Di sisi lain Allah ta’ala juga mewajibkan kedua "orang tua" untuk berlaku baik kepada anak atau keturunannya.
Diantara kewajiban "orang tua" kepada anaknya: Mendidiknya
dengan pendidikan Islam, mengajarkan Al-Quran, memerintahkan shalat,
memberikan nama yang baik, berlaku adil kepada anak-anaknya, memberi
nafkah yang layak, mencarikan calon isteri yang shalihah atau calon
suami yang shalih, mengajarkan prilaku yang baik dan lain sebagainya,
memerintahkan putrinya menutup auratnya dan memelihara keluarganya dari
segala yang menggiring mereka ke pintu neraka.
Allah ta’ala berfirman:
“يآأيها الذين ءامنوا قوآ أنفسكم وأهليكم نارا..”.
“Wahai orang-orang Mukmin, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari azab api nereka…”.
Masih banyak lagi kewajiban "orang tua" kepada anaknya dan
bila orang tua melalaikan dan kewajiban-kewajiban tersebut maka dia bisa
termasuk orang tua yang durhaka kepada anaknya.
Bila seorang anak memiliki "orang tua" yang melalaikan
kewajiban kepada anaknya, maka dia tetap wajib berbuat baik kepada "orang tua"nya, wajib menasihatinya dengan cara yang sopan, ramah dan santun,
tidak menyakitinya dengan kata-kata maupun perbuatan, terus sabar dan
berdoa kepada Allah agar dibukakan pintu hidayah untuknya.
Jadi, Allah SWT yang Maha Adil tidak saja memerintahkan
seorang anak memenuhi kewajibannya untuk berbuat baik kepada kedua "orang tua"nya seperti berbuat baik kepadanya, mentaati perintahnya bila tidak
menyalahi perintah Allah ta’ala, menafkahinya dan lain sebagainya, namun
juga memerintahkan "orang tua"nya untuk memenuhi kewajibannya seperti kami
sebutkan di atas.
Jadi Ingatlah bahwa "orang tua" pun bisa disebut "durhaka" kepada anaknya bila melakukan hal-hal berikut:
Tentu tidak ada "orang tua" yang berharap memiliki anak "durhaka". Setiap
insan pasti menginginkan keturunannya menjadi anak salih dan salihah
yang berbakti kepada "orang tua"nya. Namun amat disayangkan, banyak "orang tua" yang tidak menyadari bahwa cita-cita mulia tersebut mutlak
membutuhkan pengorbanan besar dan perjuangan panjang. Bukan dengan
‘mantra sim salabim’!
Yang perlu diperhatikan bukanlah sekedar kebutuhan duniawi anak.
Seperti makanan, pakaian, uang saku, hp, kendaraan dan yang semisal.
Namun yang jauh lebih urgen dari itu semua adalah pengajaran dan
pendidikan mereka. Berkenaan dengan pendidikan, tugas "orang tua" tidaklah
sekedar memasukkan anaknya ke sekolah. Tetapi ia juga berkewajiban untuk ikut mengarahkan dan memantau perkembangan mereka.
Jika ia enggan untuk menjalankan tanggung jawab tersebut, jangan kaget bila kelak putranya menjadi anak yang "durhaka". Sebab ia telah men"durhaka"i anaknya terlebih dahulu, sebelum mereka men"durhaka"inya!
Nasehat tentu bukan hanya tertuju kepada para "orang tua". Namun juga
membidik para anak, yang harus mengimbangi usaha "orang tua"nya. Realita
berbicara bahwa tidak sedikit anak yang tak tahu diri. "orang tua" telah
bekerja keras membanting tulang demi membiayai anaknya. Nasehat juga
tidak kurang-kurangnya disampaikan kepada sang anak. Namun ternyata air
susu dibalas dengan air tuba.
Ingatlah bahwa barang siapa menanam pasti ia akan mengetam. Bila engkau men"durhaka"i "orang tua"mu saat ini, tunggulah saatnya kelak anakmu pun akan men"durhaka"imu. Na’udzubillah min dzalik.
Itu bila terjadi ketimpangan antara usaha "orang tua" dengan timbal
balik dari anak. Namun bagaimana bila kejadiannya berbeda? Yakni anak
tidak diperhatikan oleh "orang tua"nya, baik kebutuhan fisik maupun
rohaninya. Dalam kasus seperti ini, anak tidak boleh berputus asa dan
hanya menimpakan kesalahan kepada "orang tua"nya. Sebab Allah ta’ala telah
mengaruniakan akal dan nurani kepadanya. Dengan keduanya ia bisa
mencari hidayah dan menjemputnya. Tidak sedikit anak salih yang justru
terlahir dari sebuah keluarga yang broken home. Sebaliknya ada pula anak "durhaka" yang ternyata malah muncul dari sebuah keluarga taat beragama.
Fenomena tersebut memberikan sebuah pelajaran berharga kepada kita bahwa segala sesuatunya tergantung kepada taufik dari Allah ta’ala. Maka
janganlah sekedar mengandalkan usaha manusiawi belaka. Tetapi iringilah
ikhtiar dengan lantunan doa yang tak putus-putus. Dengan harapan semoga
Allah berbelas kasih kepada hamba-Nya…
“رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا“
“Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan
keturunan kami sebagai penyejuk mata (kami) dan jadikanlah kami pemimpin
bagi "orang"-"orang" yang bertakwa”. QS. Al-Furqan (25): 74.
Rasulullah SAW. sangat penyayang terhadap anak-anak, baik terhadap
keturunan beliau sendiri ataupun anak "orang" lain. Abu Hurairah r.a.
meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW. mencium Hasan bin Ali
dan didekatnya ada Al-Aqra’ bin Hayis At-Tamimi sedang duduk. Ia
kemudian berkata, “Aku memiliki sepuluh "orang" anak dan tidak pernah aku
mencium seorang pun dari mereka.” Rasulullah SAW. segera memandang
kepadanya dan berkata, “Man laa yarham laa yurham, barangsiapa yang tidak mengasihi, maka ia tidak akan dikasihi.” (HR. Bukhari di Kitab Adab, hadits nomor 5538).
Bahkan dalam shalat pun Rasulullah SAW. tidak melarang anak-anak
dekat dengan beliau. Hal ini kita dapat dari cerita Abi Qatadah, “Suatu
ketika Rasulullah SAW. mendatangi kami bersama Umamah binti Abil Ash
–anak Zainab, putri Rasulullah SAW.—Beliau meletakkannya di atas
bahunya. Beliau kemudian shalat dan ketika rukuk, Beliau meletakkannya
dan saat bangkit dari sujud, Beliau mengangkat kembali.” (HR. Muslim
dalam Kitab Masajid wa Mawadhi’ush Shalah, hadits nomor 840).
Begitulah Rasulullah SAW. bersikap kepada anak-anak. Secara halus
Beliau mengajarkan kepada kita untuk memperhatikan anak-anaknya. Beliau
juga mencontohkan dalam praktik bagaimana bersikap kepada anak dengan
penuh cinta, kasih, dan kelemahlembutan.
Karena itu, setiap sikap yang bertolak belakang dengan apa-apa yang
dicontohkan oleh Rasulullah SAW., adalah bentuk kejahatan kepada
anak-anak. Setidaknya ada ada empat jenis kejahatan yang kerap dilakukan
"orang tua" terhadap anaknya.
Kejahatan pertama: memaki dan menghina anak
Bagaimana "orang tua" dikatakan menghina anak-anaknya? Yaitu ketika
seorang ayah menilai kekurangan anaknya dan memaparkan setiap
kebodohannya. Lebih jahat lagi jika itu dilakukan di hadapan teman-teman
si anak. Termasuk dalam kategori ini adalah memberi nama kepada si anak
dengan nama yang buruk.
Seorang lelaki penah mendatangi Umar bin Khattab seraya mengadukan
ke"durhaka"an anaknya. Umar kemudian memanggil putra "orang tua" itu dan
menghardiknya atas ke"durhaka"annya. Tidak lama kemudan anak itu berkata,
“Wahai Amirul Mukminin, bukankah sang anak memiliki hak atas "orang tua"nya?”
“Betul,” jawab Umar.
“Apakah hak sang anak?”
“Memilih calon ibu yang baik untuknya, memberinya nama yang baik, dan mengajarkannya Al-Qur’an,” jawab Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku tidak melakukan satu pun dari apa yang engkau sebutkan. Adapun ibuku, ia adalah wanita berkulit hitam bekas hamba sahaya orang majusi; ia menamakanku Ju’lan (kumbang), dan tidak mengajariku satu huruf pun dari Al-Qur’an,” kata anak itu.
Umar segera memandang "orang tua" itu dan berkata kepadanya, “Engkau datang untuk mengadukan ke"durhaka"an anakmu, padahal engkau telah "durhaka" kepadanya sebelum ia men"durhaka"imu. Engkau telah berbuat buruk kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu.”
“Betul,” jawab Umar.
“Apakah hak sang anak?”
“Memilih calon ibu yang baik untuknya, memberinya nama yang baik, dan mengajarkannya Al-Qur’an,” jawab Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku tidak melakukan satu pun dari apa yang engkau sebutkan. Adapun ibuku, ia adalah wanita berkulit hitam bekas hamba sahaya orang majusi; ia menamakanku Ju’lan (kumbang), dan tidak mengajariku satu huruf pun dari Al-Qur’an,” kata anak itu.
Umar segera memandang "orang tua" itu dan berkata kepadanya, “Engkau datang untuk mengadukan ke"durhaka"an anakmu, padahal engkau telah "durhaka" kepadanya sebelum ia men"durhaka"imu. Engkau telah berbuat buruk kepadanya sebelum ia berbuat buruk kepadamu.”
Rasulullah SAW. sangat menekankan agar kita memberi nama yang baik
kepada anak-anak kita. Abu Darda’ meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW.
bersabda, “Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan
nama-nama kalian dan nama ayah kalian, maka perbaikilah nama kalian.”
(HR. Abu Dawud dalam Kitab Adab, hadits nomor 4297).
Karena itu Rasulullah SAW. kerap mengganti nama seseorang yang
bermakna jelek dengan nama baru yang baik. Atau, mengganti
julukan-julukan yang buruk kepada seseorang dengan julukan yang baik dan
bermakna positif. Misalnya, Harb (perang) menjadi Husain, Huznan (yang
sedih) menjadi Sahlun (mudah), Bani Maghwiyah (yang tergelincir) menjadi
Bani Rusyd (yang diberi petunjuk). Rasulullah SAW. memanggil Aisyah
dengan nama kecil Aisy untuk memberi kesan lembut dan sayang.
Jadi, adalah sebuah bentuk kejahatan bila kita memberi dan memanggil
anak kita dengan sebutan yang buruk lagi dan bermakna menghinakan
dirinya.
Kejahatan kedua: melebihkan seorang anak dari yang lain
Memberi lebih kepada anak kesayangan dan mengabaikan anak yang lain
adalah bentuk kejahatan "orang tua" kepada anaknya. Sikap ini adalah salah
satu faktor pemicu putusnya hubungan silaturrahmi anak kepada "orang tua"nya dan pangkal dari permusuhan antar saudara.
Nu’man bin Basyir bercerita, “Ayahku menginfakkan sebagian hartanya
untukku. Ibuku –’Amrah binti Rawahah—kemudian berkata, ‘Saya tidak suka
engkau melakukan hal itu sehingga menemui Rasulullah.’ Ayahku kemudian
berangkat menemui Rasulullah SAW. sebagai saksi atas sedekah yang
diberikan kepadaku. Rasulullah SAW. berkata kepadanya, ‘Apakah engkau
melakukan hal ini kepada seluruh anak-anakmu?’ Ia berkata, ‘Tidak.’
Rasulullah SAW. berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah
kepada anak-anakmu.’ Ayahku kemudian kembali dan menarik lagi sedekah
itu.” (HR. Muslim dalam Kitab Al-Hibaat, hadits nomor 3055).
Dan puncak kezaliman kepada anak adalah ketika "orang tua" tidak bisa
memunculkan rasa cinta dan sayangnya kepada anak perempuan yang kurang
cantik, kurang pandai, atau cacat salah satu anggota tubuhnya. Padahal,
tidak cantik dan cacat bukanlah kemauan si anak. Apalagi tidak pintar
pun itu bukanlah dosa dan kejahatan. Justru setiap keterbatasan anak
adalah pemacu bagi "orang tua" untuk lebih mencintainya dan membantunya.
Rasulullah SAW. bersabda, “Rahimallahu waalidan a’aana waladahu ‘ala
birrihi, semoga Allah mengasihi "orang tua" yang membantu anaknya di atas
kebaikan.” (HR. Ibnu Hibban)
Kejahatan ketiga: mendoakan keburukan bagi si anak
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Tsalatsatu da’awaatin mustajaabaatun: da’watu al-muzhluumi, da’watu al-musaafiri, da’watu waalidin ‘ala walidihi;
Ada tiga doa yang dikabulkan: doa "orang" yang teraniaya, doa musafir,
dan doa (keburukan) "orang tua" atas anaknya.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab
Birr wash Shilah, hadits nomor 1828)
Entah apa alasan yang membuat sese"orang" begitu membenci anaknya.
Saking bencinya, se"orang" ibu bisa sepanjang hari lidahnya tidak kering
mendoakan agar anaknya celaka, melaknat dan memaki anaknya. Sungguh, ibu
itu adalah wanita yang paling bodoh. Setiap doanya yang buruk, setiap
ucapan laknat yang meluncur dari lidahnya, dan setiap makian yang
diucapkannya bisa terkabul lalu menjadi bentuk hukuman bagi dirinya atas
semua amal lisannya yang tak terkendali.
Coba simak kisah ini. Sese"orang" pernah mengadukan putranya kepada
Abdullah bin Mubarak. Abdullah bertanya kepada "orang" itu, “Apakah engkau
pernah berdoa (yang buruk) atasnya.” "Orang" itu menjawab, “Ya.” Abdullah
bin Mubarak berkata, “Engkau telah merusaknya.”
Na’udzubillah! Semoga kita tidak melakukan kesalahan seperti yang
dilakukan "orang" itu. Bayangkan, doa buruk bagi anak adalah bentuk
kejahatan yang akan menambah rusak si anak yang sebelumnya sudah "durhaka"
kepada "orang tua"nya.
Kejahatan keempat: tidak memberi pendidikan kepada anak
Ada syair Arab yang berbunyi, “Anak yatim itu bukanlah anak yang
telah ditinggal "orang tua"nya dan meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan
hina. Sesungguhnya anak yatim itu adalah yang tidak dapat dekat dengan
ibunya yang selalu menghindar darinya, atau ayah yang selalu sibuk dan
tidak ada waktu bagi anaknya.”
Perhatian. Itulah kata kuncinya. Dan bentuk perhatian yang tertinggi "orang tua" kepada anaknya adalah memberikan pendidikan yang baik. Tidak
memberikan pendidikan yang baik dan maksimal adalah bentuk kejahatan "orang tua" terhadap anak. Dan segala kejahatan pasti berbuah ancaman yang
buruk bagi pelakunya.
Perintah untuk mendidik anak adalah bentuk realisasi iman. Perintah
ini diberikan secara umum kepada kepala rumah tangga tanpa memperhatikan
latar belakang pendidikan dan kelas sosial. Setiap ayah wajib
memberikan pendidikan kepada anaknya tentang agamanya dan memberi
keterampilan untuk bisa mandiri dalam menjalani hidupnya kelak. Jadi,
berilah pendidikan yang bisa mengantarkan si anak hidup bahagia di
dunia dan bahagia di akhirat.
Perintah ini diberikan Allah SWT. dalam bentuk umum. “Hai orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya dari manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
yang keras, yang tidak men"durhaka"i Allah terhadap apa yang
diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Adalah sebuah bentuk kejahatan terhadap anak jika ayah-ibu tenggelam
dalam kesibukan, sehingga lupa mengajarkan anaknya cara shalat. Meskipun
kesibukan itu adalah mencari rezeki yang digunakan untuk menafkahi
anak-anaknya. Jika ayah-ibu berlaku seperti ini, keduanya telah
melanggar perintah Allah di surat Thaha ayat 132. “Dan perintahkanlah
kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam
mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi
rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi "orang" yang
bertakwa.”
Rasulullah SAW. bersabda, “Ajarilah anak-anakmu shalat saat mereka
berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila tidak melaksanakan
shalat) pada usaia sepuluh tahun.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Shalah,
hadits nomor 372).
Ketahuilah, tidak ada pemberian yang baik dari "orang tua" kepada
anaknya, selain memberi pendidikan yang baik. Begitu hadits dari Ayyub
bin Musa yang berasal dari ayahnya dan ayahnya mendapat dari kakeknya
bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Maa nahala waalidun waladan min nahlin afdhala min adabin hasanin,
tak ada yang lebih utama yang diberikan "orang tua" kepada anaknya
melebihi adab yang baik.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Birr wash Shilah,
hadits nomor 1875. Tirmidzi berkata, “Ini hadits mursal.”)
Semoga kita tidak termasuk "orang tua" yang melakukan empat kejahatan itu kepada anak-anak kita. Amin.
Allahu a’lam bishshawab.
Sumber:
1. www.eramuslim.com › Ustadz Menjawab
2. tunasilmu.com/anak-durhaka-pada-orang-tua-atau-ora...
4. www.dakwatuna.com › Keluarga › Pendidikan Anak
5. laely.widjajati.photos.facebook/Anak2-(10-Th-Yg-Lalu).....
6. laely.widjajati.photos.facebook/Mbah-Buyut-&-Banda....
7. laely.widjajati.photos.facebook/Ada-Anak-Batuk-Makan-Es....
8. laely.widjajati.photos.facebook/Foto-Kenangan....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar