorang. Ketika yang tertanam pada diri kita adalah "wirausaha" merupakan cara untuk mendapat kesuksesan dan menghasilkan uang yang banyak, jangan heran bila kita mengalami kegagalan.
"Anak" saya sangat pemalu ketika masih kecil, dan ia akan mengarang berbagai alasan untuk menolak permintaan saya untuk mulai ber"wirausaha", ungkap Mazzio. Sebaiknya didik "anak" untuk lebih percaya diri dan menghilangkan rasa malu dalam dirinya. Berhenti berpikir tentang rasa malu terhadap orang lain, dan berhentilah untuk hanya berpikir tentang diri sendiri. Ajak "anak" untuk mulai berani berinteraksi dengan orang lain, dan tampil lebih percaya diri akan kemampuan mereka.
2. Membuat kamar inspirasi
Dimana para pengusaha mendapatkan inspirasi dan ide-ide terbaik mereka? Menurut Mazzio, sebagian besar ide terbaik para pengusaha dihasilkan dari sebuah ruang untuk berpikir kreatif. Buatlah sebuah ruang bermain yang penuh dengan berbagai hal yang bisa meningkatkan kreativitas "anak".
"Jika "anak"-"anak" merasa bosan, hindari untuk membeli mainan untuk mereka. Ajari mereka untuk memikirkan cara menghibur diri mereka sendiri," sarannya. Proses ini bertujuan untuk mengajarkan "anak"-"anak" memecahkan masalah mereka, lebih kreatif, dan punya inisiatif yang tinggi. Inilah salah satu modal seorang pengusaha yang sukses.
3. Tingkatkan produktivitas
Ketika bekerja atau ber"wirausaha", uang memang merupakan imbalan yang akan didapatkan sebagai hasil dari produktivitas dan kreativitas mereka. Namun, biasakan untuk mengajarkan pada "anak"-"anak" bahwa uang tidak selalu bisa menjamin kebahagiaan mereka. Beri pengertian pada "anak", bahwa sebenarnya proses produktiflah yang terpenting dalam pekerjaan. Karena proses produktif akan memberi mereka rasa kebebasan dan kemerdekaan. "Pacu mereka untuk giat belajar matematika dan keterampilan menulis, karena dua pelajaran ini bisa diterapkan pada kehidupan sehari-hari, dan bisa digunakan untuk memenangkan rencana bisnis untuk investor," tukasnya.
4. Jangan remehkan kegagalan
Mazzio mengungkapkan bahwa nilai ke"wirausaha"an bukan hanya dibutuhkan untuk menciptakan bisnis yang sukses. Ke"wirausaha"an juga merupakan cara hidup dan cara berpikir seseorang. Ketika yang tertanam pada diri kita adalah "wirausaha" merupakan cara untuk mendapat kesuksesan dan menghasilkan uang yang banyak, jangan heran bila kita mengalami kegagalan.
"Banyak
orang yang meremehkan kegagalan, dan kadang bicara dalam konteks
menghina. Padahal dari kegagalan kita bisa belajar. Pengusaha yang besar
adalah orang yang bisa bangun dan menarik diri kembali setelah gagal,"
tukasnya. Belajar dari kegagalan bisa memperluas karakter Anda,
dan membuat Anda berpikir lebih kreatif tentang bagaimana mencapai
berbagai hal yang sulit dicapai. Ajarkan "anak"-"anak" untuk siap menghadapi
berbagai kegagalan yang mungkin terjadi, dan ajarkan mereka untuk lebih
berani menghadapi berbagai risiko.
Sebenarnya "anak"-"anak" sudah menunjukkan bakatnya–dan kita harus mulai awas
mencarinya. Kita harus membesarkan "anak"-"anak"
menjadi pe"wirausaha", ketimbang pengacara (Ini tentu kiasan umum Sistem
Pendidikan yang dikotomis, Red.). Namun sayangnya Sistem Sekolah
(Pendidikan) membesarkan dunia ini dengan bilang: “Hei, ayo jadi
pengacara atau ayo jadi dokter.” Dan kita kehilangan peluang itu karena
tidak ada yang bilang: “Hei, ayo jadi "wirausaha"wan.”
Peran serta universitas dalam menciptakan transformasi perekonomian
Indonesia adalah mendidik sumber daya manusia penerus agar memiliki
pengetahuan dan kemampuan nalar yang memadai, mempromosikan
ke"wirausaha"an kepada "anak" didik, serta menyediakan forum dan media yang
diarahkan untuk mendorong penguatan jiwa ke"wirausaha"an. Semoga apa yang
disampaikan dapat meningkatkan pengetahuan mahasiswa dalam dunia usaha
dan menjadi inspirasi dalam meraih kehidupan yang lebih baik.
Sumber:
1. female.kompas.com/.../4.Cara.Tumbuhkan.Jiwa.Wirausaha.pada.Anak
2. komunitasduakaki.blogspot.com/.../mendidik-jiwa-wirausaha-anak-sejak...
3. remahhikmah.wordpress.com/.../apa-kata-cameron-bag-1-ayo-bangkitka...
4. www.unand.ac.id/.../1435-chairul-tanjung-si-anak-singkong-tularkan-jiw...
5. laely.widjajati.photos.facebook/jagoanku....
6. laely.widjajati.photos.facebook/jagoanku-di-sawah....
7. laely.widjajati.photos.facebook/He-he-he......Senyumnya-manaaaaaa.......