"Telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah kaum muslimin "Merayakan Tahun Baru Islam". Sehingga tanggal 1 Muharram termasuk salah satu Hari
Besar "Islam" yang di"raya"kan secara rutin oleh kaum muslimin.
Bagaimana "hukum merayakan Tahun Baru Islam" dan menjadikan 1
Muharram sebagai Hari Besar "Islam"? Apakah perbuatan tersebut dibenarkan
dalam syari’at "Islam"?
Berikut penjelasan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin
Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala ketika beliau ditanya tentang
permasalahan tersebut. Beliau adalah seorang ahli fiqih paling terkemuka
pada masa ini.
Telah banyak tersebar di berbagai negara "Islam" pe"raya"an hari pertama
bulan Muharram pada setiap "tahun", karena itu merupakan hari pertama "tahun" Hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari
bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga
saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika mereka ditanya
tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah perayaan
hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak mengapa
membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira dan saling
tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan berbagai
aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah
hasanah. Demikian alasan mereka.
Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada
engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam
timbangan amal kebaikan engkau.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab :
تخصيص الأيام، أو الشهور، أو السنوات بعيد مرجعه إلى الشرع وليس إلى
العادة، ولهذا لما قدم النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم المدينة ولهم
يومان يلعبون فيهما فقال: «ما هذان اليومان»؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في
الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم: «إن الله قد أبدلكم
بهما خيراً منهما: يوم الأضحى، ويوم الفطر». ولو أن الأعياد في الإسلام
كانت تابعة للعادات لأحدث الناس لكل حدث عيداً ولم يكن للأعياد الشرعية
كبير فائدة.
ثم إنه يخشى أن هؤلاء اتخذوا رأس السنة أو أولها عيداً متابعة للنصارى
ومضاهاة لهم حيث يتخذون عيداً عند رأس السنة الميلادية فيكون في اتخاذ شهر
المحرم عيداً محذور آخر.
كتبه محمد بن صالح العثيمين
24/1/1418 هـ
Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau
"tahun"-"tahun" tertentu sebagai hari besar/hari "raya" (‘Id) maka kembalinya
adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat. Oleh karena itu
ketika Nabi SAW. datang ke Madinah, dalam
keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira
ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka mereka
menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa
jahiliyyah. Maka Rasulullâh SAW. bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari
"raya" yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“
Kalau seandainya hari-hari besar dalam "Islam" itu mengikuti adat
kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian
penting sebagai hari "raya"/hari besar, dan hari "raya" syar’i tidak akan
ada gunanya.
Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung "tahun" atau awal "tahun"
(Hijriyyah) sebagai hari "raya" maka dikhawatirkan mereka mengikuti
kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan
penghujung "tahun" miladi/masehi sebagai hari "raya". Maka menjadikan bulan
Muharram sebagai hari besar/hari "raya" terdapat bahaya lain.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa "Merayakan Tahun Baru Islam" dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar "Islam" tidak boleh,
karena :
- Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam "Islam". Karena syari’at "Islam" menetapkan bahwa Hari Besar "Islam" hanya ada dua, yaitu ‘Idul
Adh-ha dan ‘Idul Fitri.
- Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan
orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa "Merayakan Tahun Baru"
Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka.
Oleh karena itu, wajib atas kaum muslimin agar meninggalkan kebiasaan "Merayakan Tahun Baru Islam". Sangat disesalkan, ada sebagian kaum
muslimin berupaya menghindar dari peringatan "Tahun Baru" Masehi, namun
mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu "Merayakan Tahun Baru Islam". Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran
sekaligus, yaitu peringatan "Tahun Baru" Masehi sekaligus peringatan "Tahun Baru Islam".
Wallâhu a’lam bish shawâb
2. Hukum Memberi Ucapan "Merayakan Tahun Baru" Hijriyah”
Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah
Berikut fatwa berkaitan akan masuknya bulan Muharram:
سئل الشيخ محمد بن صالح العثيمين رحمه الله ما حكم التهنئة بالسنة الهجرية وماذا يرد على المهنئ ؟
فأجاب رحمه الله :
إن هنّأك احد فَرُدَّ عليه ولا تبتديء أحداً بذلك هذا هو الصواب في هذه
المسألة لو قال لك إنسان مثلاً نهنئك بهذا العام الجديد قل : هنئك الله
بخير وجعله عام خير وبركه ، لكن لا تبتدئ الناس أنت لأنني لا أعلم أنه جاء
عن السلف أنهم كانوا يهنئون بالعام الجديد بل اعلموا أن السلف لم يتخذوا
المحرم أول العام الجديد إلا في خلافة عمر بن الخطاب رضي الله عنه. انتهى
المصدر إجابة السؤال رقم 835 من اسطوانة موسوعة اللقاء الشهري والباب
المفتوح الإصدار الأول اللقاء الشهري لفضيلته من إصدارات مكتب الدعوة و
الإرشاد بعنيزة
Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ditanya :Apa hukum mengucapkan selamat "Tahun Baru Islam". Bagaimana menjawab ucapan selamat tersebut.
Syaikh menjawab: Jika seseorang mengucapkan selamat,maka jawablah,
akan tetapi jangan kita yang memulai. Inilah pandangan yang benar tentang
hal ini. Jadi jika seseorang berkata pada anda misalnya:"Merayakan Tahun Baru", anda bisa menjawab “Semoga Allah jadikan kebaikan dan keberkahan
di tahun ini kepada anda” Tapi jangan anda yang mulai, karena saya tidak
tahu adanya atsar salaf yang saling mengucapkan selamat hari "raya". Bahkan
Salaf tidaklah menganggap 1 Muharram sebagai awal "tahun baru" sampai
zaman Umar bin Khattab ra.
Menjelang "tahun baru" Masehi, banyak ummat "Islam" yang latah ikut
"merayakan" pe"raya"an tersebut. Padahal "tahun" Masehi adalah penanggalan
yang berasal dari non-muslim dan pe"raya"annya adalah merupakan hari besar
non-muslim. Patutkan ummat "Islam" mengambil bagian dalam pe"raya"an
tersebut?
Ummat "Islam" memiliki penanggalan Hijriyah yang sepatutnya ummat
Muslim merasa mulia dengannya dan tidak perlu terpikat dengan kebudayaan
non-muslim termasuk penanggalan mereka. Bahkan hal tersebut dibenci
oleh Allah dan Rasul-Nya serta para sahabat dan ulama "Islam" dari dahulu
hingga sekarang.
Jadi ada tiga alasan mengapa "Islam" melarang Merayakan Tahun baru Islam":
- Hanya Idul Adhha dan Idul Fithri yang di"raya"kan. Rasulullah SAW. memerintahkan kaum muslimin untuk "merayakan" hanya Idul Adhha dan Idul Fithri. Rasulullah SAW. bersabda: Likulli ummatin ’iidan wa haadzihi ’iidunaa: ’iidul adhha wa ’iidul fithri [Setiap umat memiliki hari "raya". Dan inilah hari "raya" kita: Idul Adhha dan Idul Fithri]. Dengan kata lain, Rasulullah saw melarang merayakan hari-hari selain Idul Adhha dan Idul Fitri, termasuk awal tahun hijriyah 1 Muharram.
- Para Sahabat Nabi tidak ada yang "Merayakan Tahun baru Islam". Perlu diketahui, Penanggalan "Islam" mulai dipakai pada masa pemerintahan Amirul Mu`minin ’Umar bin Khaththab ra.
Padahal mereka menggunakan penanggalan "Islam" dan ada yang masih hidup hingga akhir masa Bani Umayyah. Tapi sekali lagi tidak ada satu pun sahabat Nabi yang "merayakan"nya. Artinya, mereka bersepakat bahwa Awal "Tahun" Hijriyah tidak di"raya"kan. "Tahun Baru Islam" baru diadakan pada Abad ke-4 H di masa Kekhilafahan Fathimiyah yang beraliran Syi’ah Ismailiyah yang berpusat di Kairo Mesir. Tentu saja hal ini merupakan bid’ah yang sesat. - Rasulullah SAW. melarang tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang-orang kafir). Orang-orang kafir biasa merayakan "tahun baru" mereka. Orang Cina merayakannya dengan Imlek. Biasanya mereka "merayakan" dengan berpawai berikut liong dan barongsainya. Orang Romawi Kuno dan dilanjutkan oleh orang Nasrani "merayakan tahun baru" Masehi Gregoriannya dengan pe"raya"an kembang api. Orang Yahudi juga "merayakan tahun baru" penanggalan Yahudinya. Oleh karena itu "merayakan tahun baru" merupakan kebiasaan orang-orang kafir. Kebiasaan yang tidak boleh menjadi kebiasaan umat"Islam" .
Seringkali orang memakai logika ”Daripada "merayakan tahun baru" Masehi
lebih baik "merayakan tahun baru Islam".” Tentu saja logika tidak biasa
dipakai dalam memutuskan hukum suatu perbuatan. Hukum diputuskan dengan
dalil, bukan dengan logika.
Oleh karena itu, "Perayaan Tahun Baru Islam", baik dengan berpawai,
menjadikannya libur resmi, grebeg Suro, atau membuat makanan khas "tahun
baru Islam", hendaknya segera dihentikan. Bagi yang sudah memahami
keharamannya, hendaknya tidak ikut-ikutan berpartisipasi "merayakan"nya.
Begitu pula bagi ormas "Islam", negara, dan kesultanan hendaknya segera
bertaubat, kembali kepada kebiasaan umat "Islam" yang sesuai metode nabi.
Sumber:
1. alqiyamah.wordpress.com/../hukum-memberi-ucapan-selamat-tahun-bar.
4. mediaislamnet.com/2012/11/hukum-merayakan-tahun-baru-islam/
5. laely.widjajati.photos.facebook/Add-a-description
Tidak ada komentar:
Posting Komentar