Sabtu, 31 Oktober 2009

"UMSIDA - WISUDA"

"Di penghujung bulan Oktober, tepatnya tanggal 31 Oktober 2009, "UMSIDA" (Universitas Muhammadiyah Sidoarjo) melaksanakan "Wisuda" yang ke XIX."



Sejumlah 421 orang lulusan "UMSIDA" di"wisuda" dengan memperoleh gelar Magister, Sarjana dan Ahli Madya serta Ahli Muda, dengan rincian:


a. Magister Pendidikan Islam sebanyak 13 "wisuda"wan.


b. Fakultas Tarbiyah : Sarjana Pendidikan Islam sebanyak 45 wisudawan dan Ahli Muda 26 "wisuda"wan.


c. Fakultas Ekonomi : Sarjana Ekonomi sebanyak 137 "wisuda"wan.


d. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik : Sarjana Sosial sebanyak 29 "wisuda"wan.


e. Fakultas Pertanian : Sarjana Pertanian sebanyak 10 "wisuda"wan.


f. Fakultas Tehnik: Sarjana Komputer sebanyak 77 "wisuda"wan, Sarjana Tehnik sebanyak 45 wisudawan dan Ahli Madya sebanyak 28 "wisuda"wan.


g. Fakultas Psikologi : Sarjana Psikologi sebanyak 12 "wisuda"wan.


Setelah acara "wisuda", ada penyerahan reword kepada para "wisuda"wan berprestasi dari Bank Syari'ah Mandiri, Bank Negara Indonesia dan Bank Tabungan Negara.


Selamat kepada 421 orang "wisuda"wan/"wisuda"wati, semoga negara kita ini akan semakin maju di tangan-tangan para Magister, Sarjana dan Ahli Madya maupun Ahli Muda alumni Perguruan Tinggi Muhammadiyah, khususnya "UMSIDA". Mudah-mudahan para alumni "UMSIDA" benar-benar dapat mewujudkan Ikrar yang telah diucapkannya dan tidak hanya sekedar mengucap. Ikrar yang sangat indah diucap, didengar dan dilaksanakan. Ikrar itu berbunyi :












KAMI SARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO BERIKRAR


1. Siap mengabdikan diri bagi kepentingan Agama, Masyarakat dan Negara berdasarkan Agama dan nilai-nilai kemanusiaan.


2. Bersedia menyumbangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan serta menjunjung tinggi sikap profesional.


3. Sanggup melaksanakan dan mengembangkan misi Persyarikatan Muhammadiyah dimana saja berada.


4. Tetap menunjung tinggi dan menjaga nama baik almamater Universitas Muhammadiyah.


Sesungguhnya Sholatku, Usahaku, Hidupku dan Matiku Hanya untuk Allah Semata.


Kepada "UMSIDA", semoga senantiasa dapat mewujudkan visinya yaitu "Menjadi Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia Berbasis Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Nilai -Nilai Islam" melalui empat misinya:


a. Menyelenggarakan Pendidikan Tinggi yang Berkualitas.


b. Membangun Sumber Daya Insani yang Memiliki Keunggulan Profesional, Intelektual dan Moral.


c. Mengembangkan dan Menyebarluaskan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk Kemajuan dan Kesejahteraan Umat Manusia.


d. Memajukan dan Mencerahkan Peradaban berdasar Nilai-nilai Islam.

Kamis, 29 Oktober 2009

"G E L A N D A N G A N SEBAGAI MASALAH SOSIAL"

"Umumnya orang "gelandangan" setia kawan, dibelenggu oleh "struktur kekuasaan" yang berlaku dalam sub kulturnya dan berada pada kondisi mental tak berdaya."



Istilah "Gelandangan" berasal dari "Gelandang" yang berarti "yang selalu mengembara", menurut istilah dahulu yang berkelana (lelana). "Gelandangan" dilukiskan sebagai orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan dan tempat tinggal tetap dan layak dengan ditambah "serta makan di sembarang tempat.


Orang-orang yang mengembara yang disebut "gelandangan" adalah gejala pada segala zaman, akibat dari urbanisasi. "Gelandangan" ini adalah golongan miskin, bisa jadi termiskin dari kota di Indonesia.


Di kota mereka tentu menciptakan berbagai permasalahan seperti kesehatan, sebab epidemi di antara para "gelandangan" dapat menulari siapa saja, dan beban atas komunikasi kota seperti bis atau fasilitas-fasilitas kota modern.


Gejala "gelandangan" tidak dapat dihindarkan, sebab masih banyak kota-kota yang masih tergantung terhadap tenaga kerja murah, kasar dan tidak terdidik seperti misalnya kuli-kuli, tuksng becak, buruh bangunan dan seterusnya. Namun ini bukan berarti bahwa kita harus menutup mata terhadap nasib mereka, sebab perhatian kita terhadap mereka juga termasuk kepentingan kita.


Sebuah kenyataan bahwa orang "gelandangan" tidak hidup di pedesaan tetapi hidup di perkotaan, dan dibarengi pula dengan adanya kenyataan bahwa semakin besar tingkat perkembangan kota semakin banyak jumlah orang "gelandangan"nya (meskipun belum pernah ada angka yang pasti mengenai jumlah "gelandangan" untuk tiap-tiap kota di Indonesia). Hal ini dapat memberikan kesan bahwa adanya orang "gelandangan" itu adalah karena adanya kota, dan adanya orang "gelandangan" dalam jumlah yang besar sehingga mewujudkannya sebagai masalah kesejahteraan sosial di kota adalah sebagai konsekwensi perkembangan kota.


Sebenarnya masalah adanya orang "gelandangan" di kota bukanlah semata-mata karena berkembangnya sebuah kota; Tetapi justru karena adanya tekanan-tekanan dan rasa tidak aman sebagian warga desa yang kemudian harus mencari tempat yang diduga dapat memberikan kesempatan bagi suatu kehidupan yang lebih baik di kota. Sesungguhnya, memang kotalah yang dapat menampung pendatang-pendatang baru untuk bermukim dan hidup dalam wilayah kota. Ini dimungkinkan karena struktur sosial ekonomi, dan administrasi yang ada di kota lebih kompleks dari pada yang ada di desa, sehingga dapat menampung pendatang-pendatang baru, bukan hanya orang-orang kaya dan terpelajar saja, tetapi juga yang miskin dan fakir. Karena itulah timbul kesan, bahwa adanya perkembangan kota telah melahirkan adanya orang "gelandangan".


Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah "gelandangan" adalah, mungkin dengan cara mengetatkan pengaturan tata kota yang diimbangi dengan pemberian bantuan bagi peningkatan kesejahteraan hidup mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, termasuk orang-orang "gelandangan". Namun apakah hal ini dapat dilaksanakan dan apakah akan berhasil?


Ada beberapa hal yang perlu dicatat mengenai "gelandangan" :

1. Umumnya orang "gelandangan" mempunyai pekerjaan tetap dan terhormat (pengumpulan kertas, beling, kaleng, puntung, pekerjaan pelabuhan, pasar dan sebagainya), beberapa punya pekerjaan tetap tetapi tidak sesuai dengan norma dan nilai kemasyarakatan yang berlaku.


2. Umumnya orang "gelandangan" ingin bekerja bebas, siap menanggung resiko sendiri dan tidak ingin dibantu yang membawa beban psikologis yang berat (bantuan sanak famili, keluarga, kenalan dihindari).


3. Umumnya orang "gelandangan" setia kawan, dibelenggu oleh "struktur kekuasaan" yang berlaku dalam sub kulturnya dan berada pada kondisi mental tak berdaya. Mau menghadapi malapetaka apapun (penggusuran, kematian, sakit dan sebagainya).


4. "Gelandangan" tidak memiliki tempat tinggal, tidak sanggup menanggung beban atas biaya tempat tinggal dan juga tidak siap untuk diharapkan segera bergaya hidup wajar dan bermukim.


5. Pertolongan pertama dan utama yang dibutuhkan oleh "gelandangan" adalah pengertian (understanding) dan menginginkan mereka merangkak melepaskan diri dari belenggu dengan kekuatan dan tahapan yang wajar.


Pendekatan kemanusiaan, akan lebih efektif dibanding dengan pendekatan ekonomi atau ootoritasme. Mengembalikan dan memulihkan kepercayaan diri serta adaptasi terhadap norma dan nilai kemasyarakatan yang berlaku, serta berangsur-angsur meninggalkan norma dan nilai sub kultur "gelandangan" harus menjadi sasaran utama pemecahan masalah. Setelah itu berangsur-angsur dikembangkan kemampuannya untuk menolong diri sendiri. Pemecahan remedial lain yang dapat ditempuh adalah bekerja sama dengan badan-badan sosial yang ada, menyantuni kebutuhan tempat berteduh, air dan sanitasi serta kebutuhan paling pokok lainnya.


Badan-badan sosial/kemasyarakatan yang berketetapan untuk menekuni masalah ini, perlu menggunakan pendekatan baru sama sekali (fresh approach) untuk menanggulangi masalah secara lebih mendasar. Membebaskan mereka dari sub kultur "gelandangan". Bukan melakukan langkah kosmetik seperti membagi beras, pakaian bekas, selamatan bersama dan sebagainya dengan "gelandangan". Pendekatan tersenut tidak keliru, akan tetapi tidak mendasar.


Jadi penanganan "gelandangan" tidak hanya semata-mata melalui pendekatan ekonomi, keamanan ketertiban bahkan juga tidak cukup dengan pendekatan pemerintahan. Penanggulangan secara mendasar masalah "gelandangan" ini harus dari pendekatan kemanusiaan, psikologis dan sosial serta menyeluruh.

Sabtu, 17 Oktober 2009

"KONSEP K E M I S K I N A N DAN PENDEKATANNYA"

"Konsep "kemiskinan" yang kedua adalah "kemiskinan" relatif yang dirumuskan dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu."


Masalah "
kemiskinan", sama tuanya dengan usia kemanusiaan itu sendiri dan implikasi permasalahannya dapat melibatkan keseluruhan aspek kehidupan manusia; walaupun, seringkali tidak disadari kehadirannya sebagai masalah oleh manusia yang bersangkutan.


"Kemiskinan" merupakan masalah kesejahteraan sosial. Langkah yang perlu kita lakukan dalam membicarakan masalah ini, pertama adalah mengidentifikasi apa sebenarnya pengertian miskin atau "kemiskinan" itu dan bagaimana mengukurnya. Setelah itu baru dicari faktor-faktor yang dominan penyebab "kemiskinan". Langkah berikutnya adalah mencari solusi yang relevan untuk memecahkan masalah itu (problem solving).


Menurut Dr. Sunyoto Usman, paling tidak ada tiga macam konsep kemiskinan, yaitu : "kemiskinan" absolut, "kemiskinan" relatif dan "kemiskinan" subyektif. "Kemiskinan" absolut dirumuskan dengan membuat tolok ukur tertentu yang konkrit. Ukuran itu berorientasi kepada kebutuhan hidup dasar minimum anggota masyarakat (sandang, pangan dan papan). Masing-masing negara mempunyai batasan "kemiskinan" absolut yang berlainan, karena kebutuhan hidup dasar masyarakat yang dipergunakan sebagai acuan memang berbeda. Konsep ini mengenal garis batas "kemiskinan". Ada juga gagasan yang ingin memasukkan tidak hanya kebutuhan fisik (sandang, pangan dan papan), melainkan juga basic cultural needs (seperti pendidikan, keamanan, rekreasi dan sebagainya). Konsep "kemiskinan" yang pertama ini telah banyak memperoleh banyak kritik, antara lain adalah hampir tidak mungkin membuat satu ukuran untuk semua anggota masyarakat. Kebutuhan sandang, pangan dan papan masyarakat pada masing-masing daerah berbeda-beda (pedesaan berbeda dengan perkotaan, desa pertanian berbeda dengan desa nelayan). Namun demikian konsep ini sangat populer terutama dianggap strategis bagi program-program pengentasan "kemiskinan".


Konsep "kemiskinan" yang kedua adalah "kemiskinan" relatif yang dirumuskan dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Dasar asumsinya adalah "kemiskinan" pada suatu daerah tertentu berbeda dengan daerah lainnya; dan "kemiskinan" pada waktu tertentu berbeda pula dengan waktu yang lain. Konsep ini diukur berdasarkan pertimbangan dari anggota masyarakat tertentu, dengan berorientasi pada derajat kelayakan hidup. Konsep ini juga telah banyak memperoleh kritik, terutama karena sangat sulit sekali menentukan bagaimana hidup yang layak itu. Ukuran layak ternyata juga terus berubah-ubah.


Konsep yang ketiga yaitu "kemiskinan" subyektif, dirumuskan berdasarkan perasaan kelompok miskin itu sendiri. Konsep ini tidak mengenal ukuran tertentu yang konkrit, juga tidak memperhitungkan dimensi tempat dan waktu. Kelompok yang menurut kita di bawah garis "kemiskinan" berdasarkan ukuran kita, boleh jadi tidak menganggap dirinya sendiri miskin (dan demikian pula sebaliknya). Kemudian, kelompok yang menurut kita mereka hidup dalam kondisi tidak layak, boleh jadi tidak menganggap dirinya sendiri tidak layak (dan demikian pula sebaliknya).


Untuk mendekati masalah "kemiskinan", sedikitnya ada dua macam perspektif yang lazim dipergunakan, yaitu "kemiskinan" dalam perspektif kultural dan dalam perspektif struktural atau situasional. Perspektif kultural mendekati masalah "kemiskinan" pada tiga level analisis : individual, keluarga dan masyarakat.


Pada level individual, ditandai sifat yang lazim disebut a strong feeling of marginality, seperti : sikap parohial, apatisme, fatalisme atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan inferior.

Pada level keluarga, ditandai oleh jumlah anggota keluarga yang besar dan free union or consensual marriages.

Pada level masyarakat, terutama ditandai oleh tidak terintegrasi secara efektif dengan institusi-institusi masyarakat. Mereka seringkali memperoleh perlakuan sebagai obyek yang perlu digarap dari pada sebagai subyek yang perlu diberi peluang berkembang.


Perspektif struktural atau perspektif situasional, masalah "kemiskinan" merupakan dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dan produk-produk teknologi modern, Penetrasi kapital antara lain mengejawantah dalam program-program pembangunan yang dinilai lebih mengutamakan pertubuhan (growth) dan kurang memperhatikan pemerataan hasil pembangunan (development). Program-program itu antara lain berbentuk intensifikasi, ekstensifikasi dan komersialisasi pertanian untuk menghasilkan pangan sebesar-besarnya guna memenuhi kebutuhan nasional dan eksport. Program-program pembangunan semacam itu memang telah berhasil meningkatkan hasil produksi besar-besaran, tetapi kenyataannya hanya kelompok kaya yang dapat memanfaatkan surplus semacam itu.


Hal ini disebabkan:

Pertam
a, berkaitan dengan akumulasi modal. Kelompok kaya memperoleh kesempatan yang lebih banyak mendapatkan aset-aset tambahan yang datang bersamaan dengan teknologi modern; Sehingga mereka lebih cepat berkembang.

Kedua
, berkaitan dengan fungsi lembaga. Dalam rangka menunjang introduksi teknologi baru dibentuk lembaga-lembaga ekonomi. Lembaga-lembaga ini sangat dibutuhkan karena dengan adanya perubahan teknologi, fungsi produksi, struktur pasar serta preferensi konsumen ikut berubah. Kenyataannya lembaga-lembaga semacam ini tidak dapat secara optimal memberi fasilitas kepada semua lapisan masyarakat. Hanya kelompok kaya yang bisa menikmati. Kedua hal tersebut dituduh menciptakan "kolonialisme internal" dalam kehidupan masyarakat kita.


Sebenarnya keinginan menanggulangi "kemiskinan" bukan suatu hal yang baru. Kita bisa melihat program-program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah selama ini. Namun upaya-upaya penanggulangan "kemiskinan" sampai saat ini masih dinilai belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Program "kemiskinan" belum berhasil menghilangkan ketimpangan yang ada, "kemiskinan" malah semakin deras mencuat di permukaan. Sejumlah pakar ada yang menyatakan bahwa apabila dibandingkan dengan keadaan beberapa negara di Asia, Indonesia sudah memasuki kategori moderate inequality artinya perbedaan tingkat kemakmuran antara berbagai golongan dalam masyarakat mulai mendekat. Namun dalam kenyataannya jumlah golongan miskin masih besar, bahkan terus membengkak. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa program-program pembangunan ekonomi yang selama ini dicanangkan pemerintah tidak efektif? Mengapa bantuan-bantuan yang dikucurkan pemerintah tidak menyentuh kelompok miskin? Tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Permasalahan ini memaksakan kita untuk lebih menelaah kembali dimensi struktural "kemiskinan" itu sendiri.


Secara sosiologis dimensi struktural "kemiskinan" dapat ditelusuri melalui institutional arrangements yang hidup dan berkembang dalam masyarakat kita. Asumsi dasarnya adalah bahwa "kemiskinan" tidak semata-mata berakar pada "kelemahan diri". Tetapi "kemiskinan" itu terutama sebagai konsekwensi dari pilihan-pilihan strategi pembangunan ekonomi yang selama ini dicanangkan, serta pengambilan posisi pemerintah dalam perencanaan dan implementasi pembangunan ekonomi itu sendiri.


PENDEKATAN PROGRAM PENGENTASAN "KEMISKINAN".

Propinsi Jawa Timur mulai tahun ini menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan data riil by name by addres sesuai kondisi di lapangan. Dengan pendekatan ini, maka data "kemiskinan" masyarakat dapat benar-benar menggambarkan kondisi yang sebenarnya.


Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas) Propinsi Jawa Timur melakukan update data Biro Pusat Statistik per 30 Oktober 2009; Data masyarakat "miskin" di Jawa Timur diketahui berjumlah 3.079.822 Rumah Tangga "Miskin" (RTM), dengan rincian:

a. 1.330.696 RTM termasuk kategori mendekati "miskin".

b. 1.256.122 RTM termasuk kategori "miskin".

c. 493.004 RTM termasuk kategori sangat "miskin".


Pendataan tidak hanya sekedar mendata masyarakat "miskin" melalui RTM sebagai sasaran. Namun juga profil desanya sehingga program yang dilakukan benar-benar tepat sasaran dan tepat program.


Bapemas Jawa Timur tahun ini akan memberikan dana hibah kepada 474 desa dengan jumlah kelompok masyarakat (Pokmas) sebanyak 3.792 Pokmas. Dari jumlah itu jumlah Rumah Tangga "Miskin" (RTM) sasaran sebanyak 36.995 RTM. Dana yang akan dihibahkan totalnya mencapai Rp. 35 milyar yang langsung diberikan ke 3.792 Pokmas dan untuk pendampingan jumlahnya mencapai Rp. 7,5 milyar.


Dana hibah tersebut tidak begitu saja diberikan. Selama ini ada anggapan bahwa bantuan hibah tersebut hanya berupa bantuan dana atau modal. Padahal bantuan hibah itu ada yang berwujud sosial dan bantuan program. Semua itu memiliki pertanggungjawaban yang sama yaitu terletak pada nilai guna atau manfaat dari dana yang diberikan ke RTM.


Usaha yang dikembangkan oleh Pokmas harus memiliki orientasi :

a. Pro poor untuk meningkatkan kesejahteraan;

b. Pro job untuk membuka peluang kerja;

c. Pro group dilakukan secara berkelompok dalam bentuk usaha mikro.


Masyarakat harus diajari kerja keras, disiplin dan responsibility (tanggung jawab), supaya bantuan hibah yang diberikan benar-benar bermanfaat dan berhasil guna.


Dalam rangka memotivasi percepatan perekonomian masyarakat, Bapemas akan mendidik kader-kader pemberdayaan masyarakat. Kemampuan mereka akan terus diupdate supaya di kemudian hari mereka menjadi tokoh di daerahnya. (Sumber: Harian Bhirawa, 9 April 2010).

Jumat, 16 Oktober 2009

"HEMAT AIR - ANTISIPASI KRISIS AIR GLOBAL"

"Persediaan "air" bersih di bumi semakin menipis dan "air" laut pun belum dapat diolah secara massal menjadi "air" siap konsumsi."


Apalagi volume "air" bersih yang hanya sedikit itu harus dibagi bersama seluruh penduduk bumi.

Persediaan "air" di permukaan bumi terdiri dari 97 % "air" laut dan 3 % "air" tawar. Dari 3 % ini hanya 1 % yang tersedia untuk dikonsumsi. Dari prosentase 3 % "air" tawar tersebut, sejumlah 69 % "air" ini tersimpan di gletser di kutub. Sedangkan 30 % merupakan "air" tanah, dan sisanya (1 %) berupa "air" permukaan (sungai, danau dan rawa). Persediaan "air" tawar yang sedikit itu harus dibagi dengan 6 milyard penduduk bumi dan makhluk hidup lainnya. Jadi, bijaksanalah mengkonsumsi "air".


Prediksi UNESCO Tahun 2020 dunia akan mengalami "krisis air global".



Indonesia merupakan negara ke 5 dari 9 negara terkaya yang memiliki cadangan"air" di dunia mengalami kelangkaan "air" terutama saat musim kemarau.




Kebutuhan "air" manusia 60-200 liter/orang/hari. Luas Pulau Jawa 7 % dari total luas daratan Indonesia. Penduduknya 65 % prnduduk Indonesia. "Air' tawar Pulau
Jawa 4,5 % total potensi "air" tawar nasional. Sehingga kelangkaan "air" akan terjadi.



Melihat kondisi sekarang yang sudah diambang krisis "air" ini, maka perlu ada budaya untuk menggunakan "air" secara bijak.



Untuk mengantisipasi krisis "air" ini telah dicanangkan Program 3P, yaitu:

1. Penghematan "air"


2. Pendayagunaan ulang "air" bekas pakai.


3. Pelestarian "air".


Untuk mendukung program di atas, maka perlu adanya Perubahan Perilaku dalam kehidupan sehari-hari kita, yaitu antara lain:

1. Tidak bergaya hidup boros "air", menggunakan "air" secukupnya saat mandi, gosok gigi, mencuci, masak, cuci mobil dan menyiram tanaman.


2. Jangan biasakan "air" terus mengalir saat anda sedang menggosok gigi. Dengan membiasakan diri menutup kran "air" selama menggosok gigi, pemakaian "air" dapat diirit 5 - 10 liter setiap waktunya.


3. Dapat memanfaatkan "air" bekas cucian sayur/daging/beras, "air" AC, menampung "air" hujan dari talang untuk menyiram tanaman.


4. Mematikan kran saat bak penuh dan saat meninggalkan rumah.


5. Tidak sesukanya menghambur-hamburkan "air" di fasilitas umum meskipun kita membayar.


6. Mematikan kran saat bak penuh dimanapun kita berada.


7. Mematikan kran "air" di wastafel saat menyabun tangan dan atau membersihkan muka.


8. Tidak membuang sia-sia sisa "air" mineral dalam kemasan.

Kamis, 15 Oktober 2009

"PROGRAM KTP DAN AKTA KELAHIRAN GRATIS DI KABUPATEN SIDOARJO"

"Program KTP dan Akta Kelahiran Gratis" merupakan Hadiah Ulang Tahun Pemerintah Kabupaten Sidoarjo kepada masyarakat Sidoarjo.


"ProgramKTP dan Akta Kelahiran Gratis"
mulai dilaksanakan di Kabupaten Sidoarjo pada tahun 2008. Program ini dilaksanakan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 1 Tahun 2008, tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Sidoarjo, yang telah ditetapkan sejak tanggal 23 Januari Tahun 2008.

"Program KTP dan Akta Kelahiran Gratis" itu sendiri diluncurkan dalam rangka Hari Ulang Tahun Kabupaten Sidoarjo yang ke 149 yang bertema "Dengan Semangat Hari Jadi ke 149 Kabupaten Sidoarjo kita jadikan Tonggak Kebangkitan Sidoarjo









Pepatah lama mengatakan : “Janganlah Kura-Kura Dalam Perahu, Jangan Ada Yang Pura-Pura Tidak Tahu


Membangun Masa Depan"; Program "KTP" dan "Akta Kelahiran" Gratis ini merupakan Hadiah Ulang Tahun Pemerintah Kabupaten Sidoarjo kepada masyarakat Sidoarjo.

Sudah hampir dua tahun Peraturan Daerah ini

diberlakukan, namun sepertinya masih banyak masyarakat Sidoarjo yang belum mengetahui kalau pengurusan "KTP" (WNI) dan "Akta Kelahiran" ini gratis (tanpa dipungut retribusi), walaupun sebenarnya sudah dilakukan kegiatan sosialisasi di kecamatan-kecamatan.

Ketidak-tahuan masyarakat ini yang kadang justru dimanfaatkan oleh para penjual jasa layanan untuk pengurusan dokumen-dokumen kependudukan dan pencatatan sipil. Sehingga di masyarakat masih ditemukan warga yang mengurus "KTP" dan "Akta Kelahiran" membayar dengan harga yang mahal.

Sebenarnya kalau warga mau mengurus sendiri "KTP" atau "Akta Kelahiran", akan bisa mengetahui kalau pengurusan kedua dokumen tersebut gratis retribusi. Namun lain lagi kalau warga memanfaatkan jasa penjual jasa layanan untuk menguruskannya -- Namanya saja penjual jasa, tarifnya -- ya -- tergantung kesepakatan kedua belah pihak, sehingga tidak akan sama antara orang satu dengan yang lainnya.

Saran -- bagi warga Kabupaten Sidoarjo yang akan mengurus "KTP" atau "Akta Kelahiran" -- Urus sendiri saja biar bisa menikmati "Program KTP dan Akta Kelahiran Gratis" (tanpa dipungut retribusi).


HAMBATAN

Hujan deras disertai petir yang terjadi pada hari Senin tanggal 5 April 2010 di daerah Sidoarjo mengakibatkan sedikit kendala terhadap proses pelayanan pengurusan Administrasi Kependudukan. Hal ini diakibatkan karena Server SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan) yang ada di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Sidoarjo, tersambar petir, sehingga perangkat komputernya mengalami kerusakan.

Untuk kepengurusan Administrasi Kependudukan (Kartu Keluarga, "KTP", Surat Keterangan Pindah dan lain-lain) mengalami gangguan sampai perangkatnya selesai diperbaiki dan dapat berfungsi kembali.