"Pada hakekatnya "struktur sosial" berpengaruh terhadap tingkah laku manusia dan perubahan tingkah laku dalam menjawab rangsangan dari luar."
Pembahasan "struktur sosial" sangat erat hubungannya dengan sistem "sosial". Kalau sistem "sosial " lebih menitik beratkan pada sejumlah orang/kelompok dan kegiatannya yang mempunyai hubungan timbal-balik relatif tetap, sedang "struktur sosial" membahas pola hak dan kewajiban para pelaku dalam suatu sistem interaksi yang terwujud dari rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam suatu jangka waktu tertentu. Gunawan Wiradi menyatakan, bahwa "struktur sosial" terdiri atas seperangkat unsur yang mempunyai ciri-ciri tertentu dan seperangkat hubungan diantara unsur-unsur tersebut.
Hak dan status para pelaku dihubungkan dengan status dan peranan pelaku masing-masing, status dan peranan itu bersumber pada sistem penggolongan yang ada dalam kebudayaan "masyarakat" yang bersangkutan. Status dan peranan berlaku menurut masing-masing kesatuan sosial dan situasi interaksi sosial.
Sederhana atau kompleksnya "struktur sosial" suatu "masyarakat" tergantung dari keadaan "masyarakat". "Masyarakat" primitif atau terasing umumnya mempunyai "struktur sosial" yang sederhana dan terutama ditentukan oleh corak sistem kekerabatannya. Sedangkan pada "masyarakat" yang sudah maju, "struktur sosial" umumnya sangat kompleks, dan tidak hanya bersumber pada sistem kekerabatan, tetapi juga ditentukan oleh sistem ekonomi, sistem pelapisan sosial dan sebagainya yang merupakan kombinasi. (Sumber: Jabal Tarik Ibrahim).
PENGARUH "STRUTUR SOSIAL" TERHADAP DIFUSI INOVASI.
Menurut Rogers dan Schoemaker, anggota sistem "sosial" mempunyai perbedaan sedemikian rupa sehingga tercipta suatu "struktur sosial" di dalamnya. "Struktur sosial" disusun dari status dan posisi anggota dalam suatu sistem. Pada hakekatnya dalam suatu sistem "sosial" selalu terdapat "struktur sosial".
Pada hakekatnya "struktur sosial" berpengaruh terhadap tingkah laku manusia dan perubahan tingkah laku dalam menjawab rangsangan dari luar. "Struktur sosial" dapat merintangi atau memudahkan proses difusi, dan sebaliknya difusi dapat mengubah "struktur sosial" suatu "masyarakat".
"Struktur sosial" merintangi atau memudahkan cepatnya penyebaran ide baru dan pengadopsian inovasi melalui apa yang disebut efek sistem. Norma-norma "sosial" dan hirarki yang ada dalam suatu sistem "sosial" mempengaruhi perilaku anggota-anggotanya. Inovatif tidaknya seseorang dapat dipengaruhi oleh dua variabel, yaitu :
a. Variabel kepribadian seseorang, yakni komunikasi "sosial"nya, sikap-sikapnya, pendidikannya dan lain-lain.
b. Ciri-ciri sistem "sosial" yang melengkapinya, modern atau tradisional.
Dalam beberapa hal kita dapat menemui seseorang yang hidup di lingkungan "masyarakat" yang kolot, tetapi tetap menunjukkan kemoderatannya dalam kehidupan. Kasus seperti ini menunjukkan bahwa dia memang mempunyai hubungan sosial yang luas, punya sikap terbuka terhadap perubahan, atau mungkin dia terdidik walaupun sistem sosial di sekitarnya kolot. Kejadian ini menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap kemoderatannya adalah variabel kepribadian.
Sebaliknya seseorang berkepribadian kolot bila bergaul di lingkup sistem yang mempunyai ciri-ciri modern lambat laun akan bersifat moderat juga. Walaupun perilaku individu tadi tidak berubah seluruhnya. Bahkan bisa juga terjadi, di dalam suatu sistem "sosial" modern terdapat anggota-anggota "masyarakat" yang menolak pembaharuan-pembaharuan. (Sumber: Jabal Tarik Ibrahim).
"STRUTUR SOSIAL"" MASYARAKAT" INDONESIA.
Menurut Nasikun, "struktur sosial" "masyarakat" Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang unit, yaitu :
a. Secara horizontal, "struktur sosial" "masyarakat" Indonesia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan "sosial" berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan.
b. Secara vertikal, "struktur sosial" "masyarakat" Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan yang cukup tajam. (Soleman B. Taneko, SH.).
Perbedaan suku bangsa, agama, adat dan kedaerahan seringkali disebut sebagai ciri "masyarakat" Indonesia yang bersifat majemuk. "Masyarakat " majemuk (plural societies) menurut Furnivall adalah suatu "masyarakat" yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kestuan politik. Sebagai "masyarakat" majemuk, "masyarakat" Indonesia disebut sebagai suatu type "masyarakat" daerah tropis dimana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras. (Sumber: Nasikun, Drs.).
Bila disimpulkan dari konsepsi Furnivall, suatu "masyarakat" majemuk adalah suatu "masyarakat" dalam mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan "sosial" yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para anggota "masyarakat" kurang memiliki loyalitas terhadap "masyarakat" sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.
Sedangkan menurut Clifford Geertz, "masyarakat" majemuk adalah merupakan "masyarakat" yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri yang masing-masing sub sistem terikat keadaan oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial.
Pierre L. Van dan Berghe, menyebutkan beberapa karakteristik sebagai sifat-sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk, antara lain memiliki "struktur sosial" yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer.
"STRUKTUR SOSIAL" AGRARIS DI PEDESAAN JAWA.
"Masyarakat" pedesaan yang ditandai dengan kegiatan produksi pertanian, "struktur sosial"nya terbentuk berdasarkan pada "struktur sosial" agraris tertentu. "Struktur sosial" desa sebenarnya sangat kondisional, maka dari itu diperlukan kajian-kajian secara mikro.
Gunawan Wiradi, telah menarik beberapa ciri-ciri umum "struktur sosial" agraris pedesaan Jawa yang disimpulkan dari berbagai laporan penelitian, antara lain:
a. Pertanian di Jawa terdiri dari usaha tani yang luasnya sempit.
b. Pemilikan tanah cenderung sempit-sempit tetapi relatif merata bila dibanding luar Jawa maupun negara-negara berkembang lainnya.
c. Status/bentuk pemilikan tanah sangat beragam. Ada beberapa status pemilikan tanah, apakah itu berdasarkan hukum adat, kolonial maupun nasional.
d. Sebagian besar usaha tani terdiri dari usaha tani yang digarap oleh pemilik tanahnya sendiri.
e. Proporsi penggunaan tenaga kerja luar keluarga untuk kegiatan pra panen sangat besar (untuk kegiatan pemanenan lebih besar lagi).
f. Hampir semua tenaga kerja luar keluarga terdiri dari tenaga upahan/bayaran.
g. Terdapat jutaan keluarga tunakisma (orang yang tidak memiliki tanah).
h. Untuk semua lapisan "masyarakat " pedesaan, pendapatan yang berasal dari kegiatan non pertanian merupakan tambahan pendapatan yang sangat penting.
i. Hampir setiap rumah tangga di pedesaan Jawa hidup atas dasar yang disebut extrene occuptional multiplicity dengan suatu pembagian kerja yang sangat lentur diantara anggota-anggota rumah tangga. Pendapatan keluarga didapat dari berbagai sumber kehidupan pada saat-saat tertentu.
j. Terdapat kelembagaan hubungan kerja tradisional yang beragam dan rumit. (Sumber: Jabal Tarik Ibrahim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar