"Wujud "wayang kulit" sangat indah, dibuat dari "kulit" kerbau yang sudah disamak, diproses sehingga warnanya putih atau krem."
"Wayang kulit" adalah hasil karya asli nenek moyang kita yang kapan mulai diciptakannya sampai sekarang tidak dapat dilacak. Diduga teknik permainan "wayang kulit" yang dilihat hanya bayangannya saja itu telah dimulai sejak zaman prasejarah. Dengan adanya pengaruh Hindu dari India pada awal tahun Masehi, maka cerita dalam pe"wayang"an berkembang, dan wujud dari tokoh-tokoh "wayang" juga berkembang seperti yang kita temukan sekarang.
Padamulanya permainan "wayang kulit" adalah permainan yang diadakan untuk keperluan ritual kepercayaan atau agama tertentu yang sakral. Permainan itu dianggap suci, karena itu penonton hanya boleh melihat bayangannya saja. Dahulu untuk mendapatkan bayangan tersebut harus melalui sumber cahaya yang didapat dari blencong yaitu lampu tradisional dengan sumbu dari lawe (tali dijalin dari kapas) yang dibakar. Karena tiupan angin, sumbu lampu bergoyang-goyang yang mengakibatkan bayangan juga bergoyang yang dianggap menampilkan suasana magis.
Cerita "wayang" masuk ke Pulau Jawa melalui agama Hindu. Sebagai media untuk menyebarkan agama, cerita "wayang" berkembang antara lain dari cerita Mahabarata dan Ramayana. Mahabarata pada garis besarnya menceritakan dua keluarga besar yang berasal dari leluhur yang sama yaitu keluarga Pandawa yang terdiri dari tokoh Yudhistira, Bima, Arjuna, se kembar Nakula dan Sadewa dan keluarga Korawa yang jumlahnya 100 orang. Adapun keluarga Pandawa berkarakter baik sedangkan keluarga Korawa berkarakter sebaliknya. Antara dua keluarga ini selalu terjadi pertentangan dan akhirnya kemenangan ada di pihak yang baik. Demikianlah pada umumnya cerita dalam pe"wayang"an. Karena itu dunia pe"wayang"an menjadi pelajaran yang baik bagi masyarakat umum.
Cerita Ramayana mengisahkan percintaan antara Rama dan Shinta yang menggambarkan kesetiaan dan moral yang baik.
Karena cara dan pertunjukan "wayang" itu sangat menarik, maka agama Hindu cepat diterima masyarakat dan mendesak kepercayaan animisme dan dinamisme yang dianut penduduk sebelumnya. Untuk mengembangkan agama Islam di Jawa, para walisongo juga menggunakan "wayang" sebagai media untuk berdakwah. Kemudian berbagai bentuk "wayang" juga berkembang pesat sesuai dengan adat dan budaya daerah yang sangat bervariasi.
Permainan "wayang" dikendalikan oleh seorang dalang yang dapat mengisahkan dengan sangat menarik isi cerita "wayang", menirukan setiap tokoh yang berbeda. menggerakkan dan memainkan "wayang" dengan lincah. Setiap "wayang kulit" ada pegangannya yang dimainkan oleh si dalang. Permainan "wayang" adalah olah seni secara total karena meliputi seni pentas, seni drama, seni tari, seni suara (karawitan), seni sastra dan seni rupa. Karena itu seorang dalang yang baik harus menguasai semuanya.
Wujud "wayang"nya sendiri, walaupun hanya permainan di balik layar, dibuat sangat indah dengan warna-warni yang menarik. Setiap tokoh yang karakternya berbeda digambarkan dengan wujud yang berbeda pula. Warna muka, bentuk hidung, rambut, pakaian masing-masing mempunyai pakem yang tidak boleh terlalu dilanggar si seniman "wayang". Misalnya tokoh Arjuna atau Kresna tidak boleh memakai kain yang coraknya kawung atau parang rusak. Dengan demikian bila melihat sebuah "wayang" kita akan mengenal siapa dia.
Selain "wayang kulit", juga ada "wayang" beber yaitu cerita "wayang" yang digambar pada selembar kertas Ponorogo yang tahan air terbuat dari "kulit" kayu yang dimasak. Pada kertas yang ukurannya sekitar 50cm panjangnya 200cm. digambarkan satu atau dua adegan cerita. Dalam bercerita sang dalang membeberkan kisahnya di depan penonton, dan setelah selesai kertas digulung.
Kemudian ada "wayang" klitik terbuat dari kayu yang ukurannya lebih kecil dari "wayang kulit" dan bentuknya hampir tiga dimensi karena pipih. Ada pula "wayang" golek yang bentuknya seperti boneka, "wayang" wong (orang) dan lain-lain. Dengan berkembangnya kebutuhan media komunikasi dan pendidikan masyarakat, maka berkembang pula bentuk fisik "wayang", sesuai dengan budaya daerah masing-masing.
Wujud "wayang kulit" sangat indah, dibuat dari "kulit" kerbau yang sudah disamak kemudian diproses sehingga warnanya putih atau krem. Untuk membentuk dan menghiasinya para seniman menggunakan tatah, yaitu alat seperti pisau yang tajam di ujung-ujungnya. Menggunakannya dengan melubangi atau membentuk gambar dengan ujung pisau yang ditekan dengan pukulan dari sebuah palu dari kayu. Seniman "wayang" yang trampil menghasilkan tatahan yang halus dan transparan. Pegangan utama yang mengapit "wayang" disebut cempurit sedangkan untuk tangan "wayang" disebut tudingan, dibuat dari tanduk kerbau yang bentuknya dapat diatur oleh pemanasan api.
Pada permulaan atau antara adegan yang satu ke adegan periode yang lain, dalang selalu menggunakan gunungan untuk menandainya. Gunungan berbentuk khas, lancip di bagian atas. Digambarkan simetris bagian kiri dan kanan, berisi flora dan fauna. Dipercaya sebagai sumber hidup yang menyiratkan keseimbangan. Di bagian bawah kiri dan kanan biasanya ada penjaga berupa harimau, atau gupolo dan menjulang ke puncak ada pohon hayat yang penuh sulur dan daun dengan ukuran terawang yang indah.
Demikian sekelumit tentang "wayang kulit", seni budaya peninggalan nenek moyang kita yang indah. Inti sari cerita dalam pe"wayang"an sangat luas dan sangat dalam falsafahnya yang bercerita tentang berbagai hal yang menarik dan masih relevan dengan kehidupan modern saat ini. Karena itu seni yang indah ini patut untuk dilestarikan. (Oleh Anur E.Mulhadiono).
(Sumber: Majalah Griya ASRI, edisi Nomor 247/051, Maret 2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar