"Secara bahasa "Itsar" berarti mementingkan "orang lain" lebih dari diri
sendiri.
PENGERTIAN "ITSAR".
Kita telusuri hutan "Itsar" dengan memahami terlebih dahulu maknanya. "Itsar" ini adalah akhlak khas seorang mukmin, iaitu "Mendahulukan kepentingan "orang lain"". Ia disimbolikkan dengan penyerahan nikmat duniawi yang kita miliki kepada saudara muslim yang lain agar dia bersenang-senang dengannya, sementara kita tidak merasakannya. Ia bererti kita menyerahkan sesuatu yang sukai kepada saudara yang lebih memerlukan. Kurang jelas?, mungkin contoh dapat membantu. Jadi bersedialah untuk takjub dengan manifestasi "Itsar" di tahap tertinggi yang ditunjukkan oleh para sahabat Rasulullah SAW.
Dari segi fitrah setiap manusia yang masih terjaga fitrah
kemanusiaannya juga dapat berbuat mulia, mementingkan "orang lain" dan
bukan diri sendiri serta menolong "orang lain" tanpa memikirkan diri
sendiri. Di Inggris pernah terjadi kasus penyelamatan seorang anak yang
jatuh di rel kereta api oleh seorang laki-laki. Alhamdulillah anak itu
bisa diselamatkan, namun sebelah tangan laki-laki itu putus tersambar
kereta api yang melaju kencang. Mungkin seumur hidupnya anak tersebut
takkan bisa melupakan jasa seseorang yang rela mengorbankan sebelah
tangannya untuk menyelamatkan nyawanya.
Dari segi istilah, "Itsar" adalah salah satu manfaat diniyah (manfaat
keagamaan) yang terwujud bila terjalin ukhuwah di antara orang-orang
yang seaqidah. Ia juga dikatakan wujud maksimal ukhuwah Islamiyah yang
dimiliki seseorang. Dalam rangka menggapai mardhatillah semata, seorang
muslim bersedia berkorban mendahulukan kepentingan "orang lain" di atas
dirinya sendiri.
URGENSI DAN KEUTAMAAN "ITSAR".
Dalam QS. At Taubah (9):128, digambarkan sifat-sifat Rasulullah SAW. yang mudah
berempati pada penderitaan "orang lain", senantiasa menginginkan kebaikan
bagi orang lain dan santun serta pengasih dan penyayang terhadap sesama
mukmin.
Kehidupan di dunia yang jauh dari sifat-sifat mulia akan dipenuhi
keserakahan dan keegoisan, nafsi-nafsi, lu-lu, gua-gua. Semuanya
mementingkan diri dan keluarganya saja termasuk para pemimpinnya yang
mengidap penyakit kronis berupa KKN. Kehidupan yang individualistis
(nafsi-nafsi) egoistis (mementingkan diri sendiri) dan apatis (masa
bodoh terhadap orang lain) adalah cerminan masyarakat yang tidak
menegakkan ukhuwah Islamiyah.
Contohnya kehidupan di masyarakat metropolis atau kosmopolis ada
seorang tunawisma yang meninggal di dekat tempat sampah lalu dibawa ke
RSCM akhirnya dikuburkan tanpa kehadiran sanak saudaranya. Atau
orang-orang tua yang ditaruh di panti-panti jompo. Jarang dijenguk dan
menjalani proses sakaratul maut sendirian tanpa didampingi atau
ditalkinkan anak-cucu. Benar-benar mengenaskan. Sulit kita membayangkan
keridhaan dan keberkahan Allah Taala akan tercurah kepada masyarakat
yang jauh dari nilai-nilai kebaikan tersebut.
Rasulullah SAW. mengatakan bukan dari golongan kami orang yang tidur dalam
keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan. Begitu pula di hadits
lain “Bukan golongan kami orang yang tidak peduli pada urusan orang
Islam”
Jadi sifat "Itsar" sangat penting untuk memerangi sifat-sifat buruk
seperti egois, kikir, individualis dan sebagainya serta menumbuh-suburkan
sifat-sifat mulia seperti peduli, empati, pemurah dan lain-lain.
Keutamaan orang yang berbuat "Itsar" di dunia ia akan dicintai oleh
orang-orang yang pernah merasakan kebaikannya dan mempererat ukhuwah
serta di akhirat nanti akan mendapatkan mimbar terbuat dari cahaya,
naungan dan lindungan Allah Taala serta Al-Jannah (surga).
"Itsar" generasi salafus shalih
Rasulullah SAW. pernah bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlaq manusia.” Dan beliau dengan pujian Allah Taala
dalam QS. Al Qalam (68):4, dan QS. At Taubah (9):128, yang menggambarkan sosok beliau yang mudah berempati, peka dan
peduli terhadap penderitaan orang lain. Kemudian selalu menginginkan
kebaikan bagi orang lain dan bersifat santun serta kasih sayang terhadap
mukmin.
Bukti kemampuan berempati beliau, terlihat saat beliau segera tahu
bahwa Abu Hurairah kelaparan tanpa harus diberitahu, padahal sebelumnya
Abu Bakar dan Umar pun tak bisa menangkap sinyal-sinyal Abu Hurairah
butuh bantuan.
Beliau tidak pernah menolak siapa saja yang minta bantuan dan
pertolongan beliau padahal beliau sendiri sering kelaparan seperti
nampak pada kisah beliau, Abu Bakar dan Umar ra sama-sama lapar dan
dijamu makan oleh Abu Ayyub Al Anshari. Beliau meneteskan air mata
kemudian berucap, “Kelak kalian akan ditanya akan nikmat ini, ketika
kalian pergi dari rumah dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan
kenyang”.
Beliau hidup sangat sederhana dan tidur di atas tikar jerami sampai
Umar menangis melihatnya dan Fatimah kelak bersyair di tepi kuburan
bapaknya, “Ya ayahhandaku punggungnya penuh dengan bilur-bilur tikar”.
Tetapi beliau tidak mau tikarnya itu dilipat terlalu banyak di bagian
atasnya sebagai bantal karena takut tidurnya terlalu nyenyak bila
terlalu empuk, sehingga khawatir tidak bisa bangun shalat malam.
Rasulullah SAW. juga menegaskan bahwa dunia bukan dari dan untuk keluarga
Muhammad di saat Fatimah mendapat perhiasan, bagian dari rampasan perang
hingga akhirnya putrinya mengembalikannya. Ia juga menasihati Fatimah
dan Ali dengan bacaan-bacaan dzikir pada saat mereka minta khadimah dari
tawanan perang. Rasulullah SAW. juga menghukum keras istri-istrinya yang
meminta penghidupan (maisah) yang lebih dan perhiasan dengan cara
mengasingkan diri selama sebulan hingga akhirnya Allah menawarkan opsi
dalam wahyu-Nya di surat At Tahrim. Apakah istri-istri Nabi tersebut
memilih Nabi dan kehidupan akhirat ataukah dunia. Tentu saja mereka
memilih Rasulullah dan surga kelak walaupun kini hidup prihatin di
dunia. Terlihat betapa Rasulullah SAW. lebih mementingkan yang lain ketimbang
diri dan keluarganya karena pada saat yang bersamaan beliau ridha saja
para sahabat dan istri-istrinya hidup berkecukupan dan memakai perhiasan
hasil rampasan perang serta memiliki khadimah.
Bahkan sampai di saat-saat terakhir kehidupannya pun beliau tetap
memikirkan umatnya dan bukan dirinya dan keluarganya sehingga ia tidak
mewariskan apa-apa bagi keluarganya. Ucapan yang keluar dari mulut
beliau di akhir kehidupannya adalah, “Ummati….Ummati….” (Umatku…Umatku…)
Keteladanan Rasulullah SAW. dalam hal tersebut ternyata membias pula
pada sahabat-sahabat yang utama seperti Abu Bakar, Abu Thalhah atau
istri-istri beliau seperti Khadijah, Aisyah dan Zainab binti Jahsy serta
Saudah binti Zum’ah.
Suatu saat ketika terjadi pengumpulan dana untuk berjihad
fisabilillah semua sahabat berlomba-lomba untuk menginfaqkan segala yang
dimilikinya. Termasuk sahabat-sahabat yang utama seperti Abu Bakar, Umar
dan Utsman. Kemudian Rasulullah SAW. bertanya kepada Umar, “Bagitu banyak
yang kau infaqkan Umar, adakah yang tersisa untuk keluargamu?” Umar pun
lalu menjawab, “Sebanyak itu pula ya Rasulullah”. Jadi istilahnya
fifty-fifty, atau separuh-separuh. Jawaban seperti itu pun meluncur pula
dari lidah Utsman ketika ditanya juga oleh Rasulullah dengan pertanyaan
yang sama. Namun tatkala pertanyaan tersebut diajukan kepada Abu Bakar
As shidiq ra, jawabannya sungguh mencengangkan dan menimbulkan decak
kagum.
“Untuk keluargaku kutinggalkan Allah dan RasulNya” Artinya
keseluruhannya (100%) diinfaqkannya di jalan Allah, sedangkan urusan
keluarganya ia pasrahkan kepada Allah. Umar sampai berucap, “Sungguh aku
tak akan bisa mengalahkan Abu Bakar selama-lamanya”.
Begitu pula, pada saat Abu Bakar pergi hijrah mendampingi Rasulullah.
Dananya dihabiskan untuk membiayai kepergiannya hijrah bersama
Rasulullah. Namun istri dan putri-putrinya memang luar biasa pula.
Ketika kakek Asma atau ayah Abu Bakar yakni Abu Quhafah marah-marah
kepada Abu Bakar yang dianggapnya tidak bertanggung jawab meninggalkan
keluarganya begitu saja, maka Asma menenangkan kakeknya yang buta itu
dengan memperdengarkan bunyi kerikil-kerikil seolah itu kepingan dirham
yang banyak. “Tenang saja kek, ayah tidak menyia-nyiakan kami”, ujar
Asma. Barulah Abu Quhafah menjadi tenang.
Ada lagi kisah "Itsar" yang sangat indah dan diabadikan oleh Allah
dalam QS. Al-Hasyr ayat 8 dan 9. Dalam terjemah singkat tafsir Ibnu
Katsier jilid 8 diungkap tentang "Itsar" yang ditunjukkan orang-orang
Anshar terhadap saudara-saudara mereka kaum muhajirin (QS. Al-Hasyr (59): 8)
Demi iman dan pembuktiannya kaum muhajirin meninggalkan sanak
saudaranya, harta benda, dan kampung halamannya. Seperti Shuaib bin
Sinan Ar Rumy yang dihadang dan dipaksa menyerahkan seluruh harta
bendanya, dan Rasulullah SAW. bersabda : ‘Beruntunglah Abu Yahya
(Shuaib) dengan perniagaannya (artinya rela melepas harta benda dunia
dengan keridhaan Allah dan Rasul-Nya).
Ukhuwah Islamiyah yang dilandasi iman membuat suku Aus dan Khazraj di
Yatsrib (kemudian menjadi Madinah) yang dahulunya bertikai menjadi
damai dan bersaudara (QS. Aali 'Imraan (3): 103). Kemudian, membuat kaum Muhajirin yang
datang dari Mekkah bersatu dengan kaum Anshar (penduduk asli Yatsrib)
yang bersedia menolong dan menampung saudara-saudara seiman tersebut.
Ketika sahabat-sahabat Nabi SAW. kaum Muhajirin tiba di Yatsrib
(Madinah), mereka segera dipersaudarakan dengan orang-orang Anshar. Di
antaranya Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin Raby yang kemudian
menawarkan separuh hartanya dan 1 dari 2 istrinya untuk Abdurrahman bin
Auf. Jika Sa’ad memiliki sifat "Itsar", maka kebalikannya Abdurrahman bin
Auf memiliki sifat iffah (memelihara diri dari meminta-minta). Ia
menolak halus tawaran Sa’ad bin Raby dan hanya minta ditunjukkan pasar.
Ia pun berusaha sampai berhasil dalam perniagaannya bahkan merintis dan
membangun pasar Ukaz yang menandingi pasarnya Yahudi.
Di ayat kesembilannya disebutkan ada orang Anshar yang tulus
mencintai, tanpa pamrih dan mengutamakan kawan lebih dari diri
sendiri, meskipun mereka merasa lapar. Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, merekalah orang yang berbahagia dan beruntung.
Dalam hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah, sepasang suami istri
yang memenuhi perintah Rasulullah SAW. untuk memberi makan musafir yang
kelaparan itu adalah Abu Thalhah dan Ummu Sulaim/ Rumaisha binti Milhan.
Mereka sendiri malam itu segera menidurkan anak-anak mereka yang lapar
dan berpura-pura makan agar tamu mereka makan dengan tenang. Padahal yang sedang disantap oleh tamu mereka itu adalah saru porsi terakhir yang mereka miliki hari itu.
Di ayat 9 tersebut Allah menegaskan “Wa yu’ tsiruuna alaa anfusihim
walau kana bihim khashan’shah” (mereka "Itsar" terhadap "orang lain"
dibanding ke diri mereka sendiri walaupun mereka sendiri kelaparan).
Ketika keesokan hari Rasulullah SAW. berjumpa dengan Abu Thalhah, beliau
bersabda, “Sungguh Allah sangat gembira (tersenyum) menyaksikan
perbuatan Anda berdua”.
Hampir kesemua istri Nabi SAW. menunjukkan sifat pemurah dan "Itsar"nya. Istri pertama yang paling dicintainya, dan tak pernah dapat
dilupakannya: Khadijah menunjukkan "Itsar" saat Rasulullah SAW. meminta
pembantu Kahdijah: Zaid bin Haritsah untuk menjadi pembantunya. Beliau
juga menginfaqkan seluruh harta kekayaannya untuk perjuangan fisabilillah
menyebarkan agama Islam.
Istri Rasulullah seperti Zainab binti Jahsy yang pandai berwiraniaga
juga terkenal dermawan dan suka membantu orang lain. Saudah bunti Zum’ah
istri Rasulullah yang walaupun hanya berjualan roti kuah ala Thaif pun
ikut berinfaq dengan hasil dagangannya.
Ummul mukminin Aisyah ra yang terkenal kepandaiannya sekaligus juga
kedermawanannya pernah mendapat uang 40.000 dirham dari baitul mal. Oleh
Aisyah harta itu segera dibagi-bagikan kepada fakir miskin
sampai-sampai lupa menyisihkan sedikit saja untuk dirinya. Sampai
ditegur Ummu Burdah yang membantunya, “Ya Ummul mukminin kenapa tak kau
sisihkan sedikit saja untuk membeli makanan berbuka, bukankah engkau
sedang berpuasa,” “Ya Ummu Burdah, kenapa tadi tak kau ingatkan”, jawab
Aisyah tenang.
Kisah "Itsar" yang sangat heroik terjadi pada saat perang Yarmuk.
Ikrimah bin Abu Jahl seorang mujahid bersama dua sahabat yang lain
terbaring dengan luka-luka sangat parah. Ketika seorang sahabat hendak
memberinya minum, ia menolak dan menyuruh air itu diberikan ke teman di
sebelahnya. Ketika air itu akan diberikan ke sebelahnya, orang tersebut
juga menyuruh diberikan lagi ke sebelahnya pula. Ia memilih mengalah
pula pada saat-saat yang penting tersebut. Namun orang ketiga yang
dimaksud sudah meninggal, ketika kembali lagi si pemberi minum ke
sahabat yang tengah, ternyata ia sudah syahid juga. Dan ketika beranjak ke Ikrimah, ia pun telah syahid. Subhanallah
dalam detik-detik terakhir kehidupan atau di saat-saat kritis sekalipun
mereka tetap menjaga "Itsar" mereka.
Hal yang sangat kontras terjadi pada kita, saat kita menoleh ke
kondisi umat Islam saat ini yang terpecah-pecah, tercabik-cabik dan
terkotak-kotak.
Doa Nabi SAW.. yang dikabulkan saat meminta umatnya diselamatkan dari
bahaya banjir dan kelaparan dan tidak dikabulkan saat meminta umatnya
diselamatkan dari bahaya perpecahan, seyogianya membuat kita berfikir
bahwa kerja mempersatukan umat adalah kerja besar yang harus
diikhtiarkan secara maksimal baru kemudian Allah berkenan membantu (QS. Ar Ra'du
(13): 11)
Bila kita melihat QS.Aali 'Imraan (3): 103, nyata jelas bahwa hanya dengan sama-sama
I’tisham bi hablillah (berpegang teguh di jalan Allah) sajalah,
persatuan hati dan persaudaraan akan terwujud.
Bayangkan saja seluruh muslim di dunia ini berebut-rebut untuk bersikap "Itsar" . Masya Allah... Pasti berwarna warni dunia ini dengan kasih
sayang.
Semoga dengan mengamalkan "Itsar" ini, kita akan menjadi orang-orang
yang akan mendapatkan naungan Allah di akhirat kelak, di mana tidak ada
naungan kecuali naunganNya. Amin.
Sumber:
1. ari2abdillah.wordpress.com/.../itsar-puncak-persaudar...
2. uaasis.blogspot.com/2012/02/itsar-itu-bahagia.html
3. tajdid-dakwah.blogspot.com/.../itsar-di-dalam...
4. laely.widjajati.photos.facebook/menjalin-silaturrahmi....
5. laely.widjajati.photos.facebook/Mekarsari.....
6. laely.widjajati.photos.facebook/jangan-pernah-katakan-umur......
7. laely.widjajati.photos.facebook/Alhamdulillah...-bs-berteduh-dr....
tsar (لْإِيثَارُا ), secara bahasa bermakna melebihkan orang lain atas dirinya sendiri. Sifat ini termasuk akhlak mulia yang sudah mulai hilang di masa kita sekarang ini, Padahal akhlak mulia ini adalah puncak tertinggi dari ukhuwah islamiyah dan merupakan hal yang sangat dicintai oleh Allah Ta’ala dan juga dicintai oleh setiap makhluk. Memang jika dilihat dari timbangan logika, hal ini merupakan hal yang sangat berat, mengorbankan dirinya sendiri demi kepentingan orang lain tanpa mendapatkan imbalan apapun. Akan tetapi di dalam agama islam, hal ini bukanlah suatu hal yang mustahil. Tinta emas sejarah telah menuliskannya, bagaimana sikap itsar kaum muslimin terhadap saudaranya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengenai sambutan orang-orang anshar terhadap orang-orang muhajirin,
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ
وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا
يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى
أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah
beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka
mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada
memiliki keinginan di dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang
Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa
yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9)Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi rahimahullah menjelaskan siapakah orang-orang yang dimaksud di dalam ayat ini, “Mereka adalah golongan As-Sabiqunal Awwalun, dari golongan muhajirin dan anshar, yaitu orang-orang yang berinfak sebelum penaklukan kota Makkah dan mereka juga orang-orang yang berperang, termasuk orang-orang berbai’at di bawah pohon (Bai’at Ar-Ridhwan), yang jumlah mereka lebih dari 1.400 orang. (Lihat Syarah Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi, Tahqiq Abdul Muhsin at-Turki dan Syu’aib al-Arna’uth I/692)
Inilah akhlak para sahabat Nabi yang mulia, mereka kaum Anshar benar-benar menyambut kaum Muhajirin yang datang kepada mereka, mereka menerima saudara-saudara mereka yang seiman dan seaqidah dengan tangan terbuka. Mereka para kaum Anshar saling berlomba-lomba memberikan segala apa yang mereka bisa berikan kepada sesama. Padahal saat itu mereka sendiri membutuhkan.
0 komentar:
Posting Komentar