"Pembangunan Masyarakat Desa" ("PMD") mempunyai ruang lingkup dan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup "masyarakat", terutama "masyarakat" yang tinggal di wilayah dalam strata pemerintahan yang disebut sebagai pemerintahan terbawah atau "desa" yaitu pemerintahan di tingkat 'grass roots'.
Peningkatan taraf hidup yang berupa lebih banyak pengenalan terhadap benda-benda fisik yang bernilai ekonomis, mungkin dapat saja diberi penilaian secara standart, dan kemudian dijadikan ukuran. Tetapi "PMD", pada dasarnya adalah bertujuan untuk mencapai suatu keadaan pertumbuhan dan peningkatan untuk jangka panjang. Dan sifat peningkatan akan lebih bersifat kualitatif terhadap pola hidup warga "masyarakat", yaitu pola yang dapat mempengaruhi perkembangan aspek mental (jiwa), fisik (raga), intelegensia (kecerdasan) dan kesadaran ber"masyarakat" dan bernegara (politik).
Bagi bangsa Indonesia, "PMD" mempunyai makna membangun ,anusia Indonesia sebagai manusia seutuhnya, dimulai dari "masyarakat" tingkat pemerintahan terbawah dengan memperhatikan nilai tradisi mereka sebagai "masyarakat" yang perlu ditumbuhkan-kembangkan secara jasmaniah, rohaniah, sosial, spiritual dan intelegensinya.
"PMD" adalah proses "pembangunan" yang diarahkan kepada "masyarakat" (people centered), mengutamakan segi kehidupan manusia dan mementingkan aspek-aspek humanisme. "PMD" lebih mengutamakan sumber daya insani, dan menghargai segi pandangan "masyarakat" dalam menangani dan memecahkan masalahnya. Inisiatif "masyarakat" akan lebih dihargai dalam usaha perencanaan dan strategi "pembangunan" yaitu strstegi menggalakkan inisiatif "pembangunan" dari bawah atau dalam peristilahan teknis disebut Grass Root Inisiative Service (GRIS).
MISI DAN KEBIJAKSANAAN "PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA".
"PMD" mempunyai suatu mission sacre (tugas suci), yaitu meningkatkan harkat, martabat dan derajat manusia sebagai makhluk Tuhan. Tugas suci ini adalah memuliakan manusia sebagai ciptaan yang paling sempurna dari sekian banyak ciptaan Tuhan. Tugas suci ini tidak saja mengusahakan manusia supaya menjadi lebih sempurna dalam arti jasmaniah, tetapi juga sempurna dalam arti rohaniah dan sempurna iman dan taqwanya kepada Tuhan.
"PMD" yang mempunyai strategi GRIS bertujuan untuk menciptakan kondisi untuk tumbuhnya suatu "masyarakat" yang bertumbuh dan berkembang secara berswadaya (Civil Society). "Masyarakat" diharapkan mampu menetralisir belenggu-belenggu sosial yang dapat menahan laju perkembangan "masyarakat" (misalnya adat, tradisi, budaya, kebiasaan, cara dan sikap hidup yang dapat menjadi kendala perkembangan). Adat adalah pranata sosial yang perlu dipelihara, dan dihormati, akan tetapi tidak boleh membatasi "Process of Change". Civil Society adalah "masyarakat" yang idealis, kreatif, rasional dan aktif tidak bersifat terlalu tergantung, atau menggantungkan hidupnya kepada hal-hal di luar kemampuan atau kewenangannya. Suatu "masyarakat" modern rasional yang percaya diri dan mempunyai harga diri dan protogonistis (selalu ingin maju dan berkembang).
Sedangkan kebijaksanaan "PMD" adalah untuk mencegah meniadakan kemiskinan dan kesengsaraan yang dapat terjadi di "masyarakat", serta selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan "masyarakat desa" baik yang tergolong Basic Needs, terlebih-lebih BMN (Basic Minimum Needs). Kebijaksanaan ini dilakukan dengan cara peningkatan pemerataan pendapatan "masyarakat" di pe"desa"an, sehingga dapat tercipta ketahanan "masyarakat" dalam segala bidang. Policy ini akan dicapai dengan proses "pembangunan desa", dengan berusaha meningkatkan sumber daya, swadaya dan produktivitas "masyarakat" guna dapat mudah menciptakan kehidupan ekonomi yang akan berdampak penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan dan taraf hidup "masyarakat", terutama melalui usaha ekonomi "masyarakat" yang tergolong dalam sektor informal.
Kebijaksanaan "pembangunan desa" adalah juga mendorong dan meningkatkan aktivitas, kreativitas, prestasi dan partisipasi "masyarakat". Dalam setiap tahapan "pembangunan", kebijaksanaan pemerintah adalah membangun "desa" untuk "masyarakat" yang relatif miskin, dengan mengutamakan "desa" di daerah terpencil, berada dalam kondisi isolasi, padat penduduk, kurang penduduk dan "desa" yang memerlukan kelestarian.
PENDEKATAN DAN TAKTIK "PMD".
"Masyarakat" terkadang sulit untuk menerima suatu perubahan, walaupun secara fisik, benar-benar nyata faedahnya. Dalam hal ini faktor-fakor non-fisik biasanya merupakan pegangan hidup yang sulit dihapus begitu saja. Himbauan dan pendekatan mungkin belum tentu berhasil akan tetapi usaha-usaha yang intensif ke arah itu lambat laun tentu akan memberi pengaruh. Dalam hal ini sikap, niat dan kejujuran pembawa mission adalah sangat menentukan.
"PMD" merupakan program "pembangunan" yang perlu menghiraukan dan memperhitungkan pola kehidupan yang sedang berlangsung di "masyarakat". Kondisi ini harus diberi nilai, dan jangan sekali-kali diubah dengan cara perombakan. Penghargaan dan pemberian nilai pada kondisi kehidupan "masyarakat" tersebut merupakan salah satu cara untuk mensukseskan pengembangan "masyarakat" sebasgai yang diidamkan. Nilai positif diefektifkan dan dikembangkan, sedang nilai negatif, secara perlahan (persuasif) dihilangkan. Demikian pula nilai baru (inovatif) diperkenalkan untuk dihargai oleh "masyarakat" sebagai nilainya sendiri.
"Pembangunan desa", harus dapat dirasakan manfaatnya oleh setiap anggota "masyarakat", karena itu "pembangunan desa" harus bersifat praktis dan realistis. Pola kehidupan sehari-hari merupakan patokan untuk menilai praktisnya suatu usulan dalam suatu perencanaan. Untuk keberhasilan "pembangunan desa", seringkali perlu diberi motivasi dan stimuli. Hal ini kadang kala perlu dilakukan dengan menciptakan catalyst, yang dapat menimbulkan daya gerak pada "masyarakat" yang bersangkutan. Motivasi dan stimuli, dapat dilakukan dengan mengadakan gerakan-gerakan sosial, penyuntikan-penyuntikan dana dengan harapan mempunyai dampak yang berkepanjangan, menambah nilai dari usaha-usaha yang telah dilakukan "masyarakat" dan lain-lain.
"Masyarakat desa" pada umumnya dikatakan tradisional. Namun harus diasumsikan bahwa "masyarakat" adalah rasional dan obyektif. Dalam keadaan demikian, maka pendekatan dan taktik untuk menambah pandangan dan kebiasaan hidup "masyarakat" yang masih tradisional perlu sebelumnya direkayasa dengan baik, agar masukan yang diberikan kepada "masyarakat" tersebut benar-benar akan merupakan daya gerak atau catalyst yang sangat berfaedah.
"DESA" MANDIRI SEBAGAI TUJUAN "PMD".
Azas "PMD" yang pada hakekatnya memuat azas-azas yang akan dapat mendukung berkelanjutan "pembangunan" nasional pada umumnya, dan "pembangunan" pe"desa"an pada khususnya. Azas "pembangunan" integral, azas kekuatan sendiri dan azas permufakatan bersama pada hakekatnya masih mempunyai validitas untuk diterapkan pada saat ini pula.
Dengan demikian, "pembangunan desa" perlu diarahkan pada terwujudnya "desa" yang mandiri, yaitu "desa" yang warganya mempunyai semangat tinggi untuk membangun, yang mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasikan permasalahan "desa"nya, menyusun rencana untuk memecahkan permasalahan, serta melaksanakan rencana tersebut dengan seefisien dan seefektif mungkin, dengan bertujuan pada sumber daya dan dana yang berasal dari "masyarakat desa", dan mampu menjaga kelangsungan proses "pembangunan".
Untuk mewujudkan "desa" yang demikian, lebih dituntut adanya perubahan wawasan "pembangunan", dari pada menciptakan struktur baru. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan:
1. Reorientasi Birokrasi.
Dalam rangka mewujudkan "desa" yang mandiri dalam pelaksanaan "pembangunan" dituntut adanya perubahan sikap
4. Mobilitasi sumber-sumber sosio kultural.
Kemandirian pelaksanaan kegiatan "pembangunan" menuntut kompatibilitas sosio-kultural dari kegiatan. Dengan demikian sifatnya adalah culture specific. Hal ini memungkinkan "masyarakat desa" memanfaatkan nilai-nilai budaya serta pranata sosial setempat. Pemanfaatan budaya rikuh sebagai kontrol sosial dalam perkreditan misalnya, merupakan contoh mobilisasi sumber-sumber sosio-kultural.
5. Pembinaan Jaringan Sosial.
"Pembangunan" pe"desa"an harus lebih mengutamakan interaksi dari komponen-komponen organisasi matrik yang lebih mengejawantahkan hubungan horizontal, dari pada hubungan vertikal antara rakyat dengan birokrat. Komponen-komponen organisasi matrik terdiri dari pemerintah "desa", usaha-usaha swasta, koperasi, lembaga swadaya "masyarakat", dan lain-lain. Melalui interaksi horizontal akan terjadi pendataran (levelling off) antara biroktasi dan "masyarakat" yang akan meningkatkan saling pengertian diantara mereka. Ini jelas memerlukan perubahan role perception dari masing-masing komponen dalam organisasi matrik, LPMD misalnya harus benar-benar merasa bahwa lembaga itu merupakan forum "masyarakat desa" untuk berpartisipasi dan bukan kepanjangan dari tangan pemerintah di "desa".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar