"Masalah "kriminalitas" selalu menarik perhatian bagi wartawan dan pembaca. Karena itu, hampir setiap majalah dan koran selalu menyediakan tempat/kolom berita tentang "kriminalitas".
Mengingat pentingnya pemberitaan, sebagian ahli berpendapat bahwa pemberitaan "kriminalitas" baik melalui media cetak maupun elektronik, menunjang perkembangan ilmu pengetahuan tentang kejahatan atau kriminologi dan proses pembentukan kesadaran hukum "masyarakat". "Masyarakat" pada umumnya cenderung untuk menambah informasi yang diperolehnya secara langsung dengan membaca atau mendengarkan berita lewat koran atau media lainnya supaya lebih sempurna/lengkap.
Para ahli mengakui bahwa pemberitaan "kriminalitas" lewat koran dan majalah dapat berpengaruh terhadap pembaca, baik secara langsung maupun tidak langsung, positif maupun negatif.
Media massa surat kabar merupakan salah satu bentuk komunikasi massa, dimana komunikator berhadapan (secara tidak langsung) dengan komunikan (massa/"masyarakat" pembaca). Komunikasi melalui media surat kabar dan majalah memiliki perbedaan dengan komunikasi massa yang dilakukan dalam sosiologi, karena dalam komunikasi melalui media ini memiliki ciri khas, bahwa massa terikat pada pesan, kejadian atau idea yang terjadi yang terdapat di luar lingkungan hidupnya sehari-hari. Oleh karena itu, berita atau pesan yang dimuat di media ini akan lebih mudah untuk membentuk opini atau pendapat serta sikap pembaca.
Pada umumnya pemberitaan "kriminalitas" selalu menarik perhatian "masyarakat" dan oleh karenanya mempunyai daya pengaruh yang cukup efektif terhadap "masyarakat". Secara teoritik beberapa ahli telah mencoba merumuskan kerangka konseptual tentang pengaruh surat kabar dan majalah terhadap kejahatan. James Russel Wiggins menulis tentang pro dan kontra pemuatan berita "kriminalitas" di surat kabar dan majalah. Pendapat pro dan kontra -- sering dikemukakan oleh penegak hukum, antara lain:
1. Pemuatan berita "kriminalitas" akan meningkatkan kejahatan dengan mengundang peniruan oleh pembaca yang bernaluri jahat.
2. Berita-berita "kriminalitas" melukai perasaan keluarga dari si penjahat atau korban kejahatan.
3. Berita-berita "kriminalitas" selalu menimbulkan 'selera buruk' dengan gambar-gambar yang menakutkan dan mengerikan (misalnya gambar berwarna dari peristiwa kejahatan/pembunuhan/kejahatan.
Disamping dampak negatif tersebut, juga ada dampak positifnya. Wiggins selanjutnya aspek positif pemberitaan "kriminalitas" adalah:
1. "Kejahatan harus berbalas dan kena ganjaran, adalah pegangan hidup di dalam "masyarakat" yang harus diulang untuk menakuti calon-calon penjahat.
2. Berita-berita "kriminalitas" membantu pihak pengusut kejahatan, membekuk si penjahat (pemuatan foto penjahat yang akhirnya berhasil membekuk penjahat).
3. Takut dibeberkan di koran, merupakan penjera yang mujarab untuk mencegah orang-orang berjiwa kecil/jahat melaksanakan niat jahatnya.
4. Pemberitaan proses peradilan dan penangkapan si penjahat, juga membantu si penjahat dari perbuatan sewenang-wenang pihak penegak hukum.
Pemuatan berita "kriminalitas" dengan menokohkan seorang penjahat dan tidak jarang secara tidak langsung mengetengahkan aspek-aspek simpati pemujaan (hero worship) atas pelaku kejahatan tertentu yang dapat menanamkan suatu citra untuk diidentifikasi.
Pada hakekatnya setiap orang dapat belajar dari apa yang disajikan oleh surat kabar dan majalah --- baik yang positif maupun yang negatif --- Namun sebenarnya yang mengkhawatirkan dan memprihatinkan adalah bukan imitasinya tetapi proses pengaruhnya. Media massa dapat mempengaruhi tingkah laku kekerasan dengan cara persetujuannya, misalnya orang membunuh untuk membela diri, dengan menyebarkan informasi tentang kejahatan, dengan menyarankan seolah-olah tindakan kekerasan sebagai cara pemecahan masalah, dengan menimbulkan kadar toleransi yang tinggi antar sesama kelompok dengan cara menutupi perilaku jahat kelompoknya untuk berbuat jahat dengan cara memanas-manasi atau membesarkan permasalahan yang dihadapi.
Dalam dunia penegakan hukum, pemberitaan "kriminalitas", apalagi kejahatan kekerasan yang disajikan dengan bahasa yang demonstratif, lama kelamaan akan membentuk sikap/persepsi "masyarakat" tentang kejahatan itu sendiri. "Masyarakat" akan semakin tumpul kepekaannya terhadap perbuatan-perbuatan yang jahat atau tabu menjadi suatu perbuatan yang wajar dan lumrah bahkan dianggap sebagai suatu perbuatan yang tidak tabu lagi. Sebaliknya, penyajian berita "kriminalitas" dengan menggunakan bahasa yang sopan dan diperhalus, akan menghilangkan batas-batas antara perbuatan yang tercela dan jahat dengan perbuatan yang baik dan benar.
Penghalusan bahasa (eufemisme) -- bagi orang Timur -- dirasa lebih baik dan memperlancar proses komunikasi, namun dapat berdampak pada "masyarakat", yaitu merusak kepekaan "masyarakat" terhadap perbuatan jahat itu sendiri. Lama kelamaan akan terjadi kekaburan akan nilai yang benar dan yang salah, yang halal dan yang haram.
Akhir-akhir ini sering kita jumpai gejala penghalusan bahasa melalui media massa, misalnya 'pelacur' diperhalus menjadi 'wanita tuna susial', 'pezina yang hamil' menjadi 'kecelakaan', 'korupsi' menjadi 'penyimpangan' atau 'komersialisasi jabatan', 'berzina' menjadi 'melakukan perbuatan serong' atau 'jajan', seorang yang jelas-jelas melanggar hukum dengan sengaja atau berbuat 'salah' diganti dengan 'khilaf' dan lain sebagainya.
Dalam hubungannya dengan pembentukan kesadaran hukum "masyarakat", dampak negatif eufisme dalam pemberitaan "kriminalitas" lebih besar dari pada positifnya. Eufisme dalam pemberitaan "kriminalitas" semakin mengaburkan batas-batas perbuatan yang baik dan benar dengan perbuatan yang jahat dan salah. Di satu pihak bertentangan dengan nilai yang dijunjung tinggi oleh "masyarakat", sementara di pihak lain "masyarakat" memperoleh informasi yang tidak se-jahat atau se-tabu dengan apa yang diyakininya. Lama kelamaan akan menanamkan kesadaran yang bertentangan dengan norma dan nilai-nilai atau kepentingan yang dilindungi oleh hukum itu sendiri. Dengan kata lain merusak norma atau nilai yang dijunjung tinggi oleh "masyarakat".
(Sumber: Majalah Ilmiah Triwulan UII Yogyakarta, Nomor 5 Tahun X - Triwulan II/1989).
Para ahli mengakui bahwa pemberitaan "kriminalitas" lewat koran dan majalah dapat berpengaruh terhadap pembaca, baik secara langsung maupun tidak langsung, positif maupun negatif.
Media massa surat kabar merupakan salah satu bentuk komunikasi massa, dimana komunikator berhadapan (secara tidak langsung) dengan komunikan (massa/"masyarakat" pembaca). Komunikasi melalui media surat kabar dan majalah memiliki perbedaan dengan komunikasi massa yang dilakukan dalam sosiologi, karena dalam komunikasi melalui media ini memiliki ciri khas, bahwa massa terikat pada pesan, kejadian atau idea yang terjadi yang terdapat di luar lingkungan hidupnya sehari-hari. Oleh karena itu, berita atau pesan yang dimuat di media ini akan lebih mudah untuk membentuk opini atau pendapat serta sikap pembaca.
Pada umumnya pemberitaan "kriminalitas" selalu menarik perhatian "masyarakat" dan oleh karenanya mempunyai daya pengaruh yang cukup efektif terhadap "masyarakat". Secara teoritik beberapa ahli telah mencoba merumuskan kerangka konseptual tentang pengaruh surat kabar dan majalah terhadap kejahatan. James Russel Wiggins menulis tentang pro dan kontra pemuatan berita "kriminalitas" di surat kabar dan majalah. Pendapat pro dan kontra -- sering dikemukakan oleh penegak hukum, antara lain:
1. Pemuatan berita "kriminalitas" akan meningkatkan kejahatan dengan mengundang peniruan oleh pembaca yang bernaluri jahat.
2. Berita-berita "kriminalitas" melukai perasaan keluarga dari si penjahat atau korban kejahatan.
3. Berita-berita "kriminalitas" selalu menimbulkan 'selera buruk' dengan gambar-gambar yang menakutkan dan mengerikan (misalnya gambar berwarna dari peristiwa kejahatan/pembunuhan/kejahatan.
Disamping dampak negatif tersebut, juga ada dampak positifnya. Wiggins selanjutnya aspek positif pemberitaan "kriminalitas" adalah:
1. "Kejahatan harus berbalas dan kena ganjaran, adalah pegangan hidup di dalam "masyarakat" yang harus diulang untuk menakuti calon-calon penjahat.
2. Berita-berita "kriminalitas" membantu pihak pengusut kejahatan, membekuk si penjahat (pemuatan foto penjahat yang akhirnya berhasil membekuk penjahat).
3. Takut dibeberkan di koran, merupakan penjera yang mujarab untuk mencegah orang-orang berjiwa kecil/jahat melaksanakan niat jahatnya.
4. Pemberitaan proses peradilan dan penangkapan si penjahat, juga membantu si penjahat dari perbuatan sewenang-wenang pihak penegak hukum.
Pemuatan berita "kriminalitas" dengan menokohkan seorang penjahat dan tidak jarang secara tidak langsung mengetengahkan aspek-aspek simpati pemujaan (hero worship) atas pelaku kejahatan tertentu yang dapat menanamkan suatu citra untuk diidentifikasi.
Pada hakekatnya setiap orang dapat belajar dari apa yang disajikan oleh surat kabar dan majalah --- baik yang positif maupun yang negatif --- Namun sebenarnya yang mengkhawatirkan dan memprihatinkan adalah bukan imitasinya tetapi proses pengaruhnya. Media massa dapat mempengaruhi tingkah laku kekerasan dengan cara persetujuannya, misalnya orang membunuh untuk membela diri, dengan menyebarkan informasi tentang kejahatan, dengan menyarankan seolah-olah tindakan kekerasan sebagai cara pemecahan masalah, dengan menimbulkan kadar toleransi yang tinggi antar sesama kelompok dengan cara menutupi perilaku jahat kelompoknya untuk berbuat jahat dengan cara memanas-manasi atau membesarkan permasalahan yang dihadapi.
Dalam dunia penegakan hukum, pemberitaan "kriminalitas", apalagi kejahatan kekerasan yang disajikan dengan bahasa yang demonstratif, lama kelamaan akan membentuk sikap/persepsi "masyarakat" tentang kejahatan itu sendiri. "Masyarakat" akan semakin tumpul kepekaannya terhadap perbuatan-perbuatan yang jahat atau tabu menjadi suatu perbuatan yang wajar dan lumrah bahkan dianggap sebagai suatu perbuatan yang tidak tabu lagi. Sebaliknya, penyajian berita "kriminalitas" dengan menggunakan bahasa yang sopan dan diperhalus, akan menghilangkan batas-batas antara perbuatan yang tercela dan jahat dengan perbuatan yang baik dan benar.
Penghalusan bahasa (eufemisme) -- bagi orang Timur -- dirasa lebih baik dan memperlancar proses komunikasi, namun dapat berdampak pada "masyarakat", yaitu merusak kepekaan "masyarakat" terhadap perbuatan jahat itu sendiri. Lama kelamaan akan terjadi kekaburan akan nilai yang benar dan yang salah, yang halal dan yang haram.
Akhir-akhir ini sering kita jumpai gejala penghalusan bahasa melalui media massa, misalnya 'pelacur' diperhalus menjadi 'wanita tuna susial', 'pezina yang hamil' menjadi 'kecelakaan', 'korupsi' menjadi 'penyimpangan' atau 'komersialisasi jabatan', 'berzina' menjadi 'melakukan perbuatan serong' atau 'jajan', seorang yang jelas-jelas melanggar hukum dengan sengaja atau berbuat 'salah' diganti dengan 'khilaf' dan lain sebagainya.
Dalam hubungannya dengan pembentukan kesadaran hukum "masyarakat", dampak negatif eufisme dalam pemberitaan "kriminalitas" lebih besar dari pada positifnya. Eufisme dalam pemberitaan "kriminalitas" semakin mengaburkan batas-batas perbuatan yang baik dan benar dengan perbuatan yang jahat dan salah. Di satu pihak bertentangan dengan nilai yang dijunjung tinggi oleh "masyarakat", sementara di pihak lain "masyarakat" memperoleh informasi yang tidak se-jahat atau se-tabu dengan apa yang diyakininya. Lama kelamaan akan menanamkan kesadaran yang bertentangan dengan norma dan nilai-nilai atau kepentingan yang dilindungi oleh hukum itu sendiri. Dengan kata lain merusak norma atau nilai yang dijunjung tinggi oleh "masyarakat".
(Sumber: Majalah Ilmiah Triwulan UII Yogyakarta, Nomor 5 Tahun X - Triwulan II/1989).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar