"Pembahasan tentang peningkatan "Profesionalisme Aparatur Negara" tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang konfigurasi yang kita antisipasikan akan terjadi dalam Pembangunan Jangka Panjang serta norma-norma pembangunan yang menjadi acuan pembangunan."
Kompetensi "birokrasi" yang merefleksikan "profesionalisme" merupakan kualitas "birokrasi" yang dituntut untuk dapat memainkan preanannya secara optimal di dalam konfigurasi normatif maupun konfigurasi empiris.
Konfigurasi normatif pembangunan mewajibkan "aparatur negara" mencapai pertumbuhan ekonomi, mengentaskan orang miskin, disamping membangun manusia Indonesia dalam keutuhannya. Masalah yang relevan untuk dikaji adalah sosok "profesionalisme aparatur negara" yang bagaimana yang dituntut untuk mewujudkan nilai-nilai pembangunan nasional tersebut.
Faktor kedua yang harus dipertimbangkan di dalam peningkatan "profesionalisme aparatur negara" adalah konfigurasi obyektif, empiris serta antisipasi perkembangan konfigurasi tersebut dalam kurun waktu tertentu. Apabila kita amati bersama, masyarakat dan "negara" kita pada saat ini baru dalam proses transisional dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial. Dan dalam proses transisi, masyarakat dan "negara" kita telah mencapai tahap struktur ekonomi yang berimbang sebagaimana diukur dari proporsi kontribusi masing-masing sektor dalam Produk Domestik Bruto.
Dari yang dikemukakan tadi, jelas bahwa "profesionalisme" yang dituntut oleh konfigurasi normatif maupun kondisi empiris, bersifat amat kompleks dan multi dimensional. "Aparatur Negara" haruslah memiliki kemampuan "profesional" untuk bukan saja mempertahankan dan meningkatkan ekonomi serta menciptakan iklim bagi perkembangan teknologi canggih, akan tetapi juga sekaligus harus mampu mendistribusikan output pembangunan secara adil dan merata, serta mengentaskan orang-orang miskin melalui strategi Empowerment (bukan penguasa tetapi lebih berperan sebagai fasilitator) dan self -reliant development (pembangunan yang bertumpu pada kekuatan masyarakat sendiri). Masalahnya adalah, kuslitas "profesional" apa yang diperlukan "aparatur negara" dalam melaksanakan fungsinya yang amat kompleks.
Secara umum dapat dirumuskan bahwa "profesionalisme Aparatur Negara" mencakup dua kutub, di satu kutub kemampuan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan mengakselerasikan (mempercepat) proses transformasi menuju masyarakat industri, dan di kutub lain kemampuan untuk memecahkan masalah kemiskinan khususnya melalui proses Self-Reliant development dan human-centered development (pembangunan yang berpusat pada manusia). Sepintas lalu "profesionalisme" yang dituntut oleh pertumbuhan ekonomi dan akselerasi transformasi struktural akan bersifat kontradiktif dengan "profesionalisme" yang dituntut oleh pemerataan, pengentasan kemiskinan, human resource development (pembangunan sumber daya manusia). Akan tetapi pengalaman beberapa negara, seperti Taiwan, Korea Selatan dan Jepang membuktikan bahwa keduanya dapat bersifat komplementer, yang lebih menentukan adalah Style of development (model pembangunan) yang menjadi pilihan suatu negara.
"WIRAUSAHA" DALAM PERSEPSI.
Banyak yang berpikir bahwa "wirausaha" semata-mata adalah pria dan wanita yang menjalankan bisnis, tetapi arti sebenarnya dari kata "wirausaha" (enter preneur) jauh lebih luas. Kata ini diciptakan oleh J.B. Say (ahli ekonomi berkebangsaan Perancis), sekitar tahun 1800. Menurut Say. "Wirausaha" adalah orang yang mampu memindahkan berbagai sumber ekonomi dari suatu kegiatan berproduktivitas rendah ke kegiatan berproduksi lebih tinggi dan hasil yang lebih besar". Dengan kata lain, seorang "wirausaha" menggunakan sumber daya dengan cara baru untuk memaksimalkan produktivitas dan efektivitas. Definisi Say di atas juga berlaku bagi sektor swasta, pemerintah dan sukarelawan.
Banyak juga orang yang berasumsi bahwa "wirausaha" adalah Risk taker (pengambil resiko). Tetapi, sebagaimana hasil dari beberapa kajian yang teliti, para "wirausaha" tidak mencari resiko, akan tetapi mereka mencari peluang.
Peter drucker, tokoh teori manajemen, mengatakan bahwa hampir setiap orang bisa menjadi "wirausaha", asalkan organisasinya disusun untuk mendorong ke"wirausaha"an. Sebaliknya, setiap "wirausaha" bisa berubah menjadi birokrat, andaikan organisasinya disusun untuk mendorong perilaku birokratis.
Jadi dapat disimpulkan bahwa setiap birokrat dapat menjadi "wirausaha" asalkan lembaga pemerintahan, sebagai wadah pelaku "birokrasi", mau dan mampu mengkondisikan atau menciptakan kualitas profesional birokrat (sebagai "aparatur negara") seperti yang dimiliki oleh para "wirausaha".
MENINGKATKAN "PROFESIONALISME APARATUR NEGARA" DALAM RANGKA ME"WIRAUSAHA"KAN "BIROKRASI".
Berdasarkan atas pemikiran di atas kita dapat menggariskan beberapa kualitas profesional yang dapat diwujudkan dalam rangka me"wirausaha"kan "birokrasi" untuk mengemban mandat pembangunan jangka panjang.
Kemampuan profesional yang dituntut dari diri seorang aparat yang relevan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan akselerasi transformasi adalah:
1. Enterpreneurial "profesionalim".
2. Mission driven "profesionalim".
Enterpreneurial "profesionalim" (kemampuan profesional "wirausaha") ini ditandai oleh kemampuan untuk melihat peluang-peluang yang ada bagi pertumbuhan ekonomi, keberanian mengambil resiko dalam memanfaatkan peluang, dan kemampuan untuk menggeser alokasi sumber dari kegiatan yang berproduktivitas rendah menuju ke kegiatan yang berproduktivitas tinggi yang terbuka dalam peluang. Enterpreneurial "profesionalim" dapat dibentuk oleh struktur dan prosedur organisasi yang memberi peluang pada aparat untuk berkreasi dan berinovasi. Dengan cara menumbuhkan prakarsa, daya kreasi dan inovasi "aparatur negara" pada akhirnya akan mewujudkan konfigurasi yang kondusive bagi timbulnya Enterpreneurial "profesionalim" tersebut.
Kemampuan kedua yang erat kaitannya dengan "profesionalisme" pertama, adalah kemampuan untuk mengambil keputusan dan langkah-langkah yang perlu dengan mengacu pada misi yang ingin dicapai (Mission driven "profesionalim") dan tidak semata-mata mengacu pada peraturan yang berlaku (rule-driven "profesionalim"). Ketentuan dan peraturan memang diperlukan untuk membentuk perilaku organisasi para "aparatur negara", akan tetapi tidak mungkin ketentuan dan peraturan itu mencakup berbagai kasus dan situasi khusus. Dalam hal yang demikian, aparat sering kali harus mengambil keputusan dan langkah-langkah yang semata-mata mengacu pada misi yang hendak dicapai, yaitu pertumbuhan ekonomi dan akselerasi transformasi struktural. Mission driven "profesionalim" ini akan mendukung terwujudnya "birokrasi" yang efisien, inovatif, lentur dan mempunyai ethos kerja yang tinggi, yang amat diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi dan akselerasi transformasi.
Kemampuan profesional lain yang dituntut dari seorang "aparatur" adalah kemampuan Environmental scanning. Kemampuan profesional ini berkaitan dengan kemampuan mengidentifikasikan subyek-subyek yang mempunyai potensi memberikan berbagai input dan sumber bagi proses pembangunan. Environmental scanning ini harus ditindak-lanjuti dengan linkage building (menjalin hubungan) dalam dalam arti menjalin hubungan dan interaksi yang produktif dengan para subyek yang mempunyai potensi memberikan kontribusinya pada proses pembangunan. Melalui kemampuan profesional ini akan tercapai mobilisasi sumber yang optimal.
Di sisi lain, pembangunan nasional kita mempunyai dimensi pemerataan, pemberantasan kemiskinan dan pembangunan sumber daya manusia, hal ini menuntut kemampuan Social marketing dan Empowering "profesionalim". Kemampuan yang pertama ini adalah kemampuan untuk menjual inovasi dan memperluas wilayah penerimaan (Zone of acceptance) program-program yang diperuntukkan bagi kaum miskin. Pemerataan dan pengentasan orang miskin tidak seharusnya dicapai melalui deliveres development (pemberian bantuan) dan charity strategy (strategi kedermawanan), oleh karena kemampuan untuk mengadakan social marketing amat penting.
"Profesionalisme" lain yang dituntut "Aparatur Negara" adalah Empowering "profesionalim". Dalam hal ini para "Aparatur Negara" lebih memainkan peranan sebagai fasilitator atau meningkatkan kemampuan masyarakat untuk tumbuh berkembang dengan kekuatan sendiri (enabler). "Profesionalisme" yang demikian amat diperlukan dalam pengentasan kemiskinan melalui pembangunan dengan bertumpu pada kekuatan masyarakat sendiri (self-reliant development).
"Profesionalisme" di atas, tidak berarti meniadakan kebutuhan untuk mengembangkan tradisional managerial "profesionalism". "Profesionalisme" tadi merupakan kualitas yang diharapkan disamping (beyond) "profesionalisme" yang konvensional di dalam rangka me"wirausaha"kan "birokrasi" untuk mengemban amanat pembangunan jangka panjang.
Disamping itu perlu ditekankan bahwa "profesionalisme" tidak harus dikembangkan melalui pelatihan formal, akan tetapi melalui learning by doing (belajar sambil bekerja) di dalam konteks perubahan filsafat, tata nilai, struktur serta prosedur "birokrasi". Karenanya, "profesionalisme" dalam rangka me"wirausaha"kan "birokrasi" ini hanya dapat berkembang kalau ada kehendak pemerintah untuk mengubah filsafat "birokrasi", tata nilai, serta struktur dan prosedur "birokrasi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar