"Anak" merupakan amanah dan karunia Allah SWT yang merupakan tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa."
"Anak" perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin pula hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah dan kodratnya. Dalam diri "anak" melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya yang memiliki peran strategis serta memiliki ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa yang akan datang. Oleh karena itu penghargaan akan hak-hak yang melekat pada "anak" harus dikedepankan dalam segala waktu, tempat maupun personality.
HAK-HAK "ANAK" YANG HARUS TERPENUHI.
Ada 16 hak "anak" yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Setiap "anak" berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanuaiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
2. Setiap "anak" berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
3. Setiap "anak" berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
4. Setiap "anak" berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang "anak", atau "anak" dalam keadaan terlantar maka "anak" tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai "anak" asuh atau "anak" angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Setiap "anak" berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial.
6. Setiap "anak" berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya, khusus bagi "anak" yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi "anak" yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
7. Setiap "anak" berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
8. Setiap "anak" berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan "anak" yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
9. Setiap "anak" penyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
10. Setiap "anak" selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung-jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya.
11. Setiap "anak" berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi "anak" dan merupakan pertimbangan terakhir.
12. Setiap "anak" berhak memperoleh perlindungan dari penyalah-gunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan dan pelibatan dalam peperangan.
13. Setiap "anak" berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Setiap "anak" berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
14. Setiap "anak" yang dirampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku dan membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan "anak" yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
15. Setiap "anak" yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
16. Setiap "anak" yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapat bantuan hukum dan bantuan lainnya.
(Sumber: Liflet Keluarga Ramah "Anak" menyongsong SIKARA 2011, Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Sidoarjo).
Itulah tadi hak-hak "anak" yang harus terpenuhi agar "anak" sebagai penerus bangsa dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan yang kita harapkan. Namun yang menjadi pertanyaan disini --- Apakah kita sebagai orang tua sudah benar-benar mengetahui dan menyadari atas hak-hak "anak" yang harus terpenuhi tadi? Karena pada kenyataannya --- Dalam kehidupan kita sehari-hari, masih banyak orang tua yang berperilaku kasar terhadap "anak" mereka tanpa sedikitpun menghormati harkat dan martabat "anak-anak" sebagai manusia yang harus kita hormati pula. Salah satu contoh adalah apa yang telah diperlakukan oleh orang tua terhadap "anak"nya yang berhasil terekam dalam video berikut ini:
Video diatas adalah gambar yang berhasil direkam oleh CCTV di salah satu tempat permainan (Internet Room) pada hari Minggu tanggal 30 Mei 2010. Gambar tadi menunjukkan perilaku orang tua yang tidak bisa menghormati hak-hak "anak"nya. Dan perilaku seperti tadi masih banyak sekali terjadi pada masyarakat kita di Indonesia tercinta ini. Bahkan perilaku yang sangat kejam pun masih sering terjadi, misalnya pembunuhan "anak" yang dilakukan oleh orang tua (baik ibu maupun ayah) kandungnya sendiri, yang seharusnya orang tua berperan sebagai pelindung bagi "anak-anak" mereka, justru malah mencelakakannya........
KEKERASAN TERHADAP "ANAK".
Masih banyak kita jumpai nilai-nilai dalam masyarakat kita, bahwa "anak" seolah merupakan hak milik yang dapat diperlakukan sekehendak orang tuanya, sehingga tidak jarang orang tua/dewasa karena merasa memiliki "anak", kemudian perlakuan mereka terhadap "anak" seringkali melampaui batas dan melanggar hak-hak "anak".
Karena aspek rasa kepemilikan terhadap "anak", maka tidak jarang orang dewasa di sekelilingnya melakukan tindak kekerasan terhadap "anak". Kasus-kasus kekerasan terhadap "anak" sangat bervariasi jenis kekerasannya mulai dari kekerasan dalam pacaran, trafiking, pencabulan dan pemerkosaan dan sebagainya bahkan sampai pada pembunuhan "anak".
Struktur dominasi orang dewasa (terutama laki-laki) dalam struktur masyarakat sehingga meminggirkan pandangan, kebutuhan dan kepentingan "anak" dalam setiap proses pengambilan keputusan. Dalam membuat keputusan, "anak" cenderung diarahkan oleh orang dewasa di sekitarnya. Di samping itu, rendahnya penghargaan keluarga terhadap "anak" (akibat adanya anggapan "anak" bukan manusia dewasa), membuat "anak" seringkali dikesampingkan partisipasinya dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Dalam masyarakat masih ada anggapan bahwa "anak" merupakan aset keluarga sehingga dapat diperlakukan seperti barang ataupun muncul adanya anggapan "anak" sebagai komoditas keluarga. "Anak" dianggap lemah dan belum memiliki pengalaman, sehingga secara tradisi harus ikut bekerja, baik bersama orang tua maupun di kalangan keluarga besar orang tua, supaya "anak" dapat memiliki pengalaman hidup. Hal ini dapat dianggap 'mitos balas budi'. Tidak jarang pula orang tua yang idak memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan "anak"nya dengan alasan sibuk meningkatkan pendapatan keluarga.
Era globalosasi dan percepatan teknologi informasi, kemudahan mengakses di berbagai belahan dunia ternyata sangat memberikan peluang operasionalisasi kriminalitas terhadap "anak" seperti trafiking. Permintaan pasar akan "anak" yang diperdagangkan terus meningkat oleh karena daya beli yang meningkat. lemahnya moral dan adanya asumsi bahwa "anak-anak" masih bersih dari segala penyakit, yang kemudian membuat orang dewasa tergiur membisniskan "anak-anak".
