"Istilah "Globalisasi" sudah tidak asing lagi bagi kita, namun sudah pernahkah kita berpikir sejauh mana pengaruhnya terhadap ke"budaya"an bangsa kita?
Untuk menjawab pertanyaan itu, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa arti sebenarnya istilah "Globalisasi". "Globalisasi" merupakan proses mendunia dari berbagai hal. Berbagai hal dapat berupa nilai-nilai (perangkat lunak) atau perangkat keras. Nilai-nilai dan perangkat keras tersebut menyebar masuk ke berbagai wilayah dan negara di dunia yang kemudian diterima dan diadopsi menjadi bagian dari kehidupan bangsa di negara-negara tersebut. Nilai-nilai yang menyebar tersebut dapat berupa pandangan dunia, ide-ide, konsep-konsep, nilai-nilai tentang salah benar atau indah buruk. Sedang perangkat keras dapat berupa alat-alat rumah tangga, komputer, mobil, pakaian wanita/pria dan sebagainya. Daftar nilai dan perangkat keras tersebut dapat ditarik sangat panjang sesuai dengan kemampuan dan kreativitas suatu bangsa dalam menciptakan, memproduksi, mempengaruhi, menjual serta menyerap semua iru. Pada dasarnya, "Globalisasi" akan berpengaruh terhadap semua macam infra-struktur ideologi, politik, ekonomi, sosial, "Budaya", pertahanan dan keamanan (IPOLEKSOSBUDHANKAM) suatu bangsa.
Sedangkan pengertian "budaya" adalah buah budidaya (cipta, karsa dan rasa) manusia. Karena berasal dari manusia, dan karena sifatnya yang manusia itu pula, maka "budaya" itu selalu bersifat fana, relatif dan tak kuasa mengelak dari imperative perubahan. "Budaya" itu sendiri bukan merupakan sesuatu yang dengan sendirinya ada. "Budaya" terjadi karena bertemunya berbagai pengaruh sistem: sistem ekonomi, sistem sosial, sistem kepercayaan dan sistem pendidikan. Berbagai sistem tersebut saling mempengaruhi melalui proses dialektika, sehingga sosok "budaya" yang pada tahap tertentu tercapai hanya akan sementara sifatnya. Kesementaraan sosok "budaya" tersebut dapat berlangsung tidak terlalu lama tetapi dapat juga bertahan hingga lama sekali hingga bergenerasi.
Pada satu saat suatu ide akan dapat berfungsi sebagai satu antitesa "budaya" terhadap komponen pokok "budaya". maka berputar lagi proses dialektika dari pembentukan kemapanan sosok "budaya" yang baru.
Pada waktu negara kebangsaan Indonesia terjadi, terjadi pula dialektika "budaya" baru. Yakni proses dialektika baru antara sosok-sosok "budaya" berbagai etnik kita yang sudah mencapai sosok dementara mereka dengan anti-tesa baru yang disebut sebagai Ke"budaya"an Nasional. Pada waktu ini proses dialektika baru tersebut sedang berlangsung dengan gencarnya. Akan tetapi proses dialektika baru tersebut tidak hanya berhenti dalam proses dialektika yang demikian, proses dialektika yang menyangkut ke"budaya"an etnik dengan ke"budaya"an nasional, yaitu masuknya faktor "Globalisasi" sebagai anti-tesa baru dalam membangun sosok ke"budaya"an baru kita.
Tanpa terkecuali, Indonesia juga kena sabet "Globalisasi" seperti halnya negara-negara dunia ketiga lainnya. Pada waktu kita sedang menjalani proses dialektika "budaya" etnik-nasional gelombang demi gelombang perangkat keras negara-negara industri maju masuk ke negara kita. Perangkat keras tersebut beraneka bentuk, kepentingan maupun harganya. Perangkat keras mulai dari makanan/minuman, pakaian, alat-alat dapur hingga ke mesin-mesin paling canggih dan mahal menyerbu baik ke kota-kota maupun ke desa-desa. Kehadiran perangkat keras tersebut langsung mempengaruhi gaya hidup kita. Coca-cola dan pizza misalnya, langsung mempengaruhi kebiasaan jajan kita. Film, alat-alat musik dan komputer baik yang pc maupun yang paling canggih masuk ke rumah-rumah maupun di dunia industri dan kantor-kantor kita, juga segera menjadi bagian akrab dari kehidupan kita. Di balik perangkat keras dari negara-negara industri maju adalah perangkat lunak baik berupa ilmu pengetahuan dan tehnologi serta sederetan sistem nilai, maupun tehnologi perdagangan yang sangat canggih.
Akar "budaya" sistem kekuasaan dan sistem ekonomis agraris tradisional dari negara kita yang sedang kita pacu menjadi negara industri maju menjadi lemah karena dua hal. Yang pertama adalah kelahiran negara kebangsaan kita; dan yang kedua adalah tuntutan yang keras akan penyesuaian dengan ke"budaya"an maju. Adapun tuntutsn utama prnyesusisn itu adalah menyerap kehadiran perangkat keras yang dijajakan di dalam negara kebangsaan yang baru. Penyerapan tersebur sudah berfungsi menekan sistem nilai tradisi negara kebangsaan uang baru. Yaitu terdesak mundurnya ke"budaya"an tradisional dengan pengadopsian gaya hidup baru. Kehadiran perangkat keras industri maju yang sepintas lalu hanya bersifat menyapu lapisan fisik, sebenarnya menambah konsekwensi yang lebih dalam, yakni membuat masyarakat kita menjadi tergantung terhadap negara industri maju. Proses ketergsntungan itu berarti juga tergesernya nilai-nilai agraris-tradisional oleh sistem negara industri maju. Persepsi kelengkapan hidup dari masyarakat menjadi lain pula.
Dampak "Globalisasi" yang sepintas hanya merupakan proses pergaantian gaya hidup, sebenarnya merembet menukik baik secara horisontal maupun vertikal. Misalnya bank-bank harus lebih diefisienkan, begitu juga transportasi umum, hotel-hotel dibangun dalam konteks pariwisata besar-besaran, sekolah-sekolah harus ditinjau kembali sistem dan kurikulumnya. Dengan kata lain, "Globalisasi"menuntut perubahan infra-struktur dari semua sistem. "Globalisasi" menuntut agar negara kebangsaan baru ditumbuhkan menjadi negara industri yang berdagang bebas serta menuntut hak asasi dan memiliki sistem kekuasaan yang lebih terbuka dan transparan. Bila semua itu tidak dilaksanakan yaitu tidak bersedia menuruti tuntutan "Globalisasi" maka negara kebangsaan baru tersebut dianggap akan terisolasi dari perkembangan "budaya" dunia.
Dalam perjalanan kita menjadi negara industri, memang banyak produk-produk "budaya" tradisional kita akan tergeser. Namun "budaya" kita yang tidak tergeser haruslah dikembangkan sebagai alternatif lain dari "Globalisasi" negara industri maju itu. Ini berarti kita dituntut untuk rajin dan tidak mengenal lelah menambang persediaan kreativitas kita agar pproduk "budaya" kita dapat kita ketengahkan keluar di tengah perang tanding negara-negara industri maju. Produk "budaya" baru kita tidak boleh merupakan produk tambal sulam tetapi benar-benar kreativitas kita yang segar. Dan dalam menjalankan roda dialektika sosok "budaya" kita yang baru mungkin wajah sosok yang kita capai lewat dialektika etnik-nasional-"Globalisasi" akan benar-benar merupakan transformasi "budaya" baru yang ampuh.
Untuk mempersiapkan itu semua, kita harus meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada saat ini, sehingga kita akan benar-benar siap dalam meng"Globalisasi"kan bangsa kita. Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim.... dengan segala potensi yang kita miliki, kita harus siap berjuang dalam era "Globalisasi" ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar