Selasa, 01 Januari 2013

"ANTROPOLOGI PERKOTAAN"

"Antropologi Perkotaan" tidak sama dengan sosiologi "perkotaan", karena bersifat induktif, analisisnya berdasarkan keadaan di lapangan dan merencanakan keadaan ke depan, bukan seperti pada sosiologi "perkotaan" yang bersifat deduktif, dan analisisnya berdasarkan teori sosiologi".
 

Pada awal perkembangannya, "Antropologi" memusatkan perhatiannya kepada masyarakat primitif. Perhatian ini timbul karena ada sesuatu yang dianggap sebagai keganjilan pada tingkah laku masyarakat tertentu, yaitu pada masyarakat pedalaman-pedalaman. Akan tetapi lama-kelamaan, mereka tidak lagi melihat tingkah laku itu sebagai sesuatu yang ganjil, melainkan sebagai sesuatu yang masih dekat dengan alam, dan masih berada dalam tahap perkembangan. Dan pada saat itu "Antropologi" memusatkan perhatiannya pada masyarakat tersebut.

Karena ternyata masyarakat primitif itu telah semakin maju dan teradaptasi ke dalam masyarakat modern, maka perhatian "Antropologi" selanjutnya beralih pada masyarakat pedesaan. Hampir seluruh aspek kehidupan desa telah diteliti dan diungkapkan. Karena itu, perhatian para "Antropolog" pada tahap berikutnya, mulai beralih ke "kota". Ada beberapa alasan yang digunakan untuk mengalihkan dan memperluas perhatian mereka ke "kota"-"kota".

1. Masyarakat "kota" mempunyai pola-pola budaya dan tingkah laku, lembaga, pranata, serta struktur sosial yang berbeda dari masyarakat primitif maupun masyarakat desa.
2. Terjadinya urbanisasi yang semakin meningkat. Pada umumnya mereka mereka pergi ke "kota" tanpa membawa bekal ketrampilan kecuali tenaga. Setibanya di "kota", mereka dapati dirinya berada pada situasi dan kondisi yang berbeda dari pada sewaktu berada di desa. Bagaimana reaksi dan respon mereka itulah yang menarik perhatian para "antropolog".
3. Semakin luasnya pengaruh kehidupan kota atas kehidupan daerah pedesaan yang berada di sekitarnya, baik positif maupun negatif.
4. Semakin merosotnya nilai-nilai manusiawi oleh berkembangnya teknologi di "kota".

Pada awal abab 20 dimana "Antropologi Perkotaan" mulai dikembangkan. Seorang "antropolog" yang mencoba menerapkannya adalah Cliford Gertz, dalam penelitiannya di sebuah daerah yang berada di Jawa Timur yang dalam hasil penelitiannya disamarkan dengan nama Mojokuto. Dalam penelitiannya itu Gertz mencoba menganalisis sistem stratifikasi sosial masyarakat Jawa yang didasarklan pada kepercayaannya. Masyarakat Jawa dalam kaca mata Gertz terbagi dalam tiga golongan yaitu Priayi, Santri, dan Abangan. Dengan diterbitkannya hasil penelitiannya yang dilakukan kurun waktu 1940’an, "Antropologi Perkotaan" di Asia umumnya dan di Indonesia mulai berkembangan.

PERKEMBANGAN "ANTROPOLOGI PERKOTAAN"

Pada umumnya para "antropolog" memandang Ribert Redfield sebagai sebagai perintis "antropologi" urban. Hasil penelitiannya atas kota Yucatan (Mexico) dalam tahun 1930 tertuang dalam suatu konsep yang dikenal dengan Hipotesis Folk Urban (menurut Ralph L. Beals) atau model bipolar maralistik (menurut John Guillick).

Penelitian sosiologi di kawasan Amerika Latin dikatakan lebih bersifat "Antropologis" karena :
  • Para peneliti itu telah berusaha untuk membahas keseluruhan struktur sosial dan kebudayaan komunitas di daerah penelitian mereka (jadi,hollistik).
  • Mereka telah secara ekstensif menggunakan metode-metode etnografis yakni residensi dan observasi jangka panjang, serta teknik-teknik yang intensif.
Terdapat tiga sosiolog yang telah melakukan penelitian "kota"-"kota" di Amerika Serikat dan hasil-hasil penelitian mereka dikenal “aliran chicago”atau aliran human ecology. Mereka adalah R.E Park, E.W.Burgess dan R.E. Mc Kenzie. Mereka menunjukkan bahwa persebaran kelompok heterogen dalam kota tidak berlangsung secara liar, seperti dugaan sebelumnya. Nyatanya ada pengelompokan berdasarkan ras atau keagamaan ataupun pekerjaan. Dua yang pertama dapat saja berdempetan sehingga merupakan natural area yang merangkap pula cultural area.

Adapun yang dimaksud dengan natural area ada 2 macam. 
Pertama berdasarkan tujuan penggunaan tanah. 
Kedua, berdasarkan tipe penduduk atau penghunian. 
Acap kali, tipe kedua ini memiliki adat istiadat, gagasan dan pandangan hidup yang khas karena latar belakangnya yang kultural, sehingga daerah demikian disebut cultural area.

Luasnya bidang yang dicakupi oleh penelitian dan kajian "antropologi" ini telah menimbulkan pertanyaan mengenai apakah "antropologi" mempunyai sumbangan yang terpisah dari ilmu politik, ekonomi dan khususnya sosiologi?.

Pembenaran atas pandangan ini harus di cari di dalam kenyataan bahwa "antropologi" telah membawa suatu sudut pandangan yang lain terhadap masalah urban/"perkotaan". Salah satu ciri utama studi "antropologis" ialah pendekatannya whollistik yang melihat "kota" sebagai suatu entitas atau suatu bentuk sosio-kultural yang khas. Karena perkembangan studi "Antropologi Perkotaan" ini banyak memfokuskan perhatiannya terhadap permasalahan yang terdapat atau timbul dalam kehidupan komunitas "perkotaan", maka "Antropologi Perkotaan" dapat dikategorikan sebagai studi terapan.

SEJARAH PERTUMBUHAN "KOTA"-"KOTA".

Pusat-pusat organisasi dan pengawasan atas daerah pertanian yang subur dan luas itu kemudian telah telah menarik berbagai spesialisasi dan perdagangan dan juga dan juga dari masyarakat daerah lain yang kurang subur atau gersang. Akibat lanjutnya ialah terciptanya pekerjaan yang berkaitan dengan keamanan dan pertahanan, pembuatan alat-alat pertanian, perencanaan irigasi dsb.

Pusat-pusat urban yang muncul melalui proses tersebut di atas disebut pusat urban “primer”, karena mengikuti suatu proses ekologis yang berlangsung secara alamiah (natural). Sebaliknya, inilah pusat-pusat urban “sekunder”, yakni pusat-pusat urban yang yang segera muncul di wilayah lain. Disamping itu terdapat juga pusat-pusat urban yang muncul kemudian yang tampaknya berkaitan dengan pertumbuhan yang cepat dalam perdagangan dan perniagaan. Namun demikian, satu hal yang diperjelas oleh studi urban adalah bahwa suatu kondisi pra-urbanisme berupa penghalusan dan pemutuan teknik-teknik produksi bahan makanan selalu diperlukan, agar selalu memungkinkan terdukungnya penduduk yang padat dan klas (atau klas-klas) penduduk non petani di dalam suatu masyarakat.
 
Pernyataan lain dalam kaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan "kota"-"kota", ialah yang dikemukakan oleh Mac Iver dan Page (society, 1949) yang menyatakan bahwa "kota"-"kota" akan bertumbuh jika suatu masyarakat atau suatu kelompok orang dalam masyarakat memperoleh kontrol yang lebih besar atas sumber-sumber daya daripada yang diperlukan untuk hidup saja.

Gideon Sjoberg (The Pre Industrial City,1960) mengemukakan adanya adanya tiga tingkatan organisasi manusia menuju kepada terbentuknya pusat-pusat urban, yaitu:
  1. Pre-urban feudal society, yakni masyarakat feodal sebelum adanya kota-kota.
  2. Pre-industrial feudal society, yakni masyarakat feodal sebelum adanya industri.
  3. Modern industrial feudal, yakni masyarakat feodal dengan industri maju.
Drs. J.H. De Goode (dalam J.W. Schoorl:Modernisasi,1981). Mengemukakan bahwa perkembangan "kota"-"kota" dapat dipandang sebagai fungsi dari faktor-faktor:

1. Jumlah penduduk keseluruhan.
2. Penguasaan atas alam lingkungan .
3. Kemajuan teknologi, dan
4. Kemajuan dalam organisasi sosial

Suatu hipotesis tentang perkembangan "kota" juga dikemukakan oleh Kenneth Ee. Boulding. Menurut perkembangannya, ia membagi "kota"-"kota" itu ke dalam “kota" politik” dan “kota" ekonomi”.

"KOTA" DAN PERKEMBANGANNYA.

N.Daljoeni, yang mengutip Grunfield, merumuskan kota sebagai suatu pemukinan dengan kepadatan penduduk yang lebih besar daripada kepadatan wilayah nasional, dengan struktur mata pencaharian non agraris dan tata guna lahan yang beraneka ragam , serta dengan pergedungan yang berdirinya berdekatan.
Dari segi fisik, kota adalah suatu pemukiman dengan perumahan yang relatif rapat dan sarana prasarana serta fasilitas-fasilitas yang relatif memadai guna memenuhi kebutuhan penduduknya.

Belum ada kesepakatan mengenai rumusan yang lengkap dan tepat mengenai "kota". Drs. J.H. De Goode mengajukan sejumlah ciri yang dipandang sangat menentukan watak khas kehidupan "kota", misalnya:

a. Peranan besar yang dipegang oleh sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa) dalam kehidupan ekonomi.
b. Jumlah penduduk yang relatif besar.
c. Heterogenitas susunan penduduknya.
d. Kepadatan penduduk yang relatif besar.

Dalam literatur Anglo-Amerika, terdapat dua istilah untuk memaksudkan "kota", yakni “city”dan ‘town”. "Schoorl, dalam hubungan ini, mengemukakan suatu jenis "kota" yang disebutnya “kota" primat”, yakni "kota" yang sangat besar yang cenderung memperlihatkan parasitismenya terhadap masyarakat nasional , dan berusaha menarik bagian–bagian modal yang relatif besar sehingga dapat menjadi hambatan bagi daerah-daerah pedesaan maupun "kota"-"kota" yang lebih kecil.

Lewis Mumford, mengemukakan 6 Jenis "kota" yang dilihatnya dari tahap-tahap perkembangannya. Jenis "kota"-"kota" itu adalah :

1. Eopolis: Merupakan suatu pusat dari daerah-daerah pertanian dan mempunyai adat istiadat yang bercorak kedesaan dan sederhana.
2. Polis: merupakan tempat berpusatnya kehidupan keagamaan dan pemerintahan.
3. Metropolis: Dicirikan oleh wilayahnya yang kurang luas dan penduduknya yang banyak terdiri atas orang-orang dari berbagai bangsa. Percampuran perkawinan antar bangsa dan ras. Perkembangan menjadi metropolis menunjukkan kemegahan, tetapi dari segi sosial memperlihatkan adanya kekontrasan antara golongan kaya dan golongan miskin.
4. MeMegalopolis: Pada tahap ini gejala sosio-patologis sangat menonjol, di satu pihak terdapat kekayaan dan kekuasaan yang didukung oleh birokrasi yang ketat, tapi di pihak lain terdapat kemiskinan mendorong terjadinya pemberontakan proletar.
5. Tiranopolis: Ditandai oleh adanya degenerasi, merosotnya moral penduduk, timbulnya kekuatan politik baru dari kaum proletar.
6. Nekropolis: Kota yang sedang mengalami kehancuran. Peradabannya menjadi runtuh dan kota menjadi puing-puing reruntuhan. 

MASYARAKAT DAN KEHIDUPAN "KOTA".
 
Louis Wirth, dengan bertolak dari hasil penelitiannya dan definisinya tentang "kota" yang kualitatif, melihat kehidupan kota, dan mengemukakan bahwa : 

a. Banyak relasi "kota" menyebabkan tidak memungkinkan terjadinya kontak-kontak yang lengkap diantara pribadi-pribadi.
b. Orang "kota" harus melindungi dirinya sendiri agar tidak terlalu banyak hubungan yang bersifat pribadi, ia juga harus menjaga diri terhadap potensi-potensi yang merugikan atau membahayakan dirinya pribadi dan keluarga, maupun kebudayaannya.
c. Kebanyakan hubungan orang-orang "kota" digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu saja.
d. Orang "kota" memiliki semacam emansipasi atau kebebasan untuk menghindar dari pengawasan oleh kelompok kecil atas keinginan dan emosinya.

Sehubungan dengan ciri-ciri yang dikemukakan oleh Wirth di atas, maka Claude Fischer mengatakan bahwa "kota"-"kota" itu merupakan tempat-tempat yang subur dimana terdapat sub kultur yang berbeda-beda dan sehat dapat berkembang baik. Karena itu akan timbul dua proses yang yang akibatnya berlawanan yakni intensifikasi sub kultur dan difusi kebudayaan.

N. Daldjoeni (Seluk Beluk Masyarakat, 1978) mengatakan bahwa "kota" dapat didekati dari dua aspek, yakni aspek fisik (peng"kota"an fisik) dan aspek mental (pengkotaan mental). Yang disebut pertama bersangkut paut dengan luas wilayah, kepadatan penduduk, tata guna tanah yang non agraris. Aspek kedua bertalian dengan orientasi nilai serta kebiasaan hidup orang "kota".

John Gullick merumuskan bahwa keenam "kota" kecil itu mempunyai beberapa ciri khas atau esensi urban yang sama :

a. Adanya perantara (brokers).
b. Kehadiran orang asing atau orang luar.
c. Adanya hubungan diantara klas-klas atas di "kota""kota" dengan pribadi-pribadi atau asosiasi-asosiasi di "kota"-"kota" lain yang lebih besar.
d. Adanya hubungan-hubungan pribadi yang impersonal, rasionalistik berorientasi tujuan, atau interpersonal tunggal.
e. Mudah terpengaruh oleh perubahan-perubahan.
f. Adanya heterogenitas kultural.

Jadi, setiap "kota" yang berukuran bagaimanapun masyarakatnya adalah produk behavioural (perilaku) dari suatu sistem sosial budaya yang lebih besar. Suatu masalah dalam kehidupan dengan kehidupan "perkotaan" ialah sekularisasi dan sekularisme. Sekularisasi dirimuskannya sebagai seperangkat aspek yang saling berkaitan : 
(1) tipe aspek sosial, 
(2) diferensiasi dan spesialisasi pranata-pranata, dan 
(3) institusionalisasi perubahan.

PERADABAN "KOTA".
 
Pada umumnya, orang mengidentikkan "kota" dengan peradaban (civilization), karena memang sulit untuk mengatakan bahwa suatu kota memiliki kebudayaan, sebab tentunya masih dapat dipertanyakan apakah kehidupan komunitas urban memenuhi kriteria definisi maupun unsur-unsur kebudayaan (culture).
Ada dua definisi yang dapat digunakan untuk menentukan apakah "kota" dapat dikategorikan sebagai mempunyai kebudayaan yang khas. Definisi yang pertama, dalam arti luas, misalnya yang dikemukakan E.B. Taylor:
Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Secara lebih khusus, ”peradaban” dapat juga dirimuskan sebagai “tingkat kemampuan seseorang atau masyarakat untuk menciptakan atau merumuskan ketentuan-ketentuan bagi pengaturan tata kehidupannya dalam hubungannya dengan lingkungan sosial maupun lingkungan alam, serta tingkat kemampuan seseorang atau masyarakat itu untuk mematuhi dan menaati ketentuan-ketentuan itu.

Bertolak dari rumusan di atas, maka komunitas "kota" dapat dikatakan memiliki peradaban yang lebih tinggi, bukan kebudayaan. Seperti dikemukakan oleh Robert Redfield, komunitas "kota" lebih berorientasi kepada hal-hal yang bersifat material dan rasional sehingga hubungan menjadi impersonal dan sekunder, bukan lagi “relation oriented”. Individu menjadi teratomisasi dan teranomisasi sehingga masing-masing harus mencari jalannya sendiri-sendiri untuk tetap hidup.


Karena banyaknya dan bervariasinya tuntutan dalam bertingkah laku dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang berorientasi pada (goal) dan pencapaian (achievement) maka gaya hidup masyarakat "kota" lebih diarahkan pada penampilan fisik dan kualitas fisik sehingga tampak civilized. Gejala lain dalam komunitas "kota" adalah adanya kecenderungan masyarakat menjadi masyarakat massa (mass society) dimana individu kehilangan identitas pribadinya.

Tapi, di balik apa yang dikemukakan di atas, terdapat pandangan yang melihat "kota" sebagai mempunyai peranan yang penting di dalam kehidupan masyarakat umum dan bangsa. Karena "kota" merupakan pusat kekuasaan, ekonomi, pengetahuan, inovasi, dan peradaban maka kehidupan "kota" dapat membawa dan mengarahkan kehidupan masyarakat umum kepada peningkatan kualitas hidup manusia. Keadaan ini sebanding dengan arti “sivilitas” yang berarti kualitas tertinggi pada masyarakat manusia. Sekularisasi mencapai puncaknya dalam masyarakat modern, yang mempengaruhi hampir semua bidang perilaku, dan meluas ke kalangan penduduk. Pendekatan kehidupan "kota" sebagai jaringan sistem yang utuh memang diperlukan untuk memperoleh pengertian yang jelas dan mendalam mengenai kondisi dan proses kemajuan dan atau kemunduran kehidupan dan peradaban "kota".

"KOTA" DAN KELOMPOK KERABAT.

Pada masyarakat pra modern, kelompok kekerabatan dan kekeluargaan memang mempunyai peranan yang penting sebagai organisasi yang mempunyai berbagai fungsi, termasuk fungsi kontrol atas perilaku individu. Karena itu posisi individu, sebagian besar ditentukan oleh kelompok kerabat dan keluarga dimana ia dilahirkan dan dibesarkan.

Goode menemukan adanya beberapa kekuatan dalam masyarakat industri yang menggerogoti organisasi keluarga nasional yakni :

a. Adanya keharusan mobilitas horizontal atau geografik sehingga kontak antar keluarga menjadi kurang teratur dan menjadi agak jarang.
b. Besarnya kesempatan mobilitas sosial (vertikal). Keadaan ini membuat sulitnya kontak-kontak sosial.
c. Tumbuhnya organisasi "kota" dan organisasi industri yang mengambil alih berbagai fungsi kelompok kerabat.
d. Diutamakannya prestasi (achievement) bila dibandingkan keturunan (ascription)
e. Dilakukannya spesialisasi sehingga ikatan kekerabatan tidak lagi memegang peranan yang menentukan dalam kedudukan sosial.

Karena itu, dalam banyak masyarakat, kelompok keluarga besar menjadi kurang artinya, organisasi klen menjadi cair dan keluarga besar menjadi kabur. Namun demikian, perlu diingatkan bahwa keadaan tersebut di atas tidak secara otomatis berlaku dalam organisasi sistem kekerabatan yang modern, atau secara otomatis memperlemah ikatan-ikatan kekerabatan itu. Hal di atas baru akan terjadi bila mobilitas sosial dan geografik mendapat arti yang baru, misalnya pergeseran ke dalam suatu (sub) kebudayaan yang lain dan yang memberi identitas baru. Dalam hal demikian, hubungan antar anggota-anggota keluarga dapat menjadi renggang.

Sedang dalam berbagai situasi sosial, kekerabatan masih dimanfaatkan, misalnya untuk mengelola perusahaan, kekuasaan, ataupun permodalan. Juga dalam situasi tertentu, misalnya dalam hal ancaman terhadap kedudukan dalam usaha untuk memperoleh pekerjaan atau perumahan dan fasilitas-fasilitas lainnya, ataupun jaminan hukum, maka kekerabatan dapat berfungsi sebagai penolong.

Sejalan dengan berkembangnya "kota", terutama dalam hal jumlah penduduknya, maupun tuntutan sejumlah kebutuhan (ekonomi, politik, dan sosial budaya lainnya ) maka organisasi-organisasi keluarga juga cenderung berkembang meluas menjadi organisasi regional, yang tentunya mempunyai fungsi-fungsi yang harus dipenuhi, kalau tidak mau tenggelam dalam situasi anomik, individualisme, dan lain-lainnya yang bersifat disintegratif. 

Dengan kata lain alasan-alasan fundamental pembentukan asosiasi regional ialah karena asosiasi ini dapat berfungsi secara efektif sebagai suatu mekanisme adaptif dalam "kota"-"kota" yang besar. Asosiasi-asosiasi regional lebih bertujuan untuk memodernisasi dan menempatkan kesejahteraan umum para anggotanya. Di dalamnya terdapat suatu perasaan persaudaraan tanpa memandang pada kekayaan, pendidikan, ataupun jabatan. Sehingga keadaan itu akan meratakan jalan bagi terbentuknya status “urban” yang dibedakan dari status “rural”, dan menimbulkan kesadaran klas, bukannya kesadaran kesukuan.
 
"KOTA" DAN KEMISKINAN.

Salah satu masalah yang mendapat sorotan dari para "antropolog" adalah masalah kemiskinan yang dialami oleh golongan tertentu dalam "kota"-"kota" besar.

Oscar Lewis mengemukakan bahwa kebudayaan kemiskinan itu (culture of poverty) mempunyai ciri-ciri :
a. Tingkat mortalitas yang tinggi dan harapan hidup yang rendah.
b. Tingkat pendidikan yang rendah.
c. Partisipasi yang rendah dalam organisasi-organisasi sosial.
d. Tidak atau jarang ambil bagian dalam perawatan medis dan program-program kesejahteraan lainnya.
e. Sedikit saja memanfaatkan fasilitas-fasilitas kota seperti toko-toko, museum, atau bank.
f. Upah yang rendah dan keamanan kerja yang rendah.
g. Tingkat ketrampilan kerja yang rendah.
h. Tidak memiliki tabungan atau kredit.
i. Tidak memiliki persediaan makanan dalam rumah untuk hari besok.
j. Kehidupan mereka tanpa kerahasiaan pribadi (privasi).
k. Sering terjadi tindak kekerasan termasuk pemukulan anak.
l. Perkawinan sering terjadi karena konsensus, sehingga sering terjadi perceraian dan pembuangan anak.
m. Keluarga bertumpu pada ibu.
n. Kehidupan keluarga adalah otoriter.
o. Penyerahan diri pada nasib atau fatalisme.
p. Besarnya hypermasculinity complex di kalangan pria dan martyr complex di kalangan kaum wanita.

Dikemukakannya, misalnya bahwa kegagalan kebijaksanaan pemerintah terhadap kemiskinan adalah disebabkan karena kebijaksanaan itu didasarkan atas asumsi adanya suatu kebudayaan yang self-perpetuating itu. Struktur kekuasaan lokal maupun nasional tidak berubah, demikian pula dalam distribusi sumber-sumber material dan psikik.

Depriviasi utama kaum miskin dari posisi kultural mereka di dalam sistem sosial, menurut Valentino, bersumber dari tindakan-tindakan dan sikap golongan bukan miskin. Karena itu untuk mengatasi hal itu perlu ada suatu sikap berpihak kepada kaum miskin di dalam pekerjaan dan pendidikan, yang disebutnya radical egalitarism. Jadi kondisi kemiskinan yang demikian itu, berdasarkan uraian Gladwin dan Valentine tersebut di atas disebut sebagai kemiskinan struktural, yakni kemiskinan yang tercipta dan kekal yang disebabkan oleh mereka yang berada dalam struktur sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat, yang dengan berbagai usaha tidak memberi kesempatan kepada segmen di bawah beranjak ke atas guna memperbaiki taraf hidup mereka.

Sejalan dengan masalah kemiskinan itu adalah segmen pemukiman "kota" yang disebut squatter’s "town", ghetto, dan daerah etnis lainnya, sebagai fenomena struktural yang sering dijumpai di "kota"-"kota" besar. Squatter’s "town" adalah pemukiman (settlement) yang berupa pemukiman di bawah standar, sering tanpa status yang jelas mengenai tanahnya, dan berlokasi di dalam atau di batas-batas pinggiran "kota". Ghetto adalah pemukiman yang dihuni oleh suatu etnis tertentu yang dipandang sebagai etnis yang kurang disenangi oleh mayoritas kelompok masyarakat lainnya karena dipandang jorok dan mempunyai cara hidup yang aneh.

Ada beberapa "antropolog" yang telah meneliti fenomena pemukiman /penghunian liar di berbagai "kota" besar. Fokus penelitian mereka terutama diarahkan kepada asal-usul masing-masing daerah penghunian liar, organisasi dan asosiasi di dalamnya, aturan-aturan setempat, serta fungsi semua itu bagi penghuninya, maupun bagi para migran baru.

URBANISASI.

Penelitian urbanisasi itu dapat dirinci ke dalam pengertian-pengertian berikut :
a. Arus perpindahan penduduk dari desa ke "kota".
b. Bertambah besarnya jumlah tenaga kerja non agraris di sektor industri dan sektor tersier.
c. Tumbuhnya pemukiman menjadi "kota".
d. Meluasnya pengaruh kota di daerah-daerah pedesaan dalam segi ekonomi, sosial, budaya dan psikologi.

Tetapi pada umumnya orang mengartikan urbanisasi itu hanya sebagai mengalirnya perpindahan penduduk dari pedesaan ke "kota"-"kota", dan dipandang sebagai penyebab utama terjadinya berbagai masalah sosial. Hasil dari penelitian dan pengidentifikasian itu telah dikategorikan ke dalam dua kelompok penyebab, yakni “faktor pendorong” dan “faktor penarik”.

Perkembangan dan kemajuan alat komunikasi dan transportasi juga turut berpengaruh atas perpindahan "kota", sehingga memperbesar kesempatan dan kemungkinan orang pedesaan tinggal di "kota" karena dengan mudah dan cepat dapat pulang pergi dari dan ke desa asal.
 
G. Germani (migration and acculturation,1965) berpendapat bahwa segala perpindahan itu harus dianalisis atas dasar yang lebih luas. Untuk itu digunakannya 3 tingkat analisis :

a. Tingkat Obyektif, dimana faktor pendorong dan penarik, bersama-sama dengan cara penyelenggaraan hubungan "kota" dan pedesaan ikut dipertimbangkan.
b. Tingkat Normatif dan Sosio-psikologik, dimana diperhatikan kondisi obyektif yang berfungsi dalam masyarakat : norma, nilai, kepercayaan, juga sikap dan tata kelakuan yang berpengaruh atas perpindahan itu.
c. Analisis tingkat psiko-sosial, yang mencakup sikap dan harapan individu-individu konkrit, yang memutuskan untuk pindah ke "kota" atau tidak.

Dari studi itu disimpulkannya suatu konsep yang disebut step by step, yakni perpindahan yang besar cenderung untuk menciptakan gerakan perpindahan tandingan, bahwa di kalangan para migran yang berpindah dalam suatu jarak yang jauh dari komunitas mereka sendiri terdapat kecenderungan untuk berpindah ke pusat-pusat industri dan niaga yang besar, bahwa penduduk "kota" yang lebih kecil kurang berminat berimigrasi bila dibandingkan dengan mereka di pedesaan, dan bahwa kaum wanita lebih berkeinginan untuk berimigrasi bila dibandingkan kaum pria.

Ada banyak bukti bahwa "kota" lebih banyak menarik kaum wanita muda bila dibandingkan dengan kaum pria muda, karena pedesaan kurang memberikan kesempatan ekonomi. Ada banyak orang pergi ke pusat-pusat urban semata-mata karena desakan ekonomi, karena tingkat kelahiran di pedesaan lebih tinggi dan lapangan pekerjaan berkurang. Di pihak lain, sebagian orang menemukan bahwa kemampuan mereka tertekan, dan ambisi mereka terhalang di lingkungan pedesaan dan karena itu, mereka berpaling kepada kemungkinan-kemungkinan yang ada di "kota"-"kota". Di antara mereka ini sebagian besar adalah penduduk desa yang lebih berbakat.

Tentu saja, terdapat pula banyak dari mereka yang berimigrasi ke "kota" karena tertarik oleh alasan lain, misalnya melarikan diri dari tekanan politik dan sosial, mencari hiburan, petualangan, dan mereka yang suka pada kehidupan kerumunan, serta alasan kriminal dan sebagainya. 

Kesimpulan lain yang dapat ditarik mengenai urbanisasi adalah eratnya hubungan urbanisasi itu dengan mobilitas sosial. Semakin tinggi mobilitas sosial yang terdapat dalam suatu masyarakat semakin tinggi pula dorongan atau motivasi untuk bermigrasi dan berurbanisasi. Mobilitas sosial dapat dibagi ke dalam 2 bentuk yakni : “mobilitas fisik” dan “mobilitas mental”. Mobilitas fisik adalah gerak perpindahan penduduk (individual maupun kelompok). Dari ruang sosial yang satu ke ruang sosial yang lain. Sementara mobilitas mental adalah gerak perubahan atau peralihan (transformasi) aspek-aspek sosio-psikologis pada manusia, dari pola satu ke pola yang lain.

STRUKTUR SOSIAL "KOTA".

Ketika "kota"-"kota" semakin terurbanisasi dan meliputi berbagai suku dan masyarakat, maka asosiasi-asosiasi model rural tradisional telah pula berkembang menjadi organisasi-organisasi yang meliputi gotong-royong (mutulaid), olah raga, politik, kebudayaan, pemuda, regional, keagamaan, veteran, kasta, dan sebagainya.

Proliforasi asosiasi suka rela di kebanyakan "kota" modern pada umumnya didorong oleh kenyataan bahwa ikatan kekerabatan dan etnik cenderung untuk menjadi kabur ataupun tidak lagi efektif karena para migran ke "kota"-"kota" sering menemui kesulitan untuk bertempat tinggal di dekat kelompok kerabat atau etnis mereka sendiri. Karena asosiasi itu berbeda dalam berbagai hal misalnya dalam persyaratan ekonomi dan sosial maka asosiasi itu menjadi berjenjang, dimana yang paling tinggi jenjangnya kadang-kadang mempunyai pengaruh politik dan ekonomi yang besar dan luas.

Seperti halnya dengan status, struktur sosial dan posisi yang inheren dengannya dalam berbagai masyarakat, ditentukan oleh berbagai faktor pula. Yang jelas ialah bahwa di "kota" faktor-faktor dan kriterianya sebagian besar didasarkan pada achievement dan interest.

Kontrol sosial dalam "kota", khususnya bila komunitas kota telah mencapai dimensi-dimensi metropolis modern akan mencerminkan beraneka ragam kontak sosial, aneka ragam tata krama sosial dan predominansi hubungan sekunder, yang menandai masyarakat yang kompleks. Pengendalian sosial sebagian besar dijalankan oleh asosiasi yang terspesialisasi dengan norma-norma yang bersifat asosiasional, termasuk badan-badan hukum interpersonal.

Beberapa ciri struktur sosial "kota" sebagai berikut :
· Diferensiasi ekonomik yang menjadi landasan terjadinya pengelompokan sosial, baik secara vertikal maupun horizontal.
· Spesialisasi kerja ke dalam semi skilled dan skilled, yang menjurus kepada perkembangan “profesionalisme”.
· Hubungan-hubungan sosial yang bersifat kompetitif yang mendorong individu atau anggota masyarakat mencapai prestasi tinggi.
· Individu mendapat tempat yang utama dalam kegiatan-kegiatan untuk memperoleh status, sesuai dengan prestasi yang dicapainya.
· Mobilitas yang tinggi baik vertikal maupun horizontal karena status lebih didasarkan pada prestasi dan perhatian.
· Kecenderungan terjadinya pengelompokan penduduk ke dalam lokasi pemukiman yang disesuaikan pada kekhasan sosial budaya.
· Memudarnya perbedaan status kelamin dalam kedudukan dan posisi serta status dalam semua aspek kehidupan.
· Hubungan sosial menjadi lebih bersifat sekunder.

Suatu akibat dari oleh adanya struktur sosial dengan ciri-ciri tersebut di atas adalah bahwa penduduk "kota" semakin terkelompok oleh asosiasi sekunder dan berdasarkan pada kepentingan tertentu. Jarak sosial antar individu semakin besar sehingga membentuk individualisme. Namun demikian tidak berarti bahwa individu akan terlepas dari masyarakat dan dari hubungan kerja sama dengan individu lain melainkan sebaiknya bergeser “associative individualism ”yakni bahwa individu dengan spesialisasi dan kebebasannya yang semakin besar itu malah semakin bergantung pada spesialisasi pihak atau individu lainnya.

Semakin besar suatu "kota", semakin besar dan tajam spesialisasi itu sehingga menyebabkan terbentuknya “struktur ekologis” yakni terbagi-baginya ruang menjadi zone-zone kegiatan-kegiatan niaga dan bisnis, zone pemikiman berpenghasilan rendah, yang padat sesak, zone pemukiman kelas menengah, zone konsentrasi industri.

PERBANDINGAN "KOTA" DAN DESA.

Dalam peradaban modern, dominasi "kota" telah diidentifikasikan dengan dua fenomena. 
Pertama, kontak desa dan "kota" telah menjadi lebih erat dan lebih banyak bila dibandingkan dengan sebelumnya. 
Kedua, penduduk "kota" semakin besar bila dibandingkan dengan desa.
 
Karena persoalan yang lebih kompleks dan sulit, membuat orang "kota" lebih unggul daripada orang desa secara kualitas maupun kuantitas. Yang dimaksud kualitas adalah kemampuan untuk mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan masyarakat guna meningkatkan taraf dan mutu hidup anggotanya. Sementara yang dimaksud dengan kuantitas adalah jumlah dan aneka ragam lembaga pranata, dan sarana lain yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan anggotanya.

Sumber:
1. narasibumi.blog.uns.ac.id/2009/04/14/antropologi-perkotaan/
2. laely.widjajati.photos.facebook.com/Pantai-Dream-Land-Bali/
3. laely.widjajati.photos.facebook.com/NYANTAI-BANGEEET............../
4.laely.widjajati.photos.facebook.com/Alhamdulillah/-Ada-pohon,-bs-berteduh-dr-sengatan -matahari......./
5. laely.widjajati.photos.facebook.com/NGIYUP-dibawah-Pohon-Cemara......./
6. hepi.sayi.photos.facebook.com/3-angel...-Menyelesaikan-misi../

Tidak ada komentar:

Posting Komentar