PERLINDUNGAN TERHADAP "ANAK" DARI PENGANIAYAAN, EKSPLOITASI DAN KEKERASAN.
Kenyataan masih menunjukkan bahwa keberadaan dan aksesibilitas "anak" dalam proses pembangunan yang berjalan masih sangat terbatas dan tidak jarang mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan timpang dari penduduk dewasa pada umumnya. Melihat kenyataan ini, maka instansi pemerintah perlu melakukan perlindungan terhadap "anak", seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo melaui Instruksi Bupati Sidoarjo Nomor 3 Tahun 2007, tentang Rencana Aksi Sidoarjo Kabupaten Ramah "Anak" Tahun 2006-2011, yaitu melakukan perlindungan terhadap "anak" dari penganiayaan, eksploitasi dan kekerasan, melalui:
1. Produk hukum perspektif "anak", seperti:
a. Peraturan Daerah Akte Kelahiran Gratis.
b. Peraturan Daerah Penanggulangan Korban Eksploitasi Seksual Komersial "Anak" (ESKA).
c. Peraturan Daerah Penghapusan Perdagangan Orang (Trafiking).
d. Peraturan Daerah Perlindungan Perempuan dan "Anak" Korban Kekerasan.
e. Peraturan Daerah Penghapusan Pekerjaan Terburuk "Anak".
f. Peraturan Daerah Sidoarjo KAbupaten Ramah "Anak" (SIKARA).
2. Telepon Sahabat "Anak" (TESA) 129 Bebas Pulsa.
3. Perlindungan "Anak" Bermasalah (terlantar, jalanan, pengamen, cacat dan sebagainya).
4. Perlindungan "anak" dalam Situasi Khusus (bencana, perang dan sebagainya).
5. Perlindungan "anak" dari segala bentuk penganiayaan, keterlantaran, eksploitasi dan kekerasan.
6. Perlindungan "anak" dari segala eksploitasi seksual, termasuk paedophilia, trafiking "anak" dan penculikan.
7. Perbaikan kehidupan "anak-anak" keluarga miskin yang dieksploitasi secara ekonomi dan seksual.
8. Kampanye keluarga harmonis atau keluarga sakinah.
9. Preventif dan Promotif Pencegahan Kekerasan terhadap "anak".
10. Sosialisasi hak-hak "anak" berikut upaya pemenuhannya.
11. Pelayanan Perlindungan "Anak" Korban Kekerasan mulai dengan berbagai bentuk perlindungan sebagaimana diatur dalam Perda Kabupaten Sidoarjo Nomor 18 Tahun 2008 yentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan "Anak" Korban Kekerasan.
Pengedepanan prinsip-prinsip non-diskriminasi, kepentingan terbaik untuk "anak", dan hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, penghargaan terhadap pendapat "anak", tidak dapat ditawar-tawar lagi --- Harus senantiasa menyertai hak "anak" tersebut.
Indonesia --- sebagai negara yang telah menyatakan ikut menegakkan komitmen terhadap hak-hak "anak" dengan meratifikasi konvensi hak "anak" melalui Kepres Nomor 36 Tahun 1990, terkandung makna bahwa Indonesia beserta seluruh elemen di dalamnya ikut ambil bagian dalam melaksanakan kewajiban terhadap "anak" dengan memberikan, melindungi dan menghargai hak "anak" sebagai kebutuhan dasar setiap "anak" dalam wilayah yuridiksinya. Komitmen ini kemudian diterjemahkan sebagai upaya legislasi dengan membentuk dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan "Anak".
Dengan disahkannya Undang-Undang tersebut, maka diharapkan Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, menindak-lanjuti dengan terus melakukan upaya implementasi dalam Rencana Aksi Daerah sebagai langkah aksi konkrit menuju harapan Indonesia Negara Peduli "Anak".
PENANGANAN KORBAN KEKERASAN TERHADAP "ANAK".
Dalam Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, disebutkan bahwa:
1. Korban kekerasan berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya. Dalam pasal 27 disebutkan bahwa, apabila korban kekerasan dalam rumah tangga adalah seorang "anak" laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau "anak" yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Ketua Pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut.
3. Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh: korban atau keluarga korban; teman korban; kepolisian; relawan pendamping; atau pembimbing rohani.
4. Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Apabila permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan negeri setempat wajib mencatat permohonan tersebut. Permohonan perintah perlindungan yang diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani, korban harus memberikan persetujuannya. Namun --- dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban.
5. Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk menetapkan suatu kondisi khusus; mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan. Pertimbangan tadi dapat diajukan bersama-sama dengan proses pengajuan perkara kekerasan dalam rumah tangga.
6. Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun; dan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan. Perpohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari sebelum berakhir masa berlakunya.
7. Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas. Penangkapan dan penahanan wajib diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 X 24 jam. Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana dimaksud tadi.
8. Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindungan. Penangkapan dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 X 24 jam.
9. Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan atau pembimbing rohani.
Sedangkan yang termasuk lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 ini adalah meliputi:
1. Suami, isteri dan "anak". Yang dimaksud "anak" dalam ketentuan ini adalah termasuk "anak" angkat dan "anak" tiri.
2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada no (1), karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga. Yang dimaksud dengan hubungan perkawinan dalam ketentuan ini, misalnya mertua, menantu, ipar dan besan.
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Orang yang bekerja ini dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Untuk membatasi siapa yang termasuk dalam katagori "anak", sebagaimana telah terdefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan "Anak", dalam pasal 1 ayat 1, yaitu seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk "anak" yang masih dalam kandungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar