Rabu, 06 November 2013

"ITSAR, MENDAHULUKAN ORANG LAIN DARI PADA DIRI KITA"

"Secara bahasa "Itsar" berarti mementingkan "orang lain" lebih dari diri sendiri.



PENGERTIAN "ITSAR"

Kita telusuri hutan "Itsar" dengan memahami terlebih dahulu maknanya. "Itsar" ini adalah akhlak khas seorang mukmin, iaitu "Mendahulukan kepentingan "orang lain"". Ia disimbolikkan dengan penyerahan nikmat duniawi yang kita miliki kepada saudara muslim yang lain agar dia bersenang-senang dengannya, sementara kita tidak merasakannya. Ia bererti kita menyerahkan sesuatu yang sukai kepada saudara yang lebih memerlukan. Kurang jelas?, mungkin contoh dapat membantu. Jadi  bersedialah untuk takjub dengan manifestasi "Itsar" di tahap tertinggi yang ditunjukkan oleh para sahabat Rasulullah SAW.
 
Dari segi fitrah setiap manusia yang masih terjaga fitrah kemanusiaannya juga dapat berbuat mulia, mementingkan "orang lain" dan bukan diri sendiri serta menolong "orang lain" tanpa memikirkan diri sendiri. Di Inggris pernah terjadi kasus penyelamatan seorang anak yang jatuh di rel kereta api oleh seorang laki-laki. Alhamdulillah anak itu bisa diselamatkan, namun sebelah tangan laki-laki itu putus tersambar kereta api yang melaju kencang. Mungkin seumur hidupnya anak tersebut takkan bisa melupakan jasa seseorang yang rela mengorbankan sebelah tangannya untuk menyelamatkan nyawanya.

Dari segi istilah, "Itsar" adalah salah satu manfaat diniyah (manfaat keagamaan) yang terwujud bila terjalin ukhuwah di antara orang-orang yang seaqidah. Ia juga dikatakan wujud maksimal ukhuwah Islamiyah yang dimiliki seseorang. Dalam rangka menggapai mardhatillah semata, seorang muslim bersedia berkorban mendahulukan kepentingan "orang lain" di atas dirinya sendiri.

URGENSI DAN KEUTAMAAN "ITSAR".

Dalam QS. At Taubah (9):128,  digambarkan sifat-sifat Rasulullah SAW. yang mudah berempati pada penderitaan "orang lain", senantiasa menginginkan kebaikan bagi orang lain dan santun serta pengasih dan penyayang terhadap sesama mukmin.

Kehidupan di dunia yang jauh dari sifat-sifat mulia akan dipenuhi keserakahan dan keegoisan, nafsi-nafsi, lu-lu, gua-gua. Semuanya mementingkan diri dan keluarganya saja termasuk para pemimpinnya yang mengidap penyakit kronis berupa KKN. Kehidupan yang individualistis (nafsi-nafsi) egoistis (mementingkan diri sendiri) dan apatis (masa bodoh terhadap orang lain) adalah cerminan masyarakat yang tidak menegakkan ukhuwah Islamiyah.

Contohnya kehidupan di masyarakat metropolis atau kosmopolis ada seorang tunawisma yang meninggal di dekat tempat sampah lalu dibawa ke RSCM akhirnya dikuburkan tanpa kehadiran sanak saudaranya. Atau orang-orang tua yang ditaruh di panti-panti jompo. Jarang dijenguk dan menjalani proses sakaratul maut sendirian tanpa didampingi atau ditalkinkan anak-cucu. Benar-benar mengenaskan. Sulit kita membayangkan keridhaan dan keberkahan Allah Taala akan tercurah kepada masyarakat yang jauh dari nilai-nilai kebaikan tersebut.

Rasulullah SAW. mengatakan bukan dari golongan kami orang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan. Begitu pula di hadits lain “Bukan golongan kami orang yang tidak peduli pada urusan orang Islam”


Jadi sifat "Itsar" sangat penting untuk memerangi sifat-sifat buruk seperti egois, kikir, individualis dan sebagainya serta menumbuh-suburkan sifat-sifat mulia seperti peduli, empati, pemurah dan lain-lain.

Keutamaan orang yang berbuat "Itsar" di dunia ia akan dicintai oleh orang-orang yang pernah merasakan kebaikannya dan mempererat ukhuwah serta di akhirat nanti akan mendapatkan mimbar terbuat dari cahaya, naungan dan lindungan Allah Taala serta Al-Jannah (surga).

"Itsar" generasi salafus shalih
Rasulullah SAW. pernah bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia.” Dan beliau dengan pujian Allah Taala dalam QS. Al Qalam (68):4, dan QS. At Taubah (9):128, yang menggambarkan sosok beliau yang mudah berempati, peka dan peduli terhadap penderitaan orang lain. Kemudian selalu menginginkan kebaikan bagi orang lain dan bersifat santun serta kasih sayang terhadap mukmin.

Bukti kemampuan berempati beliau, terlihat saat beliau segera tahu bahwa Abu Hurairah kelaparan tanpa harus diberitahu, padahal sebelumnya Abu Bakar dan Umar pun tak bisa menangkap sinyal-sinyal Abu Hurairah butuh bantuan.

Beliau tidak pernah menolak siapa saja yang minta bantuan dan pertolongan beliau padahal beliau sendiri sering kelaparan seperti nampak pada kisah beliau, Abu Bakar dan Umar ra sama-sama lapar dan dijamu makan oleh Abu Ayyub Al Anshari. Beliau meneteskan air mata kemudian berucap, “Kelak kalian akan ditanya akan nikmat ini, ketika kalian pergi dari rumah dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang”.

Beliau hidup sangat sederhana dan tidur di atas tikar jerami sampai Umar menangis melihatnya dan Fatimah kelak bersyair di tepi kuburan bapaknya, “Ya ayahhandaku punggungnya penuh dengan bilur-bilur tikar”. Tetapi beliau tidak mau tikarnya itu dilipat terlalu banyak di bagian atasnya sebagai bantal karena takut tidurnya terlalu nyenyak bila terlalu empuk, sehingga khawatir tidak bisa bangun shalat malam.

Rasulullah SAW. juga menegaskan bahwa dunia bukan dari dan untuk keluarga Muhammad di saat Fatimah mendapat perhiasan, bagian dari rampasan perang hingga akhirnya putrinya mengembalikannya. Ia juga menasihati Fatimah dan Ali dengan bacaan-bacaan dzikir pada saat mereka minta khadimah dari tawanan perang. Rasulullah SAW. juga menghukum keras istri-istrinya yang meminta penghidupan (maisah) yang lebih dan perhiasan dengan cara mengasingkan diri selama sebulan hingga akhirnya Allah menawarkan opsi dalam wahyu-Nya di surat At Tahrim. Apakah istri-istri Nabi tersebut memilih Nabi dan kehidupan akhirat ataukah dunia. Tentu saja mereka memilih Rasulullah dan surga kelak walaupun kini hidup prihatin di dunia. Terlihat betapa Rasulullah SAW. lebih mementingkan yang lain ketimbang diri dan keluarganya karena pada saat yang bersamaan beliau ridha saja para sahabat dan istri-istrinya hidup berkecukupan dan memakai perhiasan hasil rampasan perang serta memiliki khadimah.

Bahkan sampai di saat-saat terakhir kehidupannya pun beliau tetap memikirkan umatnya dan bukan dirinya dan keluarganya sehingga ia tidak mewariskan apa-apa bagi keluarganya. Ucapan yang keluar dari mulut beliau di akhir kehidupannya adalah, “Ummati….Ummati….” (Umatku…Umatku…)
Keteladanan Rasulullah SAW. dalam hal tersebut ternyata membias pula pada sahabat-sahabat yang utama seperti Abu Bakar, Abu Thalhah atau istri-istri beliau seperti Khadijah, Aisyah dan Zainab binti Jahsy serta Saudah binti Zum’ah.

Suatu saat ketika terjadi pengumpulan dana untuk berjihad fisabilillah semua sahabat berlomba-lomba untuk menginfaqkan segala yang dimilikinya. Termasuk sahabat-sahabat yang utama seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman. Kemudian Rasulullah SAW. bertanya kepada Umar, “Bagitu banyak yang kau infaqkan Umar, adakah yang tersisa untuk keluargamu?” Umar pun lalu menjawab, “Sebanyak itu pula ya Rasulullah”. Jadi istilahnya fifty-fifty, atau separuh-separuh. Jawaban seperti itu pun meluncur pula dari lidah Utsman ketika ditanya juga oleh Rasulullah dengan pertanyaan yang sama. Namun tatkala pertanyaan tersebut diajukan kepada Abu Bakar As shidiq ra, jawabannya sungguh mencengangkan dan menimbulkan decak kagum.
“Untuk keluargaku kutinggalkan Allah dan RasulNya” Artinya keseluruhannya (100%) diinfaqkannya di jalan Allah, sedangkan urusan keluarganya ia pasrahkan kepada Allah. Umar sampai berucap, “Sungguh aku tak akan bisa mengalahkan Abu Bakar selama-lamanya”.

Begitu pula, pada saat Abu Bakar pergi hijrah mendampingi Rasulullah. Dananya dihabiskan untuk membiayai kepergiannya hijrah bersama Rasulullah. Namun istri dan putri-putrinya memang luar biasa pula. Ketika kakek Asma atau ayah Abu Bakar yakni Abu Quhafah marah-marah kepada Abu Bakar yang dianggapnya tidak bertanggung jawab meninggalkan keluarganya begitu saja, maka Asma menenangkan kakeknya yang buta itu dengan memperdengarkan bunyi kerikil-kerikil seolah itu kepingan dirham yang banyak. “Tenang saja kek, ayah tidak menyia-nyiakan kami”, ujar Asma. Barulah Abu Quhafah menjadi tenang.

Ada lagi kisah "Itsar" yang sangat indah dan diabadikan oleh Allah dalam QS. Al-Hasyr ayat 8 dan 9. Dalam terjemah singkat tafsir Ibnu Katsier jilid 8 diungkap tentang "Itsar" yang ditunjukkan orang-orang Anshar terhadap saudara-saudara mereka kaum muhajirin (QS. Al-Hasyr (59): 8)
Demi iman dan pembuktiannya kaum muhajirin meninggalkan sanak saudaranya, harta benda, dan kampung halamannya. Seperti Shuaib bin Sinan Ar Rumy yang dihadang dan dipaksa menyerahkan seluruh harta bendanya, dan Rasulullah SAW. bersabda : ‘Beruntunglah Abu Yahya (Shuaib) dengan perniagaannya (artinya rela melepas harta benda dunia dengan keridhaan Allah dan Rasul-Nya).

Ukhuwah Islamiyah yang dilandasi iman membuat suku Aus dan Khazraj di Yatsrib (kemudian menjadi Madinah) yang dahulunya bertikai menjadi damai dan bersaudara (QS. Aali 'Imraan (3): 103). Kemudian, membuat kaum Muhajirin yang datang dari Mekkah bersatu dengan kaum Anshar (penduduk asli Yatsrib) yang bersedia menolong dan menampung saudara-saudara seiman tersebut.

Ketika sahabat-sahabat Nabi SAW. kaum Muhajirin tiba di Yatsrib (Madinah), mereka segera dipersaudarakan dengan orang-orang Anshar. Di antaranya Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad bin Raby yang kemudian menawarkan separuh hartanya dan 1 dari 2 istrinya untuk Abdurrahman bin Auf. Jika Sa’ad memiliki sifat "Itsar", maka kebalikannya Abdurrahman bin Auf memiliki sifat iffah (memelihara diri dari meminta-minta). Ia menolak halus tawaran Sa’ad bin Raby dan hanya minta ditunjukkan pasar. Ia pun berusaha sampai berhasil dalam perniagaannya bahkan merintis dan membangun pasar Ukaz yang menandingi pasarnya Yahudi.

Di ayat kesembilannya disebutkan ada orang Anshar yang tulus mencintai, tanpa pamrih dan mengutamakan kawan lebih dari diri sendiri, meskipun mereka merasa lapar. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, merekalah orang yang berbahagia dan beruntung.

Dalam hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah, sepasang suami istri yang memenuhi perintah Rasulullah SAW. untuk memberi makan musafir yang kelaparan itu adalah Abu Thalhah dan Ummu Sulaim/ Rumaisha binti Milhan. Mereka sendiri malam itu segera menidurkan anak-anak mereka yang lapar dan berpura-pura makan agar tamu mereka makan dengan tenang. Padahal yang sedang disantap oleh tamu mereka itu adalah saru porsi terakhir yang mereka miliki hari itu.

Di ayat 9 tersebut Allah menegaskan “Wa yu’ tsiruuna alaa anfusihim walau kana bihim khashan’shah” (mereka "Itsar" terhadap "orang lain" dibanding ke diri mereka sendiri walaupun mereka sendiri kelaparan).
Ketika keesokan hari Rasulullah SAW. berjumpa dengan Abu Thalhah, beliau bersabda, “Sungguh Allah sangat gembira (tersenyum) menyaksikan perbuatan Anda berdua”.

Hampir kesemua istri Nabi SAW. menunjukkan sifat pemurah dan "Itsar"nya. Istri pertama yang paling dicintainya, dan tak pernah dapat dilupakannya: Khadijah menunjukkan "Itsar" saat Rasulullah SAW. meminta pembantu Kahdijah: Zaid bin Haritsah untuk menjadi pembantunya. Beliau juga menginfaqkan seluruh harta kekayaannya untuk perjuangan fisabilillah menyebarkan agama Islam.

Istri Rasulullah seperti Zainab binti Jahsy yang pandai berwiraniaga juga terkenal dermawan dan suka membantu orang lain. Saudah bunti Zum’ah istri Rasulullah yang walaupun hanya berjualan roti kuah ala Thaif pun ikut berinfaq dengan hasil dagangannya.

Ummul mukminin Aisyah ra yang terkenal kepandaiannya sekaligus juga kedermawanannya pernah mendapat uang 40.000 dirham dari baitul mal. Oleh Aisyah harta itu segera dibagi-bagikan kepada fakir miskin sampai-sampai lupa menyisihkan sedikit saja untuk dirinya. Sampai ditegur Ummu Burdah yang membantunya, “Ya Ummul mukminin kenapa tak kau sisihkan sedikit saja untuk membeli makanan berbuka, bukankah engkau sedang berpuasa,” “Ya Ummu Burdah, kenapa tadi tak kau ingatkan”, jawab Aisyah tenang.

Kisah "Itsar" yang sangat heroik terjadi pada saat perang Yarmuk. Ikrimah bin Abu Jahl seorang mujahid bersama dua sahabat yang lain terbaring dengan luka-luka sangat parah. Ketika seorang sahabat hendak memberinya minum, ia menolak dan menyuruh air itu diberikan ke teman di sebelahnya. Ketika air itu akan diberikan ke sebelahnya, orang tersebut juga menyuruh diberikan lagi ke sebelahnya pula. Ia memilih mengalah pula pada saat-saat yang penting tersebut. Namun orang ketiga yang dimaksud sudah meninggal, ketika kembali lagi si pemberi minum ke sahabat yang tengah, ternyata ia sudah syahid juga. Dan ketika beranjak ke Ikrimah, ia pun telah syahid. Subhanallah dalam detik-detik terakhir kehidupan atau di saat-saat kritis sekalipun mereka tetap menjaga "Itsar" mereka.
 
Hal yang sangat kontras terjadi pada kita, saat kita menoleh ke kondisi umat Islam saat ini yang terpecah-pecah, tercabik-cabik dan terkotak-kotak.
Doa Nabi SAW.. yang dikabulkan saat meminta umatnya diselamatkan dari bahaya banjir dan kelaparan dan tidak dikabulkan saat meminta umatnya diselamatkan dari bahaya perpecahan, seyogianya membuat kita berfikir bahwa kerja mempersatukan umat adalah kerja besar yang harus diikhtiarkan secara maksimal baru kemudian Allah berkenan membantu (QS. Ar Ra'du (13): 11)
Bila kita melihat QS.Aali 'Imraan (3): 103, nyata jelas bahwa hanya dengan sama-sama I’tisham bi hablillah (berpegang teguh di jalan Allah) sajalah, persatuan hati dan persaudaraan akan terwujud.

Bayangkan saja seluruh muslim di dunia ini berebut-rebut untuk bersikap "Itsar" . Masya Allah... Pasti berwarna warni dunia ini dengan kasih sayang.

Semoga dengan mengamalkan "Itsar" ini, kita akan menjadi orang-orang yang akan mendapatkan naungan Allah di akhirat kelak, di mana tidak ada naungan kecuali naunganNya. Amin.

Sumber:
1. ari2abdillah.wordpress.com/.../itsar-puncak-persaudar...
2. uaasis.blogspot.com/2012/02/itsar-itu-bahagia.html
3. tajdid-dakwah.blogspot.com/.../itsar-di-dalam...
4. laely.widjajati.photos.facebook/menjalin-silaturrahmi....
5. laely.widjajati.photos.facebook/Mekarsari.....
6. laely.widjajati.photos.facebook/jangan-pernah-katakan-umur......
7. laely.widjajati.photos.facebook/Alhamdulillah...-bs-berteduh-dr....

tsar (لْإِيثَارُا ), secara bahasa bermakna melebihkan orang lain atas dirinya sendiri. Sifat ini termasuk akhlak mulia yang sudah mulai hilang di masa kita sekarang ini,  Padahal akhlak mulia ini adalah puncak tertinggi dari ukhuwah islamiyah dan merupakan hal yang sangat dicintai oleh Allah Ta’ala dan juga dicintai oleh setiap makhluk. Memang jika dilihat dari timbangan logika, hal ini merupakan hal yang sangat berat, mengorbankan dirinya sendiri demi kepentingan orang lain tanpa mendapatkan imbalan apapun. Akan tetapi di dalam agama islam, hal ini bukanlah suatu hal yang mustahil. Tinta emas sejarah telah menuliskannya, bagaimana sikap itsar kaum muslimin terhadap saudaranya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengenai sambutan orang-orang anshar terhadap orang-orang muhajirin,
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang-orang yang  berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada memiliki keinginan di dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9)
Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi rahimahullah menjelaskan siapakah orang-orang yang dimaksud di dalam ayat ini,  “Mereka adalah golongan  As-Sabiqunal Awwalun, dari golongan muhajirin dan anshar, yaitu orang-orang yang berinfak sebelum penaklukan kota Makkah dan mereka juga orang-orang yang berperang, termasuk orang-orang berbai’at di bawah pohon (Bai’at Ar-Ridhwan), yang jumlah mereka lebih dari 1.400 orang.  (Lihat Syarah Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi, Tahqiq Abdul Muhsin at-Turki dan Syu’aib al-Arna’uth I/692)
Inilah akhlak para sahabat Nabi yang mulia, mereka kaum Anshar benar-benar menyambut kaum Muhajirin yang datang kepada mereka, mereka menerima saudara-saudara mereka yang seiman dan seaqidah dengan tangan terbuka. Mereka para kaum Anshar saling berlomba-lomba memberikan segala apa yang mereka bisa berikan kepada sesama. Padahal saat itu mereka sendiri membutuhkan.