Sabtu, 10 Agustus 2013

"TRADISI KUPATAN/KETUPAT"

"Tradisi Kupatan" berawal dari "Tradisi" Wali Songo. 
 
 

"Ketupat" atau "tradisi" Jawa-nya "Kupatan" bukan hanya sebuah "Tradisi" Lebaran dengan menghidangkan "ketupat", sejenis makanan atau beras yang dimasak dan dibungkus daun janur berbentuk prisma maupun segi empat. Sebab, "Kupatan" memiliki makna dan filososi mendalam.

Dari sisi sejarah,
"Tradisi Kupatan"  berangkat dari upaya-upaya Wali Songo memasukkan ajaran Islam. Karena zaman dulu orang Jawa selalu menggunakan simbol-simbol tertentu, akhirnya para Walisongo memanfaatkan cara tersebut. "Tradisi Kupatan" akhirnya menggunakan simbol janur atau daun kelapa muda berwarna kuning”.

Dari sisi bahasa, "Kupat" berarti mengaku lepat atau mengakui kesalahan. Bertepatan dengan momen Lebaran, "Kupat" mengusung semangat saling memaafkan, semangat taubat pada Allah, dan sesama manusia. Dengan harapan, tidak akan lagi menodai dengan kesalahan di masa depan. ''Kupat" dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kafi. Yakni, kuffat yang berarti sudah cukup harapan".

Dengan berpuasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan, lalu Lebaran 1 syawal, dan dilanjutkan dengan puasa sunnah enam hari Syawal, maka orang-orang yang kuffat merasa cukup ibadahnya. Apalagi, berdasarkan hadis riwayat Imam Muslich bahwa ibadah tersebut sama dengan berpuasa satu tahun lamanya. ''Karena itulah, kuffat berarti orang-orang yang merasa cukup".

Terlebih, ditambah lagi dengan "Tradisi" silaturahim selama sepekan penuh pada kerabat dan masyarakat sekitar. Sehingga,
"Tradisi Kupatan" benar-benar dirasa lengkap.

Sedang dari sisi penyimbolan, dipilihnya janur karena janur biasa digunakan masyarakat Jawa 
dalam suasana suka cita. Umumnya, dipasang saat ada pesta pernikahan atau momen menggembirakan lain. Janur dalam bahasa Arab berasal dari kata Jaa Nur atau telah datang cahaya. Sebuah harapan cahaya menuju rahmat Allah, sehingga terwujud negeri yang makmur dan penuh berkah.

Sedang isinya, dipilih beras baik-baik yang dimasak jadi satu sehingga membentuk gumpalan beras yang sangat kempel. Ini pun memiliki makna tersendiri, yakni makna kebersamaan dan kemakmuran. ''Harapan para Wali Songo dulu,
"Tradisi Kupatan" ini bukan sebuah formalitas, tapi menjadi semangat kebersamaan umat".

Selain itu, biasanya "Kupatan" dimaknai dengan potongan miring sebagai simbol perempuan. Potongan "Kupat" miring tersebut lazim disandingkan dengan lepet berbahan beras ketan dengan bentuk lonjong sebagai simbol laki-laki. ''Artinya, pasangan suami istri juga harus selalu hidup rukun dan bersanding".

Dalam perjalanan, para kiai dan ulama menjadikan "Tradisi Kupatan" untuk menyampaikan pesan persatuan dan silaturahim. Ajakan tersebut, tak perlu sulit-sulit dengan himbauan lisan, tapi cukup dengan simbol-simbol. Sehingga, ajaran agama menjadi tidak asing bagi umat. ''Dengan menggunakan simbol yang melekat di kehidupan sehari-hari, ajaran agama bukan lagi hal menakutkan. Karena alat perantaranya telah melekat di hati".

Bagaimana dengan sandingan sayur "Kupat", apa mengandung makna tertentu juga? Disinggung soal itu, Marzuki menandaskan sayur pendamping "Kupat" hanyalah selera lidah masyarakat. Tidak ada makna khusus karena biasanya sayur pendamping "Kupat" disesuaikan dengan masakan khas daerah masing-masing. 
 
Kesempurnaan dan kesucian diri yang juga dilambangkan dengan isi "Kupat" yang berisi beras (segenggam beras) dan karena butir-butir beras tadi saling menyatu dalam selongsong janur dan rela direbus sampai matang, masak, maka jadilah sebuah makanan yang mengenyangkan dan enak dimakan. Ini adalah sebuah simbol dari persamaan juga kebersamaan persatuan dan kesatuan, dimana yang demikian itu merupakan seuntai pesan moral terhadap umat agar sama-sama rela untuk menjalin persatuan dan kesatuan sesama umat, untuk diri pribadi, lingkungan, masyarakat, bangsa dan negara.

Namun sedemikian itu, meski sudah menjadi sebuah "Tradisi" turun temurun dan terus dilakukan, juga tak jarang muncul sebuah polemik di kalangan umat Muslim, dimana ada juga yang menganggap sebuah "Tradisi" tersebut sebagai Bid’ah dan sesat, dikarenakan termasuk mengada-ada dalam masalah ibadah. Setelah bulan suci Ramadhan, dan memasuki Syawal (1 Syawal/Idul Fitri) maka pada saat itu seluruh kaum Muslim diharamkan untuk berpuasa, terkecuali ketika mulai pada hari ke 2 bulan Syawal, baru ada anjuran (sunnah muakkad) untuk melakukan puasa selama enam hari, berturut-turut sejak tanggal 2 Syawal  ataupun terpisah, selama masih dalam bulan Syawal, sebagaimana sabda Nabi SAW : 


مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصَوْمِ الدَّهْرِ. رواه مسلم (الجامع الصغير ص 307)
 

Artinya :
“Barang siapa berpuasa Ramadlan kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka yang demikian itu seperti puasa setahun”. (HR. Imam Muslim)
 
Kemudian setelah puasa Syawal, tidak ada anjuran atau tuntutan melakukan dan menyelenggarakan "Tradisi" tertentu (disini yang dimaksudkan adalah "Kupatan"), maka barang siapa melakukan "Tradisi" tertentu atau "Tradisi" riyoyo kupat pada tanggal 8 Syawal, maka hal itu dianggap Bid’ah (suatu hal yang baru). Kenapa demikian, dikarenakan dianggap suatu hal yang dulunya (zaman Rasul dan para sahabat) tidak pernah melakukan dan tidak pernah diajarkan. Inilah yang kemudian menjadi bermunculan multipersepsi di kalangan umat Islam, antara yang Bid’ah dan tidak, antara yang melakukan dan tidak mau melakukan. Namun tidaklah ini menjadi sebuah kerumitan dan menjanggal kita, coba kita pecahkan dan kita pikirkan dari paradigma bahasa yakni interpretasi dari makna Bid’ah itu sendiri, juga bagaimana status amaliyah dari "Tradisi" riyoyo "Kupatan" itu sendiri.


Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 117 yang artinya :

“Allah Pencipta langit dan bumi, ...”. Yang dimaksud disini adalah mencipta (membuat) tanpa ada contoh sebelumnya. 

Juga firman-Nya dalam Q.S  Al-Ahqaf ayat 9 yang artinya : “Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara Rasul-rasul’ ”. Maksudnya adalah aku bukan Rasul pertama yang diutus ke dunia ini. Sedangkan ada yang mendefinisikan Bid’ah secara mutlak, yakni segala hal yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Sesuatu yang ada kaitannya dengan ibadah dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi adalah Bid’ah dan haram untuk dilakukan. Oleh karena itulah "Tradisi Kupatan" ini dikategorikan sebagai ibadah madlah (ritual murni) yang terikat dengan tata cara yang didasarkan pada tauqif  (Jawa; piwulang) dari Nabi, dan hal itu dianggap mengada-ada dan itu adalah bid’ah, sedangkan setiap bid’ah adalah dlalalah. Sabda Nabi SAW:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. رواه البيهقي عن عائشة (الجامع الصغير ص 296)

Artinya :

“Barang siapa mengada-ada di dalam urusan agama kita ini, sesuatu yang tidak bersumber darinya, maka hal itu ditolak” (HR. Imam Baihaqi) 
Dan sabda Nabi SAW. : 

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ ذَلِكَ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه أبو داود والترمذي. أَيْ بَاعِدُوْا وَاْحذَرُوْا اْلأَخْذَ بِاْلأُمُوْرِ الْمُحْدَثَةِ فِي الدِّيْنِ. (المجالس السنية شرح الأربعين النووية ص 87)

Artinya :

“Jauhilah hal-hal baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya hal tersebut adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi) yakni kamu sekalian harus menjauhi dan mewaspadai perkara-perkara baru dalam agama.

Namun selain daripada itu, ada lagi yang kemudian pendapat mengklasifikasikan bid’ah itu menjadi dua bagian, yakni bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (buruk), dan berpendapat bahwasanya "Tradisi kupatan" itu adalah dikategorikan sebagai ibadah ghairu mahdlah (tidak murni) yang yang perintahnya ada, namun dalam hal pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi, maka adanya "Tradisi" itu dianggap amrun mustahsan (sesuatu yang dianggap baik). Penjelasan ini bukan berarti mengingkari dari pada dua hadits yang telah disebutkan di atas tadi, akan tetapi mencoba memahami hadits tersebut dengan paradigma yang lebih luas, dalam artian tidaklah semua bid’ah itu dlalalah (sesat), namun ada juga bid’ah yang hasanah (bagus) yaitu suatu hal baru yang tidak merusak akidah dan tidak menyimpang dari syari’at, sebagaimana dijelaskan dalam kitabnya Syaikh As-Sayyid Muhammad Alwi “Al-Ihtifal bidzikro maulidin Nabi” : 
قَالَ اْلإِمَامُ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: مَا أَحْدَثَ وَخَالَفَ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا أَوْ أَثَرًا فَهُوَ الْبِدْعَةُ الضَّالَّةُ، وَمَا أَحْدَثَ مِنَ الْخَيْرِ وَلَمْ يُخَالِفْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ الْمَحْمُوْدُ. 


Artinya :
“Imam Syafi’i berpendapat bahwa amalan apa saja yang baru diadakan dan amalan itu jelas menyimpang dari kitabullah, sunnah Rasul, ijma’us shahabah atau atsaratut tabi’in, itulah yang dikategorikan bid’ah dlalalah/sesat atau tercela. Sedangkan amalan baik yang baru diadakan dan tidak menyimpang dari salah satu dari empat pedoman di atas, maka hal tersebut termasuk hal yang terpuji”.

Juga dalam kitab yang sama beliau menyimpulkan pendapat Imam Syafi’i tersebut sebagai berikut : 

فَكُلُّ خَيْرٍ تَشْتَمِلُهُ اْلأَدِلَّةُ الشَّرْعِيَّةُ وَلَمْ يُقْصَدْ بِإِحْدَاثِهِ مُخَالَفَةُ الشَّرِيْعَةِ وَلَمْ يَشْتَمِلْ عَلَى مُنْكَرٍ فَهُوَ مِنَ الدِّيْنِ.

Artinya :

“Jadi setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan mengadakannya tidak ada maksud menyimpang dari aturan syari’at serta tidak mengandung kemunkaran, maka hal itu termasuk “ad-din” (urusan agama)”.


Oleh karena itu, wahai sahabat/i yang dimuliakan Allah semuanya, Aamiin, menempatkan hukum riyoyo "Kupat" itu tidaklah dengan seenaknya saja, harus dilihat dari substansi masalahnya, yaitu ajaran silaturrahim, saling memaafkan juga ajaran tentang pemberian sodaqoh atau sedekah, yang mana hal tersebut perintahnya ada dalam dalil syar’i, namun daripada itu teknis dalam hal pelaksanaannya bisa dilakukan dengan beragam cara.
Dalil syar’i tentang silaturrahim antara lain : Hadits Riwayat Tirmidzi : 

أَسْرَعُ الْخَيْرِ ثَوَابًا الْبِرُّ وِصِلَةُ الرَّحِمِ. رواه الترمذي عن عائشة

Artinya :
“Amal kebajikan yang paling cepat mendapatkan pahala adalah ketaatan dan silaturrahim”.

Dalil syar’i tentang memberikan maaf antara lain QS. An-Nur 22 : 

وَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْا أَلاَ تُحِبُّوْنَ أَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ. النور : 22.

Artinya :

“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada, apakah kamu tidak ingin Allah akan mengampunimu? Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang”. (QS. An-Nur : 22)
Dalil syar’i tentang memberikan sedekah antara lain : 

  تَصَدَّقُوْا وَلَوْ بِتَمْرَةٍ. رواه ابن المبارك 

Artinya :
“Bersedakahlah kamu, meskipun hanya berupa sebutir kurma” (HR. Ibnu Mubarak).



Itulah, sedikit dari beberapa pemaparan tentang "Tradisi Kupatan", dimana "Tradisi Kupatan" itu tidak bisa dengan begitu saja disebut sebagai bid’ah atau tambahan dalam beribadah, melainkan "Tradisi Kupatan" adalah budaya lokal dimana budaya tersebut memiliki keterkaitan dengan syari’at Islam dan karena itulah "Kupatan" tidak bisa dihukumi sebagai penyimpangan, apalagi dihukumi sebagai tindakan dlalalah (sesat).
 
Sumber:
1.  fendi-tw.blogspot.com/2008/10/tradisi-kupatan.html
2.  pekansyawalan.blogspot.com/p/blog-page_4.html
3.  zaynunaddin.blogspot.com › Religi
4.  digito10 blogspot.com/Sekedar-Cemilan-Hidup:Kupatan-Tradisi....
5.  mushollarapi.blogspot.com/Musholla-RAPI-Online:Agustus-2012....
6.  zainunaddin.blogspot.com/Memahami-Hakikat-Kupatan....
7.  mtsmaarifkarangan.blogspot.com/Tradisi-Kupatan....

"MAKNA SEBUAH HADIAH"

"Hadiah" dapat melakukan apa yang tidak dapat dilakukan ucapan dan permintaan ma'af."


"Hadiah" atau hibah atau kado adalah pemberian uang, barang, jasa dan lain-lain yang dilakukan tanpa ada kompensasi balik seperti yang terjadi dalam perdagangan, walaupun dimungkinkan pemberi "Hadiah" mengharapkan adanya imbal balik, ataupun dalam bentuk nama baik (prestise) atau kekuasaan. Dalam hubungan manusia, tindakan pertukaran "Hadiah" berperan dalam meningkatkan kedekatan sosial.

Istilah "Hadiah" dapat juga dikembangkan untuk menjelaskan apa saja yang membuat orang lain merasa lebih bahagia atau berkurang kesedihannya, terutama sebagai kebaikan, termasuk memaafkan (walaupun orang lain yang diberi tidak baik).

Memahami "Hadiah" sebagai salah satu cara untuk menyatukan hati antara pemberi dan penerima dapat dilihat dalam beberapa riwayat sebagai pedoman, dari perintah memberi "Hadiah", prioritas penerima "Hadiah" dan larangan mengaburkan 
 
Anjuran agar saling mendekatkan hati, saling bersaudara dan mencintai di antara sesama kaum muslimin merupakan salah satu sisi keindahan Islam. Islam mensyari'atkan sarana yang dapat menyebabkan keakraban, mendamaikan dan menghilangkan kabut hati. Di antara sarana itu adalah saling memberikan "Hadiah" di antara sesama muslim."Hadiah" dapat melakukan apa yang tidak dapat dilakukan ucapan dan permintaan ma'af. "Hadiah" mampu menghilangkan kabut hati, memadamkan api permusuhan, menenangkan kemarahan dan melenyapkan rasa iri hati dan kedengkian. "Hadiah" dapat mendatangkan kecintaan dan persahabatan setelah sekian lama tercerai-berai."Hadiah" selalu memberi kesan perdamaian, rasa cinta dan penghargaan dari si pemberi kepada yang diberi. Karena itulah Nabi Muhammad SAW menganjurkan agar memberi dan menerima"Hadiah" . Beliau menjelaskan pengaruh "Hadiah" di dalam meraih kecintaan dan kasih sayang di antara sesama manusia,


"Saling memberi
"Hadiah"lah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai." (HR. al-Bukhari, al-Adab al-Mufrid)

Beliau juga bersabda,
"Penuhilah undangan orang yang mengundang, janganlah menolak
"Hadiah"..." (HR.Ahmad dan al-Bukhari di dalam al-Adab al-Mufrid)

Mengenai hadits ini, Ibn Hibbân mengomentari, "Dalam hadits ini, Nabi SAW mengecam tindakan menolak
"Hadiah" di kalangan sesama muslim. Bila seseorang diberi sebuah "Hadiah", wajib baginya untuk menerimanya dan tidak menolaknya. Saya menganjurkan orang-orang untuk saling mengirim "Hadiah" kepada sesama saudara. Sebab"Hadiah"  dapat melahirkan kecintaan dan menghilangkan rasa dendam."

ANTARA NABI MUHAMMAD SAW DAN "HADIAH".

Nabi Muhammad SAW menerima
"Hadiah" dan tidak menerima sedekah. Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, "Bila Rasulullah SAW disuguhi makanan, ia selalu bertanya; Apakah ia "Hadiah" atau sedekah.? Jika dijawab, 'Sedekah' maka ia berkata kepada para shahabatnya, 'Makanlah oleh kalian' sementara ia tidak ikut memakannya. Sedangkan bila dijawab, '"Hadiah" maka beliau mencuci tangannya lalu memakannya bersama mereka.'" (Muttafaqun 'alaih)

Hadits lainnya berasal dari 'Aisyah ra, ia berkata, "Rasulullah SAW menerima
"Hadiah" dan mendoakan pahala bagi (pemberi)-nya." (HR. al-Bukhari)

Salah satu jenis
"Hadiah"  yang tidak pernah ditolak Nabi SAW adalah wewangian. Hal ini sebagaimana hadits Anas ra, bahwasanya Nabi SAW tidak pernah menolak wewangian." (HR. al-Bukhari) Beliau,  juga bersabda, "Siapa saja yang di"Hadiah"i 'Raihan', maka janganlah menolaknya sebab ia ringan dibawa namun sedap baunya." (HR.Muslim)

APA YANG DILAKUKAN ORANG ORANG  ANSHAR?

Orang-orang Anshar amat mengetahui betapa hajat Rasulullah SAW dan kesulitan hidup yang dialaminya. Karena itu, mereka selalu mengirimkan
"Hadiah" dan pemberian untuk beliau. Hal ini diceritakan oleh 'Aisyah ra kepada 'Urwah ra bahwa seringkali di rumah Rasulullah SAW tidak dinyalakan api karena tidak memasak. Lalu ketika 'Urwah bertanya apa yang dimakan bila kondisinya demikian. 'Aisyah ra menjawab, "Hanya korma dan air." Kemudian 'Aisyah ra menceritakan bahwa sekalipun demikian, Rasulullah SAW punya tetangga orang-orang Anshar yang selalu mengirimkan "Hadiah", yaitu berupa air susu onta." (Muttafaqun 'alaih)

MEMBERI "HADIAH"  JANGAN DIUKUR NILAI MATERINYA

Anjuran Rasulullah SAW agar saling memberi "Hadiah" walaupun sedikit tidak ditinjau dari sisi nilai materinya tetapi lebih kepada nilai maknawinya sebagaimana yang telah disinggung di atas. Hal ini dapat terlihat dari sabda Rasulullah SAW melalui hadits Abu Hurairah ra bahwa beliau bersabda,
"Wahai para wanita kaum muslimin, janganlah ada seorang tetangga meremehkan pemberian tetangganya yang lain sekali ia (pemberian tersebut) berupa ujung kuku (teracak) unta." (HR.al-Bukhari). Padahal, apalah artinya kuku yang tentunya hanya menyisakan sedikit daging.

Dalam hadits yang lain, Nabi SAW memberikan permisalan menarik yang menunjukkan perlunya sikap tawadlu' (rendah hati) dalam menerima "Hadiah" apa pun,
"Andaikata aku diundang untuk menyantap makanan (yang berupa) bagian hasta atau bagian di bawah tumit, niscaya aku penuhi undangan itu, dan andaikata aku di
"Hadiah"i hal yang sama juga niscaya aku menerimanya." (HR. al-Bukhari)

Bila kita renungkan lebih mendalam, apakah Rasulullah SAW masih membutuhkan makanan dari orang lain? Jawabannya sudah pasti, tidak. Sebab sebagaimana yang kita ketahui bahwa beliau diberi makan dan minum oleh Rabbnya akan tetapi hal itu merupakan pelajaran praktis agar bersikap tawadlu' dan rendah hati terhadap kaum muslimin apa pun kedudukan mereka.

Kehidupan para ulama Salaf juga sarat dengan hal itu di mana mereka saling memberi
"Hadiah", sekecil apa pun bentuknya, terkadang ada yang hanya berupa kurma yang belum matang, ada yang berupa setangkai bunga mawar, ada yang hanya berupa garam yang ditumbuk dan tetumbuhan yang wangi aromanya.

SALING MEMBERI "HADIAH" ANTARA SUAMI-ISTRI

"Hadiah" adalah sesuatu yang mengagumkan, apalagi bila terjadi di antara suami-isteri. Ia dapat menambah rasa kecintaan dan kedekatan hati antara keduanya, memperbarui ruh kehidupan rumah tangga dan menghilangkan perselisihan yang sebelumnya bisa saja akan bertambah meruncing bila kedua pasangan tidak menyadari apa yang dapat menghilangkannya.

Seorang istri lebih mudah tersentuh oleh
"Hadiah" yang diberikan suaminya ketimbang terhadap "Hadiah" orang lain, demikian pula dengan sang suami. Bahkan bila ingin, isteri boleh memberikan sebagian maharnya kepada sang suami asalkan secara sukarela. Allah SWT,
"Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." (an-Nisâ`:4)

BEBERAPA HAL PENTING YANG PERLU DIPERHATIKAN

1. Tidak boleh mengambil kembali
"Hadiah" yang telah diberikan kepada orang lain sebab hal itu sebagaimana makna sebuah hadits sama seperti anjing yang menelan lagi makanan yang telah dimuntahkannya. (Muttafaqun 'alaih).

Akan tetapi, boleh mengambil kembali
"Hadiah" yang telah diberikan karena alasan yang sesuai syari'at seperti curiga bahwa ia berasal dari hasil suap. Contohnya, ash-Sha'b bin Jatstsamah ra pernah memberi "Hadiah" seekor keledai liar kepada Rasulullah SAW ,, ,,namun beliau menolak nya karena ia sedang berpakaian ihram. Demikian pula, bila seorang pegawai yang sudah memiliki gaji diberi "Hadiah", maka ia tidak boleh menerimanya dan ini seperti kasus Ibn al-Lutbiyyah di mana Rasulullah mengecamnya. (Muttafaqun 'alaih)
2. Hendaknya yang lebih diutamakan di dalam memberi "Hadiah" adalah keluarga terdekat; kaum kerabat seperti paman pihak ibu dan ayah dan orang semisal mereka. Demikian juga boleh mendahulukan orang yang di hati seseorang mendapat tempat yang dekat. Imam al-Bukhari mencantumkan bab tentang siapa yang lebih dahulu harus diberi "Hadiah", lalu beliau mengetengahkan dua hadits; yang pertama, beliau menyarankan kepada sang penanya agar diberikan kepada paman dari garis ibunya dan yang ke dua ketika ditanyai kepada beliau mana di antara dua tetangga yang didahulukan dalam memberi "Hadiah", beliau menjawab, "Yang paling dekat pintunya darimu." 

Sumber:
1. bingkaisunnah.blogspot.com/.../arti-sebuah-hadiah.ht...
2. id.wikipedia.org/wiki/Hadiah
3. enizar-stain.blogspot.com/.../pemberipenerima-hadiah....
4. laely-widjajati.blogspot.com/.../wisata-ritual-belanja-d...